About

Sabtu, 31 Januari 2015

Konsep Pengalaman Keagamaan Menurut Pemikiran Joachim Wach

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Mengenai masalah agama atau keagaamaan, para pakar ilmuan berbeda pendapat. Agama bisa didefinisikan sebagai suatu peraturan yang mengatur keadaan manusia, maupun mengenai suatu yang ghaib ataupun mengenai budhi pekerti, pergaulan hidup bersama.[1] Jadi agama adalah suatu norma yang mengatur kehidupan baik secara bentuk wujud manusia ataupun secara ghaib. Dengan memakai konsekuwensi yang telah diberikan kepada kehidupan  manusia. Manusia akan merasa selamat dan nyaman jika memiliki agama dalam dirinya.
Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah ‘agama’ yang sama dengan artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘godsdienst’ (belanda) atau ‘religion’ (ingris). Istilah agama berasal dari bahasa sangsekerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia berdasarkan wahyu Tuhan. Agama mengandung arti hidup yang sangat kekal bagi kehidupan manusia.[2]
“Sedangkan  W. J. S. POERWADARMINATA mendefinisikan agama sebagai segenap kepercayaan Tuhan atau Dewa, disertai kebaktian dan kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu. Agama menjadi sebuah pengakuan yang sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang suci, manusia akan insaf dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di atas segalanya. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang ada. Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.[3]
Agama, yang menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan sosial dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia dimana kita memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan  dan ditafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi masalah agama berbeda dengan masalah pemerintah dan hukum.[4]
Agama melukiskan sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat mempunyai agama “tidak ada bangsa bagaimanapun primitifnya, yang tidak memiliki agama”. Agama dapat dipandang sebagai kepercayaan dan pola perilaku kehidupan individu dan kelompok, juga memberi harapan kelanggengan hidup sesudah mati dan mengingkat diri dari kehidupan duniawi yang penuh penderitaan untuk mencapai kemandirian spiritual.[5]
Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime,[6] sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).[7]
Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok sehingga menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan menimbulkan perilaku berdo’a, memuja dan bersandar pada agama.[8] Dalam agama terdapat peraturan hukum yang harus dipahami oleh manusia. Agama menguasai seseorang hingga membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan dengan cara menjalankan  ajaran-ajaran agama untuk mencoba mencari keselamatan.[9] Dalam kehidupannya manusia mengalami ketidakpastian, yaitu kematian. Selain tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar jangkauan kekuatan manusia.
Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak ada seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini membuat manusia kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut manusia tidak berdaya, akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama. [10] Dengan demikian, agama selain membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga berfungsi membantu manusia dalam menghadapi masalah hidupnya.
Tanpa suatu penelitian ilmiah pun, cukup berdasarkan pengalaman sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini, maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang pencapainnya mengatasi kemampuan manusia secara mutlak. Hanya manusia agama (homo religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam masyarakat primitif atau masyarakata modern.[11]
Dari sudut fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian, ketidakberdayaan dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak terjangkau oleh manusia, dalam arti dimana frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam mempertahankan moralnya.[12] Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang mempunyai akal, untuk memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri supaya mencapai kebaikan kelak hidup di dunia dan akhirat.[13]
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam. Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo’a, memuja dan lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.[14]
Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan pembaharuan agama. [15]
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai, moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan, ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus agama tersebut. [16] Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk kontekstual dalam dinamika perubahan sosial adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah baru dari ajaran agama. Dengan demikian agama bukanlah sekedar wacana yang memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek kehidupan.[17]
Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).[18] Agama atau pengalaman keagamaan merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan tingkah laku manusia,, dengan pengalaman keagamaan inilah sesorang dapat meningkatkan eksitensi keyakinan terhadap adanya sesuatu yang sakral, seperti yang diungkapkan Mircea Eliade, kehidupan dapat di ubah dengan apa yang ia sebut sebagai pengalaman ‘sakral mental’.[19]
Hal yang penting dalam pemikiran Joachim Wach didasarkan pada anggapan bahwa keagamaan bahwa keagamaan yang bersifat subjektivitas diobjektifikan dalam berbagai macam ungkapan, dan ungkapan tersebut  mempunyai struktur yang dapat dipahami. Setudi terhadap struktur-struktur tersebut merupakan  salah satu tugas ilmu agama.[20] Bagi Joachim Wach setiap manusia memiliki agama atas pengalaman keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna: di tengah masyarakatnya atau di dunia ini. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan yang didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang Maha Mutlak.[21] Pengalaman keagamaan perlu adanya suatu tataran kajian mendalam tentang hakikat eksitensi pada Tuhan, dengan cara melihat hakikat pengalaman keagamaan pada perilaku manusia. Tidaka akan terlihat hakikat pada manusia tentang Tuhannya, kalau tidak mempunyai hakikat pengalaman keagamaan pada ddirinya.
Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam tentang hakikat pengalaman keagamaan (religious exsperience), yaitu thogut (mite, doktrin dan dogma), practice, (pengabdiaan dan upacara agama) dan fellowship (kelompok-kelompok keagamaan).[22]
Agaknya ada dua macam untuk melihat hakikat pengalaman keagamaan pada manusia. Cara pertama ialah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara lain adalah berangkat dari sebuah pertanyaan ”dimana aku,” yaitu lingkungan potensial dimana pengalaman perorangan berlangsung. Pendekatan yang bertolak dari lingkungan potensial pengalaman perorangan, paling tidak akan mengundang dua macam keberatan, seperti dijelaksan Webb. Pertama, kata ’pengalaman’ tersebut terasa mengacu kepada perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Kata tersebut cenderung memusatkan pada pengalaman daripada apa yang dialami. Keberatan kedua ialah bahwa kemanunggalan peristiwa-peristiwa wahyu yang khusus terasa habis terserap oleh istilah ’agamis’. Proposisi ini kemudian membangkitkan protes-protes keras terhadap setiap penggambaran agama. Keberatan ketiga terhadap teori tersebut menyatakan bahwa mulai dari pengalaman perorangan akan dapat menimbulkan kesulitan atau bahkan tidak mungkin dapat memberikan penilai yang tepat terhadap sifat kebersamaan agama.[23]
Keagamaan bagi manusia yang berjiwa solidaritas bermasyarakat sangatlah penting, Joachim Wach melihat dari bentuk-bentuk pengalaman keagamaan, dalam bentuk pemikiran, perbuatan dan persekutuan. Fungsi keagamaan sebagai jalan yang memperkuat keyakinan dan keselamatan, disamping itu pula dapat memperkuat kembali solidaritass sosial dan kelompok masyarakat terhadap penyelasaian persoalan yang dihadapi oleh orang yang ditinggal.[24] Kondisi sosio-kultur suatu masyarakat pada umumnya memberikan ciri tersendiri terhadap perkembangan suatu pemahaman keagamaan.  Hal ini karena secara sosiologi agama, agama merupakan salah satu penting yang memberikan muatan nilai bagi suatu masyarakat. Secara timbale balik, suatu paham keagamaan juga dibentuk dan di pengaruhi oleh tradisi lokal.[25]
Kesadaran beragama selalu mereflesikan kebenaran agama secara benar. Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya Tuhan sebagai satu-satunya sumber kebenaran. Namun demikian pada tataran sosiologis, klaim kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif oleh setiap pemeluk agama.[26] Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antarumat beragama yang selama ini di terapkan pemerintah. Ia tidak hanya lagi sebagai bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Tetapi harus menjadi motivator  bagi tebentuknya kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Dengan pengalaman keagamaan inilah kesadaran beragama pada tataran kehidupan sehari-hari akan berjalan secara mulus.[27] Keterkaitan antara sosial keagamaan yang berada di Indonesia terlihat pada kerukunan keagamaan dan  dan kesadaran beragama.
Dari permasalahan-permaslahan yang dikemukakan diatas, telah terjadi cara pandang terhadap keberagamaan pada seseorang yang mana bisa dilihat dari dari kehidupan bermasyarakat sehari-hari terutama dalam kehidupan pengalaman keagamaan. Maka penulis merasa tertarik untuk meneliti tentang masalah tersebut yang kemudian di tuangkan dalam bentuk judul penelitian yaitu:  “KONSEP PENGALAMAN KEAGAMAAN MENURUT PEMIKIRAN JOACHIM WACH”
B.  Perumusan Masalah
Berpijak dari asumsi tersebut, maslah penelitian dirumuskan sebagai berikut, ” terjadi adanya suatu  konsep dalam keagamaan yang menghasilkan berbagai konsep dengan berpijak kepada keagamaan, yang dihasilkan dari pengalaman, bentuk pemikiran, bentuk keagamaan dalam bentuk perbuatan, pengalaman bentuk persekutuan yang dirasakannya, yang terkait dengan keadaan selama ini.”
Persoalan yang di kaji merupakan persoalan yang demikian luas, seperti di ungkapkan dan di rumusan masalah. Oleh karena itu menyadari keterbatsan metodologi, pendekatan dan kemampuan, kesempatan dan sumber data yang penulis miliki, maka penulis membatasi persoalan-persoalan tersebut dengan mengajukan sejumlah pertanyaan penelitian disamping sebagai pembatas terhadap poko dan tema bahasan yang akan di garap juga sebagai pedoman teknis dalam penelitian ini,  Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, masalah utama dalam peneliti ini adalah sebagai berikut:
1.      Bagaimana konsep-konsep yang di hasilkan Joachim Wach?
2.      Bagaimana hakikat dan bentuk-bentuk pengalaman keagamaan Joachim Wach?
3.      Bagaimana analisis terhadap konsep keagamaan Joachim Wach?

C.  Tujuan dan Kegunaan Penelitian
1. Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian ini adalah:
a.    Untuk mengetahui konsep-konsep yang di hasilkan Joachim Wach.
b.   Untuk mengetahui hakikat bentuk pengalaman keagamaan Joachim Wach.
c.    Untuk mengetahui analisis terhadap konsep keagamaan Joachim Wach.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan dari penelitian ini baik secara teoritis (akademik) maupun praktis  adalah sebagai berikut:
a.    Secara Teoritis
1.   Peneliti diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi khazanah ilmu pengetahuan tentang keagamaan.
2.   Peneliti diharapkan dapat memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademik.
b.   Secara Praktis
Secara Praktis yaitu, untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam  meraih gelar Jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung.      
D.  Tinjauan Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, peneliti yang berjudul ” Konsep Keagamaan Menurut Joachim Wach belum ada yang melakukan penelitian. Buku yang menyangkut tentang penelitian studi pustaka ini adalah buku ”Ilmu Perbandingan Agama” karangan Joachim Wach. Dan buku-buku lainnya yang menyangkut dengan penelitian. Namun dalam penelitian ini penulis lebih menitik beratkan pada persoalan konsep keagamaan, hakikat dan bentuk pengalaman keagamaan.
E.   Kerangka Berpikir
Penelitian konsep yang di ungkapkan Joachim Wach, bertolak dari uraian singkat mengenai perkembangan disiplin ilmu, kemudian di ikuti dengan pembahasan metodologi, yang seterusnya membawa kepada penyajian teori penghayatan, dan bentuk pengalaman keagamaannya. Kemudian dari masalah pemahaman keagamaan yang berbeda dari agamanya sendiri.[28] Setelah itu menghasilkan sebuah teori pengalaman agama dan bentuk-bentuk pengungkapannya, dalam pemikiran peribadatan, pemujaan, upacara dan kelompok sosial.
Adapun agama dalam pengertian sosiologis adalah gejala sosial seseorang yang umum dimilki masyarakat yang ada di dunia ini. Agama juga bisa dilihat sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat. Dilihat dari sudut kategori pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya yaitu:
1.   Segi kejiwaan (pschological), yaitu kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan apa yang dirasakan oleh penganut agama.
2.   Segi (objective state), yaitu segi luar yang di sebutjuga kejadian objektif, dimensi empiris dari agama, keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan.[29]
”Sementara itu Emile Burnaof, berpendapat bahwa agama ialah ibadah, dan ibadah itu merupakan amalan campuran. Agama merupakan amalan akal manusia dengan mengakui dengan adanya kekuatan yang Maha Tinggi dan juga amalaiah hati manusia ber-tawajuh untuk memohon rahmat dari kekuatan tersebut”.[30] 
Agama juga di pandang sebagai intitusi yang lain, yang mengemban tugas (fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun modial. Maka tujuannya yang dipentingkan  ialah daya agama dan pengaruh agama terhadap masyarakat, sehingga berkat eksitensi dan fungsi agama (agama-agama), cita-cita masyarakat cara keadilan dan kedamaian dan akan kesejahtraan (jasmani dan rohani) dapat terwujud.[31]
Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang di anut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengannya. Poko persoalan yang di bahas oleh agama adalah eksitensi Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya. Merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan bagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika. Dengan demikian membahas agama ada keterkaitan dengan filsafat, filsafat membahass agama dari segi metafisika dan fisika.[32]
Berpikir secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama dapat mengambil dua bentuk yaitu:
a.     Membahas dasar-dasar agama secara[33] analitis dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan atampa tujuan untuk menyatakan kebenaran suatu agama.
b.    Membahas dasar-dasara agama secara analitis dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau sekurang-kurangnnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak bertentangan dengan logika.
Wach tak tergoyahkan masalah agama, karena bagiannya ilmu agama sungguh-sungguh dan benar-benar sebuah ilmu yang mempelajari keyakinan manusia yang paling dalam (geisteswissenschaft). Titik tolak Wach berangkat dari anggapan dasar bahwa keagamaan bersifat subjek. Studi terhadap setuktur-stuktur tersebut merupakan salah satu tugas poko dari ilmu agama.
