About

Kamis, 29 Januari 2015

Biografi_Syed Muhammad Naquib Al-Attas



KATA PENGANTAR

Segala puji milik Alloh, Tuhan semesta alam yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang berakal dan berhati, memiliki kemampuan untuk berfikir dan merasa, serta yang telah menjadikan manusia sebagai makhluk yang mulia dengan kuasa-Nya.
Sholawat serta salam semoga dan selalu tercurahlimpahkan kepada sebaik-baiknya makhluk Alloh, nabi akir zaman, kekasih Tuhan semesta alam, junjunan setiap makhluk Alloh yang lainnya, panutan dan teladan kita semua, Nabi Muhammad SAW.
Atas Berkat, Rahmat, dan Maghfiroh-Nya, saya dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun sebagai tugas pada mata kuliah “ Filsafat Islam “. Adapun isi makalah ini menjelaskan tentang filsuf pada tahun 1800 ke atas yaitu salah satunya Syed Muhammad Naquib Al Attas.
Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat berbagai kekurangan. Baik dari segi materi maupun cara dan metode kami dalam menyampaikannya. Oleh karena itu, saya menerima dengan tangan terbuka dan lapang dada untuk menerima masukan, kritik, dan saran yang bersifat membangun dari para pemerhati sekalian.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua, khususnya bagi saya yang telah membuat makalah ini dan umumnya buat yang membaca makalah ini.


Bandung, 10 Nopember 2010


Penulis





DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................... i
Daftar Isi.................................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN...................................................................................... 1
  1. Latar Belakang Masalah............................................................................... 1
  2. Rumusan Masalah........................................................................................ 1
BAB II PEMBAHASAN........................................................................................ 2
  1. Sejarah Kehidupan....................................................................................... 2
  2. Hasil Karyanya............................................................................................. 4
  3. PemikiranNaquib Al Attas......................................................................... 10
    1. De Westernisasi dan Islamisasi...................................................... 10
    2. Metafisika dan epistemology......................................................... 11
    3. Moralitas dan Pendidikan.............................................................. 15
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 16
  1. Simpulan.................................................................................................... 16
Daftar Pustaka........................................................................................................ iii



BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Syed Muhammad Naquib Al-Attas adalah sedikit dari segelintir intelektual Muslim kontemporer yang intelektualitasnya berakar kuat pada tradisi Islam. Al-Attas menggunakan istilah-istilah yang telah mapan dalam tradisi keilmuan Islam. Hal ini —selain menunjukan penghormatan yang mendalam pada tradisi Islam di satu sisi— juga merujuk pada kematangan intelektual di sisi lain, mengingat pendidikan yang dijalaninya tidak hanya di lembaga-lembaga milik umat Islam. Dalam skripsi ini, penulis akan mencoba memaparkan secara singkat biografi Al-Attas, mulai dari latar belakang keluarga, masa pendidikan dan karya-karyanya.
Pemaparan sejarah hidup seorang tokoh, sekalipun dengan singkat, menjadi hal yang tidak bisa dihindari dalam penulisan pemikirannya, karena hal itu erat berkelindan dengan pemikiran yang dituangkan dan aktifitas yang dijalani tokoh itu kemudian. Kontribusi konkrit Al-Attas dalam bidang pemikiran pendidikan sangat perlu dipaparkan, mengingat hal ini akan membuktikan bahwa ide-ide yang dituangkan Al-Attas dalam buku-bukunya bukanlah ide utopis yang tidak bisa dicapai dalam realitas.
Oleh karna itu saya akan sedikit membahas dalam makalah ini mengenai filsup muslim diatas tahun 1800 san salah satunya yaitu Syed Muhammad Naquib Al Attas.
1.2  Rumusan Masalah
Adapun isi pembahasan yang akan saya bahas dalam makalah ini yaitu :
a.       Menjelaskan Sejarah atau Biografi Syed Muhammad Naquib Al Attas !
b.      Apa saja Karya dan Artikel ketika Syrd Muhammad Naquib Al Attas ?
c.       Bagaimana Pemikiranya menurut Syed Muhammad Naquib Al Attas ?




BAB II
PEMBAHASAN
SYED MUHAMMAD NAQUIB AL ATTAS

A.  Sejarah Kehidupannya
Syed Muhammad Naquib al Attas dilahirkan dibogor, jawa barat pada tanggal 5september 1931. Pada waktu itu Indonesia masih berada dibawah kolonialisme belanda. Bila dilihat dari garis keturunanya, al Attas termasuk orang yang beruntung secara inhern. Sebab dari kedua belah pihak, baik dari pihak ayah maupun ibu merupakan orang yang berdarah biru. Ibunya yang asli bogor itu  masih keturunan bangsawan sunda, sedangkan ayah nya masih tergolong bangsawan di johor.[1] Bahkan mendapat gelar sayyid yang dalam tradisi islam orang yang mendapat gelar tersebut merupakan keturunan langsung dari Nabi Muhammad.
