About

Sabtu, 31 Januari 2015

Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan



Sumbangan Peradaban Islam
Terhadap Perkembangan Filsafat Dan Ilmu Pengetahuan


Pendahuluan

Dalam suatu diskusi dengan topik hujan buatan, yang dihadiri oleh beberapa mahasiswa aktivis kampus, seorang peserta diskusi melontarkan pandangannya tentang hukum hujan buatan menurut syariat Islam.  Dalam pandangan sang mahasiswa tadi, yang kebetulan jebolan pesantren kenamaan di Jawa, hujan buatan itu hukumnya haram, karena mendahului kehendak Tuhan, yang berkuasa menurunkan hujan.

Pada kesempatan lain, seorang kyai dalam suatu ceramah menyatakan bahwa mempelajari hukum positif seperti yang diajarkan di fakultas hukum di perguruan tinggi, haram hukumnya menurut ajaran Islam.  Dalam pandangan sang kyai, hukum yang boleh dipelajari hanyalah hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an dan Sunnah Nabi. 

Kedua ilustrasi diatas memberi kesan betapa masih kerdilnya pemahaman sebagian umat Islam, dari golongan terdidik sekalipun, terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang hingga kini.  Bahkan seolah memberi kesan bahwa ada sebagian umat Islam yang masih anti ilmu pengetahuan dan teknologi, dan lebih menyenangi hidup konservatif seperti zaman dahulu.  Walaupun kadang-kadang pandangan dan sikap mereka terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi tidak konsisten.  Sebagai contoh ada beberapa kalangan yang tidak mau menggunakan sendok dan garpu pada saat makan, karena menurutnya hal itu tidak sesuai dengan sunnah Rasulullah SAW.  Namun anehnya, mereka kemana-mana tidak berjalan kaki atau naik unta, seperti pada Zaman Rasulullah, melainkan naik motor atau mobil, yang tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah.

Jika kita menoleh ke belakang menapaki alur perjalanan sejarah peradaban umat manusia, maka sikap konservatif ini pernah menghinggapi semua peradaban di dunia. Dari sejarah diketahui bahwa sikap seperti ini telah menimbulkan korban pada berbagai kalangan yang memiliki pandangan yang berbeda dengan keyakinan agama yang berkembang saat itu.  Dalam Sejarah Kristen tercatat banyak ilmuwan menjadi korban, oleh karena memiliki pandangan yang berbeda dengan pihak gereja, sedang dalam Sejarah Islam pengajaran filsafat pernah dilarang dipelajari termasuk diajarkan di perguruan tinggi seperti perguruan tinggi kenamaan Al-Azhar yang ada di Kairo, Mesir.

Sejarah telah membuktikan bahwa adanya sikap konservatif terhadap pandangan-pandangan baru, telah menghantarkan peradaban ke dalam masa-masa kegelapan.  Sejarah Islam telah mencatat bahwa masa keemas-an Islam (The Golden Age of Islam) terjadi pada masa pemerintahan Dinasti Abbas (Abbasiyah), yang sangat terbuka terhadap perkembangan berbagai pemikiran baru.  Bersamaan dengan dilarangnya belajar-mengajar filsafat, umat Islam mengalami kemunduran, hingga terpuruk ke dalam belenggu penjajahan Negara-negara Barat. 

Timbulnya kesadaran baru di kalangan umat Islam untuk keluar dari belenggu penjajahan, tidak lepas dari keberanian beberapa pembaharu dunia Islam seperti Jamaluddin al Afghani  dan Muhammad Abduh, yang menganjurkan agar umat Islam kembali mempelajari filsafat dan membuka diri kepada munculnya ide-ide baru.

Berangkat dari uraian diatas, maka dalam tulisan berikut ini akan dipa-parkan bagaimana sumbangan peradaban Islam pada masa keemasannya dahulu terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, dengan maksud untuk meluruskan pandangan bahwa Umat Islam itu seolah-olah anti ilmu pengetahuan dan teknologi.

Filsafat dan ilmu pengetahuan.

Istilah filsafat  mulai dikenal pada zaman Yunani kuno, berasal dari kata philo yang berarti cinta dan sophia yang berarti kebenaran.  Jadi orang yang mempelajari filsafat adalah orang yang cinta kebenaran.  Untuk mencapai kebenaran seseorang harus mempunyai pengetahuan.  Sese-orang yang mengetahui sesuatu, dapat dikatakan telah mencapai kebenaran tentang sesuatu tersebut menurut dirinya sendiri, meskipun apa yang dianggapnya benar itu belum tentu benar menurut orang lain.