Konsep-konsep yang di ungkapkan Joachim Wach menghasilkan tiga konsep pada tataran keagamaan, yaitu: Pertama, ’konsep tentang manusia’, ilmu pengetahuan deskriptif Wach dan analisi empirisnya di dasarkan atas suatu tradisi filsafat yang jelas dengan manusia sebagai titik sentralnya.[34] Kedua, konsep tentang gemeinschaft, berusaha untuk mencari hubungan antara komunitas (himpunan) keagamaan dengan gesselschaft (masyarakat society). Ketiga, konsep tentang agama, baginya agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam kaitan dengan Tuhan Maha Pencipta, kepadanyalah manusia memberikan kepercayaan dan keterkaitan yang sesungguhnya.[35]
Dalam the comparatife studi of religions, Wach membahas hakikat pengalaman keagamaan dalam bab kedua, dan menguraikan bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan praktek serta persekutuan keagamaan dalam bab ketiga, keempat dan kelima. Dari analisa yang bersifat fenomenologis, Wach berusaha menjelaskan ”apabila sesuatu yang menyerupai sebuah setruktur dapat diketemukan dalam semua bentuk ungkapan ini, maka terhadap pengalaman macam apakah ungkapannyang anekaragam tersebut dapat ditelusuri, dan akhirnya, realitas atau realitas macam mungkin apakah yang mungkin berhubungan dengan ungkapan-ungkapan itu”.
Dia menegaskan bagaimana sikap keagamaan, dengan ’tujuan’ dan ”pemahaman diri”nya sendiri terhadap pengalaman keagamaan, mengembangkan bentuk-bentuk sendiri yang lebih unik dari ungkapan pengalaman keagamaan itu sendiri.[36]
     Dalam kenyataan agama memang tidak hanya satu, tapi banyak. Konsep ”kesatuan agama” yang merupakan konsekwensi dari ajaran keesaan Tuhan dalam Islam hendaknya dipahami bukan dalam pengertian jumlah, tetapi lebih pada pengetian filosofis-teologis , yaitu bahwa semua agama bermula bersumber dari Tuhan. Jadi dari segi jumlah agama tetap banyak. Tetapi juga mengandung banyak perbedaan satu sama lain. Pendapat yang menyatakan semua agama sama sangatlah keliru, sama sekali kelirunya dengan menyatakan bahwa hitam itu putih, karena bertentangan dengan fakta.[37]
Wach mengemukakan bahwa untuk memahami pengalaman keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak, maka pengalaman itu akan mengikut sertakan empat hal. Pertama, anggapan dasar bahwa di bawah tanggagapan sendiri terdiri dari beberapa tingkat kesadaran seperti; pemahaman, konsepsi dan perilaku. Kedua, tanggapan di pandang sebagai suatu penjumpaan dan sapaan. Ketiga,  menghayati realitas yang tertinggi mengandung arti ada hubungan yang di namis antara yang menghayati dan yang di hayati. Kempat, pengalaman manusia itu abadi dan berada terus menerus dalam keadaan ketergantungan padahal tertentu, jika di pandang dari karakteristik situassional.[38]
   Pengalaman keagamaan tersebut di dapat lewat dilaksanakannya bentuk-bentuk tertentu dari ajarana agama. Jachim Wach mengemukakan tiga hal; pemikiran, perbuatan dan persekutuan sosial. Pengalaman keagamaan dapat diterima oleh kita pada saat sseorang yang telah melakukan prilaku keagamaan mengemukakan pengalamannya dalam bentuk pemikiran. Kedalaman ketika mengemukakan pengalaman ini dipengaruhi oleh kekuatan teknis dan logika manusia yang mengungkapkan dan menerimannya. Untuk itu dalam menghayati pengalaman ini, Joachim Wach menyatakan ”kekurangan teknis dan logis harus diimbangi dengan adanya kekayaan pengetahuaan  yang mendalam mengenai pengalaman-pengalaman yang fundamental yang dengan sendirinya memikirkan pemikiran yang handal tentang Tuhan”.[39]
   Secara sepintas penulis telah menggambarkan ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran. Ada beberapa faktor yang dinyatakan sebagai pengungkapan pengalaman  keagamaan dalam bentuk intelektual dan pemikiran sebagaimana di ungkapkan oleh Joachim Wach[40] yaitu:
”tema pertama yang paling fundamental dalam setiap pernyataan iman ialah berkenaan dengan masalah hakikat realitas mutlak. Yang hidup dan tampak jelas dalam pengalaman keagamaan akan memperlihatkan dirinya sendiri dalam berbagai konsep hakikat Tuhan. Tema yang kedua, ialah tema hakikat dari semuah yang tidak bersifat mutlak yaitu alam semesta dan yang terdapat di dalamnya, dunia; ketiga,  mneunjukan sebuah fenomena yang terdapat di dunia ini yaitu manusia. Teologi, kosmologi, dan antropologi merupakan masalah-masalah sentral yang terdapat dalam semua pemikiran keagamaan. Saling kait antara Tuhan dan dunia, antara Tuhan dan manusia itulah yang terpenting. Pemahaman-pemahaman dassar ini diformulasikan dalam mite, doktrin, dogma, tulisan suci, pengalaman iman dan kredo syahadah. Formulasi-formulasi ini dipertanyakan, diserang dibantah di samping juga dijelaskan, diberi komentar dan dipertahankan”.

F.   Langkah-langkah Penelitian
Sesuai rumusan masalah dan tujuan yang dibuat dan ditentukan dalam penelitian ini,  maka segi  menjawabnya, agar sistematis dan terarah, perlu bagi penulis untuk menentukan langkah-langkah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1.      Metode Penelitian
Penelitian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan metode analisis isi (content analisys).[41] Karena metode ini dianggap tepat untuk dipakai dalam penelitian yang dilakukan, dengan meng-kaji dan menganalisis pendapat-pendapat Joachim Wach mengenai konsep keagamaan yang terdapat dalam buku Ilmu Perbandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan.
2.      Jenis Data
      Jenis data yang dikumpulkan ini adalah jenis data kualitatif dengan mendasari pada aturan yang berlaku, berdasarkan data yang tersedia, baik berupa bahan-bahan yang tersedia, literatur buku-buku, maka dibuat kesimpulan dalam rangka menjawab pokok permasalahan.
Sumber Data
a.   Data Primer
Data primer sumber pokok utama atau tangan utama, maka dari itu yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah bukunya Joachim Wach, dan buku lainnya yang berkaitan dengan penulisan.
b.   Data Sekunder
  Adapun yang menjadi data sekunder dalam penelitian ini adalah buku-buku dan catatan-catatan lain yang dapat menunjang terhadap penelitian yang dilakukan.
Setelah data-data perimer dan data sekunder terkumpulkan, penulis melakukan analisis dengan menggunakan metode historis, untuk mengetahui latar belakang eksternal, yaitu keadaan zaman Joachim Wach, mengkaji dan mengeluarkan konsep agamanya kedalam latar belakang internal yaitu riwayat hidup, pendidikan dan pengalaman keagammaannya.[42] Metode sosiologis, untuk melihat hubungan dari teori agama atau dengan pemahaman agama Joachim Wach dengan masyarakat dalam kaitannya menentukan serta melihat sosial yang dipergunakan pemaham agama tersebut. Metode ini dalam menetukan agama berbentuk empiris.[43] Metode antropologi, untuk pendekatan budaya, artinya agama dipandang sebagaibagian kebudayaan baik wujud ide atau gagasan yang di anggap sebagai sistem norma.[44] Metode Fenomenologis, untuk menggunakan sebagai saran perbandingan sebagai sarana intrepetasi memahami arti ekspresi-ekspresi agama.[45] dari keempat metode ini yang akan diterapkan dalam analisis akan di dapat gambaran-gambaran ari pemikir terhadap agama selanjutnya di kembangkan dalam karya tulisan.
4.      Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode studi kepustakaan dan penelaahan naskah, untuk melengkapi data dan menguatkan data yang di peroleh melalui buku-buku dalam penelitian ini.[46]
5.      Analisis Data
      Setelah data terkumpul penulis melakukan penafsiran dengan menggunakan penganalisaan data dengan menggunakan kerangka logika. Hal ini untuk memudahkan peneliti mengambil kesimpulan. Adapun tahap analisa datanya sebagai berikut:
1.      Mengumpulkan dan menginvertarisir seluruh data yang didapat yang berhubungan dengan penulis.
2.      Mereduksi data yang didapat untuk memilih data yang berhubungan dengan permasalahan dan data yang tidak berhubungan dengan permasalahan.
3.      Mengklasifikasikan data yang di peroleh.
4.      Mengambil kesimpulan dari hasil telaah ini.[47]
 Maka langkah selanjutnya mengolah data-data tersebut dan analisis untuk memperoleh kejelasan sesuai dengan harapan. Setelah semuah data terkumpul, barulah penulis melakukan pembacaan yang intensif serta keritis atas semua data tersebut. Hal ini dilangsungkan dengan menggunakan conten analisis (analisis isi) sebagai salah satu upaya agar tujuan tercapai penulis secara sistematis dan ilmiah. Metode penelitian penulis ambil dari pustaka karya Cik Hasan Bisri.[48]


















BAB II
PEMBAHASANA TEORITIS KONSEP PENGALAMAN  KEAGAMAAN

A.     Pengalaman Keagamaan
1.      Definisi Agama
Pengertian agama  dapat melahirkan macam-macam definisi  atau arti. Karena itu penulis akan mencoba mengambil beberapa definisi agama yang ditinjau dari beberapa segi. Dalam bahasa Sansakerta istilah “agama” berasal dari : a =ke sini, gam = gaan, go, gehen = berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti peraturan-peraturan tradisional,  tujuan, kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa saja turun temurun dan ditentukan oleh ada kebiasaan.[49]  Berbeda dengan ungkapan Edward B. Tylor, mendefinisikan agama sebagai belief spiritual being.
Alasan ia menggunakan istilah spiritual being, karena banyak  orang dari masyarakat non industry menyembah atau takut kepada nenek moyang yang telah mati. Mereka adalah dunia manusia dengan mahluk halus, karena itu spiritual being Tylor, tampak lebih inklusif dibandingkan dengan percaya kepada dewa-dewa. Spiro, sejalan dengan pendapat E.B. Taylor, bahwa agama termasuk suatu kepercayaan  kepada sesuatu  yang wujud (a being) yang tidak bias dialami oleh proses pengalaman yang biasa”.[50]
Istilah agama, atau religion dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa  Latin religio yang berarti agama, kesucian, kesalahan, keteitian batin; religae, yang berarti mengikatkan kembali, pengikatan bersama. Beberapa arti agama yang terungkap dari Webster’s Dictionary antara lain:
1)      Percaya kepada Tuhan atau kekuatan superhuman kekuatan yang d iatas dan disembah sebagai pencipta dan pemelihara alam semesta;
2)      Ekspresi dari kepercayaan di atas berupa amal ibadat;
a.       Sesuatu sistem kepercayaan, peribadatan, amal dan sebagainya yang sering melibatkan kode etik dan filsafat tertentu, misalnya tercermin dalam ungkapan: agama  Kristen, agama Budha dan sebaganya.
b.      Suatu sistem kepercayaan, pengalaman dan nilai  etika dan  sebagainya, yang menyerupai sesuatu system, seperti humanisme adalah agamanya.
3)      Suatu keadaan jiwa atau cara hidup yang mencerminkan kecintaan atau kepercayaan terhadap Tuhan; kehendak perilakunya sesuai dengan “aturan Tuhan”, seperti tampak dalam kehidupan kebiaran. Sehingga sering disebut: “ ia telah mencapai agama”.
4)      Suatu objek yang dianggap berharga dan menjadi tujuan hidupnya, misalnya: kesucian adalah agama baginya;
5)      Amal ibadat yang tampak;
6)      Aturan agama atau lingkungan agama.[51]
Edward B. Tylor, Dalam mendefinisikan agama, Keith A, Roberts mengemukakan tiga macam definisi, yaitu definisi substansif,  fungsional, dan definisi simbolik. Pendekatan substansif mendefinisikan agama dari substansi atau esensinya. Definisi substansif mendefinisikan sesuatu fenomena kepada criteria tertentu jika dianggap memenuhi syarat-syarat atau hakekatnya terpenuhi.agama sebagaimana dikutip oleh Djamari “belief in Spiritual Being”. Alasan ia menggunakan istilah spiritual being, karena banyak orang dari masyarakat non industry menyembah atau takut kepada nenek moyang yang telah mati. Mereka sedikit sekali berurusan dengan Tuhan atau dewa-dewa, tetepi dunia mereka adalah dunia manusia dengan mahluk halus. Karena itu spiritual being Tylor tampak lebih inklusif dibandingkan dengan percaya kepada dewa-dewa. Spiro, sejalan dengan pendapat E.B. Tylor, bahwa agama termasuk suatu kepercayaan kepada sesuatu yang wujud (a being) yang tidak bias dialami oleh proses pengalaman yang biasa.
