KEBERADAAN DUNIA DALAM KERANGKA PEMIKIRAN BARAT
METODOLOGI PENELITIAN
Dalam menguji kebenaran suatu
proposisi kita akan menggunakan salah satu teori dari beberapa teori yang ada.
Teori itu antara lain:
1.
Teori Korespondensi
Proposisi dikatakan benar jika terdapat ksesuaian antara konsep, ide,
gagasan, dan kenyataan.
2.
Teori Koherensi
Proposisi dikatakan benar jika ide saling bersesuaian.
3.
Teori Pragmatisme
Proposisi dikatakan benar jika ada kesesuaian secara korespondensi dan
kegunaan pragmatis.
Karena cakupan masalah kita berada
seputar ilmu dan keyakinan, maka kita akan mengambil teori yang bersifat
pragmatis.
Secara ontologi, cakupan masalah
yang kita dekati yaitu dalam dataran idea, empiris, dan transenden.
a)
Dataran idea; yaitu realitas
kebenaran melalui proses berpikir.
b)
Dataran empiris; yaitu realitas
kebenaran melalui proses inderawi.
c)
Dataran transenden; yaitu realitas
kebenaran tidak melalui proses idea atau empiris melainkan melalui rasa.
Pertanyaan yang
ingin kita jawab dari masalah di atas adalah:
1.
Bagaimana kita mengetahui alam
nyata dari segi keilmuan?
2.
Bagaimana hubungan antara rasio
dan indera dalam pengenalan realitas?
PEMBAHASAN
Sebagai
acuan dalam menyelesaikan masalah di atas maka di sini kita akan sedikit
mengungkap pemikiran dan teori dari beberapa filosof yang pernah hidup pada
awal jaman modern. Namun, ada beberapa hal yang perlu kita garis bawahi bahwa
dalam pembahasan teori kita akan mengangkat tiga aliran filsafat yang
berhubungan dengan rasio dan indera.
Aliran filsafat itu yakni rasionalisme, empirisme, dan kritisisme. Faham
rasionalisme mewakili rasio atau kita dalam memperoleh pengetahuan mengenai
alam nyata. Dan faham empirisme mewakili indera kita dalam memperoleh
pengetahuan melalui indera. Dan di sini akan sedikit diuraikan mengenai kedua
faham filsafat itu.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham filsafat
yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah alat terpenting dalam memperoleh
pengetahuan dan menguji pengetahuan. Jika empirisisme mengatakan bahwa
pengetahuan diperoleh dengan jalan mengalami obyek empiris, maka rasionalisme
mengajarkan bahwa pengetahuan diperoleh dengan cara berpikir. Alat dalam
berpikir itu ialah kaidah-kaidah logis atau kaidah-kaidah logika.
Rasionalisme ada dua macam, yaitu:
rasionalisme dalam bidang agama dan rasionalisme dalam bidang filsafat. Dalam
bidang agama, rasionalisme adalah lawan autoritas, dalam bidang filsafat
rasionalisme adalah lawan empirisisme.
Rasionalisme dalam bidang agama
biasanya digunakan untuk mengkritik ajaran agama, rasionalisme dalam bidang
filsafat terutama berguna sebagai teori pengetahuan. Sebagai lawan empirisisme,
rasionalisme berpendapat bahwa sebagian dan bagian penting pengetahuan datang
dari penemuan akal. Contoh yang paling jelas ialah pemahaman kita tentang logika
dan matematika.
Empirisme
Emprisisme adalah suatu doktrin
filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta
pengetahuan itu sendiri, dan mengecilkan peranan akal. Istilah empirisisme
diambil dari bahasa Yunani empeiria
yang berarti coba-coba atau pengalaman. Sebagai suatu doktrin, empirisisme
adalah lawan rasionalisme. Untuk memahami isi doktrin ini perlu dipahami lebih
dahulu dua ciri pokok empirisisme, yaitu mengenai teori tentang makna dan teori
tentang pengetahuan.