Pengetahuan tidak sama dengan ilmu, karena ilmu adalah bagian dari pengetahuan.   Seseorang yang mengetahui cara memainkan berbagai alat musik atau cara menggunakan berbagai alat untuk melukis, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu bermain musik atau ilmu melukis.  Oleh karena bermain musik dan melukis bukanlah ilmu melainkan seni.  Demikian pula orang yang memiliki pengetahuan tentang adanya kebangkitan/kehidupan setelah kematian, tidak dapat dikatakan memiliki ilmu tentang kehidupan setelah kematian, oleh karena hal tersebut telah berada di luar batas pengalaman manusia dan hal demikian itu telah menjadi urusan agama.

Filsafat adalah dasar pijakan ilmu.  Berbagai disiplin ilmu yang berkembang dewasa ini, pada mulanya adalah filsafat.  Ilmu fisika berasal dari filsafat alam (natural philosophy) dan ilmu ekonomi pada mulanya bernama filsafat moral (moral philosophy).  Durant (1933) mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang bertugas merebut pantai, untuk mendaratkan pasukan infanteri.  Pasukan infanteri adalah pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu.  Imulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan filsafat menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan.

Dalam perkembangan filsafat menjadi ilmu, terdapat taraf peralihan.  Dalam taraf peralihan ini ruang kajian filsafat menjadi lebih sempit dan sektoral.  Pada masa transisi ini ilmu tidak mempermasalahkan lagi unsur etika secara keseluruhan, namun terbatas pada unsur-unsur praktis guna memenuhi hajat hidup manusia.  Meskipun demikian secara konseptual, ilmu masih menyandarkan dirinya pada norma filsafat.

Pada tahap perkembangan lebih lanjut, ilmu menyatakan dirinya bebas dari filsafat dan berkembang berdasarkan penemuan ilmiah, sesuai dengan tabiat alam apa adanya.  Pada tahap ini perkembangan ilmu tidak lagi berdasarkan metode normatif dan deduktif, tetapi menggunakan kombinasi dari metode deduktif dan induktif, yang dihubungkan oleh pengujian hipotesis, yang dikenal sebagai metode logico-hypothetico-verificative.

Auguste Comte (1798 – 1857) membagi perkembangan pengetahuan ke dalam 3 tahap, yaitu: tahap religius, metafisik dan positif.  Pada tahap pertama postulat ilmiah menggunakan azas religi, sehingga ilmu merupakan penjabaran (deduksi) dari ajaran agama.  Pada tahap kedua postulat ilmiah didasarkan pada azas metafisika, yaitu keraguan mengenai eksistenis obyek yang ditelaah.  Pada tahap ketiga perkembangan ilmu, dilakukan pengujian positif terhadap semua yang digunakan dalam proses verifikasi yang obyektif.
           
Sumbangan Peradaban Islam Terhadap Perkembangan Filsafat dan Ilmu Pengetahuan


Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini.  Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John  Scotus.  Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi.  Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropah,, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris,  tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.

Sebagaimana telah diketahui, orang yang pertama kali belajar dan mengajarkan filsafat dari orang-orang sophia atau sophists (500 – 400 SM) adalah Socrates (469 – 399 SM), kemudian diteruskan oleh Plato (427 – 457 SM).  Setelah itu diteruskan oleh muridnya yang bernama Aristoteles (384 – 322 SM).  Setelah zaman Aristoteles, sejarah tidak mencatat lagi generasi penerus hingga munculnya Al-Kindi pada tahun 801 M.  Al-Kindi banyak belajar dari kitab-kitab filsafat karangan Plato dan Aristoteles.  Oleh Raja Al-Makmun dan Raja Harun Al-Rasyid pada Zaman Abbasiyah, Al-Kindi diperintahkan untuk menyalin karya Plato dan Aristoteles tersebut ke dalam Bahasa Arab.

Sejarawan  menempatkan Al-Kindi sebagai filosof Arab pertama yang mempelajari filsafat.  Ibnu Al-Nadhim mendudukkan Al-Kindi sebagai salah satu orang termasyhur dalam filsafat alam (natural philosophy).  Buku-buku Al-Kindi membahas mengenai berbagai cabang ilmu pengetahuan seperti geometri, aritmatika, astronomi, musik, logika dan filsafat.  Ibnu Abi Usai’bia menganggap Al-Kindi sebagai penterjemah terbaik kitab-kitab ilmu kedokteran dari Bahasa Yunani ke dalam Bahasa Arab. 

