About

Kamis, 29 Januari 2015

Keberadaan Dunia dalam Kerangka Pemikiran Barat



KEBERADAAN  DUNIA  DALAM KERANGKA  PEMIKIRAN BARAT

 

METODOLOGI PENELITIAN

            Dalam menguji kebenaran suatu proposisi kita akan menggunakan salah satu teori dari beberapa teori yang ada. Teori itu antara lain:
1.             Teori Korespondensi
Proposisi dikatakan benar jika terdapat ksesuaian antara konsep, ide, gagasan, dan kenyataan.
2.             Teori Koherensi
Proposisi dikatakan benar jika ide saling bersesuaian.
3.             Teori Pragmatisme
Proposisi dikatakan benar jika ada kesesuaian secara korespondensi dan kegunaan pragmatis.
            Karena cakupan masalah kita berada seputar ilmu dan keyakinan, maka kita akan mengambil teori yang bersifat pragmatis.
            Secara ontologi, cakupan masalah yang kita dekati yaitu dalam dataran idea, empiris, dan transenden.
a)             Dataran idea; yaitu realitas kebenaran melalui proses berpikir.
b)             Dataran empiris; yaitu realitas kebenaran melalui proses inderawi.
c)             Dataran transenden; yaitu realitas kebenaran tidak melalui proses idea atau empiris melainkan melalui rasa.
Pertanyaan yang ingin kita jawab dari masalah di atas adalah:
1.    Bagaimana kita mengetahui alam nyata dari segi keilmuan?
2.    Bagaimana hubungan antara rasio dan indera dalam pengenalan realitas?


PEMBAHASAN

            Sebagai acuan dalam menyelesaikan masalah di atas maka di sini kita akan sedikit mengungkap pemikiran dan teori dari beberapa filosof yang pernah hidup pada awal jaman modern. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi bahwa dalam pembahasan teori kita akan mengangkat tiga aliran filsafat yang berhubungan  dengan rasio dan indera. Aliran filsafat itu yakni rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Faham rasionalisme mewakili rasio atau kita dalam memperoleh pengetahuan mengenai alam nyata. Dan faham empirisme mewakili indera kita dalam memperoleh pengetahuan melalui indera. Dan di sini akan sedikit diuraikan mengenai kedua faham filsafat itu.

Rasionalisme
            Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan menguji pengetahuan. Jika empirisisme mengatakan bahwa pengetahuan diperoleh dengan jalan mengalami obyek empiris, maka rasionalisme mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
            Rasionalisme ada dua macam, yaitu: rasionalisme dalam bidang agama dan rasionalisme dalam bidang filsafat. Dalam bidang agama, rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat rasionalisme adalah lawan empirisisme.
            Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisisme, rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika dan matematika.

Empirisme
            Emprisisme adalah suatu doktrin filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisisme diambil dari bahasa Yunani empeiria yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisisme adalah lawan rasionalisme. Untuk memahami isi doktrin ini perlu dipahami lebih dahulu dua ciri pokok empirisisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori tentang pengetahuan.
            Teori makna pada aliran empirisisme biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat di dalam bukunya, An Essay Concerning Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea bawaan (innate idea) pada orang-orang rasionalis terutama Descartes. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan, keadaarmya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang oleh Locke disebut inner sense (pengindera dalam).

Kritisisme
            Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat dibagi atas dua periode jaman pra-kritis dan jaman kritis. Dalam jaman pra-kritis ia menganut pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff clan kawan-kawannya. Tetapi karena dipengaruhi oleh Hume, berangsur-angsur Kant meninggalkan rasionalisme. la sendiri mengatakan bahwa Hume-lah yang membangunkan dia dari tidur dogmatisnya. Yang menyusul ialah jaman kritis. Dan justeru dalam jaman kedua inilah Kant mengubah wajah filsafat secara radikal. Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan ia mempertentangkan kritisisme dengan dogmatisme. Menurut dia, kritisisme adalah filsafat yang memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan clan batas-batas rasio.       Kant adalah filsuf pertama yang mengusahakan penyelidikan ini. Semua filsuf yang mendahuluinya tergolong dalam dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu.