Definisi lain mencoba mencari esensi agama dengan idak mensyaratkan sesuatu kepercayaan, seperti dilakukan oleh Emile Durkheim (1915). Menurut Durkheim, kesucian dan perubahan sikap merupakan syarat bagi seseorang sebelum ia memasuki ritual keagamaan. Pengakuan akan adanya d unia sacral dan profan memberikan peluang kepada kita  untuk mendefinisikan agama dalam suatu kebudayaan.[52] James tidak mau memberikan definisi arasionil terhadap agama. Karena agama itu mempunyai pengertian yang kompleks dan segi berbilang, sehingga sukarlah yang harus memberikan definisi yang tepat, James mendefinisikan hanya sebagai untuk memudahkan penelitian. Menurutnya Agama sebagai perasaan dan pengalaman bani Insan secara individual, yang menganggap bahwa mereka berhubungan dengan apa yang dipandangnya sbagai Tuhan.[53]
Agama juga mengkomunikasikan, memperingatkan, menginternalisasi, interpretasi, dan ekstrapolasi suatu kepercayaan. Dan manusia beragama, tentu tidak terlepas dari fenomena yang dialaminya. Disini fenomena agama harus mengandung:
1.      Mitos, kepercayaan yang membantu manusia untuk mengerti dan menginterpretasi kejadian-kejadian dalam hidupnya;
2.      Rites, pemujaan atau bentuk-bentuk dalam peribadatan;
3.      Etos, atau nilai moral kelompok;
4.      Pandangan tentnag dunia (world viewsi) atau perspektif kognitif yang memandang pengalaman kehidupannya sebagai dari kosmologi yang lebih besar dan penuh makna;
5.      System symbol yang terjalin dalam kepercayaan, emosi, dan hati nurani.[54]
Berbeda dengan ungkapan Amtsal Bakhtiar mengenai definisi Agama, agama jika di lihat dari pandangan filsafata adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang di anut oleh sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok yang di bahas dalam agama adalah eksitensi Tuhan, manusia dan hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan baian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika.[55]  
Bagi Jalaludin Rahmat agama menjadi sebuah relevan pada kenyataan terdekat  dan sekaligus misteri terjauh. Begitu dekat ia selalu haddir ddalam kehidupan sehari-hari--di rumah, kantor, media, pasar dan dimana saja berada. Begitu misterius; ia sering menampakan wajah-wajah yang tampak berlawanan memotivasi kekrasan tanpa balas kasih, pengabdian tanpa bata, mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan tahayul atau superstisi, menciptakan gerakan masa paling klosal, atau menyingkap misteri ruhani paling personal dan menebarkan kebenaran paling hakiki.[56] Agama begitu menampakan wajahnya yang begitu misteri, orang berbondong-bondong bersimpuh pada pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin dengan gaya agama baru. Dasar tersebut di karenakan suatu pengalaman agama yang di dapatnya dengan kehidupan sehari-hari.
Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar agama adalah meberikan orientasi, motivasi dan membantu manusia untuk mengenal dan menghayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious exsperince), yang penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksitensi sang illahi. Agama dirumuskan ditandai oleh tiga corak pengungkapan universal: pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan (belief system), pengungkapan peraktis sebagai sistem persembahan (system of worship), dan pengungkapan soaiologis sebagai sistem hubungan msyarakat (system of social relation), di sini  agama secara teorits merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk sangat kuat untuk membangun ikatan sosial religious masyarakat.[57]
Begitu juga yang terdapat dalam buku, Agama-agama Besar di Dunia Joesoef Sou’yb menyatakan bahwa agama itu suatu agama Wahyu (Revealed Religion) yang disampaikan oleh Nabi  Muhammad (570-632 M) di semenanjung Arabia pada awal abada ke-7 masehi. Agama sebagai penyerahan diri dengan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Esa bagi menata diri dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pedoman yang menjadi rujukan agama yaitu Al-Qur’an.[58] Dalam setiap agama akan mengajarkan pedoman kehidupan yang menjadi keyakinan masing-masing, yang di hasilkan dari suatu pengalaman pribadi baik  yang menganut agama Islam, Keristen, Hindu, Budha dan Konghuchu.
Menurut Joachim Wach, agama adalah perubahan manusia yang paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan  Pencita, kepadaNya-lah manusia memberikan kepercayaan dan keterikatan yang sesungguhnya. Wach mengutip Carlyle: dengan agama saya tidak mengartikannya di sini dengan kredo (syahadah) gereja yang diucapkan, artikel-artikel keimanan yang  akan ditanda tangai di depan altar, dan yang akan d ipelihara dalam ucapan perbuatan  lain sebagainya; bukan itu semua, juga tidak dalam berbagai pertimbangan lainnya. Tetapi agama adalah sesuatu yang dalam prakteknya seseorang benar-benar percaya dan dengan demikian cukup tanpa mempertahannya sekalipun dengan dirinya sendiri. Agama adalah sesuatu yang tidak berarti bagi orang lain. Tetapi adalah sesuatu yang ditaruh dalam-dalam di lubuk hati supaya biasa mengenalnya dengan pasti karena agama bersentuhan dengan hal-hal yang mutlak dalam alam penuh kerahasiaan ini, di samping kewajiban serta nasibnya ditetapkan di sana yang dalam semua hal merupakan sesuatu yang utama, yang secara kreatif menentukan segala yang lain.[59]
Agama yang dianggap sebagai suatu jalan hidup bagi manusia (way of life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk memelihara integritas manusia dalam mebina hubungan dengan Tuhan dengan sesame manusia dan dengan alam yang mengintarinya. Dengan demikian agama pada dasarnya berfungsi sebagai alat pengatur terwujudnya integritas hidup. Agama merupakan firman Tuhan yang  di wahyukan kepada utusan-Nya untuk di sampaikan kepada manusia. Selaku titah dari Yang Mahakuasa yang terdapat di alam sama. [60] Agama sebagai aturan atau undang-undang yang telah di tentukan dan tidak bisa di tentang serta harus dijalankan sesuai dengan kemampuan dirinya dengan hasil pengalaman sebagai momentum dasar bagi keyakinan agama tersebut.
Agama menurut Kitagawa, merupakan fenomena yang kompleks, dan di dalamnya terdapat unsur dan dimensi yang berbeda. Perbedaan ini terutama berhubungan dengan penyikapan manusia, yang homo religious, terhadap alam  yang penuh dengan misteri. Oleh karena itu tidak ada satupun agama yang menggambarkan secara tepat ddan komprehensif tentang agama itu sendiri. Berdasarkan  inilah, Kitagawa mendefinisikan agama sesuai dengan anggapan umum yang di terima oleh para ahli ilmuan.[61] Agama menghasilkan suatu fenomena yang terjadi pada manusia yang menimbulkan karakteristik pengalaman keagamaan yang sama dan keagamaan yang berbeda. Sesuai apa yang telah di temukan di dalam agama pribaddi itu sendiri.
Dari sekian definisi bisa kita simpulkan kedalam dua kelompok. Pertama, definisi agama yang menekankan pada segi rasa keimanan atau kepercayaan, yang Kedua, menekankan pada segi peraturan hidup atau tuntunan cara hidup di dunia, kombimasi keduanya dapat kita lihat misalnya pada kamus filsafat dictionarie ilulustre des philosophes yang mengatakan bahwa agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang selalu di hubungkan dengan Tuhan. Menurut hemat penulis agama ialah peraturan Tuhan tentang bagaimana cara hidup.[62] Dengan agama-lah mansuia akan mampuh bertahan dalam kehidupannya, ketika seorang manusia prustasi dengan keadaanya maka agamalah yang menjadi penentram batin bagi jiwa manusia.
Agama merupakan suatu penyerahan kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia yang dipercayai mengatur jalannya alam dan kehidupan manusia. Apabila dilihat dari asal usulnya agama, maka dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu agama wahyu dan agama duniawi. Agama wahyu merupakan agama yang bersumber pada wahyu Tuhan, sedangkan agama duniawi merupakan hasil akal pikiran manusia.[63]
2.      Pengertian Keagamaan
      Salah sau yang ada dalam agama adalah penbgalaman keagamaan, di mana setiap manusia yang beragama sudah barang tentu akan dan pernah mengalami pengalaman keagamaan tersebut. Pengalaman adalah universal. Para ahli antropologi, seperti Marett dan Malinowski, telah membuktikan bahwa, jauh dari sesuatu yang sifatnya diinduksikan dengan cara di buat-buat (diciptakan, sebagaimana yang diyakini pada masa pencerahan), agama adalah merupakan ungkapan dari perasaan ketuhanan (sensus numinis, istilah Otto yang sekarang terkenal) yang terdapat di mana-mana. Henri Bergson mengemukakan: “ tidak pernah ada suatu masyarakat yang  tanpa agama; dan Raymond Firth menegaskan bahwa “ agama adalah sesuatu yang universal dalam masyarajat manusia.[64]
      Joachim Wach sebagaimana diungkakan oleh Joseph Kitagawa, pengalaman keagamaan adalah tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Yang dimaksud dengan Realitas Mutlak adalah realitas yang menentukan dan mengikat segala-galanya, yang dalam istilah Dorothy Emment disebut dengan “ yang memberi kesan dan menantang kita. Dengan demikian bahwa pengalaman mengenai sesuatu yang sifatnya tidak akan  dapat merupakan suau pengalaman keagamaan melainkan sekedar sebuah pengalaman pseudo-agama.[65]
      Apabila kita mengemukakan pengalaman keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan empat hal. Pertama,  anggapan dasar  bahwa di dalam tanggapan terkandung beberaoa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konswpsi, dan lain sebagainya. “ kesadaran,” menurut Whitehead, “memerlukan adanya pengalama.”Kedua, tanggapan  dipandang sebagai bagian dari suatu perjumpaan. Ketiga, menghayati “realitas yang  tertinggi mengandung arti adanya hubungan yang dinamis antara orang yang menghayati  dengan yang dihayati. Keempat, pengalaman keagamaan ada terus menerus.
3.      Pengalaman Keagamaan
Agama sebagai jalan punggung manusia untuk mencapai keyakinan  yang supranatural. Sedangkan keagamaan itu sendiri perillaku dan pengalaman yang di hasilkan oleh  mansuai setelah menemukan agama. Salah satu yang ada dalam agama adalah pengalaman keagamaan, di mana setiap manusia yang beragama sudah barang tentu akan dan pernah mengalami pengalaman keagamaan tersebut. Pengalaman adalah universal. Para ahli antropologi, seperti Marett dan Malinowski, telah membuktikan bahwa, jauh dari sesuatu yang sifatnya diinduksikan dengan cara di buat-buat (diciptakan, sebagaimana yang diyakini pada masa pencerahan), agama adalah merupakan ungkapan dari perasaan ketuhanan (sensus numinis, istilah Otto yang sekarang terkenal) yang terdapat di mana-mana. Henri Bergson mengemukakan: “ tidak pernah ada suatu masyarakat yang  tanpa agama; dan Raymond Firth menegaskan bahwa “ agama adalah sesuatu yang universal dalam masyarajat manusia.[66]
Dalam pandangan Elizabeth K.  Notingham salah satu motivasi manusia untuk melakukan dan menghayati agama adalah ketidakpuasan terhadap apa yang mereka dapatkan, karena agama mengandung nilai-nilai ajaran yang dapat menentramkan batin seseorang sehingga akan tercapai hidup bahagia aman dan tentram.[67]
Untuk mencapai hal tersebut ajaran dan petunjuk bagi para penganut agama untuk bisa selamat dari api neraka dalam kehidupan setelah mati, merupakan sesuatu yang ditawarkan agama sebagai sebuah sistem keyakinan. Karena itu keyakinan keagamaan dapat dilihat sebagai orientasi pada masa yang akan datang, dengan cara mengikuti kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh para penganut agama tersebut.  Karena agama berisikan ajaran-ajaran mengenai kebenaran tertinggi dan mutlak bagi eksistensi manusia dan petunjuk untuk hidup dan selamat di dunia dan di akhirat setelah mati. Agama sebagai sistem keyakinan juga dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sitem nilai yang ada dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong dan penggerak.[68]
Joachim Wach sebagaimana diungkakan oleh Joseph Kitagawa, pengalaman keagamaan adalah tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Yang dimaksud dengan Realitas Mutlak adalah realitas yang menentukan dan mengikat segala-galanya, yang dalam istilah Dorothy Emment disebut dengan “ yang memberi kesan dan menantang kita. Dengan demikian bahwa pengalaman mengenai sesuatu yang sifatnya tidak akan  dapat merupakan suau pengalaman keagamaan melainkan sekedar sebuah pengalaman pseudo-agama.[69]
Selain mengutip pendapat yang dikemukakan Joach Wach tentang hakikat pengalaman keagamaan, penulis juga mengutip pendapat yang  lain. Menurut Djamari, hakikat pengalaman religious, yaitu kepekaan terhadap yang suci, timbul dalam pergaulan dengan dunia, maka pengalaman religious (dan tiap-tiap pengalaman yang bersifat primer dan pondamental) harus dikatakan bukan hanya natural tetapi juga cultural sifatnya. Pengalaman religious itu sekaligus soal alam dan soal kebudayaan. Manusia yang beragama menghayati dunia sebagai tanda bekas dari Nan Ilahi. Sebagai demikian terpantullah dunia  di dalam batin manusia yang afektif dan patis itu. Oleh karenanya pengalaman religious harus disebut soal alam. Teapi pengalaman religious itu juga ber langsung dalam suatu tradisi kebudayaan afeksi manusia tida bisa tidak d ipengaruhi oleh gaya bahasa dan oleh hubungan dengan dunia. Kedua-duanya ini berubah-ubah sekedar kebudayaan makanya pengalaman religious itu pun soal kebudayaan.[70]
Apabila kita mengemukakan pengalaman keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan empat hal. Pertama,  anggapan dasar  bahwa di dalam tanggapan terkandung beberaoa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konswpsi, dan lain sebagainya. “ kesadaran,” menurut Whitehead, “memerlukan adanya pengalama.”Kedua, tanggapan  dipandang sebagai bagian dari suatu perjumpaan. Ketiga, menghayati “realitas yang  tertinggi mengandung arti adanya hubungan yang dinamis antara orang yang menghayati  dengan yang dihayati. Keempat, pengalaman keagamaan ada terus menerus.