Ketika berusia 5 tahun, Al Attas diajak orang tuanya migrasi ke Malaysia. Disini al Attas dimasukan dalam pendidikan dasar Ngee Heng Primary School sampai usia 10 tahun. Melihat perkembangan yang kurang menguntungkan yakni ketika jepang menguasai Malaysia, maka al Attas dan keluarganya kembali lagi ke Indonesia. Disini ia melanjutkan pendidikanya di sekolah Urwah al Wusqa, sukabumi selama 5 tahun. Di tempat ini Al Attas mulai mendalami da mendapatkan pemahaman tradisi islam yang kuat, terutama tarekat. Hal ini bias dipahami , karena saat itu di sukabumi telah berkembang perkumpulan Tarekat Naksabandiyah.[2]
Al attas sempat masuk militer di inggris, naamun tak lama kemudian al Attas mengundurkan diri dari dinas militer dan mengembangkan potensi dasarnya yakni bidang intelektual. Maka Al attas sempat masuk Universitas Malaya selama dua tahun. Berkat kecerdasan dan ketekunanya dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan study di institute of Islamic stadies, Mc Gill, Canada.
Berkat kecerdasan dan ketekunannya, dia dikirim oleh pemerintah Malaysia untuk melanjutkan studi di Institute of Islamic Studies, McGill, Canada. Dalam waktu yang relatif singkat, yakni 1959-1962, dia berhasil menggondol gelar master dengan mempertahankan tesis Raniry and the Wujudiyyah of 17th Century Aceh. Dia sangat tertarik dengan praktek sufi yang berkembang di Indonesia dan Malaysia, sehingga cukup wajar bila tesis yang diangkat adalah konsep Wujudiyyah al Raniry. Salah satu alasannya adalah dia ingin membuktikan bahwa islamisasi yang berkembang di kawasan tersebut bukan dilaksanakan oleh kolonial belanda, melainkan murni dari upaya umat Islam sendiri.
Di Universitas McGill, dia berkenalan dengan beberapa orang sarjana terkenal, seperti Sir Hamilton Gibb (Inggris), Fazrul Rahman (Pakistan), Toshihiko Izutsu (Jepang), dan Seyyed Hossein Nasr (Iran). Al-Attas mendapat gelar M.A. dari Universitas McGill pada 1962 setelah lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Setahun kemudian, atas dorongan beberapa orang sarjana dan tokoh-tokoh orientalis yang terkenal, seperti Profesor A.J. Arberry (Cambridge), Sir Mortimer Wheeler (Akademi Inggris), Sir Richard Winstedt (Akademi Inggris), dan pimpinan Royal Asiatic Society, Al-Attas pindah ke SOAS (School of Oriental and African Studies) Universitas London, untuk meneruskan pendidikan doktoralnya. Di sini, dia belajar di bawah bimbingan Profesor Arberry dan Dr. Martin Lings. Pada 1965, dia memperoleh gelar Ph.D setelah dua jilid disertasi doktoralnya yang berjudul The Mysticism of Hamzah Fanshuri lulus dengan nilai yang sangat memuaskan.
Tahun 1965, al-Attas kembali ke Malaysia. Dia langsung ditunjuk menjadi Ketua Jurusan Sastra dan selanjutnya Dekan Fakultas Sastra di Universitas Malaya. Tahun 1970, dalam kapasitasnya sebagai salah satu pendiri Universitas Kebangsaan Malaysia, al-Attas berusaha mengganti pemakaian bahasa Inggris menjadi bahasa Melayu. Dia juga pendiri sekaligus Rektor International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), Kuala Lumpur, Malaysia. Al-Attas adalah seorang pakar yang menguasai pelbagai disiplin ilmu, meliputi; teologi, filsafat dan metafisika, sejarah, sastra, kebudayaan, serta pendidikan. Beberapa karyanya, baik berupa lukisan kaligrafi, seni bangunan/arsitektur yang dirancangnya, juga karya ilmiah yang disusunnya telah dinikmati banyak kalangan. Tak lebih kiranya hingga ia sering mendapatkan penghargaan internasional, baik dari kalangan Barat maupun Asia.
Salah satu pengaruh yang besar dalam diri al attas adalah asumsi yang mengatakan bahwa terdapat integritas antara realitas metafisis, kosmologis dan fsikologis. Asumsi dasar inilah yang pada perkmbangan selanjutnya dikembangkan oleh sayyed Hossein Nasr, Osman Bakar, dan al attas sendiri.