Teori makna pada aliran empirisisme
biasanya dinyatakan sebagai teori tentang asal pengetahuan, yaitu asal-usul
idea atau konsep. Pada Abad Pertengahan teori ini diringkaskan dalam rumus Nihil est in intellectu quod non prius
fuerit in sensu (tidak ada sesuatu di dalam pikiran kita selain didahului
oleh pengalaman). Sebenarnya pernyataan ini merupakan tesis Locke yang terdapat
di dalam bukunya, An Essay Concerning
Human Understanding, yang dikeluarkannya tatkala ia menentang ajaran idea
bawaan (innate idea) pada orang-orang
rasionalis terutama Descartes. Jiwa (mind) itu, tatkala orang dilahirkan,
keadaarmya kosong, laksana kertas putih atau tabula rasa, yang belum ada tulisan di atasnya, dan setiap idea
yang diperolehnya mestilah datang melalui pengalaman; yang dimaksud dengan
pengalaman di sini ialah pengalaman inderawi. Atau pengetahuan itu datang dari
obervasi yang kita lakukan terhadap jiwa (mind) kita sendiri dengan alat yang
oleh Locke disebut inner sense
(pengindera dalam).
Kritisisme
Kehidupan Kant sebagai filsuf dapat
dibagi atas dua periode jaman pra-kritis dan jaman kritis. Dalam jaman
pra-kritis ia menganut pendirian rasionalistis yang dilancarkan oleh Wolff clan
kawan-kawannya. Tetapi karena dipengaruhi oleh Hume, berangsur-angsur Kant
meninggalkan rasionalisme. la sendiri mengatakan bahwa Hume-lah yang
membangunkan dia dari tidur dogmatisnya. Yang menyusul ialah jaman kritis. Dan
justeru dalam jaman kedua inilah Kant mengubah wajah filsafat secara radikal.
Kant sendiri menamakan filsafatnya sebagai kritisisme dan ia mempertentangkan
kritisisme dengan dogmatisme. Menurut dia, kritisisme adalah filsafat yang
memulai perjalanannya dengan terlebih dahulu menyelidiki kemampuan clan
batas-batas rasio. Kant adalah
filsuf pertama yang mengusahakan penyelidikan ini. Semua filsuf yang
mendahuluinya tergolong dalam dogmatisme, karena mereka percaya mentah-mentah
pada kemampuan rasio tanpa penyelidikan lebih dahulu.
PERUMUSAN TEORI
Empirisme
John Locke (1632-1704)
Yang pertama kita kemukakan adalah
seorang filosof yang bernama John Locke, seorang tokoh empirisme dari Inggris.
Locke mengatakan bahwa pengetahuan berasal dari akal, maka kita kutip perkataan
dari seorang filosof Inggris John Locke. Locke menyatakan bahwa semua
pengetahuan berasal dari pengalaman. Ini berarti bawa pengetahuan hanya dapat
diperoleh hanya dengan melalui pancaindera. Apa yang kita rasakan, apa yang
kita lihat, apa yang kita dengar, dan segala sesuatu yang diperoleh lewat
indera merupakan sumber pengetahuan. Jadi, tidak ada jalan lain bagi
pengetahuan untuk masuk selain melalui indera (lihat A. Tafsir 1992:138).
John Locke mengemukakan sebuah
pandangan yang merupakan konsep epistemologi dari teori pengetahuan empirisme.
Tabula rasa/lilin pasif (blank tablet).
Di dalam teori ini John Locke megemukakan tiga istilah[1] :
1.
Sensasi/penginderaan (sensation)
Oleh orang empirisme modern sering disebut data inderawi (sense data).
2.
Idea-idea (ideas)
idea di sini bukan idea dalam ajaran Plato, melainkan berupa persepsi,
pemikiran, atau pengertian yang tiba-tiba tentang suatu obyek.
3.
Sifat (quality)
Sifat-sifat seperti warna merah, bulat, ringan, dan lain-lain.
Teori John Locke di atas adalah
anggapan umum (common sense) mengenai
perbedaan fisik suatu obyek yang ada di dunia nyata yang terempiris oleh indera
dengan gambaran fisik obyek yang ada di dalam benak kita. Menurut Locke,
mula-mula rasio manusia harus dianggap sebagai suatu “kertas putih”, kemudian
melalui pancaindera, kertas putih itu diisi dengan pengalaman-pengalaman yang
diperoleh dari alam nyata. Dan pengalaman-pengalaman yang kita perolehlah yang
menjadi pengetahuan bagi kita.
Rene Descartes.
Ia adalah seorang filosof berkebangsaan Perancis, yang dikenal sebagai bapak
filsafat modern.