Menurut Nico Syukur, yang dimaksud dengan istilah “pengalaman” ialah suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan praktis dengan dunia. Pergaulan  tersebut bersifat langsung, intuitif dan afektif. Dan istilah “dunia” mencakup baik orang maupun barang. Salah satu cirri  khas penbgatahuan semacam itu ialah tekanan pada unsure pasif. Dalam megalami sesuatu, orang pertama-tama merasa “kena” atau mengolah hal itu (sebagaimana terjadi dalam pemikiran). Oleh karena itu keindrawian, afeksi dan emosi memainkan peranan besar d alam pengalaman. Jadi pengalaman beragama ada sangkut pautnya dengan apa  yang bersifat irasional dalam diri manusia. “irasional” (= apa yang tidak bersifat rasio) maksudnya apa yang tidak berasal dari rasio atau sekurang-kurangnya t idak atau belum (dapat) diolah oleh rasio.[71]
Durkheim mengkaji pengalaman keagamaan sesuai dengan pengalaman pribadi, bahwa agama membuat pemisahan yang menggolongkan semua pengalaman manusia ke dalam dua kategori yang mutlak bertentangan, yakni pengalaman yang suci dan profan. Pengalaman yang profan adalah dunia pengalaman rutin, yang sampai tingkat tertentu sejalan dengan apa yang dimaksud Pareto sebagai pengalaman “logica-experimental” yang terasendensikan oleh agama. Agama sebagai suatu sikap terhadap yang suci, tidak mempunyai tujuan dan sasaran ekstrinsik dalam dirinya.[72]
Pengalaman keagamaan dapat merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai pada batasannya seakan-akan menyentuh apa yang ada di sebrang duniawi atau yang di luar profane. Pengalaman keagamaan ini yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan sifat-sifatnya. Akan tetapi karena pengalaman itu dirasakan oleh manusia, maka seringkali pengalaman yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal. Kesyahduan memandang Ka’bah, kelezatan bergelantung di Multazam, khusyuan shalat atau keasyikan bertawaf merupakan pengalaman keagamaan yang kudus.[73]
            Menurut Dadang Kahmad, pengalaman keagamaan adalah bersifat pribadi (individual expesriwnce) dan unik. Artinya pengalaman keagamaan yang di alami oleh seorang penganut suatu agama akan berbeda dengan pengalaman keagamaan yang di alami oleh seorang penganut agama lainnya. Setiap orang yang beragama selalu menjalankan ajaran agamanya, baik dalam bentuk ritual ataupun pelayanan, sehingga ia akan memperoleh pengalaman yang bentuk dan derajatnya sangat individual. Ini sebabnya pengalaman keagamaan yang satu dengan agama yanga lain.[74]
Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa pengalaman adalah pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan dari pergaulan praktis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan efektif.[75] Dan istilah dunia mencakup baik orang maupun benda. Salah satu ciri khas pengetahuan semacam itu ialah tekanan pada unsur pasif dalam mengatasi sesuatu, orang pertama-tama merasa kena ketika disentuh, lebih daripada secara aktif mengajarkan atau mengolah. Hal itu, sebagaimana terjadi dalam pemikiran oleh keindrawian, afeksi dan emosi merupakan unsur yang memainkan peranan besar dalam pengalaman keagamaan.
Ramayulis mengemukakan masalah tingkah-laku keagamaan pada manusia, bahwa tingkah-laku keagamaan pada manusia adalah segala aktivitas manuisa dalam kehidupan di dasarkan  atas nilai-nilai agama yang di yakininya. Tingkah-laku keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan jiwa keagamaan berdasarkan dan pengalaman keagamaan pada diri sendiri. Agama bagi manusia, memiliki  kaitan yang erat dengan kehidupan  batinnya. Oleh karena itu kesadaran agama dan pengalaman keagamaan seseorang banyak menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupanyang ada kaitannya dengan seseatu yang sakral dan  dunia ghaib, kesadaran agama dan pengalaman keagamaan ini  pula kemudian munculnya tingkah-laku keagamaan yang di ekspresikan seseorang.[76]
Selain itu juga, bahwa dalam rangka mencapai kedekatan dengan realitas mutlak atau realitas tertinggi yang tak terjangkau oleh indera manusia, maka manusia melakukan berbagai praktik Ritual keagamaan untuk mendekatkan diri dan berhubungan baik dengan Realitas Tertinggi atau Tuhan dengan melakukan berbagai ibadah, pemujaan, berkorban, bersemedi, berdo’a dan lain-lainnya. Jadi Ritual keagamaan dapat dipahami merupakan sebagai kegiatan empiris manusia dalam mengungkapkan kepercayaan dan keyakinanya yang diteransendensikan.[77]
B.     Hakikat Pengalaman Keagamaan
            Pengalaman keagamaan didefinisikan sebagai pencarian Realitas Asli. Dalam pencarian ini tampaknya agama-agama sering terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang unik dan universal. Banyak agama yang memperlihatkan kecendrungan untuk menawarkan sebagai jalan yang benar menuju keselamatan atau pembebasan.[78]
            Pengalaman keagamaan merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai pada batasanya seakan-akan menyentuh apa yang ada di seberang dunia atau yang ada di luar profan. Pengalaman keagamaan yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Akan tetapi karena pengalaman keagamaan itu dirasakan oleh mansuia, maka seringkali pengalaman keagamaan yang kudus bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjaddi dangkal.[79]
            Nico Syukur berpendapat mengenai masalah definisi ”pengalaman” ialah suatu pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan peraltis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan efektif. Oleh karena itiu keindrawian, afeksi dan emosi memainkan peranan besar dalam pengalaman.[80]
            Dalam definisi kita bahwa pengalaman keagamaan merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan empat hal. Pertama, anggapan dasar bahwa di dalam tanggapan terkandung beberapa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konsepsi, dan lain sebagainya. Maka dengan itu kesadaran memerlukan sebuah pengalaman. Kedua, tanggapan dipandang sebagai suatu perjumpaan. Pengalaman keagamaan yang murni telah dikenal oleh hermines religiosi di sepanjang masa dan di semua bagian dunia. Ketiga, menghayati realitas yang tertinggi terjadi adanya hubungan dinamis. Keempat, adanya pengalaman keagamaan secara sepontan bagi manusia.[81]
            Cara yang memungkinkan dalam menganalisa hakekat dari pengalaman keagamaan, menurut Joachim Wach, yaitu dengan pengungkapan masalah yang sangat penting dari kebenaran agama tanpa mengabsolutkan agama itu sendiri. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah memberikan penilaian terhadap hubungan yang sangat erat dengan penngalaman keagamaan dengan berbagai pengalaman yang lain, dan pada saat yang sama akan dapat melindungi hakikat pengalaman keagamaan yang sebenarnya.[82]
            Agama, menurut Emile Burnaos adalah ibadah, dan ibadah itu campur, agama merupakan amaliah akal yang mengakui adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, juga amalaiah hati manusia yang ber-tahajjuh untuk memohon Rahmat darikekuatan tersebut.[83]untuk itu dalam sebuah agama harus ada kebiasaan, bentuk ajaran, format ibadah, hukum dan peraturan perilaku, sebagai hubungan manusia yang dihayati antara manusia yang terasenden. Hubungan tersebut bersifat lahir dan bathin. Menurut Nico Syukur, dari segi bathin, agama menyangkut masalah perasaan, keinginan, harapan dan keyakinan manusia terhadap yang Trasenden sedangkan lahirnya agama menyangkut masalah kelakuan, aktivitas dan tindak-tanduk tertentu yang mengungkapkan segi batin tadi dalam praktek kehidupan.
            Agama-agama bukannya hanya ritus-ritus yang memberikan kelegaan emosional dan cara-cara untuk memperkokoh kepercayaan manusia agar mampu melaksanakan suatu pekerjaan, akan tetapi agama juga mengembangkan interpretasi-intrepetasi intelektual yang membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya. Perasaan dekat (akrab) dengan Tuhan, perasaan do’a-do’a yang terkabul, perasaan tentram bahagia mempertahankan Allah, perasaan mendapatkan peringtan atau pertolongan dari Allah; merupakan pengalaman-pengalaman individual yang sering dirasakan oleh manusia yang beragama.
            Pengalaman bathin individu sering juga terjadi ketika seseorang melaksanaan ritus-ritus keagamaan seperti: sahalat, puasa, korban, berdo’a, haji dan sebagainya; ketika seseorang ingin berbuat baik kepada sesamanya, ketika seseorang memikirkan keaguman Tuhan, janji dan ancaman Tuhan, ketika seorang meyakini akan datangnya hari pembalasan, ketika ada perasaan-perasaan aneh yang sulit di pahami, ketika rasa takut dan cinta dan perasaan pesona yang berhubungan dengan yang terasenden.[84] Manusia dalam beragama itu memperkembangkan hubungan  dengan Tuhan atau ”Naan Ilahi” dalam bentuk pola-pola perasaan  dan sistem-sistem pemikiran  (keyakinan religius, ajaran agama, mitos dan dogma), sistem kelakuan sosial (upacara sembahyang bersama, ritus, liturgi) dan organisasi-organisasi.[85]
            Ada empat pengalaman keagamaan menurut Joachim Wach. Pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut, apa yang dikatakan pengalaman hanya ilusi belaka. Kedua, mengakui eksitensi pengalaman keagamaan tersebut tidak dapat dipisahkan, karena sama pengalaman yang bercorak umum. Ketiga, mempersamakan antara bentuk sejarah agama dengan pengalan keagamaan. Keempat,pandangan yang mengakui suatu pengalaman keagamaan murni yang dapat didefinisikan dengan mempergunakan keriteria tertentu.[86]
            Adapun kriteria tersebut, sebagaimana yang di tunjukan oleh Joachim Wach ada empat yaitu, pertama, pengalaman keagamaan itu merupakan tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai realitas mutlak. Realitas mutlak adalah Realitas yang menetukan dan mengikat segala-glanya. Dengan kriteria di atas, maka pengalaman keagamaan yang mengikut sertakan empat hal, pertama anggapan dasar bahwa di dalam tanggapan terkandung beberapa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konsepsi dan sebagainya. Kedua, tanggapan di pandang sebagai suatu perjumpaan. Ketiga, menghayati ealitas yang tertinggi mengandung arti adanya hubungan yang dinamis antara orang ynag menghayati dan dihayati. Keempat memahami karakteristik situasional dari pengalaman keagamaan, yaitu memandangnya dalam konteks yang khusus.
            Kriteria kedua adalah pernyataan bahwa pengalaman keagamaan harus dipandang dengan suatu tanggapan yang menyeluruh dari makhluk utuh terhadap relaitas Mutlak. Berarti peribadi yang utuhlah yang terlibat, yang terdiri dari fikiran, perasaan dan kehendak hati. Menurut Mouroux, pengalaman keagmaan merupakan suatu bertingkat yang terdiri dari tiga unsur, yaitu, akal perasaan dan kehendak hati. Sedangkan Maret mengemukakan bahwa dalam setiap fase yang kongkrit, proses berfikir merasa dan berkehendak adalah sama-sama terlibat sedangkan tujuan analisa suatu ketika ditekankan pada pemikiran, suatu ketika pada perasaan dan ketika yang lain pada tingkah laku menjadi tempat di ungkapkannya pengalaman keagamaan.
            Kriteria ketiga,  kedalam, (intensity). Secara potensial pengalaman keagamaan merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh mengesankan dan mendalam yang sanggup di miliki manusia. Tokoh-tokoh agama disegala zaman dan dimana saja telah memperlihatkan bukti pengalaman keagamaan ini dalam pemikiran, kata-kata dan perbuatan.