B.     Hasil Karyanya
Sepanjang sepanjang pengembangan intelektualnya al attas telah menulis beberapa karya.sampai saat ini kurang lebih 15 karya yang telah dibukukan. Belum termasuk makalah-makalah yang tersebar di seminar yang belum sampai terbukukan. Diantaranya karya karya itu sebagai berikut :
a.       Al Raniri and the Wujudiyyah of 17 th Century Acheh adalah judul tesis yang ditulis ketika menempuh dan menyelesaikan studi S.2 di Mc.Gill Canada. Dalam tesis ini al attas berpendapat bahwa Naruddin al Raniry telah mampu mendefinisikan dan menjelaskan medan semantic dan kata-kata kunci melayu yang berhubungan dengan islam.
b.      The Origin of the Malay Sha’ir, islam in the history and culture of the Malays merupakan disertasi yang berhasil dipertahankan ketika menempuh study program Doctor di universitas London dibawah pimpinan Martin Ling. Bahwa al Attas mengemukakan bahwa terdapat kesatuan gagasan metafisika di dunia islam dan pandangan systematic tentang realitas baik mengenai tuhan, alam semesta, manusia maupun ilmu.
c.       Islam the Concept of religion and the Foundation of Ethics and Morality al attas mencoba menjelaskan tentang arti pentingnya penguasaan ilmu sebagai landasan bagi peraktik, etika dan moralitas keagamaan secara menyeluruh. Hal ini dapat dilakukan dengan cara mememahami teks-teks dalam al Qur’an dan segala yang telah diperbuat oleh Nabi Muhammad sebagai uswatun hasanah.
d.      Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the definition and Aims of Education mengungkap tentang arti pentingnya upaya merumuskan dan memadukan unsure-unsur islam yang eesensial serta konsep-konsep kuncinya sehingga menghasilkan suatu komposisi yang akan merangkum pengetahuan inti kemudian dikembangka dalam pendidikan islam daritingkat bawah sampai tingkat tinggi.
e.       The Concept of Education in Islam : A Framework for an Islamic Philosophy of education , al attas menjelaskan tentang penggunaan istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.yang tepat untuk menterjemahkan pendidikan adalah ta’dib, sebab inti dari pendidikan adalah pembentukan watak dan akhlak yang mulia. Serta mengenai ilmu ada dua pembagian yang sangat besar yakni yang pertama : Ilmu agama yang meliputi al Qur’an, al sunnah, al Syari’ah, al tauhid, al tasawuf dan bahasa. sedangkan yang kedua ilmu Rasional, intelektual dan filsafat yang meliputu ilmu tentang manusia, alam terapan dan teknologi.
f.       Islam and the Philosophy of science
g.      The Natural man and the Phsycologhy of Human Soul,
h.      The Meaning and Experience of Happines in Islam,
i.        On Quiddityand essence,
j.        The intuition of eksistensi dan degrees of existence,
k.      Comments on the Re-examination of Al-Raniri’s Hujjat Al-Shiddiq: A Refutation, Museums Department, Kuala Lumpur, 1975.
l.        Islam: The Concept of the Religion and the Foundation of Ethics and Morality, Angkatan Belia Islam Malaysia (ABIM), Kuala Lumpur, 1976. Telah diterjemahkan ke dalam bahasa Korea, Jepang, dan Turki.
m.     Islam: Paham Agama dan Asas Akhlak, ABIM, Kuala Lumpur, 1977. Versi bahasa Melayu buku No. 12 di atas.
n.       Islam and Secularism, ABIM, Kuala Lumpur, 1978. Diterjemahkan ke dalam bahasa Malayalam, India, Persia, Urdu, Indonesia, Turki, Arab, dan Rusia.
o.       (Ed.) Aims and Objectives of Islamic Education: Islamic Education Series, Hodder and Stoughton dan King Abdulaziz University, London: 1979. Diterjemahkan ke dalam bahasa Turki.
p.      The Concept of Education in Islam, ABIM, Kuala Lumpur, 1980. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Persia, dan Arab.
q.      Islam, Secularism, and The Philosophy of the Future, Mansell, London dan New York, 1985.
r.        A Commentary on the Hujjat Al-Shiddiq of Nur Al-Din Al-Raniri, Kementerian Kebudayaan, Kuala Lumpur, 1986.
s.       The Oldest Known Malay Manuscript: A 16th Century Malay Translation of the ‘Aqa’id of Al-Nasafi, Dept. Penerbitan Universitas Malaya, Kuala Lumpur, 1988.
t.        Islam and the Philosophy of Science, ISTAC, Kuala Lumpur, 1989. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, Bosnia, Persia, dan Turki.
u.      The Nature of Man and the Psychology of the Human Soul, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
v.      The Intuition of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
w.    On Quiddity and Essence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1990. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
x.      The Meaning and Experience of Happiness in Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1993. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab, Turki, dan Jerman.
y.      The Degress of Existence, ISTAC, Kuala Lumpur, 1994. Diterjemahkan ke dalam bahasa Persia.
z.       Prologonema to the Metephysics of Islam: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worldview of Islam, ISTAC, Kuala Lumpur, 1995. Diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.
Setelah karya – karya itu namun syed naquib al attas memiliki banyak artikel Daftar artikel berikut ini tidak termasuk rekaman ceramah-ceramah ilmiah yang telah disampaikan di depan publik. Berjumlah lebih dari 400 dan disampaikannya di Malaysia dan luar negeri antara pertengahan 1960-1970, aktivitas ceramah ilmiah ini masih berlangsung sampai sekarang.