Disamping sebagai penterjemah, Al-Kindi menulis juga berbagai makalah.  Ibnu Al-Nadhim memperkirakan ada 200 judul makalah yang ditulis Al-Kindi dan sebagian diantaranya tidak dapat dijumpai lagi, karena raib entah kemana.  Nama Al-Kindi sangat masyhur di Eropah pada abad pertengahan.  Bukunya yang telah disalin kedalam bahasa Latin di Eropah berjudul De Aspectibus berisi uraian tentang geometri dan ilmu optik, mengacu pada pendapat Euclides, Heron dan Ptolemeus.  Salah satu orang yang sangat kagum pada berbagai tulisannya adalag filosof kenamaan Roger Bacon.

Beberapa kalangan beranggapan bahwa Al-Kindi bukanlah seorang filosof sejati.  Dr. Ibrahim Madzkour,  seorang sarjana filsafat lulusan Peran-cis yang berasal dari Mesir, beranggapan bahwa Al-Kindi lebih tepat dika-tegorikan sebagai seorang ilmuwan (terutama ilmu kedokteran, farmasi dan astronomi) daripada seorang filosof.  Hanya saja karena Al-Kindi yang pertama kali menyalin kitab Plato dan Aristoteles kedalam Bahasa Arab, maka ia dianggap sebagai orang yang pertama kali memperkenalkan filsafat pada Dunia Islam dan kaum Muslimin.

Meskipun pada beberapa hal Al-Kindi sependapat dengan Aristoteles dan Plato, namun dalam hal-hal tertentu Al-Kindi memiliki pandangan tersendiri.  Al-Kindi tidak sependapat dengan Aristoteles yang menyatakan bahwa  waktu dan benda adalah kekal.  Dan untuk membuktikan hal tersebut Al-Kindi telah menggunakan pendekatan matematika.  Al-Kindi tidak sepaham pula dengan Plato dan Aristoteles yang menyatakan bahwa bentuk merupakan sebab dari wujud, serta pendapat  Plato yang menyatakan bahwa cita bersifat membiakkan.  Menurut Al-Kindi alam semesta ini merupakan sari dari sesuatu yang wujud (ada).  Semesta alam ini merupakan kesatuan dari sesuatu yang berbilang, ia juga bukan merupakan sebab wujud.

Sepeninggal Al-Kindi, muncul filosof-filosof Islam kenamaan yang terus mengembangkan filsafat.  Filosof-filosof itu diantaranya adalah : Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rushd, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh dan Muhamad Iqbal.
Al-Farabi sangat berjasa dalam mengenalkan dan mengembangkan cara berpikir logis (logika) kepada dunia Islam.  Berbagai karangan Aristoteles seperti Categories, Hermeneutics, First dan Second Analysis telah diterjemahkan Al-Farabi kedalam Bahasa Arab.  Al-Farabi telah membicarakan berbagai sistem logika dan cara berpikir deduktif maupun induktif.  Disamping itu beliau dianggap sebagai peletak dasar pertama ilmu musik dan menyempurnakan ilmu musik yang telah dikembangkan sebelumnya oleh Phytagoras.  Oleh karena jasanya ini, maka Al-Farabi diberi gelar Guru Kedua, sedang gelar guru pertama diberikan kepada Aristoteles. 

Kontribusi lain dari Al-Farabi yang dianggap cukup bernilai adalah usahanya mengklassifikasi ilmu pengetahuan.  Al-Farabi telah memberikan definisi dan batasan setiap ilmu pengetahuan yang berkembang pada zamannya.  Al-Farabi mengklassifikasi ilmu kedalam tujuh cabang yaitu : logika, percakapan, matematika, fisika, metafisika, politik dan ilmu fiqhi (hukum). 

Ilmu percakapan dibagi lagi kedalam tujuh bagian yaitu : bahasa, gramatika, sintaksis, syair, menulis dan membaca.  Bahasa dalam ilmu percakapan dibagi dalam : ilmu kalimat mufrad, preposisi, aturan penulisan yang benar, aturan membaca dengan benar dan aturan mengenai syair yang baik.  Ilmu logika dibagi dalam 8 bagian, dimulai dengan kategori dan diakhiri dengan syair (puisi). 

Matematika dibagi dalam tujuh bagian yaitu : aritmetika, geometri, astronomi, musik, hizab baqi (arte ponderum) dan mekanika. 

Metafisika dibagi dalam dua bahasan, bahasan pertama mengenai pengetahuan tentang makhluk dan bahasan kedua mengenai filsafat ilmu.

Politik dikatakan sebagai bagian dari ilmu sipil dan menjurus pada etika dan politika.  Perkataan politieia yang berasal dari bahasa Yunani diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab menjadi madani, yang berarti sipil dan berhubungan dengan tata cara mengurus suatu kota.  Kata ini kemudian sangat populer digunakan untuk menyepadankan istilah masyarakat sipil menjadi masyarakat madani.

Ilmu agama dibagi dalam ilmu fiqh dan imu ketuhanan/kalam (teologi).