PERUMUSAN TEORI

Empirisme

John Locke (1632-1704)
            Yang pertama kita kemukakan adalah seorang filosof yang bernama John Locke, seorang tokoh empirisme dari Inggris. Locke mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari akal, maka kita kutip perkataan dari seorang filosof Inggris John Locke. Locke menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman. Ini berarti bawa pengetahuan hanya dapat diperoleh hanya dengan melalui pancaindera. Apa yang kita rasakan, apa yang kita lihat, apa yang kita dengar, dan segala sesuatu yang diperoleh lewat indera merupakan sumber pengetahuan. Jadi, tidak ada jalan lain bagi pengetahuan untuk masuk selain melalui indera (lihat A. Tafsir 1992:138).
            John Locke mengemukakan sebuah pandangan yang merupakan konsep epistemologi dari teori pengetahuan empirisme. Tabula rasa/lilin pasif (blank tablet). Di dalam teori ini John Locke megemukakan tiga istilah[1] :
1.    Sensasi/penginderaan (sensation)
Oleh orang empirisme modern sering disebut data inderawi (sense data).
2.    Idea-idea (ideas)
idea di sini bukan idea dalam ajaran Plato, melainkan berupa persepsi, pemikiran, atau pengertian yang tiba-tiba tentang suatu obyek.
3.    Sifat (quality)
Sifat-sifat seperti warna merah, bulat, ringan, dan lain-lain.
            Teori John Locke di atas adalah anggapan umum (common sense) mengenai perbedaan fisik suatu obyek yang ada di dunia nyata yang terempiris oleh indera dengan gambaran fisik obyek yang ada di dalam benak kita. Menurut Locke, mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai suatu “kertas putih”, kemudian melalui pancaindera, kertas putih itu diisi dengan pengalaman-pengalaman yang diperoleh dari alam nyata. Dan pengalaman-pengalaman yang kita perolehlah yang menjadi pengetahuan bagi kita.
Rene Descartes. Ia adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis, yang dikenal sebagai bapak filsafat modern.

David Hume (1711-1776)
            Teori Locke ini ternyata mendapat dukungan juga dari David Hume, seorang empirisme seperti halnya John Locke. Hume mengatakan bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indera. Ia menolak mentah-mentah metafisika dan menganggap bahwa jiwa itu tidak ada. Lebih jauh Hume menyimpulkan bahwa kita mengetahui tentang sebab akibat bukan melalui akal, melainkan melalui pengalaman atau indera. Antara Locke dan Hume terdapat sebuah persamaan, bahwa eksistensi realitas dapat diperoleh melalui pancaindera.