1. “Note on the Opening of Relations between Malaka and Cina, 1403-5”, Journal of the Malayan Branch of the Royal Asiatic Society (JMBRAS), Vol. 38, pt. 1, Singapura, 1965.
2. “Islamic Culture in Malaysia”, Malaysian Society of Orientalism, Kuala Lumpur, 1966.
3. “New Light on the Life of Hamzah Fanshuri”, JMBRAS, Vol. 40, pt. 1, Singapura, 1967.
4. “Rampaian Sajak”, Bahasa, Persatuan Bahasa Melayu Universiti Malaya No. 9, Kuala Lumpur, 1968.
5. “Hamzah Fanshuri”, The Penguin Companion to Literature, Classical and Byzantine, Oriental, and African, Vol. 4, London, 1969.
6. “Indonesia: 4 (a) History: The Islamic Period”, Encyclopedia of Islam, edisi baru, E.J. Brill, Leiden, 1971.
7. “Comparative Philosophy: A Southeast Asian Islamic Viewpoint”, Acts of the V International Congress of Medieval Philosophy, Madrid-Cordova-Granada, 5-12 September 1971.
8. “Konsep Baru Mengenai Rencana Serta Cara-Gaya Penelitian Ilmiah Pengkajian Bahasa, Kesusastraan, dan Kebudayaan Melayu”, Buku Panduan Jabatan Bahasa dan Kesusastraan Melayu, Universiti Kebangsaan Malaysia, Kuala Lumpur: 1972.
9. “The Art of Writing, dept. Museum”, Kuala Lumpur,
10. “Perkembangan Tulisan Jawi Sepinta Lalu”, Pameran Khat, Kuala Lumpur, 14-21 Oktober 1973.
11. “Nilai-Nilai Kebudayaan, Bahasa, dan Kesusastraan Melayu”, Asas Kebudayaan Kebangsaan, Kementerian Kebudayaan Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1973.
12. “Islam in Malaysia” (versi bahasa Jerman), Kleines Lexicon der Islamischen Welt, ed. K. Kreiser, W. Kohlhammer, Berlin (Barat), Jerman, 1974.
13. “Islam in Malaysia”, Malaysia Panorama, Edisi Spesial, Kementerian Luar Negeri Malaysia, Kuala Lumpur, 1974. Juga diterbitkan dalam edisi bahasa Arab dan Prancis.
14. “Islam dan Kebudayaan Malaysia”, Syarahan Tun Sri Lanang, seri kedua, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1974.
15. “Pidato Penghargaan terhadap ZAABA”, Zainal Abidin ibn Ahmad, Kementerian Kebudayaan, Belia dan Sukan, Kuala Lumpur, 1976.
16. “A General Theory of the Islamization of the Malay Archipelago”, Profiles of Malay Culture, Historiography, Religion, and Politics, editor Sartono Kartodirdjo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1976.
17. “Preliminary Thoughts on the Nature of Knowledge and the Definition and Aims of Education”, First World Conference on Muslim Education, Makkah, 1977. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab dan Urdu.
18. “Some Reflections on the Philosophical Aspects of Iqbal’s Thought”, International Congress on the Centenary of Muhammad Iqbal, Lahore, 1977.
19. “The Concept of Education in Islam: Its Form, Method, and Sistem of Implementation”, World Symposium Al-Isra’, Amman, 1979. Juga tersedia dalam edisi bahasa Arab.
20. “ASEAN–Kemana Haluan Gagasan Kebudayaan Mau Diarahkan?” Diskusi, Jilid. 4, No. 11-12, November-Desember, 1979.
21. “Hijrah: Apa Artinya?” Panji Masyarakat, Desember, 1979.
22. “Knowledge and Non-Knowledge”, Readings in Islam, No. 8, First Quarter, Kuala Lumpur, 1980.
23. “Islam dan Alam Melayu”, Budiman, Edisi Spesial Memperingati Abad ke-15 Hijriah, Universiti Malaya, Desember 1979.
24. “The Concept of Education in Islam”, Second World Conference on Muslim Education, Islamabad, 1980.
25. “Preliminary Thoughts on an Islamic Philosophy of Science”, Zarrouq Festival, Misrata, Libia: 1980.
26. “Religion and Secularity”, Congress of the World’s Religions, New York, 1985.
27. “The Corruption of Knowledge”, Congress of the World’s Religions, Istanbul, 1985.
Demikianlah diantara karya-karya monumental al attas yang berupaya membangun paradigm pemikiran islam dengan modal tradisi islam yang sudah ada dan dengan penekanan pada nilai-nilai metafisis, sehingga merupakan suatu hal yang wajar bila pemikiran demikian ini perlu dikembangkan dan disuburkan dikalangan intelektual dikalangan islam kontemporer.