Buku Al-Farabi mengenai pembagian ilmu ini  telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin untuk konsumsi Bangsa Eropah dengan judul De Divisione Philosophae.  Karya lainnya yang telah diterjemahkan kedalam Bahasa Latin berjudul De Scientiis atau De Ortu Scientearum.  Buku ini mengulas berbagai jenis ilmu seperti ilmu kimia, optik dan geologi.

Ibnu Sina dikenal di Barat dengan sebutan Avicienna.  Selain sebagai seorang filosof, ia dikenal sebagai seorang dokter dan penyair.  Ilmu pengetahuan yang ditulisnya banyak ditulis dalam bentuk syair.  Bukunya yang termasyhur Canon, telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin oleh Gerard Cremona di Toledo.  Buku ini kemudian menjadi buku teks (text book) dalam Ilmu Kedokteran yang diajarkan pada beberapa perguruan tinggi di Eropah, seperti Universitas Louvain dan Montpelier.  Dalam kitab Canon, Ibnu Sina telah menekankan betapa pentingnya penelitian eksperimental untuk menentukan khasiat suatu obat.  Ibnu Sina menyatakan bahwa daya sembuh suatu jenis obat sangat tergantung pada ketepatan dosis dan ketepatan waktu pemberian.  Pemberian obat hendaknya disesuaikan dengan kekuatan penyakit.

Kitab lainnya berjudul Al-Shifa diterjemahkan oleh Ibnu Daud (di Barat dikenal dengan nama Avendauth-Ben Daud) di Toledo.  Oleh karena Al-Shifa sangat tebal, maka bagian yang diterjemahkan oleh Ibnu Daud terbatas pada pendahuluan ilmu logika, fisika dan  De Anima.

Ibnu Sina membagi filsafat atas bagian yang bersifat teoritis dan bagian yang bersifat praktis.  Bagian yang bersifat teoritis meliputi :  matematika, fisika dan metafisika, sedang bagian yang bersifat praktis meliputi :  politik dan etika. 

Dalam hal logika Ibnu Sina memiliki pandangan serupa dengan para filosof Islam lainnyanya seperti Al-Farabi, Al-Ghazali dan Ibnu Rushd, yang beranggapan bahwa logika adalah alat filsafat, sebagaimana di tuliskan dalam syairnya :

Perlulah manusia mempunyai alat
Pelindung akal dari yang palsu
Imu logika namanya alat
Alat pencapai semua ilmu

Berbeda dengan  filosof-filosof Islam pendahulunya yang lahir dan besar di Timur, Ibnu Rushd dilahirkan di Barat (Spanyol).  Filosof Islam lainnya yang lahir di barat adalah Ibnu Baja (Avempace) dan Ibnu Tufail (Abubacer).

Ibnu baja dan Ibnu Tufail merupakan pendukung rasionalisme Aris-toteles.  Menurut Ibnu Tufail, manusia dapat mencapai kebenaran sejati dengan menggunakan petunjuk akal dan petunjuk wahyu.  Pendapat ini dituangkan dengan baik dalam cerita Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang menceritakan bagaimana Hayy yang tinggal pada suatu pulau terpencil sendirian tanpa manusia lain dapat menemukan kebenaran sejati melalui petunjuk akal, kemudian bertemu dengan Absal yang memperoleh kebenaran sejati dengan petunjuk wahyu.  Akhirnya kedua orang ini bisa menjadi sahabat.

Ibnu Rushd yang lahir dan dibesarkan di Cordova, Spanyol meskipun seorang dokter dan telah mengarang Buku Ilmu Kedokteran berjudul Colliget, yang dianggap setara dengan kitab Canon karangan Ibnu Sina, lebih dikenal sebagai seorang filosof.

Ibnu Rushd telah menyusun 3 komentar mengenai Aristoteles, yaitu : komentar besar, komentar menengah dan komentar kecil.  Ketiga komentar tersebut dapat dijumpai dalam tiga bahasa : Arab, Latin dan Yahudi.  Dalam komentar besar, Ibnu Rushd menuliskan setiap kata dalam Stagirite karya Aristoteles dengan Bahasa Arab dan memberikan komentar pada bagian akhir.  Dalam komentar menengah ia  masih menyebut-nyebut Aritoteles sebagai Magister Digit, sedang pada komentar kecil filsafat yang diulas murni pandangan Ibnu Rushd.