David Hume (1711-1776)
Teori Locke ini ternyata mendapat
dukungan juga dari David Hume, seorang empirisme seperti halnya John Locke.
Hume mengatakan bahwa semua pengetahuan diperoleh melalui indera. Ia menolak
mentah-mentah metafisika dan menganggap bahwa jiwa itu tidak ada. Lebih jauh
Hume menyimpulkan bahwa kita mengetahui tentang sebab akibat bukan melalui
akal, melainkan melalui pengalaman atau indera. Antara Locke dan Hume terdapat
sebuah persamaan, bahwa eksistensi realitas dapat diperoleh melalui
pancaindera.
Rasionalisme
Rene Descartes (1596-1650)
Aliran filsafat yang berasal dari
Descartes biasanya disebut rasionalisme, karena aliran ini sangat mementingkan
rasio. Dalam rasio terdapat idea-idea dan dengan itu orang dapat membangun
suatu ilmu pengetahuan tanpa menghiraukan realitas di luar rasio. Dan
sebetulnya, Descartes sendiri sudah termasuk rasionalisme itu.
Kelahiran filsafat Descartes
merupakan titik awal kemenangan akal atas iman (hati) pada Jaman Modern. Ini
merupakan reaksi keras terhadap dominasi iman (hati) pada Abad Pertengahan yang
notabene dikuasai oleh gereja. Cara ini kemudian diikuti oleh filosof-filosof
pada masa itu. Laksana bendungan yang jebol, dalam waktu yang relatif singkat
banyak sekali pemikir yang muncul dalam persentase yang jauh lebih banyak bila
dibandingkan dengan filosof Abad Pertengahan. Akal telah menang terhadap
dominasi iman.
Ada empat hal
pokok yang diutarakan oleh Descartes[2]:
1. Metode cogito ergo sum
“Cogito ergo sum” berarti “Aku
berpikir maka aku ada”. Arti dari berpikir ini adalah menyadari. Ini artinya,
jika aku ragu maka aku menyadari bahwa aku sedang ragu. Kesadaran itulah yang
menyatakan bahwa aku benar-benar ada; karena aku sedang ragu.
Dalam metode ini berjalan suatu
deduksi yang tegas. Bila Descartes telah menemukan suatu idea yang jelas, maka
ia menggunakannya sebagai premis yang dari sana ia mendeduksi keyakinan lain
yang juga jelas. Seluruh proses penyimpulan itu terlepas dari data empiris;
keseluruhannya merupakan proses rasional.
Setelah fondasi itu ditemukan,
mulailah ia mendirikan bangunan filsafat di atasnya. Akal itulah basis yang
paling terpercaya dalam berfilsafat, demikian menurut Descartes.
2. Idea-idea bawaan
Karena fenomena apa pun dari luar
tidak dapat dipercayai, maka menurut Descartes, untuk mencari
kebenaran-kebenaran harus dilakukan di dalam diri dengan menggunakan metode
tadi. Kalau metode dilangsungkan demikian, apakah hasilnya? Descartes
berpendapat bahwa dalam diri dapat ditemukan tiga "idea bawaan" (innate ideas). Ketiga idea yang sudah
ada dalam diri sejak kita lahir ketiga idea itu antara lain:
a)
Pemikiran.
Sebab manusia memahami dirinya sebagai makhluk yang berpikir, maka harus
diterima juga bahwa pemikiran merupakan hakekat dirinya.
b)
Tuhan sebagai Wujud yang sempurna.
Karena manusia mempunyai idea "sempurna", maka harus ada penyebab sempurna untuk idea itu. Karena idea
manusia tidak bisa melebihi idea penyebabnya maka Wujud yang sempurna itu tidak
bisa lain daripada Tuhan.
c)
Keluasan.
Manusia mengerti materi sebagai keluasan atau ekstensi (extension), sebagaimana hal itu dilukiskan
dan dipelajari oleh ahli-ahli ilmu ukur.
3. Substansi
Descartes menyimpulkan bahwa -
selain dari Tuhan - ada dua substansi:
a. Jiwa yang
hakekatnya adalah pemikiran dan,
b. Materi yang
hakekatnya adalah keluasan.