Fazlur Rahman, salah seorang sarjana Islam terkemuka, memberikan kriteria utama yang membuat seseorang itu layak disebut sebagai seorang pemikir besar dan orisinal, Pemikir besar dan orisinal itu adalah seseorang yang menemukan gagasan pokok (master idea), yaitu prinsip dasar yang mengandung semua realitas lalu memahaminya sehingga menjadi sesuatu yang baru dan penting. Gagasan pokok itu mengubah dasar-dasar perspektif kita dalam melihat realitas bahkan bisa memberikan solusi yang segar dan jitu terhadap permasalahan-permasalahan lama yang mengganggu pikiran manusia.
Meskipun layak untuk diperhatikan, terdapat beberapa catatan yang perlu dipertimbangkan mengenai kriteria yang dikemukakan Rahman di atas. Pertama, criteria itu menepikan manusia-manusia agung yang telah memberkahi permukaan bumi ini, yaitu para Nabi. Tidak satu pun di antara mereka yang mengklaim telah menemukan gagasan pokok, sebab, sebagaimana yang sering dikatakan Al-Attas dalam pelbagai kesempatan, sebagian besar gagasan pokok-seperti gagasan mengenai keuniversalan Tuhan dalam agama, nasib manusia, dan prinsip-prinsip moral-pada hakekatnya tidak ditemukan oleh akal manusia yang tidak dipersiapkan. Para Nabi sudah tentu lebih dari sekedar para pemikir dan apa yang telah mereka ajarkan sangat banyak menyentuh perkara-perkara mendasar yang selama ini menghantui pemikiran manusia. Berdasarkan hal ini, criteria lain yang lebih inklusif mengenai seseorang yang bisa disebut sebagai pemikir besar sangat diperlukan.
Seorang pemikir besar tidak harus menemukan master idea. Sebaliknya, ia harus mampu menemukan kembali dan mengafirmasikan sebuah kebenaran yang terlupakan, atau tersalahpahami, dan menerjemahkannya dalam pelbagai aspek pemikiran dengan cara yang berbeda dan belum pernah dilakukan sebelumnya secara mantap dan konsisten, walaupun dalam melakukan hal ini ia dikelilingi oleh pelbagai kebodohan dan penolakan. Kriteria ini mencakup semua Nabi dan pengikut mereka yang taat di kalangan sarjana Muslim. Dalam pengerian ini, seseorang yang disebut sebagai pemikir besar dan orisinal, pemikir yang berhasil memberikan pengertian dan pemahaman baru terhadap ide-ide lama sekaligus menjamin kesinambungan dan keaslian sebuah master idea untuk persoalan intelektual dan kebudayaan yan gada pada zamannya dan problem kemanusiaan umumnya. Oleh karena itu, kecemerlangan pemahaman para sarjana dan orang dan orang arif, seperti Al-Ghazali dan Mulla Shadra, diikuti Iqbal, dan sekarang Al-Attas, sangat layak untuk dianggap dan diakui sebagai manifestasi dari kualitas pemikir besar dan orisinal.
Dalam konteks Al-Attas, dia sangat layak dianggap sebagai seorang pemikir besar dan orisinal di Dunia Islam kontemporer, karena selama ini dia telah menggulirkan ide-ide fundamental dan mapan yang telah diabaikan oleh sebagian orang dan disalahpahami oleh sebagian yang lain. Kemudian, dia mengklarifikasi, menjabarkan, dan menghubungkan ide tersebut dengan lingkungan intelektual dan dinamika budaya umat Islam kontemporer. Dia juga datang dengan membawa beberapa solusi terhadap pelbagai permasalahan yang berkaitan dengan aspek-aspek sejarah, intelektual, dan kebudayaan Islam di gugusan pulau rumpun Melayu. Tidak heran jika Fazlur Rahman memuji Al-Attas dan menyebutnya sebagai “seorang pemikir yang jenius”.
C. Pemikiran Naquib Al Attas
Paradigm pemikiran al attas bila dikaji secara historis merupakan sebbuah pemikiran yang berawal dari dunia metafisis kemudian ke dunia kosmologis dan bermuara pada dunia psikologis.perjalanan pendidikan dan kehidupanya itu berawal dari keperihatinanya terhadap penyempitan makna terhadap istilah-istilah ilmiah islam yang disebabkan oleh upaya westernisasi, mitologisasi, pemasukan hal-hal yang ghaib dan sekularisasi.
a.      De westernisasi dan islamisasi
Tema De westernisasi mempunyai arti pembersihan dari  westernisasi. Jika westernisasi dipahami sebagai pembaratan, atau mengadaptasi, meniru dan mengambil alih gaya hidup barat.[3]
Maka de westernisasi dipahami sebagai upaya penglepasan sesuatu dari proses pembaratan atau dengan kata lain memurnikan sesuatu dari pengaruh-pengaruh barat.