Pandangan Ibnu Rushd yang menyatakan bahwa jalan filsafat merupakan jalan terbaik untuk mencapai kebenaran sejati dibanding jalan yang ditempuh oleh ahli agama, telah memancing kemarahan  pemuka-pemuka agama, sehingga mereka meminta kepada khalifah yang memerintah di Spanyol untuk menyatakan Ibnu Rushd sebagai atheis.  Sebenarnya apa yang dikemukakan oleh Ibnu Rushd sudah dikemukakan pula oleh Al-Kindi dalam bukunya Falsafah El-Ula (First Philosophy).  Al-Kindi menyatakan bahwa kaum fakih tidak dapat menjelaskan kebenaran dengan sempurna, oleh karena pengetahuan mereka yang tipis dan kurang bernilai.

Pertentangan antara filosof yang diwakili oleh Ibnu Rushd dan kaum ulama yang diwakili oleh Al-Ghazali semakin memanas dengan terbitnya karangan Al-Ghazali yang berjudul Tahafut-El-Falasifah, yang kemudian digunakan pula oleh pihak gereja untuk menghambat berkembangnya pikiran bebas di Eropah pada Zaman Renaisance.  Al-Ghazali berpendapat bahwa mempelajari filsafat dapat menyebabkan seseorang menjadi atheis.  Untuk mencapai kebenaran sejati menurut Al-Ghazali hanya ada satu cara yaitu melalui tasawuf (mistisisme).  Buku karangan Al-Ghazali ini kemudian ditanggapi oleh Ibnu Rushd dalam karyanya Tahafut-et-Tahafut (The Incohenrence of the Incoherence).

Kemenangan pandangan Al-Ghazali atas pandangan Ibnu Rushd telah menyebabkan dilarangnya pengajaran ilmu filsafat di berbagai perguruan-perguruan Islam.  Hoesin (1961) menyatakan  bahwa pelarangan penyebaran filsafat Ibnu Rushd merupakan titik awal keruntuhan peradaban Islam yang didukung oleh maraknya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.  Hal ini sejalan dengan pendapat Suriasumantri (2002) yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu dalam peradaban Islam bermula dengan berkembangnya filsafat dan mengalami kemunduran dengan kematian filsafat.

Bersamaannya dengan mundurnya kebudayaan Islam, Eropah mengalami kebangkitan.  Pada masa ini, buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan karangan dan terjemahan filosof Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina dan Ibnu Rushd diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin.  Pada zaman itu Bahasa Latin menjadi bahasa kebudayaan bangsa-bangsa Eropah.  Penterjemahan karya-karya kaum muslimin antara lain dilakukan di Toledo, ketika Raymund menjadi uskup Besar Kristen di Toledo pada Tahun  1130 – 1150 M.  Hasil terjemahan dari Toledo ini menyebar sampai ke Italia.  Dante menulis Divina Comedia setelah terinspirasi oleh hikayat Isra dan Mikraj Nabi Muhammad SAW.  Universitas Paris menggunakan buku teks Organon karya Aristoteles yang disalin dari Bahasa Arab ke dalam Bahasa Latin oleh John Salisbury pada tahun 1182.

Seperti halnya yang dilakukan oleh pemuka agama Islam, berkembangnya filsafat ajaran Ibnu Rushd dianggap dapat membahayakan iman kristiani oleh para pemuka agama Kristen, sehingga sinode gereja mengeluarkan dekrit pada Tahun 1209, lalu disusul dengan putusan Papal Legate pada tahun 1215 yang melarang pengajaran dan penyebaran filsafat ajaran Ibnu Rushd.

Pada Tahun 1215 saat Frederick II menjadi Kaisar Sicilia, ajaran filsafat Islam mulai berkembang lagi.  Pada Tahun 1214, Frederick mendirikan Universitas Naples, yang kemudian memiliki akademi yang bertugas menterjemahkan kitab-kitab berbahasa Arab ke dalam Bahasa latin.  Pada tahun 1217 Frederick II mengutus Michael Scot ke Toledo untuk mengumpulkan terjemahan-terjemahan filsafat berbahasa latin karangan kaum muslimin.  Berkembangnya ajaran filsafat Ibnu Rushd di Eropah Barat tidak lepas dari hasil terjemahan Michael Scot.  Banyak orientalis menyatakan bahwa Michael Scot telah berhasil menterjemahkan Komentar Ibnu Rushd  dengan judul de coelo et de mundo dan bagian pertama dari Kitab Anima. 