Tetapi, karena Descartes telah meragukan
adanya dunia di luar dirinya, maka ia mengalami banyak kesulitan untuk
membuktikan tentang ada-nya. Bagi Descartes, satu-satunya alasan untuk menerima
adanya dunia materi ialah bahwa Tuhan akan menipu saya kalau sekiranya la
memberikan saya idea "keluasan", sedangkan di luar tidak ada sesuatu
pun yang sesuai dengannya. Nah, tidak mungkin bahwa Wujud yang sempurna menipu
saya. Jadi, di luar saya sungguh-sungguh ada suatu dunia materiil. Dengan
demikian Descartes membuktikan adanya dunia melalui adanya Tuhan.
4. Manusia
Manusia terdiri dari kedua substansi
tadi. Jiwa adalah pemikiran dan tubuh adalah keluasan. Sebenarnya tubuh tidak
lain daripada suatu mesin yang dijalankan oleh jiwa. Karena setiap substansi
sama sekali terpisah dari substansi lain, maka kiranya sudah nyata bahwa
Descartes menganut suatu dualisme tentang manusia. Itulah sebabnya Descartes
mempunyai banyak kesulitan untuk mengartikan pengaruh tubuh atas jiwa dan
sebaliknya pengaruh jiwa atas tubuh. Dengan kata lain, Descartes tidak mampu
menyatukan antara jiwa yang bersifat abstrak dan materi yang bersifat kongkret.
Di sini jelaslah bahwa kita
mengalami kesulitan untuk menemukan jawaban, manakah yang paling benar dari
kedua pemikiran di atas? Apakah rasio
yang berperan sebagai asal dari pengetahuan ataukah pengalaman sebagai asal
dari pengetahuan.
Jika kita hendak membela akal, maka
kita benar-benar harus meruntuhkan pemikiran yang membela indera atau dengan
kata lain kita harus menjatuhkan empirisme. Jika indera tanpa rasionalisme maka
tak mungkin bagi kita untuk memperoleh pengetahuan yang terstruktur di dalam
rasio kita, karena pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang
kabur saja.
Dan jika kita membela empirisme
tentunya kita harus menjatuhkan rasionalisme. Menurut empirisme bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan inderawi merupakan
bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna. Akan tetapi, apakah yang
dapat kita ketahui jika materi dan indera kita hilangkan? Dapatkah kita
memperoleh pengetahuan?(lihat Bertens 1993:50).
Maka jelaslah untuk memecahkan
masalah itu kita harus mencari jalan tengah atau sintesis dari kedua tesis di
atas. Mungkinkah kita memperoleh pengetahuan dari indera dan rasio?
Untuk lebih jelasnya kita tengok
seorang filosof berkebangsaan Jerman Immanuel Kant. Lewat buku Critique of Pure Reason Kant memberikan
sebuah pemecahan masalah dari kedua pemikiran di atas.
Kritisisme
Immanuel Kant
(1724-1804)
Immanuel
Kant termasuk filsuf yang terbesar dalam sejarah filsafat modern. Tentang
riwayat hidupnya tidak dapat dikisahkan hal-hal yang mencolok mata. la lahir di
Koenigsberg, sebuah kota kecil di Prusia Timur. Dalam universitas di kota
asalnya ia menekuni hampir semua mata pelajaran yang diberikan dan akhirnya
menjadi profesor di sana. Dalam bidang filsafat, Kant dididik dalam suasana
rasionalisme yang pada waktu itu merajalela di universitas-universitas Jerman.
Kant tidak kawin dan selalu hidup tertib, sehingga ia dapat mencurahkan seluruh
waktu dan tenaga kepada karya-karya filosofisnya. Karya Kant kita uraikan
sebagai berikut:
a. Pada taraf indera
Menurut Kant, pengalaman tidak lain
adalah lapangan yang menghasilkan pengetahuan. Pengalaman (pengenalan melalui
indera) mengatakan kepada kita apa-nya,
bukan apa ia sesungguhnya. Dan
pengalaman merupakan sintesa antara unsur apriori dengan unsur posteriori.
Unsur apriori memainkan peranan bentuk dan unsur aposteriori memerankan peranan
materi.
Dari mana kita memperoleh
pengetahuan yang kebenarannya bersifat umum? Jawabnya ialah: Bukan dari
pengalaman karena pengalaman hanya memberikan sensasi sepotong-sepotong, yang
dapat mengubah urutan dan kekuatan kebenaran itu pada masa depan. Kebenaran
apriori itulah kebenaran umum.