            Kriteria keempat, adalah tersebut dinyatakan dalam perbuatan. Pengalaman keagamaan merupakan sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan. Perbuatan merupakan bukti yang tepat untuk menunjukan bahwaseseoranbg sebagai pemeluk agama yang sungguh-sungguh. Perbuatan akan menunjukan pengalaman tersebut bersifata sepiritual dan agamis.[87]
Joachim Wac memaparkan pengalaman hidupnya dia pernah mengalami pengalaman yang sangat religious yaitu perasaan terhadap ajaran agama yang dipahaminya. Sedikitpun tidak dapat disangkal bahwa pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia, hakikat kemanusiaan yang  umum mencakup kemungkinan yang selalu ada pada agama. Di lain tempat pengarang yang sama juga mengemukakan  “ Perasaan keagamaan yang terdapat dalam diri manusia adalah segi yang bersifat tetap dan universal dalam kehidupan mentalnya”.[88]
            Jika hanya ada satu atau beberapa diantara keriteria di atas tidak cukup memberikan karakteristik yang jelas pada suatu pengalaman. Sebagai pengalaman keagamaan dan hanya merupakan pengalaman keagamaan semu (pesudo agama) atau pengalaman semi keagamaan. Pengalaman keagamaan memerlukan adanya kemampuan dalam diri manusia untuk memberikan tanggapan. Pemikiran tentang penampakan Tuhan sebagai kenyataan objektif dalam alam, sejarah dan kehidupan manusia, memerlukan adanya suatu kesiapan bathin dalam diri manusia sebagai imbangan untuk memahamminya secara sepiritual.[89]
            Walaupun pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan bermacam-macam, namun menurut Trueblood, ada beberapa proses untuk menyelediki  kebenaran pengakuan pengalaman keagamaan, yaitu pertama, bilangan  orang yang mengaku mempunyai pengalaman keagamaan, jika lporan pengakuan itu sedikit, kemungkinan hal itu tidak benar, tetapi apabla pengaluan itu tidak di laporkan oleh macam-macam orang dari periode dalam sejarah, maka keberadaan pengalaman keagamaan akan lebih dapat dipercaya. Kedua, budi pekerti orang yang menyatakan pengakuan. Apakah berakhlak baik atau seorang pemohong. Ketiga, penyesuaian antara laporan-laporan pengakuan tersebut. Didalam pengakuan tersebut terdapat kesamaan yang poko dan universal. Keempat, perubahan hidup dari orang yang berpengalaman keagamaan sebagai tanggapannya atas penghubung dengan Tuhan. Hakikat yang ada pada pengalaman keagamaan menyangku beberapa hal yang diantaranya:
1.      Hakekat Tuhan
Inti pengalaman keagamaan adalah Tuhan. Kalimat Syahadah, atau pengakuan penerimaan dengan Islam, menegaskan ”tidak ada Tuhan selain Allah.” nama Tuhan adalah ”Allah”, dan menepati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapan-pun. Bagi kaum Muslim, Tuhan merupakan obsesi yang agum.[90] Tuhan sebagai kenormativan berarti bahwa dia adalah Dzat yang Memerintah. Gerakan-gerakan-Nya, pemikiran-pemikiran-Nya dan perbuatan-perbuatan adalah realitas-realitas yang tak bisa diragukanuatan-Nya; sepanjang manusia memahaminya, satu nilai baginya, suatu keharusan, bahkan jika, dalam kasus dimana hal telah disadari, tidak ada kewajiban yang timbul baginya. Disamping bersifat etafisik, sifat ultimat Tuhan bagi seorang Muslim tidak dapat dipisahkan dari atau ditekankan dengan mengorbankan sifat aksiologi-Nya. Tuhan sebagai tujuan terakhir, yakni akhir di mana semua kaitan finalistik mengarah dan berhenti. Dia adalah tijuan akhir dari segala kehendak dan keinginan.[91]
Mengenai konsep hakikat ketuhanan Mariasusai Dhavamony, kepercayaan pada ”adikodrati”, dengan siap manusia berhubungan dalam pengalaman religiusnya, merupakan has semua agama dan di anggap sebagai yang umum dan merata (ada dalam setiap agama). Kendati demikian, kepercayaan pada Tuhan ada dalam banyak manifestasi yang berbeda dalam semua hampir agama. Di mana  satu Tuhan disembah sebagai yang Maha Tinggi, secara implisit dan eksplisit hal itu mengesampingkan yang Maha Tinggi lainnya, kita menyebut monotaisme.[92]
Lebih jauh, para sufi mewujudkan Tuhan dalam manifestasi Jamaliyyah (keindahan) dan Jalaliyyah (keagungan) Tuhan. namun kedua argumen tentang Tuhan itu berasal dari pengalaman akal dan hati manusia yang sangat subjektif tentunya. Apapun argumennya, baik itu argumen akal ataukah hati, melahirkan ketrpecahan makna pemahaman ketuhanan. Akhirnya, kita harus sepakat tentang keberadaan tuhan, bahwa Tuhan itu ada kalau kita menyebut-Nya. Itulah kesepakatan primordial kita tentang Tuhan yang termanifestasi dalam realitas. Tuhan itu ada atas kesepakatan kita.[93]
Hal-hal yang perlu di ingat oleh manusia mengenai masalah hakekat Tuhan:
a.       Bahwa segala sesuatu selain ari pada Tuhan, termasuk keseluruhan alam semesta, tergantung pada Tuhan.
b.      Bahwa Tuhan Yang Maha Besar dan Perkasa pada dasarnya, adalah Tuhan yang maha pengasih; dan Tuhan.
c.       Bahwa aspek-aspek ini sudah tentu mensyaratkan sebuah hubungan yang tepat diantara Tuhan dengan manusia-manusia, hubungan diantaranya di per-Tuhan dengan hambanya dan sebagai konsekwensinya sebuah hubungan yang tepat antara manusia dengan manusia.[94] Manusia dalam menanggapi masalah hakikat Tuhan (Allah) berbeda pendapat.
Dalam menanggapi ada atau tidak adanya Allah ini manusia sudah terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu: Pertama, mengakui adanya Allah. kedua, tidak mengakui adanya Allah. Kelompok yang mengakui adanya Allah terbagi pula kedalam dua kelompok yaitu;
1.      Mengakui adanya Allah dengan memeluk agama.
2.      Mengakui adanya Allah tidak memeluk agama.[95]
Dengan demikian hakekat Tuhan ada karena adanya suatu penciptaan di dunia ini, maka dengan pengalaman agamalah manusia cara mengenal hakikat, tanpa adanya suatu pegangan dalam diri dan tanpa pengalaman dari suatu agama tidak akan menemukan hakikat tersebut.
Tuhan (Allah Swt) adalah suatu zat yang tidak terdiri atas sesuatu, maka tidak membutuhkan waktu dan Ruang, pengertian Tuhan tidak membutuhkan ruang dan waktu adalah ruang dan waktu adalah mahluk. Tuhan menepati ruang Tuhan sendiri yaitu,  arsy (alam Tuhan) di luar alam makhluk. Sebab pengertian adanya suatu dzat yang tidak membutuhkan ruang adalah sulit di cerna oleh akal.[96] Tuhan dalam pandangan filsafat islam adalah pengetahuan yang terjadi dari pengetahuan tentang sifat-sifatnya.
M. Quraish Shihab mengemukakan tentang Tuhan, hampir semua manusia mempercayai adanya Tuhan yang mengatur alam Raya ini. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme (keyakinan banyak Tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan), Dewa Kecantikan, Mars adalah dewa peperangan, Minerva adalah dewa Kekayaan, sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Maatahari.[97] Keyakinan tentang Kesaan Allah, memang tidak di temukan dalam Al-Qur’an ayat yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syekh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam wa A’l-Aql menegaskan bahwa “jangankan Al-Qur’an, Kitab Taurat, dan Injil dalam bentuknya sekarang-pun (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) tidak menguraikan tentang Wujud Tuhan”. Ini disebabkan karena Wujud-Nya sedemikian Jelas, dan “terasa” sehingga tidak perlu dijelaskan. Al-Qur’an mengisyaratkan bahwa kehadiran Tuhan ada dalam setiap diri insan, hal tersebut merupakan fitrah  (bawaan) manusia sejak asal kejadiannya.[98] 
Harun Nasution mengungkapkan tentang adanya suatu kepercayaan pada manusia terhadap keagamaan. Menurutnya kepercayaan pada Tuhan adalah  dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan. Tiap-tiap agama mempunyai kepercayaan pada yang gaib dan cara hidup manusia yang berbeda, percaya pada agama di dunia ini amat rapat hubunganhya dengan kepercayaan tersebut pada hal yang gaib. Kekuatan gaib itu, kecuali  dalam agama-agama primitif, di sebut Tuhan.  Artinya bagi orang primitif sesuatu yang gaib adalah sesuatu yang menjadi pegangan kepercayaan secara supranatural dalam kehidupannya.[99]
2.      Hakekat Kemanusiaan
Manusia adalah ciptaan Tuhan. Ini diciptakan secara alamiah, karena Tuhan nciptakan Adam dari tanah (15: 26, 28, 33, 6, 2, 7, 12 dan ayat-ayat lainnya) yang jika diorganisir kedalam diri manusia akan akan menghasilkan ekstrak. Jika seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau kejahatan maka kesempatannya untuk melakukan perbuatan serupa bertambah dan untuk melakukan perbuatan yang berlawanan semakin berkurang. Walaupun demikian, perbuatan-perbuatan yang menyebabkan kebiasaan psikologis, betapapun kuat pengaruhnya, tidak boleh dipandang sebagai determinan yang mutlak, karena bagi tingkah laku manusia tidak ada keterlanjuran yang tak dapat diperbaiki. Taubat mengubah seorang menjadi saleh.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan yang menyebabkan semuah dosa-dosa besarnya adalah ”kepicikan” (dha’f) dan kesempitan pikiran (qathr). Sifat manusia adalah mudah goyah, sifat yang senantiasa beralih dari satu titik kesatu titik ekstrim lainya yang di sebabkan oleh kesempitan akal dan kepicikannya. Al-Qur’an memetingkan tiga macam pengetahuan untuk manusia yaitu:
a)      Pengetahuan mengenai alam yang telah dibuat Allah tunduk kepada manusia, atau sains-sains alamiah.
b)      Pengetahuan sejarah al-qur’an dan kitab-kitab yang telah dibuat senantiassa manusia untuk berjalan di muka bumi sehingga dapat menyaksikan apa-apa yang telah terjadi pada kebudayaan masa lampai dan menganggap kebudayaan dapat bangkit dan runtuh.
c)      Pengetahuan mengenai diri sendirinya.[100]
Siapakah sebenarnya manusia itu? Untuk apakah mansia itu hidup? Apakah  arti atau  makna hidup? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sezak zaman Yunani sampai  zaman sekarang dan yang akan datang, akan terus merupakan bahan pemikiran yang tak akan habis-habisnya. Pertanyaan tersebut sedikit banyak pernah menyentuh manusia bagi yang mempunyai akal. Oleh karena itu mmansuia adalah  mahluk yang ingin mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia di dasari atau tidak didasari. Walaupun pertanyaan itu berfilosof akan tetapi mengandung ajwaban menetukan derajat seseorang, corak tipe dan watak kpribadiannya. Hakikat manusia tidak terlepas dari bayangan dirinya untuk selalu merubah kekuarangan ayang ada di dalam dirinya untuk mendapat nilai bagus di hadapan Allah Swt.[101]
Hakikat manusia ada beberapa definis yang diantaranya sebagai berikut :
1.      Makhluk yang memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhannya.
2.      Individu yang memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial.
3.      yang mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4.      Makhluk yang dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai (tuntas) selama hidupnya.
5.      Individu yang dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk ditempati.
6.      Suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan potensi yang tak terbatas.
7.      Makhluk Tuhan yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
8.      Individu yang sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam lingkungan sosial.[102]
Dalam bukunya Man The Unknown, Dr, A, Carrel, sebenarnya manusia untuk mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki pemberdaharaan yang cukup banyak dari hasil para ilmuan untuk menjelaskan manusia. Mengenai keterbatasan manusia atas dirinya di sebabkan oleh:
a.       Pembahsan manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya pperharian manusia hanya tertuju pada penyelidikian tentang alam materi.
b.      Ciri khas akal manusia yng lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini  disebabkan oleh sifat akal kita seperti yang dinyatakan  oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup.
c.       Multikompleksnya masalah mansuia.[103]
Manusia memiliki sifat kekurangan dan kelebihan tergantung kualitas pikirannya dan hati yang menjalankan dalam agama tersebut. Karena Al-Qur’an sendiri menjelaskan tentang adanya sifat pujur dan taqwa yang ada dalam diri manusia. Maka manusialah sendiri yang dapat bisa menjalankan kehidupan sesuai dengan pemikiran akal yang telah di berikan oleh Allah kepadanya.
Al-Qur’an menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas, al-basyar, dan banii Aadam. Manusia disebut al-insaan karena dia sering menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas (terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari manusia. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut sebagai banii Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali. 
Penggunaan istilah banii Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan huruf nidaa (Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta) dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam surah al-Baqarah ayat 35. Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah makhluk anthropomorfisme yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia takwa.
Al-Qur’an memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan, mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif). 
Karena itu, kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah. Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya. Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain. Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin di atas. Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud, superego selalu mendampingi ego. Jika ego yang mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah) berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia. Sebaliknya, superego pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali adalah ego yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu sendiri.
Sebagai kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara naluri dan nurani. Dalam rentetan seperti itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif. Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego, sebagi conscience atau sebagai nafsu muthmainnah (dorongan yang positif). Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada hewan. 
Manusia bisa berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat, melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di muka bumi secara bertangung jawab. Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling murni.[104]
Nurcholis Madjid mengemukakan perintah mengesakan Tuhan mengandung bahwa manusia hanya boleh tunduk kepada Tuhan. Ia tidak boleh tunduk pada selain-Nya karena ia adalah puncak ciptaan-Nya. Karena ia hanya boleh tunduk pada Tuhan, manusia oleh Allah dijadikan sebagai khalifah di bumi (Q.S al-Baqarah {2}: 30). Karena manusia adalah khalifah di bumi, maka alam selain manusia ditundukan oleh Allah untuk manusia.[105]
Dapatlah diketahui bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah dengan segala perkembanagan dan pertumbuhan tidaklah dengan permintaan manusia itu sendiri dan bukanlah oleh permohonannya terlebih dahulu. Hakikat manusia ke muka bumi di ciptakan untuk patuh dan tunduk kepada apa yang telah di berikan aturan, melalui akalnya itu sendiri. Sehingga manusia lebih sempurna ketimbang debngan makhluk lainya, jika manusia itu mempunyai dan memperguanakan akalnya dengan baik. Kata-kata “MANUSIA” itu menurut kitab Sutasuma karangan I. Gt. Sugerewa. Adalah terdiri dari dua patah kata, yaitu: MANUS dan IA, Manus artinya Jiwa, sedang ia artinya tubuh kasar/jasa/jisim. Jadi manusia itu suatu tubuh kasar, kerangka jasmani yang berjiwa –raga. Para Ulama ‘ Manthiq memberikanta’rief/definisi kepada manusia itu dengan kata-kata Al-Insannun Hayawanun Natikun,  benda hidup yang berjiwa dan bernyawa yang bisa berbicara yang mempunyai akal.[106]
Agustinus mengatakan “bahwa manusuia adalah mengetahui pengetahuan yang berawal dalam panca indra yang menangkap kesan dari semua keadaan dan peristiwa. Kemudian kesan ini diantarkan ke otak yang memikirkan itu. Apabila pemikiran kesan ini tidak benar, maka ini bukanberarti bahwa kesalahan tidak terletak didalam jiwa yang memikirkan kesan itu. Kesan adalah pancaindra bathin kita, diatas pancaindra ada ratio Ratio atau bathin adalah bagian dari tubuh”.[107]
Mr. D. C. Mulder, seorang serjana protestan mencatat bahwa:
“Menurut aliran rasionalisme pertanyaan tentang manusia dapat dijawab seperti berikut: manusia adalah makhluk yang berakal; akallah yang membedakan  pokok di antara manusia dan binatang; akallah yang menjadi dasar pada kebudayaan”.
Berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Harold H. Titus manusia adalah organism hewani, itu memang benar, namun dia mampu mempelajari dirinya sendiri sebagai suatu organism dan memperbandingkan dan menafsirkan bentuk-bentuk hidup dan mampu menyelidiki makna eksitensi insane. Untuk melakukan hal itu dia harus sanggup  seakan-akan berdiri di luaratau di atas kehidupan dan kondisi yang di timbang dan dibandingkannya itu. Manusia hidup pada titik  di mana natur dan sepirit bertemu.[108]
3.      Hakekat Alam
Alam semesta adalah totalitas ruang dan semua yang ada di dalamnya. Lebih tepatnya alam semesta dapat di definisikan sebagai totalitas ruang, waktu materi atau bermacam-macam ruang dan waktu. Alam semesta tidak terbatas, yaitu lebih luas daripada ketidakterbatasan alam semesta dalam imajinassi kita sebelumnya.[109]
Apakah Alam itu qadim (azali), ataukah muhdats (diciptakan dari ketiadaan)? Bagaimanakah alam diciptakan? Dari apakah alam diciptakan ? Semuanya itu merupakan problema pokok yang dibahas para ulama ahli kalam. Kaum filosof berpegang pada pendapat yang mereka warisi dari orang Yunani: bahwa Alam adalah qadim (Azali). Ini dengan tegas dinyatakan Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan Plotinus. Menurut Plato, Alam memang qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya.[110]
Berbicara tentang hakikat alam ada beberapa argumen, salah satu diantaranya adalah argumen kosmologis. Argumen ini disebut juga argumen sebab-musabab, yang timbul dari paham bahwa alam adalah bersifat ( mumkin-contingent ) dan bukan bersifat wajib (wajib-necessary) dalam wujudnya. Dengan lain kata karena alam adalah alam yang dijadikan, maka mesti ada zat yang menjadikannya. Argumen kosmologis ini adalah argumen yang tua sekali seperti halnya dengan argumen ontologis. Kalau argumen ontologis berasal dari Plato, maka argumen kosmologis berasal dari Aristoteles ( 384-322 SM ), murid Plato.[111] Banyak para filosof Barat mengemukakan tentang hakikat alam Hakikat Alam diantaranya sebagai berikut:
  1. Menurut Isaac Newton (1725 M).
Dari temuannya yang terkenal ”Mechanistic determinisme” atau hukum mekanik. Dengan ditemukannya hukum mekanik ini oleh Newton, maka tersibaklah rahasia kerja alam sehingga campur tangan Tuhan terhadap alam seperti yang dijelaskan oleh agama dipandang tidak begitu penting lagi.
  1. Menurut Laplace, merupakan pengikut Newton  (Abad 18).
Menurutnya peran Tuhan dalam teori penciptaan hanya sebagai hipotesa, bahkan hipotesa yang tidak diperlukan lagi karena telah dapat dijelaskan secara sempurna oleh hukum mekanik tentang bagaimana cara bekerja alam semesta.
  1. Paham Deisme.
Bahwa setelah penciptaannya oleh Tuhan, alam telah lepas tangan. Ia tidak lagi mencampuri urusan ciptaan-Nya. Tak ubahnya seperti jam tangan yang telah lepas dari hubungan pembuatnya. Sebuah teori yang dikenal dengan ”clock maker theory”. Paham Deisme ini timbul pada abad 17 dan berasal dari Falsafat Newton (1642-1727) yang mengatakan Tuhan hanya pencipta alam dan jika ada kerusakan baru alam perlu pada Tuhan untuk memperbaiki kerusakan yang timbul itu. Dengan Demikian orang melihat bahwa perlunya Tuhan bagi alam menjadi kecil.
  1. Menurut para pendukung  Paham Naturalisme.
Alam telah dipandang independen dari campur tangan Ilahi dan telah mencapai otonominya yang telah maksimal, bahkan kerap dipandang telah menciptakan dirinya (self generation)dan beroperasi dengan sendirinya (self operating).[112]
  1. Menurut paham panteisme.
Pan berarti seluruh. Panteisme dengan demikian mengandung arti seluruhnya ada dalam keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya. Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra adalah bagian dari Tuhan.
a.    Menurut Al-Kindi (796-873).
Alam ini diciptakan dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam mempunyai hubungan sebab dan musabab. Sebab mempunyai efek kepada musabab, rentetan sebab-musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta alam.
b.    Menurut Al-Farabi (872-950).
Alam bersifat mumkin wujudnya dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib wujudnya untuk merubah kemungkinan wujudnya kepada wujud hakiki, yaitu sebagai sebab bagi terciptanya wujud yang mungkin itu. Rentetan sebab-musabab tidak boleh mempunyai kesudahan dan oleh karena itu harus ada sesuatu zat yang wujudnya bersifat wajib dan tidak berhajat lagi pada sebab diatas. Allah maha sempurna, berdiri sendiri, ada semenjak zaman azali, tidak berubah dari satu hal ke hal lain.[113]
c.    Menurut Ibnu Sina (980-1037).
Ibnu Sina membagi wujud kedalam tiga macam: wujud mustahil (mumtani'), wujud mungkin (mumkin), dan wujud mesti (wajib). Tiap yang ada harus mempunyai esensi (mahiah) disamping wujud. Diantara wujud dan mahiah, wujudlah yang lebih penting, karena wujudlah yang membuat mahiah menjadi ada dalam kenyataan. Mahiah hanya terdapat dalam pikiran atau akal sedang wujud terdapat dalam alam nyata, diluar pikiran atau akal. Mumtani adalah mahiah yang tidak bisa mempunyai wujud dalam alam nyata seperti adanya kosmos lain disamping kosmos kita ini.[114] 
C.     Bentuk-bentuk Pengalaman Keagamaan
Salah satu karakteristik yang universal dari pengalaman keagamaan adalah cendrung untuk mengungkapkan diri. Tetapi, bentuk ungkapan dan hubungan antara bentuk ungkapan tersebut dengan pengalaman, sangat beraneka ragam sesuai dengan ragam kebudayaan, sosial agama yang ada. Unngkapan pengalaman keagamaan akan terlihatdalam tingkah laku (baik berupa pemujaan ataupun dalam pelayanan) dan ungkapan-ungkapan bidang inntelektual atau ungkapan pengalaman keagamaan ada tiga, yaitu; bentukk pemikiran atau intelektual (teoritis), bentuk perbuatan atau peraktis dan bentuk persekutuan atau kelompok keagamaan.[115]
1.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Pemikiran
Ungkapan keagamaan yang diungkapkan dalam bentuk pemikiran atau secara intelektual (teroritis), bisa bersifat sepontan, belum mantap atau baku dan tradisonal. Ungkapan keagamaan teoritis yang paling penting terdapat dalam mite, Joachim Wach di balik mite tersembunyi realitas-realitas yang paling benar, yaitu fenomena asli kehidupan spiritual. Mite merupakan suatu pokok dan unik dalam memahami realitass, sebagai suatu pernyataan tentang realitas dahulu yang lebih relevan.[116]
Menurut Mirca Eliade mitos merupakan dasar kehidupan sosial dan kebudayaan bagi manusia religious arkais. Eliade memandang mitos sebagai usaha manusia arkais untuk melukiskan lintasan yang supra-natural kedalam dunia.[117] Sedangkan sifat mitos, dikemukakan Honing adda tiga. Pertama, mitos terjadi pada zaman permulaan. Kedua, mitos oleh manusia primitif dianggap sebagi peristiwa yang betul-betul pernah terjadi dan dialami oleh para dewa atau nenek moyang. Ketiga, mitos mempunyai daya kekuatan untuk menguasai.
Yang menjadi dasar muncul mitos-mitos di masyarakat sebenarnya dari pertanyaan-pertanyaan besar, seperti mengapa kita disini? Darimana kita datang? Mengapa kita mati? Pertanyaan ini dijawab dengan cerita-cerita yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan akhirnya dianggap sebagai sebuah realitas yanghidup. Eliade, membedakan beberapa tipe mitos, yaitu: Pertama, mitos kosmogoni yang mengisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan. Kedua, mitos asal-usul, yang mencritakan asal mula sesuatu, asal mula manusia, binatang, tumbuhan- tumbuhan, benda-benda dan sebagainya. Ketiga mitos dewa-dewa dan makhluk-makhluk Ilahi: yang mengisahkan bahwa setelah dewa tertinggi menciptakan dunia, kehidupan dan manusia, dia merasa payah. Seluruh tenaganya terkuras habis. Kemudian ia mengundurkan diri dari langit dan penyempurnaan penciptaanya diserahkan kepada mahluk-makhluk Ilahi lain, yatu anak-anaknya atau wakil-wakilnya seperti dewa matahari, dewa topan, dewakesuburan dan sebagainya. Keempat, mitos androgini, yang merupakan suatu keseluruhan ke-eksistensi dari hal-hal yang bertentangan. Kelima, mitos, akhir dunia, yaitu mitos yang mengisahkan malapetaka yang mengancurkan dunia. Manusia arkais mempunyai pandangan bahwa akhir dunia itu sudah terjadi pada masa lampau, tetapi masih akan terulang lagi pada massa yang akan datang.[118]
Cara kedua pengungkapan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah doktrin. Apa-apa yang terkandung dalam simbol dan digambarkan oleh mitos. Apabila keadaan memungkinkan akan dijelaskan secara sistematis, ditetapkan sebagai norma dan mempertahankan dari penyimpangan.[119] Menurutnya doktrin mempunyai tiga macam fungsi yang berbeda, yaitu penegasan dari penjelasan iman, pengaturan kehidupan normatif dalam kelakuan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Dengan pengertian ini, doktrin akan mengikat dan hanya akan berarti bagi masyarakat yang beriman.
Adapun faktor penyebab perkembangan mitos menjadi doktrin, adalah: pertama, kenginan untuk berpautan, sesuatu dorongan yang bersifat sistematis; kedua, kenginan untuk memelihara kemurnian pandangan; ketiga, keingintahuan; keempat, tentang keadaan; kelim, adanya kondisi-kondisi sosial, terutama adanya sesuatu pusat kekuasaan, dalam istialah Yunani, theologi seringkali diaplikassiakn untuk doktrin, padahal teologi dan nalar bukan dengan sendirinya menjadi sumber pengetahuan tentang Tuhan. Keduanya mmerupakan cara intelektual dalam merumuskan Tuhan. Sedangakan doktrin merupakan rumusan-rumusan yang sistematis terhadap pengakuan kekauasaan Tuhan.
Bentuk ungkapan intelektual  pengalaman keagamaan yang ketiga adalah dogma. Dogma hanya dapat timbul apabila wewenang sebuah kekauasaan untuk menetapkan diakui secara jelas. Dogma dimaksudkan untuk memberikan ketentuan dan kepastian yang lebih besar terhadap keyakinankeyakinan agama.
 Ungkapan pengalaman keagamaan yang teoritis, dapata pula ditemukan dalam bentuk lain. Untuk bebrapa waktu ungkpan itu terpelihara dari mulut ke mulut, tetapi lama kelamaan dituangkan dalam tulisan. Cerita-cerita suci, nyanyian, do’a dan sebagainya merupakan tingkatan-tingkatan yang dapat membawa pada suatu kelanjutan, seperti yang tejadi dalam perkembangan bentuk-bentuk sastra, lirik dan dramatik. Tulisan-tulisan itu ada yang dianggap suci, sebagai kata-kata Tuhan, seperti yang terdapat dlaam Al-Qur’an, Weda, Injil, Tripitaka dan sebagainya ada juga teks-teks klasik yang berfumgsi untuk menggembirakan dan memperteguh keyakinan.
Gejala seperti atas adalah gejala umum pada kebanyakan manusia di berbagai tempat dan pada setiap kelompok. Sampai batas tertentu kelompok orang dewasa memiliki banyak kesamaan dengan kelompok umur lainya. Hanya saja tentu ada perbedaan-perbedaan  pada hal-hal tertentu pada kelompok umur manusia.
 Pada umumnya keyakinan dan pemikiran mengenai ke-Tuhanan pada orang dewasa berasal dari hasil pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi sesuatu kenyataan bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambar asspek-aspek kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran menganggap bahwa Tuhan sama dengan manusia.[120]
Dari segi ilmu jiwa agama, dapart dikatakan bahwa perubahan keyakinan atau perubahan jiwa agama pada orang dewasa bukanlah suatu hal yang terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan yang wajar, akan tetapi adalah suatu kejadian yang di dahului oleh berbagai proses dan kondisi yang dpaat diteliti dan dapat dipelajari. Dari sisnilah mulai timbul poko-poko rasa agama.[121]
Pengalaman keagamaan bagi seseorang yang sudah dewasa di hasilkan dari pemikiran yang inteligensi[122] dalam berfikir. Crow and Crow menyatakan intelegensi pada sesorang adalah kapasitas umum dari seorang individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi tuntutan kebutuhan dengan problem-problem dan kondisi-kondisi yang baru di dalam kehidupan. Dan perlunya setruktur kalby yang perlu mendapat tempat  tersendiri untuk meenumbuhkan aspek-aspek efektif (al-inf’iali), seperti kehidupan eemosional, moral, spiritul dan agama.[123] Selain berfikir iintelegensi untuk dalam bentuk pengalaman keagamaan juga berfikir dalam mengolah kecerdasan intelektual, kecerdasan intelektual di gunakan dalam hubungan proses kognitif seperti berfikir daya menghubungkan dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau kecerdasan yang berhubungan untuk memecahkan strategi logika.[124]
Bentuk pengalaman keagamaan tidak akan hasil bagi manusia yang mempunyai kapasitas dalam otak yang normal. Islam juga menganjurkan bagi orang yang di wajibkan untuk melaksanakan apa-apa yang telah di sepakati dari perintah Allah di khususkan bagi seorang yang memiliki kecerdasan berfikir dan kesempurnaan akalnya. Begitu juga berfikir dalam mencari sebuah pengalaman dalam beragama yang akan melahirkan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya.