Pekerjaan yang dilakukan oleh Kaisar Frederick II untuk menterje-mahkan karya-karya filsafat Islam ke dalam Bahasa Latin, guna mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Eropah Barat, serupa dengan pekerjaan yang pernah dilakukan oleh  Raja Al-Makmun dan Harun Al-Rashid dari Dinasti Abbasiyah, untuk mendorong pengembangan ilmu pengetahuan di Jazirah Arab

Setelah Kaisar Frederick II wafat, usahanya untuk mengembangkan pengetahuan diteruskan oleh putranya.  Untuk tujuan ini putranya mengutus orang Jerman bernama Hermann untuk kembali ke Toledo pada tahun 1256.  Hermann kemudian menterjemahkan Ichtisar Manthiq karangan Al-Farabi dan Ichtisar Syair karangan Ibnu Rushd.  Pada pertengahan abad 13 hampir seluruh karya Ibnu Rushd telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Latin, termasuk kitab tahafut-et-tahafut, yang diterjemahkan oleh Colonymus pada Tahun 1328.

Pada pertengahan abad 12 kalangan gereja melakukan sensor terhadap karangan Ibnu Rushd, sehingga saat itu berkembang 2 paham yaitu paham pembela Ibnu Rushd (Averroisme) dan paham yang menentangnya.  Kalangan yang menentang ajaran filsafat Ibnu Rushd ini antara lain pendeta Thomas Aquinas, Ernest Renan dan Roger Bacon.  Mereka yang menentang Averroisme umumnya banyak menggunakan argumentasi yang dikemukakan oleh Al-Ghazali dalam kitabnya Tahafut-el-Falasifah.  Dari hal ini dapat dikatakan bahwa apa yang diperdebatkan oleh kalangan filosof di Eropah Barat pada abad 12 dan 13, tidak lain adalah masalah yang diperdebatkan oleh filosof Islam.

Jalan Tengah : bagaimana seharusnya ?

Uraian diatas menunjukkan kepada kita betapa besar sumbangan peradaban Islam terhadap pengembangan filsafat dan ilmu pengetahuan, yang kita kenal sekarang. Meskipun sampai saat ini masih terdapat kecenderungan untuk menafikan pengaruh peradaban Islam terhadap perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan.  Diantaranya sebagaimana ungkapan Rene Sedillot, yang menyatakan bahwa sumbangsih peradaban Islam terhadap peradaban umat manusia, hanyalah berupa pembakaran perpustakaan dan penebangan hutan tanpa sejengkal tanah pun ditanami.

Semangat mencari kebenaran yang dirintis oleh pemikir Yunani dan hampir padam oleh karena jatuhnya Imperium Romawi, hidup kembali dalam kebudayaan Islam.  Wells (1951) menyatakan bahwa jika orang Yunani adalah Bapak Metode Ilmiah, maka kaum muslimin adalah Bapak Angkat Metode Ilmiah.  Metode Ilmiah diperkenalkan ke dunia barat oleh Roger Bacon (1214 – 1294) dan selanjutnya dimantapkan sebagai paradigma ilmiah oleh Francis Bacon (1561 – 1626).

Semangat para filosof dan ilmuwan Islam untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tidak lepas dari semangat ajaran Islam, yang menganjurkan para pemeluknya belajar segala hal, sampai ke Negeri Cina sekalipun, sebagaimana perintah Allah SWT dalam Al Qur’an dan hadits Nabi Muhammad SAW.

Mengenai pertentangan yang terjadi antara kaum filosof dengan kaum tasawuf, mengenai alat yang digunakan dalam rangka mencari kebenaran sejati, yang terus berlanjut hingga saat ini, seharusnya dapat dihindari, bilamana  kedua belah pihak menyadari bahwa Tuhan telah menganugerahi manusia dengan potensi akal (baca otak) dan hati/kalbu.  Kedua potensi itu bisa dimiliki oleh seseorang dalam kadar yang seimbang, namun dapat pula salah satu potensi lebih berkembang daripada lainnya. 

Orang yang sangat berkembang potensi akalnya, sangat senang menggunakan akalnya itu untuk memecahkan sesuatu.  Orang demikian ini lebih senang melakukan olah rasio daripada olah rasa dalam pencarian kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi pemikir atau filosof. 

Sementara itu orang yang sangat berkembang potensi hati atau kalbunya, sangat senang mengeksplorasi perasaannya untuk memecahkan suatu masalah.  Orang demikian ini amat suka melakukan olah rasa daripada olah rasio, untuk menemukan kebenaran sejati dan sangat berbakat menjadi seniman atau ahli tasawuf.
Oleh karena itu seharusnya tidak perlu terjadi pertentangan antara ahli filsafat dan ahli tasawuf, karena keduanya adalah anugerah tuhan yang seharusnya diterima dengan penuh rasa syukur.   Seharusnya filosof dan ahli tasawuf dapat hidup berdampingan dengan damai, dan saling melengkapi diantara keduanya, sebagaimana cerita Ibnu Tufail dalam Hayy-Ibnu Yakdzhan, yang telah diuraikan sebelumnya sebelumnya.