Menurut Kant, unsur apriori itu
sudah terdapat pada taraf indera. Ia berpendapat bahwa dalam pengalaman
inderawi selalu ada dua bentuk apriori, yaitu ruang dan waktu. Jadi, ruang
tidak merupakan ruang kosong, di mana benda-benda diletakkan; ruang bukan
merupakan “ruang pada dirinya”. Dan
waktu tidak merupakan suatu arus tetap, di mana penginderaan-penginderaan bisa
ditempatkan. Kedua-duanya merupakan bentuk apriori dari pengenalan inderawi.
Atau dengan kata lain, keduanya bermula dari struktur subyek sendiri. Jadi, pengalaman tidak menunjukkan
hakekat obyek yang dialami. Oleh karena itu pengalaman tidak dapat menghasilkan
kebenaran umum, akal kitalah yang biasanya ingin memperoleh kebenaran umum itu
(lihat Bertens 1993:60-61).
Dari sini kita mengetahui bahwa
pengetahuan berdasarkan pengalaman selalu bersifat subyektif; subyektifitas itu
muncul dari berbagai sumber, dari obyek itu sendiri dan dari subyek. Di sini
Kant memperlihatkan bahwa kebenaran umum harus bebas dari pengalaman, harus
jelas dan pasti dengan sendirinya. Pengetahuan yang umum, kebenaran yang umum,
tetaplah benar tidak peduli pengalaman yang menyertainya kemudian. Kebenaran
umum itu bahkan benar sekalipun belum di alami (A. Tafsir 1992:155).
b. Pada taraf akal budi
Kebenaran apriori itu, kita peroleh
melalui struktur jiwa kita yang inheren. Di sini tesis Kant yang utama
terletak. Masih ingat? Menurut Locke, jiwa manusia itu laksana lilin pasif.
Bagi Kant, jiwa itu tidak laksana lilin pasif. Nah, di sinilah tesis itu. Jiwa
kita merupakan organ yang aktif; demikian Kant. Jiwa itu, inilah yang dimaksud
struktur jiwa yang inheren, secara aktif mengkoordinasi sensasi-sensasi yang
masuk dengan idea-idea kita. Karena dikoordinasi itulah maka pengalaman yang
masuk, yang tadinya kacau, menjadi suatu pemikiran yang tersusun. Sampai di
sini sebenarnya uraian Kant tentang bagaimana caranya pengetahuan a priori itu
masuk ke dalam kita, belum juga tuntas; cara mengoordinasi itu belum
dijelaskannya.
Usaha untuk meneruskan uraian
inilah, yaitu usaha untuk menjelaskan bagaimana struktur jiwa yang inheren itu,
yang diberinya judul filosofi transendental, karena ia merupakan masalah
pengalaman yang transendens. Jadi, menurut Kant, ada pengalaman yang
transendens. Menurutnya, pengalaman yang transendens inilah yang mampu
menghasilkan pengetahuan yang transendens, yaitu pengetahuan yang tidak banyak
berisi obyek, tetapi lebih banyak berisi konsep obyek yang apriori. Sampai di
sini cara masuknya pengetahuan apriori itu belum juga jelas. Mari kita ikuti
uraian ini selanjutnya.
Ada dua tahap dalam proses ini sejak
diserapnya pengalaman material sampai terbentuknya pemikiran akhir itu. Tahap
pertama adalah proses mengkoordinasi sensasi-sensasi dengan cara memasukkannya
ke dalam acuan-acuan berupa persepsi ruang dan waktu. Tahap kedua ialah
mengkoordinasi persepsi-persepsi yang sudah masuk acuan ruang dan waktu itu
dengan cara memasukannya ke dalam kategori pemikiran. Tahap pertama itu disebut
Kant estetika transendental, tahap kedua disebutnya logika transendental.
Istilah-istilah ini penting diperhatikan karena istilah-istilah inilah yang
akan menjelaskan cara masuknya pengetahuan yang apriori itu. Istilah-istilah
itulah yang akan memperjelas cara kerja struktur jiwa yang inheren tersebut
(lihat A. Tafsir 1992:138).
Kant membedakan akal budi
("Verstand") dengan rasio ("Vernunft"). Tugas akal budi
ialah menciptakan orde antara data-data inderawi. Dengan kata lain, akal budi
mengungkapkan putusan-putusan. Pengenalan akal budi juga merupakan sintesa
antara bentuk dengan materi. Materi adalah data-data inderawi dan bentuk adalah
apriori yang terdapat pada akal budi. Bentuk apriori ini dinamakan Kant dengan
istilah "kategori". Kant berpendapat bahwa ada 12 kategori, tetapi di
sini kita sebut hanya dua kategori terpenting, yaitu substansi dan kausalitas.