            Dalam batasan al attas de westernisasi adalah proses mengenal, memisahkan dan mengasingkan unsure-unsur sekuler ( substansi, roh, watak, dan kepribadian kebudayaan serta peradaban barat ) dari tubuh pengetahuan yang akan merubah bentuk-bentuk, nilai-nilai dan tafsiran konseptual isi pengetahuan seperti yang disajikan sekarang.[4]
            Secara simplistis dapat dikatakan bahwa al attas dapat terinspirasi oleh gerakan wahabi. Sebab dalam pandangan al attas sendiri suluk-suluk sufi merupakan ajaran yang sangat penting dalam tarekat islam. Sedangkan tarekat itu sendiri merupakan institusi lanjutan dari praktik-praktik tasawuf. Wahabi dan pemikiran d westerenisasi al attas mempunyai karakteristik yang sama. Yakni pemurnian ajaran islam dan mendapat dukungan pemerintah, akan tetapi mempunyai berbagai perbedaan.
1.      Tentang objek dan sasaran
Bila wahabi membrantas noda – noda yang mengotori ajaran tauhid, maka de westernisasi yang dikembangkan al attas mempunyai sasaran pembersihan noda-noda yang mengotori pengetahuan ( ilmu ).
2.      Sikap dan praktik sufi
Bila wahabi bersikap keras terhadap praktik-praktik sufi yang telah melembaga menjadi berbagai tarekat, maka de-westernisasi justru berangkat dari pemahaman secara mendalam terhadap praktik-praktik sufi tersebut, khususnya tentang tingkatan – tingkatan dalam suluk-suluk nya.
3.      Titik berangkat
Bila wahabi berangkat dari tindakan-tindakan menyimpang yang bersifat praktis, mak de-westernisasi berangkat dari isu-isu pemikiran yang bersifat teoritis. Upaya de-westernisasi tidak akan mempunyai signifikansi bagi umat islam bila tidak didukung dengan islamisasi. Islamisasi dalam pandangan al attas adalah proses pembebasan manusia dari tradisi magis, mitologis, animis, tradisi-nasionalis dan cultural serta sekularisme. Ia terbebaskan dari kedua pandangan dunia yang magis dan sekuler.
b.      Metafisika dan epistemology
1). Metafisika islam
Pemikiran metafisika al attas berangkat dari paham teologisnya. Dalam tradisi islam terkenal dengan istilah tasawuf. Al attas memberikan batasan yang jelasa mengenai berbagai tingkatan dalam dunia kesufian. Paling tidak ada tiga tingkatan yang bersifat hirarkis yaitu :
·         Pertama, Mubtadi, yakni seorang sufi yang berada pada tingkatan awal. Tingkatan ini menjadi tenaga pertama dalam upaya merengkuh tenaga selanjutnya. Si salik ( orang yang melakukann olah spiritual tasawuf ) tidak akan mengalami promosi tingkat yang lebih tinggi bila dalam gradasi yang pertama belum berhasil secara tuntas.
·         Kedua, Mutawasitth, memasuki gradasi kedua si salik sudah mendalami dan mengamalkan wirid dan dzikir mengenai kuantitas, kualitas, tempo dan frekuensinya ditentukan sang mursyid (guru si salik). Pada tingkatan ini si salik harus melaksanakan wirid dan dzikir secara kontiniu. Sedangkan dzikir itu meliputi bentuk perkataan ( Qauly ), perbuatan ( Fi’ly ), dan perasaan yang dilakukan dalam hati ( Qalby ).
·         Ketiga, Muntahiy , pada tingkatan tertinggi ini, si salik memasuki dunia filsafat dan dunia metafisika. Gradasi terakhir ini mewajibkan si salik memiliki ilmu pengetahuan yang mendalam tentang tiga jenis pengetahuan yang mendalam terntang tiga jenios pengetahuan, yaitu ilmu kebijaksanaan ketuhanan ( al hikmah al ilahiyyah ), ilmu naqliyah atau sar’iyah ( Al ulum al Syar’iyah ), dan yang terakhir ilmu rasional ( al ulum al ulumiyah ).
Dengan ketiga jenis pengetahuan itu, maka tasawuf yang dikemukakan al attas lebih dikenal dengan sebutan tasawuf falsafati. Sedangkan yang membatasi dirinya pada tingkatan pertama dan kedua dikenal dengan istilah tasawuf akhlaqiy.
            2). Dialektika epistimologi modern dan islam
            (a). Inti Asumsi dan Metode Epistemologi Modern
            Al attas mengemukakan bahwa inti asumsi-asumsi episteotentik : Bahwa ilmu yang berhubungan dan bersangkut paut dengan phenomena, bahwa sains ini termasuk pernyataan pernyataan dasar dan kesimpulan kesimpulan umum sains dan filsafat yang diturunkan darinya.
            Dengan landasan filsafat tersebut diatas, maka metode metode utama yang dikembangkan tidak luput dari tiga macam metode :
·         Pertama, Nasionalisme filosofis yang cenderung atau persepsi indrawi.
·         Kedua, Rasionalisme secular yang cenderungg lebih bersandar pada pengalaman indrawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar.
·         Ketiga empirisme filosofis atau empirisme logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa.