DAFTAR PUSTAKA


Durant, W.
1933    The story of philosophy. Simon and Schuster, New York. 
Hoesin, O.A.
1961    Filsafat Islam. Penerbit Bulan Bintang, Djakarta.
Praja, J.S.
2002    Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam. Penerbit Teraju, Jakarta
Sarton, G.
1927    Introduction to the history of science. Baltimore
Suriasumantri, J.S.
2002    Filsafat Ilmu, Sebuah Pengantar Populer, Cetakan Ke-15. Pustaka Sinar harapan, Jakarta.
Wells, H.G.
1951    The out line of history. Cassel and Company, London.
  Lampiran 1.  Perkembangan filsafat dunia (Hoesin, 1961)





FILSAFAT ISLAM oleh Harun Nasution



FILSAFAT ISLAM
oleh Harun Nasution

Di  dunia  Islam  bagian  Barat  yaitu di Andalus atau Spanyol Islam, sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang  sesudah serangan  al-Ghazali  tersebut.  Ibn  Bajjah (1082-1138) dalam bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat  bahwa  bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn  Yaqzan  malahan menghidupkan  pendapat  Mu'tazilah  bahwa  akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah keagamaan seperti  adanya  Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia  berbuat baik  dan  menjauhi  perbuatan  jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal orang yang terpencil di suatu  pulau,  jauh  dari  masyarakat  manusia, dapat mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran  ilmu  dari Tuhan,  seperti yang terdapat dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina.
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang  buku  Tahafut al-Tahafut  sebagai  jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah. 
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam  tidak  mempunyai permulaan  dalam  zaman,  konsep  al-Ghazali bahwa alam hadis, alam  mempunyai  permulaan  dalam  zaman,  menurut  Ibn  Rusyd mengandung arti bahwa ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan, dengan kata lain,  di  ketika itu  berada  dalam kesendirianNya. Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep  serupa  ini,  kata  Ibn  Rusyd,  tidak  sesuai  dengan kandungan   al-Qur'an.  Didalam  al-Qur'an  digambarkan  bahwa sebelum  alam  diciptakan  Tuhan,   telah   ada   sesuatu   di sampingNya. Ayat 7 dari surat Hud umpamanya mengatakan,
Dan  Dia-lah  yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air. 
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika  Tuhan  menciptakan langit  dan bumi telah ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula,
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap,  dan  air  serta uap  adalah  satu.  Selanjutnya  ayat  30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula,
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan   bumi  (pada  mulanya)  adalah  satu  dan  kemudian  Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air. 
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan  bumi  pada  mulanya berasal  dari  unsur  yang satu dan kemudian menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn  Rusyd  menentang  pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu  tidak  sesuai  dengan kandungan  al-Qur'an.  Yang  sesuai dengan kandungan al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf lain.  Di  samping  itu, kata khalaqa di dalam al-Qur'an, kata Ibn  Rusyd,  menggambarkan  penciptaan  bukan  dari   "tiada," seperti  yang dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti yang dikatakan para filsuf. Ayat 12  dari  surat  al-Mu'minun, menjelaskan,  Kami  ciptakan  manusia  dari  inti  sari tanah. Manusia di  dalam  al-Qur'an  diciptakan  bukan  dari  "tiada" tetapi  dari  sesuatu yang "ada," yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat di  atas.  Filsafat  memang  tidak  menerima konsep  penciptann  dari  tiada  (creatio ex nihilo). "Tiada," kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada," yang  terjadi ialah "ada" berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi, "ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah  Tuhan menjadi  "ada"  dalam  bentuk  bumi. Demikian pula langit. Dan yang  qadim  adalah  materi  asal.  Adapun  langit  dan   bumi susunannya adalah baru (hadis).
Qadimnya  alam,  menurut  penjelasan  Ibn  Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau ateisme, karena qadim  dalam  pemikiran filsafat  bukan  hanya  berarti sesuatu yang tidak diciptakan, tetapi juga berarti  sesuatu  yang  diciptakan  dalam  keadaan terus  menerus,  mulai  dari  zaman tak bermula di masa lampau sampai ke zaman tak berakhir di  masa  mendatang.  Jadi  Tuhan qadim  berarti  Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti alam  diciptakan  dalam  keadaan  terus menerus  dari  zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan demikian sungguhpun  alam  qadim,  alam  bukan  Tuhan,  tetapi adalah ciptaan Tuhan,
Bahwa  alam  yang  terus  menerus dalam keadaan diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat 47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