Jika misalnya kita membentuk putusan
bahwa A menyebabkan B, maka sahnya putusan itu tidak langsung berasal dari
realitas, melainkan dikarenakan sebab kita harus memikirkan hubungan antara
data A dan data B berdasarkan kategori kausalitas (sebab-akibat). Maksud Kant
tersebut dapat digambarkan dengan contoh kasus berikut ini. Seorang laki-laki
rnemakai kaca mata yang kacanya berwarna merah, maka ia melihat segala
sesuatunya berwarna merah. Dan itu bukan berarti bahwa benda-benda itu berwarna
merah. Keadaan tersebut disebabkan karena jalan melalui mana, pengenalan
dilakukan, memuat suatu faktor (kaca berwarna merah) yang karenanya ia terpaksa
hanya bisa melihat hal-hal yang berwarna merah.
Demikian haInya juga dengan akal
budi kita. Akal budi mempunyai struktur sedemikian rupa, sehingga terpaksa kita
harus memikirkan data-data inderawi sebagai substansi atau menurut ikatan
sebab-akibat atau menurut kategori lainnya (lihat Bertens 1993:60-61).
c. Pada taraf rasio
Tugas rasio ialah menarik kesimpulan
dari putusan-putusan. Dengan kata lain, rasio mengadakan
argumentasi-argumentasi. Seperti akal budi menggabungkan data-data inderawi
dengan mengadakan putusan-putusan, demikian pun rasio menggabungkan
putusan-putusan. Kant memperlihatkan bahwa rasio membentuk
argumentasi-argumentasi itu dengan dipimpin oleh tiga idea, yaitu jiwa, dunia
dan Tuhan. Dengan idea, Kant memaksudkan suatu cita-cita yang menjamin kesatuan
terakhir dalam bidang gejala-gejala psikis (jiwa), dalam bidang
kejadian-kejadian jasmani (dunia) dan dalam bidang segala yang ada (Tuhan).
Ketiga idea tersebut mengatur
argumentasi-argumentasi kita tentang pengalaman, tetapi ketiga idea sendiri
tidak termasuk pengalaman kita. Karena kategori-kategori akal budi hanya
berlaku untuk pengalaman, kategori-kategori itu tidak dapat diterapkan pada
idea-idea. Tetapi justeru itulah yang diusahakan oleh metafisika. Misalnya,
metafisika berusaha membuktikan bahwa Tuhan adalah penyebab pertama alam
semesta. Tetapi dengan itu metafisika melewati batas-batas yang ditentukan
untuk pengenalan manusia. Adanya Tuhan dan immortalitas jiwa tidak dapat
dibuktikan, sekalipun metafisika senantiasa berusaha demikian. Usaha metafisika
itu sia-sia saja. Dan dengan panjang lebar Kant memperlihatkan bahwa
bukti-bukti untuk adanya Tuhan yang diberikan dalam filsafat pra-kritis
semuanya bersifat kontradiktoris.
Dari uraian tersebut dapat kita ambil beberapa hipotesis:
1.
Dunia adalah segala sesuatu yang
berada di luar diri manusia yang tidak bersifat ketuhanan (Descartes), atau
segala sesuatu yang kita peroleh melalui indera dan akal yang menjadi kebenaran
mutlak (Kant).
2.
Dunia dapat kita ketahui melalui
indera dan akal (rasio) kita.
Sekarang kita melangkah ke tahap
selanjutnya, yaitu membuktikan secara teoritis hipotesis yang telah kita
peroleh.
VERIFIKASI
Dari hasil pembahasan di atas dapat kita peroleh beberapa hipotesis,
yakni:
1.
Dunia adalah segala sesuatu yang
berada di luar diri manusia yang tidak bersifat ketuhanan (Descartes), atau
segala sesuatu yang kita peroleh melalui indera dan akal yang menjadi kebenaran
mutlak (Kant).
2.
Dunia dapat kita ketahui melalui
indera dan akal (rasio) kita.
Dan masalah yang hendak kita pecahkan adalah:
“Bagaimanakah ilmu pengetahuan membuktikan
bahwa dunia ini ada ditinjau dari pengenalan panca indera dan akal?”