Rasionalisme

Rene Descartes (1596-1650)           
            Aliran filsafat yang berasal dari Descartes biasanya disebut rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan rasio. Dalam rasio terdapat idea-idea dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dan sebetulnya, Descartes sendiri sudah termasuk rasionalisme itu.
            Kelahiran filsafat Descartes merupakan titik awal kemenangan akal atas iman (hati) pada Jaman Modern. Ini merupakan reaksi keras terhadap dominasi iman (hati) pada Abad Pertengahan yang notabene dikuasai oleh gereja. Cara ini kemudian diikuti oleh filosof-filosof pada masa itu. Laksana bendungan yang jebol, dalam waktu yang relatif singkat banyak sekali pemikir yang muncul dalam persentase yang jauh lebih banyak bila dibandingkan dengan filosof Abad Pertengahan. Akal telah menang terhadap dominasi iman.
Ada empat hal pokok yang diutarakan oleh Descartes[2]:
1. Metode cogito ergo sum
            “Cogito ergo sum” berarti “Aku berpikir maka aku ada”. Arti dari berpikir ini adalah menyadari. Ini artinya, jika aku ragu maka aku menyadari bahwa aku sedang ragu. Kesadaran itulah yang menyatakan bahwa aku benar-benar ada; karena aku sedang ragu.
            Dalam metode ini berjalan suatu deduksi yang tegas. Bila Descartes telah menemukan suatu idea yang jelas, maka ia menggunakannya sebagai premis yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain yang juga jelas. Seluruh proses penyimpulan itu terlepas dari data empiris; keseluruhannya merupakan proses rasional.
            Setelah fondasi itu ditemukan, mulailah ia mendirikan bangunan filsafat di atasnya. Akal itulah basis yang paling terpercaya dalam berfilsafat, demikian menurut Descartes.
2. Idea-idea bawaan
            Karena fenomena apa pun dari luar tidak dapat dipercayai, maka menurut Descartes, untuk mencari kebenaran-kebenaran harus dilakukan di dalam diri dengan menggunakan metode tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes berpendapat bahwa dalam diri dapat ditemukan tiga "idea bawaan" (innate ideas). Ketiga idea yang sudah ada dalam diri sejak kita lahir ketiga idea itu antara lain:
a)             Pemikiran.
Sebab manusia memahami dirinya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat dirinya.
b)             Tuhan sebagai Wujud yang sempurna.
Karena manusia mempunyai idea "sempurna", maka harus ada penyebab sempurna untuk idea itu. Karena idea manusia tidak bisa melebihi idea penyebabnya maka Wujud yang sempurna itu tidak bisa lain daripada Tuhan.
c)             Keluasan.
Manusia mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
3. Substansi
            Descartes menyimpulkan bahwa - selain dari Tuhan - ada dua substansi:
a. Jiwa yang hakekatnya adalah pemikiran dan,
b. Materi yang hakekatnya adalah keluasan.
            Tetapi, karena Descartes telah meragukan adanya dunia di luar dirinya, maka ia mengalami banyak kesulitan untuk membuktikan tentang ada-nya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima adanya dunia materi ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya la memberikan saya idea "keluasan", sedangkan di luar tidak ada sesuatu pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa Wujud yang sempurna menipu saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia materiil. Dengan demikian Descartes membuktikan adanya dunia melalui adanya Tuhan.
4. Manusia
            Manusia terdiri dari kedua substansi tadi. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya tubuh tidak lain daripada suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi sama sekali terpisah dari substansi lain, maka kiranya sudah nyata bahwa Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan sebaliknya pengaruh jiwa atas tubuh. Dengan kata lain, Descartes tidak mampu menyatukan antara jiwa yang bersifat abstrak dan materi yang bersifat kongkret.
            Di sini jelaslah bahwa kita mengalami kesulitan untuk menemukan jawaban, manakah yang paling benar dari kedua pemikiran di atas?  Apakah rasio yang berperan sebagai asal dari pengetahuan ataukah pengalaman sebagai asal dari pengetahuan.
            Jika kita hendak membela akal, maka kita benar-benar harus meruntuhkan pemikiran yang membela indera atau dengan kata lain kita harus menjatuhkan empirisme. Jika indera tanpa rasionalisme maka tak mungkin bagi kita untuk memperoleh pengetahuan yang terstruktur di dalam rasio kita, karena pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja.
            Dan jika kita membela empirisme tentunya kita harus menjatuhkan rasionalisme. Menurut empirisme bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Akan tetapi, apakah yang dapat kita ketahui jika materi dan indera kita hilangkan? Dapatkah kita memperoleh pengetahuan?(lihat Bertens 1993:50).
            Maka jelaslah untuk memecahkan masalah itu kita harus mencari jalan tengah atau sintesis dari kedua tesis di atas. Mungkinkah kita memperoleh pengetahuan dari indera dan rasio?
            Untuk lebih jelasnya kita tengok seorang filosof berkebangsaan Jerman Immanuel Kant. Lewat buku Critique of Pure Reason Kant memberikan sebuah pemecahan masalah dari kedua pemikiran di atas.