Janganlah   sangka  bahwa  Allah  akan  menyalahi  janji  bagi rasul-rasulNya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan  di  hari  bumi  ditukar  dengan  bumi  yang  lain dan (demikian pula) langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti,  tegasnya  di  hari kiamat,  Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit  yang lain.  Konsep  ini mengandung arti bahwa pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan menjadi  materi asal api, udara, air dan tanah kembali; dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit yang  lain  lagi.  Bumi dan  langit ini akan hancur pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan  langit  yang  lain  dan  demikianlah seterusnya  tanpa  kesudahan.  Jadi  pengertian  qadim sebagai sesuatu yang berada dalam kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an. 
Dengan  demikian al-Ghazali tidak mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filsuf dalam  filsafat  mereka  tentang  qadimnya alam.  Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak al-Farabi dan pihak  al-Ghazali  sama-sama  memberi  tafsiran  masing-masing tentang  ayat-ayat  al-Qur'an  mengenai  penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filsuf dengan pendapat al-Ghazali. 
Mengenai  masalah kedua, Tuhan tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa para filosof  tak pernah  mengatakan  demikian.  Menurut mereka Tuhan mengetahui perinciannya; yang mereka  persoalkan  ialah  bagaimana  Tuhan mengetahui  perincian  itu.  Perincian  berbentuk  materi  dan materi  dapat  ditangkap  pancaindra,  sedang  Tuhan  bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra. 
Dalam  hal  pembangkitan  jasmani,  Ibn  Rusyd  menulis  dalam Tahafut al-Tahafut bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut  hal itu.  Dalam  pada  itu  ia  melihat  adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di  dalam  Tahajut  al-Falasifah  ia menulis  bahwa  dalam  Islam  tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi di dalam buku lain  ia mengatakan,   menurut   kaum   sufi,   yang  ada  nanti  ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan jasmani tidak ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga  tak  mempunyai  argumen  kuat untuk  mengkafirkan  kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak tahunya Tuhan tentang  perincian  di  alam  dan  tidak  adanya pembangkitan   jasmani.  Ini  bukanlah  pendapat  filsuf,  dan kelihatannya adalah kesimpulan yang  ditarik  al-Ghazali  dari filsafat mereka.
Dalam  pada itu Ibn Rusyd, sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan  bahwa  antara  agama  dan   falsafat   tidak   ada pertentangan,  karena  keduanya  membicarakan  kebenaran,  dan kebenaran tak berlawanan dengan  kebenaran.  Kalau  penelitian akal  bertentangan  dengan  teks  wahyu  dalam  al-Qur'an maka dipakai ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti  ta'wil  adalah meningga]kan  arti  lafzi  untuk  pergi ke arti majazi. Dengan kata lain,  meninggalkan  arti  tersurat  dan  mengambil  arti tersirat.  Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya. 
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd  mengadakan  harmoni.  Dan dalam   harmoni   ini   akal   mempunyai   kedudukan   tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini sampai ke Eropa dan  di  sana dikenal  dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran  ganda,  yang  mengatakan  bahwa  pendapat  filsafat benar,   sungguhpun   menurut  agama  salah.  Agama  mempunyai kebenarannya sendiri. Dan averroisme inilah  yang  menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di Eropa.
Tak  lama  sesudah  zaman  Ibn  Rusyd  umat  Islam  di Spanyol mengalami kemunduran besar dan kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya  tinggal  di  sekitar  Granada di tangan Banu Nasr. Pada 1492 dinasti ini terpaksa menyerah kepada Raja Ferdinand  dari Castilia. Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulalah pemikiran rasional dan ilmiah dari dunia  Islam bagian barat.
Di  dunia  Islam  bagian  timur,  kecuali  di kalangan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat  al-Ghazali  bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan dari  pada  jalan  filsafat.  Hilanglah  pemikiran   rasional, filosofis  dan  ilmiah  dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam dikejutkan oleh kemajuan  Eropa  dalam bidang  pemikiran,  filsafat dan sains, sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh  metode  berpikir  Ibn Rusyd yang disebut averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai  ditimbulkan  oleh  pemikir-pemikir  pembaruan   seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.

DAFTAR KEPUSTAKAAN


De Boer, TJ., History of Philosophy in Islam, Tranl. E.R. Jones, London, Luzac & Co., 1970.

Al-Farabi, Rasail, Hyderabad, t.t.

Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.

Al-Ghazali, Al-Munqiz min al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni, 1961.

Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983.

Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut, Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.

Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London, J.E. Brill, 1969.

Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B. al-Halabi, 1938.

O. Leary, De Lacy, How Greek Science Passed to The Arabs, London, Routledge & Kegan Paul, 1964.

Sharif M.M., ed., A History of Muslim Philosophy, Weisbaden, 1963.

--------------------------------------------

Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA 20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983, 7507173
Fax. (021) 7507174

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.