2.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Perbuatan
            Ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata dalam bentuk perbuatan (praktis), yaitu adalah pemujaan (kultus), yang merupakan suatu tanggapan total atas wujud yang mendalam terhadap Realitas Mutlak . perbuatan keagamaan itu terjadi ruang dan waktu dalam suatu konteks yang beraneka ragam. Ada dua bentuk utama dalam ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata (praktis), yaitu bakti atau peribadatan dan pelayanan, yang saling mempengaruhi.[125]
            Realitas tertinggi di sembah melalui tingkah laku pemujaan dan di layani dengan bentuk tanggapan terhadap ajakan dan kewajiban untuk masuk kedalam persekutuan Tuhan, pemujaan (kultus) ialah suatu ungkapan perasaan, sikap dan hubungan yang berupa rangkian kata-kata, tindakan dan perbuatan dengan memperguanakan benda, peralatan dan perelengkapan tertentu, sebagai pengakuan ungkapan terhadap[ Realitas Mutlak (Tuhan). Jadi ibadah dalam setiap tingkatan senantiasa ditunjukan terhadap Tuhan. Rasa takut, cinta dan hormat karena kesucian dan kemulyaan Tuhan di wujudkan melalui ritus merupakan perbuatan manusia dalam rangka menjalin hubungan dengan Tuhan.[126]
            Ritus (Ibadah) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif  dan namkak ritus menurut Kingsley Davis, mencakup semua jenis tingkah laku keagamaan, seperti memakai pakian khusus, mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, bersemedi menyanyikan lagu greja, berdo’a (sembahyang), memuja, mengadakan pesta, berpuasa, menari dan bersuci.
Ritus menyatakan menunjukan dengan jelas dalam konteks tingkah laku sesorang yang sakral. Salah satu fungsi ritus adalah memperkuat keyakinan terhadap adanya dunia gaib dan memberikan cara-cara mengungkapkan emosi keagamaan secara simbolik. Jadi ritus menanamkan sikap kedalam kesadaran yang tinggi dan akan memperkuat solidaritas kelompok dan komunitas moral.[127] Ibadah dalam tingkah laku yang tinggi dalam kehidupan orang manusia. Sebagai suatu ungkapan pengalaman keagamaan ibadatmerupakan suatu tanggapan. Adapun tujuan ibadat adalah konsekrasi, yaitu perubahan dari semua wujud dan benda agar serasi dengan tata tertib dan kehendak Tuhan. Ibadah dimaksudkan untuk mencapai kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan.[128]
            Menurut Kay setiap agama mempunyai penekanan dan praktek-praktek peribadatan sendiri-sendiri.[129] Namun yang jelas ibadah itu tertuju pada Tuhan yang jauh diatas manusia, tapi dapat di dekati. Dalam ibadat, Tuhan di sapa, di puja dan di puji, di hormati, di tinggikan dan di mulyakan, karena Tuhan di akui sebagai asal, penyelenggara dalam tujuan hidup.[130]
            Dalam ibadah manusia juga mengajukan permohonan-permohonan. Pola-pola ibadah yang formal telah di dahului dengan suatu perkembangan yang lambat dan lama. Suatu perubahan yang sangat penting dapat terlihat dengan jelas apabila ibadah mulai di abatasi pada bentuk-bentuk khusus yang dilakssanakan melalui cara perwakilan dan dengan beberapa pembatasan. Umumnya, konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran teoritis dalam agama-agama perimitif kurang memainkan peranan penting di bandingkan dengan perannya pada tingkat budaya dan intelektual tinggi lainnya. Maka dalam tingkat ungkapan pengalaman keagamaan, bentuk peraktislah terlihat adanya perbedaan besar antara agama-agama universal. Pada agama etnis lebih di tekankan ada pelaksanaan perbuatan itu sendiri, sedangkan agama-agama yang universal memberikan penilaian utama pada tujuan peroranngan sebagai ukuran dari kemurnian iman, dengan melihat keterpadduan antara niat, perbuatan dan pengaruh perbuatan itu terhadap dirinya.
            Kemudian lahirlah pertanyaan-pertanyaan dimana, kapan dan bagaimana  oleh siapa ibadah itu dilaksanakan ? Semua ibadat dilaksanakan pada setiap tempat atau suatu ketinggian yang ditandai dengan sebuah pohon, batu, sungai yang secara temporer atau teratur digunakan sebagai tempat ibadah. Tempat-tempat tersembunyi kerap sekali di anggap sebagai tempat persembunyian dewa-dewa atau makhluk supranatural, kemudian di beri tanda dan sifat hingga kekuatan dan bobot keagamaannya bertambah. Tempat-tempat suci itu di gunakan untuk pelaksanaan upacara-upacara yang khusus, yang di kelola oleh orang tertentu yang menjalankan berbagai fungsi dan bertempat tinggal disitu. Tempat suci itu di perlakukan dengan hati-hati, sifat religius suatu tempat suci akan bertambah besar dengan di adakannya ssejumlah objek atau orang yang memiliki kekuatan keagamaan sebagai magis. Pada sebagaian besar kebuadayaan primitif dan kebudayaan yang agak tinggi, tidak hanya bangunan tertentu yang di jadikan tempat peribadatan, tetapi pemukiman atau perkampungan akan di tata berdasarkan kepentingan-kepentingan peraktis keagamaan. Pada tingkat kebudayaan tertentumenurut Van der Leeuw, menunjukan bahwa beberapa tempat dalam lingkungan rumah tangga memiliki kekuatan istimewa yang agamis, seperti abang pintu, dan tempat perapian.
            Waktu pelaksanaan ibadah, biasanya dalam setiap kultus ada saat-saat yang di anggap suci, yang di anggap lebih cocok untuk melaksanakan perbuatan ibadah daripada waktu-waktu yang lain . jam-jam tertentu, hari-hari, bulan, musim atau tahun-tahun tertentu yang di sucikan untuk persembahan pada dewa, dan diperlakukan dengan segala istimewa, saat itu misalnya: pagi hari, sore hari, hari minggu, hari jum’at, bulan ramadhan, dan tahun-tahun peringatan.[131]
            Adapun cara manusia melakukan ibadah, menurut Rudolf Otto yaitu dengan memusatkan pikiran dan merenungkan kehadiran Tuhan atau dengan berterima kasih kepada-Nya, kita memberikan penghormatan terhadap sebuah kekuasaan yang mengandung puja. Dalam budaya agama perimitif suara yang sederhana sekalipun seperti: seperti siulan, bunyi gadduh, teriakan atau dua buah kata, sudah mampu mengusir roh jahat dan mengundang perhatian dewa.[132]
            Suatu kata yang sedikit merendah, menurut farnel, akan dapat merupakan sebuah do’a dan mantra-mantra yang dibakukan, tarian-tarian suci dan tepuk tangan, posisi badan berdiri, berlutut, sujud merupakan isyarat dan sikap yang di pakai baik secara terpisah atau menjadi perlengkap kata-kata yang di ucapkan atau di nyanyikan, yang dipergunakan dalam pemujaan, dalam rangka perjumpaan dengan Realitas Mutlak.[133]
            Dalam beribadat, manusia seakan-akan mejadikan dirinya utuh. Saat manusia memohon pada Tuhan, dia menghubungkan dirinya dengan satu pusat kekuatan tempat ia mencari ia kekauatan, perlindungan dan  inspirasi. Perbuatan yang penting dalam mencapai tujuan ini, adalah dan pengorbanan dan do’a. Menurut Underhill, pengorbanan merupakan suatu perbuatan yang positif. Esensinya suatu yang diberikan, bukan sesuatu yang di korbankan. Apapun yang di berikan oleh manusia, tidak dapat mengimbangi anugrah Tuhan yang terus menerus diberikan, tanpa ada hitungan kuantitas dan kualitas yang di terima oleh manusia pada setiap hirup napasnya.[134] Kay memberikan tiga alasan utama mengapa manusia melakukan persembahan pada Tuhan, yaitu menarik Rahmat-Nya.[135]
            Berterima kasih dan berdo’a adalah pengajuan permohonan kepada Tuhan dan merupakan unsur yang selalu ada dalam setiap agama. Dalam berdo’a manusia berhubungan dengan Tuhan secara simbolis yang di gambarkan dengan hubungan-hubungan tertentu do’a dapat dijadikan sebagai lambang ritus yang dibakukan. Praktik-praktik tersebut kemudian dilakukan oleh manusia dewasa. Karena agama bagi manusia, memilki kaitan yang erat dengan kehidupan batinya. Oleh karena itu kesadaran agama dalam pengalaman keagamaan seorang banyak menggambarkan sisi-sisi batin dalam kehidupan yang ada kaitannya dengan suatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingkah laku keagamaan yang di ekspresikan seseorang.[136]
Kendatipun demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari, masih banyak orang yang merasakan kegoncangan jiwa pada usia dewasa. Bahkan perubahan-perubahan kepercayaan dan keyakinan kadang-kadang masih terjadi saja. Dengan demikian perlu suatu pengalaman keagamaan yang benar-benar matang. Sehingga manusia akan berusaha untuk beriman kepada Allah.[137]
            Dalam kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan oleh orang dewasa dapat diperoleh dari hasil ijtihad mencarai ilmu dengan sendirinya yang direalisasikan dalam sebuah tatanan kehidupan sehari-hari, bahkan bisa pada hasil meniru dari seorang gurunya, dan hasil dari temuan-temuan lewat aqalnya dengan di dasarkan hukum yang sudah di dapatnya baru keagamaan yang ada padaya akan melekat dengan secara sendirinya. Misalnya dalam berpuasa, shalat dan berdo’a yang mereka laksanakan karena hasil melihat dari lingkungan baik berupa pembiasaan atau pengajaran yang intensif. Para ahli jiwa menggap bahwa dalam segala hal manusia bermula dari meniru, dan jika tidak sesuai dengan hasil temuannya maka dia akan berontak dan akan mencari kebenaran dengan sendirinya.
3.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Persekutuan
            Seperti telah kita ketahui bahwa pengalaman keagamaan, menurut Joachim Wach, dapat di ungkapkan kedalam tiga bentuk, yaitu bentuk pemikiran, perbuatan dan persekutuan. Ketiga bentuk ungkapan tersebut memiliki keterkaitan yang sangat penting, karena ungkapan yang bersifat intelektual (pemikiran) dan peraktisn (perbuatan) hanya dapat memperoleh arti yang sebenarnya apabila berada dalam kontek masyarakat. Mite dan doktrin merupakan penegasan dari ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan menghayati Realitas Mutlak. Kultus adalah perbuatan ibadah dan pelayanan yang timbul dalam menghadapi Realitas Mutlak. Kedua bentuk tersebut memberikan arahan dan memusatkan masyarakat yang telah dipersekutukan dalam pergaulan keagamaan yang khusus. Masyarakat memelihara, mempertajam dan mengembangkan pengalaman keagamaannya dalam bentuk pemikiran dan perbuatan. Menurut Marett ”pada pokonya subyek yang memiliki pengalaman keagamaan adalah masyarakat agama, bukan perorangan, masyarakat agama harus sebagai penanggung jawab utama dari perasaan, pemikiran dan perbuatan-perbuatan membentuk agama.” [138]
            Akibat timbulnya dari suatu pergaulan yang memberikan karakter seseorang berbeda-beda, bahkan dengan akibat adanya pergaulan dalam keseharian dalam bermasyarakat, akibat seringnya berinteraksi antara satu sama lain yang menghasilkan pemasukan pada hati, terutama dalam maslah keykinan. Seseorang semakin di mengerti oleh akal pikirannya semakin hatinya untuk berontak dan mencoba untuk berubah. Tidak sedikit orang yang terjadi konversi agama, akibat yang di hasilkan dari sebuah pengalaman keagamaan pada kehidupan sehari-harinya.