Kritisisme
Immanuel Kant (1724-1804)
            Immanuel Kant termasuk filsuf yang terbesar dalam sejarah filsafat modern. Tentang riwayat hidupnya tidak dapat dikisahkan hal-hal yang mencolok mata. la lahir di Koenigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Dalam universitas di kota asalnya ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya menjadi profesor di sana. Dalam bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana rasionalisme yang pada waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman. Kant tidak kawin dan selalu hidup tertib, sehingga ia dapat mencurahkan seluruh waktu dan tenaga kepada karya-karya filosofisnya. Karya Kant kita uraikan sebagai berikut:
a. Pada taraf indera
            Menurut Kant, pengalaman tidak lain adalah lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman (pengenalan melalui indera) mengatakan kepada kita apa-nya, bukan apa ia sesungguhnya. Dan pengalaman merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsur posteriori. Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memerankan peranan materi.
            Dari mana kita memperoleh pengetahuan yang kebenarannya bersifat umum? Jawabnya ialah: Bukan dari pengalaman karena pengalaman hanya memberikan sensasi sepotong-sepotong, yang dapat mengubah urutan dan kekuatan kebenaran itu pada masa depan. Kebenaran apriori itulah kebenaran umum.
            Menurut Kant, unsur apriori itu sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengalaman inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan; ruang bukan merupakan “ruang pada dirinya”.  Dan waktu tidak merupakan suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan bisa ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi. Atau dengan kata lain, keduanya bermula dari struktur subyek sendiri. Jadi, pengalaman tidak menunjukkan hakekat obyek yang dialami. Oleh karena itu pengalaman tidak dapat menghasilkan kebenaran umum, akal kitalah yang biasanya ingin memperoleh kebenaran umum itu (lihat Bertens 1993:60-61).
            Dari sini kita mengetahui bahwa pengetahuan berdasarkan pengalaman selalu bersifat subyektif; subyektifitas itu muncul dari berbagai sumber, dari obyek itu sendiri dan dari subyek. Di sini Kant memperlihatkan bahwa kebenaran umum harus bebas dari pengalaman, harus jelas dan pasti dengan sendirinya. Pengetahuan yang umum, kebenaran yang umum, tetaplah benar tidak peduli pengalaman yang menyertainya kemudian. Kebenaran umum itu bahkan benar sekalipun belum di alami (A. Tafsir 1992:155).
b. Pada taraf akal budi
            Kebenaran apriori itu, kita peroleh melalui struktur jiwa kita yang inheren. Di sini tesis Kant yang utama terletak. Masih ingat? Menurut Locke, jiwa manusia itu laksana lilin pasif. Bagi Kant, jiwa itu tidak laksana lilin pasif. Nah, di sinilah tesis itu. Jiwa kita merupakan organ yang aktif; demikian Kant. Jiwa itu, inilah yang dimaksud struktur jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi itulah maka pengalaman yang masuk, yang tadinya kacau, menjadi suatu pemikiran yang tersusun. Sampai di sini sebenarnya uraian Kant tentang bagaimana caranya pengetahuan a priori itu masuk ke dalam kita, belum juga tuntas; cara mengoordinasi itu belum dijelaskannya.
            Usaha untuk meneruskan uraian inilah, yaitu usaha untuk menjelaskan bagaimana struktur jiwa yang inheren itu, yang diberinya judul filosofi transendental, karena ia merupakan masalah pengalaman yang transendens. Jadi, menurut Kant, ada pengalaman yang transendens. Menurutnya, pengalaman yang transendens inilah yang mampu menghasilkan pengetahuan yang transendens, yaitu pengetahuan yang tidak banyak berisi obyek, tetapi lebih banyak berisi konsep obyek yang apriori. Sampai di sini cara masuknya pengetahuan apriori itu belum juga jelas. Mari kita ikuti uraian ini selanjutnya.
            Ada dua tahap dalam proses ini sejak diserapnya pengalaman material sampai terbentuknya pemikiran akhir itu. Tahap pertama adalah proses mengkoordinasi sensasi-sensasi dengan cara memasukkannya ke dalam acuan-acuan berupa persepsi ruang dan waktu. Tahap kedua ialah mengkoordinasi persepsi-persepsi yang sudah masuk acuan ruang dan waktu itu dengan cara memasukannya ke dalam kategori pemikiran. Tahap pertama itu disebut Kant estetika transendental, tahap kedua disebutnya logika transendental. Istilah-istilah ini penting diperhatikan karena istilah-istilah inilah yang akan menjelaskan cara masuknya pengetahuan yang apriori itu. Istilah-istilah itulah yang akan memperjelas cara kerja struktur jiwa yang inheren tersebut (lihat A. Tafsir 1992:138).
            Kant membedakan akal budi ("Verstand") dengan rasio ("Vernunft"). Tugas akal budi ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan kata lain, akal budi mengungkapkan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah apriori yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan istilah "kategori". Kant berpendapat bahwa ada 12 kategori, tetapi di sini kita sebut hanya dua kategori terpenting, yaitu substansi dan kausalitas.
            Jika misalnya kita membentuk putusan bahwa A menyebabkan B, maka sahnya putusan itu tidak langsung berasal dari realitas, melainkan dikarenakan sebab kita harus memikirkan hubungan antara data A dan data B berdasarkan kategori kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant tersebut dapat digambarkan dengan contoh kasus berikut ini. Seorang laki-laki rnemakai kaca mata yang kacanya berwarna merah, maka ia melihat segala sesuatunya berwarna merah. Dan itu bukan berarti bahwa benda-benda itu berwarna merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana, pengenalan dilakukan, memuat suatu faktor (kaca berwarna merah) yang karenanya ia terpaksa hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah.
            Demikian haInya juga dengan akal budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa kita harus memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan sebab-akibat atau menurut kategori lainnya (lihat Bertens 1993:60-61).