Kita bahas satu persatu pertanyaan
di atas dan mencoba untuk menghubungkannya dengan hipotesis yang kita peroleh.
Dan kajian ontologisnya yaitu:
a)
Dataran idea; yaitu realitas
kebenaran melalui proses berpikir. Untuk dataran idea tidak kita masukkan ke
dalam proses verifikasi, karena hasil hipotesis itu sendiri sudah sesuai dengan
kajian cara berpikir yang benar.
b)
Dataran empiris; yaitu realitas
kebenaran melalui proses inderawi.
c)
Dataran transenden; yaitu realitas
kebenaran tidak melalui proses idea atau empiris melainkan melalui rasa. Karena
dataran transenden tidak sesuai dengan batasan masalah yang diajukan di atas,
maka dalam bab ini dataran transenden tidak dimasukan sebagai pembuktian
kebenaran.
A. Dalam dataran empiris
Materialisme
Secara
materialisme, hipotesis di atas adalah benar, bahwa apa yang kita indera adalah
apa yang ada adalah yang benar-benar ada. Ini karena menurut kaum materialisme,
hakekat kebenaran itu adalah segala sesuatu yang ada, dan yang mungkin ada
adalah sebuah ilusi atau imajinasi. Karena itu, yang mungkin ada adalah tidak
benar.
Sehingga menurut materialisme,
hipotesis di atas dapat dikatakan benar.
2. Positivisme
Menurut positivisme, pengetahuan
kita tidak boleh melebihi fakta-fakta. Sudah nyata kiranya bahwa dengan
demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi contoh istimewa dalam bidang
pengetahuan pada umumnya. Filsafat juga harus meneladan contoh itu. Oleh
karenanya tidak mengherankan bila positivisme menolak cabang filsafat yang
biasanya disebut metafisika. Menanyakan hakekat benda-benda atau penyebab yang
sebenarnya, bagi positivisme tidak mempuyai arti apa-apa. Ilmu pengetahuan,
termasuk juga filsafat, hanya menyelidiki fakta-fakta dan hubungan yang
terdapat antara fakta-fakta. Tugas khusus filsafat adalah mengkoordinir ilmu-ilmu
lain dan memperlihatkan kesatuan antara begitu banyak ilmu yang beraneka ragam
coraknya. Tentu saja, bersangkut paut dengan apa yang dicita-citakan oleh
empirisme. Positivisme juga mengutamakan pengalaman. Tetapi harus ditambahkan
bahwa positivisme membatasi diri pada pengalaman obyektif saja, sedangkan
empirisme Inggris, menerima juga pengalaman batiniah yang bersifat subyektif
sebagai sumber pengetahuan.
Positivisme, memfokuskan obyek
kajiannya pada fakta-fakta yang terempiris. Apapun yang dapat kita kita adalah
sebuah fakta, dan fakta ini merupakan sebuah kebenaran mutlak. Hipotesis di
atas berhubungan dengan apa-apa yang ada di luar diri kita, berarti hipotesis
di atas melibatkan fakta-fakta empiris yang tentu saja secara keilmuan sesuai
dengan faham positivisme. Maka di sini jelaslah bahwa apa-apa yang ada di luar
diri kita yang mampu kita indera adalah merupakan suatu kebenaran. Karena
apapun yang ada di luar adalah fakta-fakta yang tak dapat kita sangkal
kebenarannya.
3. Empirisme
Bertentangan dengan rasionalisme
yang mengindahkan rasio sebagai sumber utama pengenalan, maka pada masa sesudah
Descartes di Inggris timbul suatu aliran lain yang dinamakan empirisme. Istilah
ini berasal dari kata Yunani empeiria yang berarti "pengalaman inderawi".
Empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan dan yang
dimaksudkan dengannya ialah baik pengalaman lahiriah yang menyangkut dunia
maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi manusia saja. Tidak
mengherankan bila rasionalisme dan empirisme masing-masing mempunyai pendirian
yang sangat berlainan tentang sifat pengenalan manusiawi.