(b). Sumber dan Metode epistemologi islam
Al attas mengatakan bahwa bahwa ilmu datang dari tuhan dan diperoleh melalui sejumlah saluran : indra yang sehat, laporan yang benar yang disandarkan pada otoritas, akal yang sehat dan intuisi.
(1). Indra –indra lahir dan batin
 Dengan menyebut istilah indra yang sehat maka yang dimaksud adalah indra lahiriah yang meliputi perasa tubuh, pencium, perasa lidah, penglihat dan pendengar yang semuanya berfungsi untuk mempersepsi  hal hal particular. Terkait dengan panca indra diatas adalah lima indra bathin yang secara bathiniah mempersepsi cita-cita indrawi dan makanaya, menyatukan atau memisah misahkanya, mencerap gagasan gagasan tentangnya dan menyimpan hasil-hasil penyerapanya.
Pandangan tentang indra lahir dan batin ini pada dasarnya hanya merupakan rektualisasi pandangan filsafat ibnu sina ( 980-1037 M ) tentang jiwa. Menurut ibnu sina jiwa dibagi menjadi tiga bagian yakni jiwa tumbuh-tumbuhan, jiwa binatang dan jiwa manusia.
Sebagai upaya rektualisasi pemikiran filsafat islam klasik, maka pemikiran al attas dalam masalah ini telah mampu mengelaborasi dengan pandangan metafisika. Dalam pandanganya antara pandangan metafisika dan epistemology merupakan sebuah system yang integral. Sebab metafisika metafisika merupakan landasan utama bagi epistemology.
(2). Akal dan intuisi
Integritas antara akal dan intuisi dalam epistemology islam merupakan sebuah keharusan. Sebab, diantara unsure diatas walaupun mempunyai karakteristik berbeda, yaitu bila akal mengarah pada hal-hal intelligible yang diupayakan sedangkan intuisi yaitu mengarah pada hal-hal sensible yang dianugrahkan, akan tetapi merupakan unsure yang sama. Maksudnya bila akal merupakan salah satu sarana aktivitas jiwa yang tentunya berkaitan dengan ruh dan kalbu, maka intuisi juga merupakan hal yang sama.
Mengenai akal yang sehat menurut al attas, bukan semata mata terbatas pada unsure-unsur indrawi atau pada fakultas mental yang secara logis mensistemisasi dan mentafsirkan fakta-fakta pengalaman indrawi menjadi suatu citra akliah yang dapat dipahami setelah mengalami proses abstraksi. Akal adalah suatu substansi ruhaniah yang melekat dalam organ ruhaniah pemahaman, yang disebut hati atau kalbu, yang menjadi tempat terjadinya intuisi.
Sebagaimana halnya, al attas tidak membatasi akal pada unsure-unsur indrawi, dia juga tidak membatasi intuisi pada pengenalan langsung tanpa perantara oleh subjek yang mengenali tebtang dirinya sendiri. Berkaitan dengan klasifikasi tingkatan intuisi ini, sebagai kelanjutanya berimplikasi pada otoritas ilmu pengetahuan baik yang bersumber dari akal maupun intuisi dalam paradigm pemikiran islam.
(3). Otoritas
Dalam masalah laporan yang yang benar sebagai jalan yang diperolehnya ilmu, al attas membaginya kedalam dua macam:
·         Pertama, laporan yang disampaikan secara berangkai dan tidak terputusoleh sejumlah orang dan tidak masuk akal jika mereka dianggap dengan sengaja bermaksud membuat dusta bersama-sama.
·         Laporan atau pesan yang dibawa oleh rosulullah SAW.
Otoritas jenis pertama yang termasuk di dalamnya sarjana, ilmuan dan orang yang berilmuan pada umumnya dapat dipersoalkan oleh nalar dan pengalaman. Tapi otoritas jenis yang kedua  bersifat mutlak. Otoritas pada akhirnya didasarkan pada pengalaman intuitif, yaitu baik yang berkait dengan tatanan indra dan realitas indrawi.
Otoritas yang tertinggi dalam paradigma islam adalah al Qur;an kemudian al sunnah yang terbukti keabsahanya. Dengan demikian paradigm islam memiliki otoritas yang bertingkat. Tentunya tingkat transcendental dan mutlaklah yang menempati posisi utama dan selanjutnya menuju pada yang bersifat imanen-relatif.
(c). Proses Epistemologi Penciptaan Makna
Istilah “ makna “, difahami al attas sebagai pengenalan masing-masing tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam suatu system yang terjadi, ketika hubungan antara sesuatu itu dengan lainya dalam system tersebut menjadi jelas dan terpahami. Makna adalah suatu bentuk citra aqliyah yang ditujukan oleh penggunaan suatu kata, ungkapan atau lambang. Ketika kata, ungkapan atau lambing itu menjadi suatu gagasan dalam pikiran maka itu disebut “ sesuatu yang telah difahami ”. Sebagai suatu bentuk citra aqliyah yang terbentuk sebagai jawaban atau pertanyaan “ apa “, maka makna disebut esensi.