c. Pada taraf rasio
            Tugas rasio ialah menarik kesimpulan dari putusan-putusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi dengan mengadakan putusan-putusan, demikian pun rasio menggabungkan putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga idea, yaitu jiwa, dunia dan Tuhan. Dengan idea, Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin kesatuan terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala yang ada (Tuhan).
            Ketiga idea tersebut mengatur argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketiga idea sendiri tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada idea-idea. Tetapi justeru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya, metafisika berusaha membuktikan bahwa Tuhan adalah penyebab pertama alam semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan untuk pengenalan manusia. Adanya Tuhan dan immortalitas jiwa tidak dapat dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika itu sia-sia saja. Dan dengan panjang lebar Kant memperlihatkan bahwa bukti-bukti untuk adanya Tuhan yang diberikan dalam filsafat pra-kritis semuanya bersifat kontradiktoris.
Dari uraian tersebut dapat kita ambil beberapa hipotesis:
1.             Dunia adalah segala sesuatu yang berada di luar diri manusia yang tidak bersifat ketuhanan (Descartes), atau segala sesuatu yang kita peroleh melalui indera dan akal yang menjadi kebenaran mutlak (Kant).
2.             Dunia dapat kita ketahui melalui indera dan akal (rasio) kita.
            Sekarang kita melangkah ke tahap selanjutnya, yaitu membuktikan secara teoritis hipotesis yang telah kita peroleh.

VERIFIKASI

Dari hasil pembahasan di atas dapat kita peroleh beberapa hipotesis, yakni:
1.             Dunia adalah segala sesuatu yang berada di luar diri manusia yang tidak bersifat ketuhanan (Descartes), atau segala sesuatu yang kita peroleh melalui indera dan akal yang menjadi kebenaran mutlak (Kant).
2.             Dunia dapat kita ketahui melalui indera dan akal (rasio) kita.