Rasionalisme mengatakan bahwa
pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi
rnerupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur saja. Sebaliknya, empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan berasal dari pengalaman, sehingga pengenalan
inderawi merupakan bentuk pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
B. Dalam Dataran Transenden
jika dunia dinilai dari rasa, maka
kitalihat mimpi si anak dalam cerita di atas. Apakah ia seekor kupu-kupu yang
sedang bermimpi menjadi manusia, ataukah seorang anak yang bermimpi menjadi
seekor kupu-kupu. Jika anak itu memang seekor kupu-kupu, maka ia adalah
kupu-kupu yang sedang bermimpi menjadi seorang manusia, dan jika memang ia
adalah seorang manusia, maka ia adalah seorang anak yang bermimpi menjadi
seekor kupu-kupu.
Dunia mimpi adalah dunia yang tidak
ada sekaligus ada. Mimpi itu tidak dapat kita indera, namun mimpi itu dapat
kita rasakan keberadaannya pada saat kita bermimpi.
Mimpi itu “ada”
dalam dunianya yaitu di dalam pikiran kita. Namun mimpi tidak ada dalam
realitas karena tidak mampu kita indera. Di sinilah fungsi “rasa” untuk
membuktikan keberadaan dunia yang bersifat non-empirik. Dan di sini pula fungsi
rasa digunakan sebagai bukti keberadaan Tuhan.
“Jika kita mengasumsikan dunia tidak
memiliki permulaan dalam waktu, maka sampai ke setiap momen yang ada suatu
keabadian telah berlalu, dan telah hilang dalam dunia serangkaian tak terhingga
dari keadaan-keadaan benda yang terus-menerus. Kini ketakterhinggaan rangkaian
itu mencakup fakta bahwa ia tidak pernah dapat disempurnakan lewat sintesis
terus-menerus. Jadi, pada gilirannya bahwa mustahil bagi rangkaian dunia tak
terhingga untuk hilang, dan bahwa suatu permulaan dunia oleh karena itu
merupakan kondisi niscaya bagi eksistensi dunia”.
(Immanuel Kant)
KESIMPULAN
Sehingga dapat kita simpulkan bahwa
apa yang dikatakan Kant itu adalah benar,
1)
Dunia itu ada, dan kita dapat
mengetahui bahwa dunia itu benar ada.
Apakah benar dunia ada? Pertanya itu bukanlah pertanyaan ilmiah,
melainkan pertanyaan filsafat. Oleh karena itu ilmu yang kita pelajari itu
adalah ilmu pengetahuan empiris, maka landasannya adalah dunia empiris itu
sendiri, yang eksistensinya tidak diragukan lagi. Dunia itu ada diterima oleh
ilmu dengan begitu saja, dengan apriori atau dengan kepercayaan.
2)
Dunia empiris itu dapat diketahui
oleh manusia melalui pancaindera.
Mungkin ada jalan-jalan lain untuk mendapatkan pengetahuan mengenai dunia
empiris itu, akan tetapi bagi ilmu satu-satunya ialah jalan untuk mengetahui
fakta limiah adalah melalui pancaindera. Adanya penyempurnaan terhadap
pancaindera manusia dengan membuat alat-alat ekstension yang lebih halus ...
tidak mengurangi kenyataan bahwa pengetahuan tentang dunia empiris itu
diperoleh melalui pancaindera. limu bersandar kepada kemampuan pancaindera
manusia beserta alat-alat ekstentionnya.
Oleh karena itu, dapat kita tangkap
sebuah pengetahuan bahwa yang disebut dengan dunia adalah apa yang ia rasakan
pada saat itu. Baik perasaan itu ia peroleh melalui pancaindera ataupun melalui
akal. Dan sebagai kesimpulan akhir dapat kita kemukakan bahwa “dunia” ini
benar-benar “Ada”.
“Dan sesungguhnya Kami jadikan (isi
neraka jahanam) untuk kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati,
tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka
mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda
kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya
untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu bagai binatang ternak, bahkan
mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai”.
(Q.S.
Al-A'raf 7:179)
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir.
1992 Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales
Sampai James, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
Jujun S.
Suriasumantri,
1996 Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, CV. Muliasari, Jakarta.
Kees Bertens.
1993 Ringkasan Sejarah Filsafat, Kanisius,
Yogyakarta.
Saifuddin Anshari, E.
1987 Ilmu, Filsafat, dan Agama, Bina Ilmu,
Surabaya.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM,
2001 Filsafat Ilmu, Penerbit Yogyakarta,
Yogyakarta.
0 komentar:
Posting Komentar