Makna bisa dianggap sebagai citra aqliyah  yaitu sesuatu yang dapat dipahami, esensial, dan realitas atau individualitas, teori ini lebih mengacu pada perkembangan pemikiran yang mutakhir sebab pemikiran yang berkembang memahami citra akliyah berbeda dengan esensi atau realitas, sesuatu yang telah dipahami berbeda dengan individualitas maupun esensi bahkan realitas itu sendiri.   
Eksistensi manusia mempunyai tingkat-tingkat berbeda bergantung kepada beragam jankauan oprasi indra lahir dan batin. Tingkat-tingkat eksistensi tersebut adalah :
·         Eksistensi yang real atau nyata, ia merupakan eksistensi pada tingkat realitas objektif seperti dunia lahir.
·         Eksistensi yang dapat di indra dan terbatas kepada fakultas-fakultas indra serta pengalaman indrawi, termasuk mimpi, penglihatan batin dan ilusi merupakan pengalman indrawi dan imajinasi ketika objek objek itu tidak ada dalam persepsi manusia.
·         Eksistensi intelektual, yang terdiri atas konsep-konsep abstrak dalam pikiran manusia.
·         Eksistensi analog, yang dibentuk oleh hal hal yang tidak wujud pada tingkat-tingkat yang disebutkan diatas,   
c.       Moralitas dan Pendidikan
Moralitas dan pendidikan merupakan lanjutan dari pemikiran manusia tentang konsep agamanya. Bila dalam islam dikenal dengan istilah Din, maka yang menjadi konsep kajian yang pertama sebelum menjadi tentang hal hal lain adalah konsep din itu sendiri. Sebagaimana al attas mempunyai kelebihan tersendiri dalam mencari akar dari terminologi yang menjadi sorotan utama yang berkaitan dengan topic moralitas dan pendidikan adalah terma Din.
Setidaknya ada dua macam pengetahuan :
·         Pertama yaitu santapan dan kehidupan jiwa itu yang cara perolehanya diberikan oleh Allah SWT. Pengetahuan yang diberikan Allah ini meliputi al qur’an, sunnah, sariah, ilmu laduni dan hilmah yang berupa pengetahuan atau kearifan.
·         Kedua, Tujuan  pengajaran dan oprasionalistik dan pragmatis yang cara perolehanya dapat dilakukan mengalami pengalaman, pengamatan dan penelitian.
Pengklasifikasian ilmu pengetahuan menjadi sorotan utama bagi pemikir islam sejak zaman ke emasan islam. Pembagian pengetahuan menjadi dua jenis diatas, berbeda dengan yang diperkenalkan oleh Qutub al Din al syirozi dan al farabi yang justru mendahulukan ilmu-ilmu rasional dan mengakhirkan ilmu-ilmu agama. Namun demikian, klasifikasi al ghazali yang secara garis besar membagi ilmu pengetahuan menjadi ilmu2 Syar’iah dan ilmu-ilmu ghair Syahsiyah.


DAFTAR PUSTAKA
A. Athaillah.
1990    Aliran Akidah Tafsîr al-Manar,  Balai Penelitian IAIN Antasari, Banjarmasin.
Abdul Fattah Wibisono.
2009    Pemikiran Para Lokomotif Pembaharuan di Dunia Islam, Rabbani Press, Jakarta.
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar.
2005    Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis Filsafat Pendidikan Islam,  PT. Ciputat Press, Ciputat
Hasan Muarif Ambary, et. al.
1995    Suplemen Ensiklopedi Islam, jilid 2,  PT. Ichtiar Van Hoeve, Jakarta.
Hasbi Ash Shiddieqy.
1994    Sejarah Pengantar Ilmu al-Quran / Tafsir, Bulan Bintang, Jakarta.
Harun Nasution.
1975    Pembaharuan   dalam   Islam  (Sejarah   Pemikiran  dan Gerakan),  PT Bulan Bintang. Jakarta.
Muhammad Yusran Asmuni.
1994    Pengantar Studi Pemikiran dan Gerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.
Taufik, Ahmad dkk.
2005    Sejarah   Pemikiran   dan  Tokoh  modernisme  Islam.: PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
S.M.N al-Attas.
1990    Islam dalam Sejarah dan Kebudayaan Melayu,  Mizan, Bandung.
Yunasril Ali.
1988    Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, Bumi Aksara, Jakarta.





[1] Hasan Muarif Ambary, et. Al Suplemen Ensiklopedi Islam, Jilid 2, ( Jakarta : PT Ichtiar van Hoeve, 1995), h.78
[2] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia  ( Bandung : Mizan , 1996) h. 170
[3] Faisal ismail Paradigma Kebudayaan Islam study kritis dan refleksi ( Yogyakarta, Titian ilahiPress, 1996) h. 126
[4] S.M.N al attas  Islam dan Sekularisme ( Bandung, Penerbit pustaka , 1981 ) h. 202

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.