Dan masalah yang hendak kita pecahkan adalah:
“Bagaimanakah ilmu pengetahuan membuktikan bahwa dunia ini ada ditinjau dari pengenalan panca indera dan akal?”
            Kita bahas satu persatu pertanyaan di atas dan mencoba untuk menghubungkannya dengan hipotesis yang kita peroleh. Dan kajian ontologisnya yaitu:
a)             Dataran idea; yaitu realitas kebenaran melalui proses berpikir. Untuk dataran idea tidak kita masukkan ke dalam proses verifikasi, karena hasil hipotesis itu sendiri sudah sesuai dengan kajian cara berpikir yang benar.
b)             Dataran empiris; yaitu realitas kebenaran melalui proses inderawi.
c)             Dataran transenden; yaitu realitas kebenaran tidak melalui proses idea atau empiris melainkan melalui rasa. Karena dataran transenden tidak sesuai dengan batasan masalah yang diajukan di atas, maka dalam bab ini dataran transenden tidak dimasukan sebagai pembuktian kebenaran.

A. Dalam dataran empiris
Materialisme
            Secara materialisme, hipotesis di atas adalah benar, bahwa apa yang kita indera adalah apa yang ada adalah yang benar-benar ada. Ini karena menurut kaum materialisme, hakekat kebenaran itu adalah segala sesuatu yang ada, dan yang mungkin ada adalah sebuah ilusi atau imajinasi. Karena itu, yang mungkin ada adalah tidak benar.
            Sehingga menurut materialisme, hipotesis di atas dapat dikatakan benar.

2. Positivisme
            Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Sudah nyata kiranya bahwa dengan demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan pada umumnya. Filsafat juga harus meneladan contoh itu. Oleh karenanya tidak mengherankan bila positivisme menolak cabang filsafat yang biasanya disebut metafisika. Menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang sebenarnya, bagi positivisme tidak mempuyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan, termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat adalah mengkoordinir ilmu-ilmu lain dan memperlihatkan kesatuan antara begitu banyak ilmu yang beraneka ragam coraknya. Tentu saja, bersangkut paut dengan apa yang dicita-citakan oleh empirisme. Positivisme juga mengutamakan pengalaman. Tetapi harus ditambahkan bahwa positivisme membatasi diri pada pengalaman obyektif saja, sedangkan empirisme Inggris, menerima juga pengalaman batiniah yang bersifat subyektif sebagai sumber pengetahuan.
            Positivisme, memfokuskan obyek kajiannya pada fakta-fakta yang terempiris. Apapun yang dapat kita kita adalah sebuah fakta, dan fakta ini merupakan sebuah kebenaran mutlak. Hipotesis di atas berhubungan dengan apa-apa yang ada di luar diri kita, berarti hipotesis di atas melibatkan fakta-fakta empiris yang tentu saja secara keilmuan sesuai dengan faham positivisme. Maka di sini jelaslah bahwa apa-apa yang ada di luar diri kita yang mampu kita indera adalah merupakan suatu kebenaran. Karena apapun yang ada di luar adalah fakta-fakta yang tak dapat kita sangkal kebenarannya.                    
3. Empirisme
            Bertentangan dengan rasionalisme yang mengindahkan rasio sebagai sumber utama pengenalan, maka pada masa sesudah Descartes di Inggris timbul suatu aliran lain yang dinamakan empirisme. Istilah ini berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti "pengalaman inderawi". Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan yang dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Tidak mengherankan bila rasionalisme dan empirisme masing-masing mempunyai pendirian yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi.
            Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi rnerupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.

 

B. Dalam Dataran Transenden

            jika dunia dinilai dari rasa, maka kitalihat mimpi si anak dalam cerita di atas. Apakah ia seekor kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi manusia, ataukah seorang anak yang bermimpi menjadi seekor kupu-kupu. Jika anak itu memang seekor kupu-kupu, maka ia adalah kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi seorang manusia, dan jika memang ia adalah seorang manusia, maka ia adalah seorang anak yang bermimpi menjadi seekor kupu-kupu.
            Dunia mimpi adalah dunia yang tidak ada sekaligus ada. Mimpi itu tidak dapat kita indera, namun mimpi itu dapat kita rasakan keberadaannya pada saat kita bermimpi.
Mimpi itu “ada” dalam dunianya yaitu di dalam pikiran kita. Namun mimpi tidak ada dalam realitas karena tidak mampu kita indera. Di sinilah fungsi “rasa” untuk membuktikan keberadaan dunia yang bersifat non-empirik. Dan di sini pula fungsi rasa digunakan sebagai bukti keberadaan Tuhan.

            “Jika kita mengasumsikan dunia tidak memiliki permulaan dalam waktu, maka sampai ke setiap momen yang ada suatu keabadian telah berlalu, dan telah hilang dalam dunia serangkaian tak terhingga dari keadaan-keadaan benda yang terus-menerus. Kini ketakterhinggaan rangkaian itu mencakup fakta bahwa ia tidak pernah dapat disempurnakan lewat sintesis terus-menerus. Jadi, pada gilirannya bahwa mustahil bagi rangkaian dunia tak terhingga untuk hilang, dan bahwa suatu permulaan dunia oleh karena itu merupakan kondisi niscaya bagi eksistensi dunia”.
(Immanuel Kant)

           
KESIMPULAN

            Sehingga dapat kita simpulkan bahwa apa yang dikatakan Kant itu adalah benar,
1)   Dunia itu ada, dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada.
Apakah benar dunia ada? Pertanya itu bukanlah pertanyaan ilmiah, melainkan pertanyaan filsafat. Oleh karena itu ilmu yang kita pelajari itu adalah ilmu pengetahuan empiris, maka landasannya adalah dunia empiris itu sendiri, yang eksistensinya tidak diragukan lagi. Dunia itu ada diterima oleh ilmu dengan begitu saja, dengan apriori atau dengan kepercayaan.
2)   Dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera.
Mungkin ada jalan-jalan lain untuk mendapatkan pengetahuan mengenai dunia empiris itu, akan tetapi bagi ilmu satu-satunya ialah jalan untuk mengetahui fakta limiah adalah melalui pancaindera. Adanya penyempurnaan terhadap pancaindera manusia dengan membuat alat-alat ekstension yang lebih halus ... tidak mengurangi kenyataan bahwa pengetahuan tentang dunia empiris itu diperoleh melalui pancaindera. limu bersandar kepada kemampuan pancaindera manusia beserta alat-alat ekstentionnya.
            Oleh karena itu, dapat kita tangkap sebuah pengetahuan bahwa yang disebut dengan dunia adalah apa yang ia rasakan pada saat itu. Baik perasaan itu ia peroleh melalui pancaindera ataupun melalui akal. Dan sebagai kesimpulan akhir dapat kita kemukakan bahwa “dunia” ini benar-benar “Ada”.
           
“Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi neraka jahanam) untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
(Q.S. Al-A'raf  7:179)



DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Tafsir.
1992    Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales Sampai James, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Jujun S. Suriasumantri,
1996    Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, CV. Muliasari, Jakarta.
Kees Bertens.
1993    Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius, Yogyakarta.
Saifuddin Anshari, E.
1987    Ilmu, Filsafat, dan Agama, Bina Ilmu, Surabaya.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
2001    Filsafat Ilmu, Penerbit Yogyakarta, Yogyakarta.


[1]A. Tafsir, Filsafat Umum, hlm. 139-140
[2]Dr. K. Bertens, Ringkasan Sejarah Filsafat, hlm. 46

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.