Walter Houston Clark dalam bukunya ”The Psychology Of Religion”  memberikan pengertian mengenai konversi agama yaitu:
”Konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau perkembangan speritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam sikap terhadap ajaran dan tindakan agama lebih jelas dan lebih tegas lagi. Konversi agama, emosi yang merujuk kepada arah yang mendapat hidayah Allah secara mendadak, dan perubahan secara berangsur-angsur.”[139]
Suatu kelompok keagamaan, dipandang sangat diperlukan bagi keabsahan suatu perbuatan keagamaan. Perkembangan keorganisasi keagamaan yang khusus, menunjukan pengaruh umum proses kemasyarakaytan dan perubahan-perubahan kedalam beragama. Tidak ada agama yang tidak mengembangkan suatu bentuk persekutuan keagamaan.[140] Demikian menurut Joachim Wach adanya kelompok keagamaan merupakan suatu pembenaran dan perkembanganyang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya, atau mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan. Hakikat kedalaman, lamanya dan bentuk organisasi suatu kelompok keagamaan tergantung pada cara yang digunakan olehpara anggotanya dalam mengahayati Tuhan, membayangkan dan berhubungan denga-Nya kelompok kegamaan lebih dari bentuk-bentuk persekutuan yang lain, ia mempunyai hukum, pandangan hidup, sikap dan suasana tersendiri.[141]
Menurut E.K. Notingham, hanya dengan kebersamanlah kepercayaan dengan pengalaman-pengalaman tersebut dapat dilestarikan. Hakekat dan fungsidari anggota masyarakat agama akan berbeda sesuai dengan hakikat  dasar pengalaman keagamaan masing-masing. Ungkapan yang simbolis dapat dinggap sebagai sebuah sarana pokok untuk mempersatukan anggota suatu masyaralkat agama. Dengan mengindahkan, memperhatikan dan mengamalkam berbagai bentuk ungkapan intelektual, hal itu akan meningkatkan rasa solidaritas orang-orang yang diikatnya. Dengan ketaatan dan peribadatan bersama akan mengikat suatu kelompok kultus dalam kesatuan yang luar biasa kuatannya. Berdo’a bersama dapat dijaddikan sebagai tanda persekutuan spiritual yang terdalam. Bekerjasama dalam melakukan suatu perssembahan dapat menciptakan suatu persekutuan yang tepatdan mantap.
Usaha untuk mempererat dan memperkokoh hubungan timbal balik dalam setiap tingkat pengelompokan sosial, dalam rumah tangga, dalam perkawinan atau persahabatan, dalam ikatan  keluarga atau kelompok regional, dalam kampung atau kota, dalam suatu bangsa ataupun dalam suatu masyarakat religius yang khusus, akan memperlihatkan fungsi integrassi dari satu pengalaman keagamaan bersama. Kelompok keagamaan biasanya berbicara dengan bahasanya sendiri untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman keagamaan, pemikiran dan perasaannya atau mungkin pula mempergunakan istilah-istilah dan rumusan-rumusan baru yang dapat dipakai untuk mengemukakan secara tepat pengalaman-pengalamannya.[142] 
Untuk mengungkapkan pengalaman keagamaannya, kelompok-kelompok keagamaan mencari dan menemukan cara-cara komunikasi yang baru dan tidak, sehingga munculah simbol-simbol. Adapun struktural kelompok-kelompok keagamaan ditentukan oleh dua faktor, yaitu: Pertama, faktor agama; contohnya bakat-bakat spiritual seperti penyembuhan dan pengajaran. Kedua, fakt or non-agamis, contohnya: usia, kedudukan sosial, etika dan latar belakang keturunan. Joachim Wach juga menyatakan adanya empat faktor: yang menimbulkan perbedaan dalam suatu masyarakat agama. Pertama, perbedaan dalam fungsi. Dalam suatu kelompok kecil yang hanya terdiri dari beeberapa orang sekalipun, yang bersatu akan terdapat perbedaan dalam ikatan pengalaman keagamaan, akan terdapat perbedaan tertentu didalam pembagian tugas contohnya seseorang dapat menjaddi guru, maka yang lainnya akan bertindak sebagai tindak pembantu guru. Seorang dapat emnajdi peminpin dalam berdo’a atau menyanyi, maka yang lainya akan diberi tugass untuk mempersiapkan persyaratan material yang akan digunakan untuk tujuan-tujuan ritual tersebut.[143]
Kedua perbedaan yang didasarkan atas karisma. Kharisma dapat dimiliki oleh seseorang atas dasar hubungan yang tetap dan persekutuan yang erat dengan Tuhan. Kharisma menurut Max Weber merupakan suatu kualitas tertentu dalam keperibadian seseorang yang membedakan dia dengan orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang mendapat anugrah kekuasaan yang luar biasa dari perlakuan sebagai seseorang yang mendapat anugrah dapat menjelaskan timbulnya perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan, prestse dan kedudukan dalam masyarakat. Jenis anugrah yang dimilki oleh tokoh-tokoh kharismatik dapat berbeda-berbeda, tetapi rata-rata semuanya memperlihatkan suatu tingkat kekuatan spiritual yang tinggi. Anugrah itu dapat berupa kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia Tuhan, seperti hakikat Realitas Mutlak dan hukum-hukum yang mengatur eksitensi alam, masyarakat dan kehidupan seseorang. Dapat pula menyembuhkan penyakit, mengajar atau cara-cara lain yang memberikan arah dan tujuan, kekuatan tersebut dapat pula berupa kekuatan fisik atau kekuatan intelektual, ketinggian moral, keahlian atau kecakapan-kecakapan istimewa.[144]
Ciri-ciri dominasi kharismatik adalah ketaatan tidak kepada peraturan-peraturan atau tradisi, tetapi kepada seseorang yang dianggap suci, pahlawan atau yang berkualitas luar biasa.
Faktor ketiga adalah perbedaan alami yang berdasarkan usia, jenis kelamin dan keturunan, kelompok yang muda dengan yang tua agak sedikit dipisahkan dan masing-masing memainkan peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan masyarakat agama baik secara kelompok atau perorangan,walaupun ada perbedaan demikian, namun orang yang akan memai, nkan peranan penting dalam kelompok keagamaan adalah orang-orangyang berputar sebagai peramal, pengajar, ulama, kiyai, nabi, pendetaatau rahib. Dalam kultus atau dalam fungsi-fungsi tertentu, laki-laki dan wanita seringkali dipisahkan-dipisahkan dalam berbagai masyarakat agama hanya laki-laki saja yang boleh melaksanakan fungsi-fungsi dan ritus-ritus keagamaan, dalam agama lain peranan tersebut jusstru diberikan kepada kaum wanita, walaupun dalam kesempatan lain, kedua jensi kelamin tersebut dapat bergabung dalam melakukan pelayanan dan perbedaan yang didasarkan atas keturunan berarti diterpkannya kualifikasi-kualifikasi ras. Perbedaan yang berdasarkan keturunan ini juga dapat dilihat dalam sistem kasta agama Hindu India pada zaman dahulu, yang sekarang sudah banyak perubahan.[145]
Fakta yang menonjol mengenai sitem ini, bahwa lingkungan kehidupan individual, termassuk pekerjaannya, kulturalnya dan nilai-nilai ibadatnya, ditentukan waktu dia lahir dan tak serangpun dari lingkungannya yang mampu mengubahnya, dalam agama Hindu, hak untuk melaksanakan bagian-bagian ibadah yang sangat penting diberikan kepada anggota-anggota kasta Brahmana, sedangkan kasta yang lainnya mengukur jarak sosial dan keagamaan mereka dari kasta.
Keempat, adalah perbedaan yang di dasarkan atas status. Perbedaan ini dianggap sebagai kombinasi dari faktor-faktor yang menimbulkan perbedaan diatas. Faktro ini bersifat sosial (non agamis), seperti perbedaan dalam hak milik, dalam fungsi-fungsi masyarakat dan dalam penjenjangan sosial. Seringkali kekayaan dihubungkan dengan hak-hak istimewa. Majikan, ketua atau pemimpin politik, bangsawan laki-laki atau perempuan, atau seorang yang memilki kedudukan tinggi, akan dihormati secara khusus, walaupun pembedaan semacam itu tidak ada suatu dukungan keagamaan. Perbedaan-perbedaan status ini umumnya mendapat penjelasan-penjelasan mitologis dan etologis dalam lingkungan masyarakat primitif.[146] Adanya perbedaan-perbedaan yang di dasarkan atas fungsi, kharisma, kekuatan-kekuatan alami dan setatus hanya dapat disahkan dan di perkuat melalui kontitusi.
Kontitusi tersebut mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban pejabat keagamaan (pendeta, rahib dan kiyai) dan orang-orang awam, menetapkan tata tertib kependetaaan, mengatur bentuk-bentuk peribadatan dan pelayanan. Seperti telah diketahui sebelumnya bahwa ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan akan melahirkan kelompok-kelompok keagamaan, maka dari kelompok keagamaan tersebut kemudian akan berkembang menjadi organisassi keagamaan. Jadi, organisassi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula berasal dari pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri organisasi itu dan pengikutnya.[147]
Menurut Thomas F. O’ dea, mengemukakan pengalaman keagamaan lahir dari suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan yang sangat terlembaga. Ada dua faktor yang memacu perubahan dari kelompok-kelompok keagamaan yang kabur menjadi organisasi keagamaan yang khusus, demikian di tuturkan Joachim Wach sebagaimana ditulis kembali oleh  Thomas F. O’ dea, pertama, meningkatnya secara total perubahan bathin atau kedalaman beragama. Agama yang terorganisir secra khusus ini lahir sebagai akibat dari kecendrungan umum kearah penghusussan fungsional. Faktor kedua adalah meningkatnya pengalaman keagamaan yang mengambil bentuk dalam berbagai corak pengalaman berorgansasi keagamaan baru.[148]
Yang termasuk lembaga keagamaan, menururt George. A dan Achiles G. Theodorson, adalah kebiasaan-kebiasaan, ritual, larangan, pola-pola tingkah laku, bentuk-bentuk organisasi dan peran-peran yang ada kaitannya dengan super natural.[149] Memberi pengertian lembaga keagamaan yang lebih sempit, peranan-peranan dan relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan sangsi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra empiris.
Melalui hubungan antara mansuia dengan Tuhan dalam suatu pengalaman keagamaan, maka orang tersebut biasa menjadi juru bicara (perantara) dengan Tuhan. Dalam keristen dengan sakramen pengakuan dosa yang dilakukan oleh orang yang berdosa kepada Tuhan melalui pastur, dalam islam ada wassilah antara manusia dengan Tuhan dan para Wali atau Ulama dan Kiyai tertentu.walaupun dalam wasilah ini banyak tantangan, terutama ditentang oleh kaum Wahabi. Tipologi orag yang memang otoritas agama ini, menurut Joachim Wach meliputi pendiri agama, nabi, pembaharu, peramal, dukun, orang suci, pendeta, rahib dan Kiyai yang memperlihatkan adanya tingkatan-tingkatan otoritas yang diberikan oleh pribadi yang memiliki kharisma resmipada mansuaia beragama.
Otoritas dalam agama yang diakui oleh semua orang menurut Wenger adalah suatu kekuasaan yang memiliki sifat dan cara hidup yang menimbulkan kesan memiliki pandangan yang mendalam terhadap kebenaran-kebenaran yang tidak dapat diketahui oleh manusia biasa. Dengan demikian seserorang yang menggeluti kebenaran agama, haruslah orang yang mempunyai kemampuan untuk melihat keseluruhan hidup dan memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan agama masalah motivasi juga bisa menjaddi masalah  yang sangat penting dalam mmenialai keabsahan dari suatu klaim dan otoritas agama. Ambisi atau keinginan pribadi untuk memperoleh kekuasaan, kekayaan atau hal-hal lain yang menyenangkan, harus dijauhi dari otoritas kebenaran agama.
BAB III
PEMIKIRAN AGAMA TERHADAP
KONSEP PENGALAMAN KEAGAMAAN JOACHIM WACH

A.     Biografi Joachim Wach
Joachim Wach, putra tertua Felix dengan Katherine Wach, di lahirkan 25 Januari 1898 di Chemintz, Saxony. Ayahnya adalah putra dari Adolf Wach dan Lily Mendelssohn Bartholdy Wach. Lily adalah putrid termuda seorang komponis, Felix Mendelsshon Bartholdy. Adolf  Wach mengajar hokum di Rostock dan kemudian di Lepizig.
Joachim Wach adalah keturunan dari keluarga Mendelssohn Bartholdy baik dari garis ibu ataupun ayahnya. Katherine, sang ibu yang meninggal dunia pada musim panas tahun 1956 adalah cucu perempuan Paul Mendelssohn-Bartholdy, saudara laki-laki Felix. Garis keayahnya dari Mendelssohn (garis komponis) memakai nama tampa penghubung, sementara garis keibuannya (garis Paul) mempergunakan nama dengan tanda penghubung antara kedua nama tersebut. Kedua garis tersebut berpangkal pada filososf Yahudi yang besar, yaitu Moses Mendelssohn (1729-1786).[150]
Wach semasa kecilnya amat di sayang  oleh dan bukan dari kedua orang Tuanya tetapi juga dari kakek dan neneknya dari pihak ayah ataupun ibu. Mereka semua adalah orang-orang yang berbudaya tinggi. Rumah-rumah mereka kerap kali dikunjungi oleh para serjana yang terkenal, para artis diplomat, dan ahli-ahli kenegaraan. Sejak awal masa kanak-kanaknya Wach sudah tertarik dengan music, satra dan puisi, bahasa kelasik serta bahasa-bahasa asing modern. Dengan imajinasinya yang hidup telah mencip sebuah negri fantasi yang di sebutnya “pelagipten”, segala kata yang mencakup segala jenis dan keindahan jabatan politik dan keagamaan.
Wach minatnya terhadap agama bermula ketika dia masih belia. Gurunya, seorang wanita penganut agama Katolik Romawi yang taat, suatu ketika mengajaknya beraudiensi dengan Bishop di Wurzburg. Di sana ia diberi beberapa buah gambaran keagamaan.[151] Wach menginjak pada pendidikkan menengahnya diperoleh di Vitzthumsche Gimnasium di Dresden di mana dia lulis ujian akhir pada tahun 1916. Dalam tahun yang sama, pada usia delapan belass tahun, Wach memassuki tentara Jerman ssebagai Letnan dan  dikirim ke Pront Rusia. Di kemudian hari Wach sering berkelekar bahwa pengetahuannya mengenai bahasa Rusia dan bahasa Arab merupakan hasil sampingan  dari perang. Sesuasai perang Dunia I, dia mngajar sebentar di Universitas Leipzig dan menghabiskan tahun 1919 di Munich. Sesuadah satu kwartal kegiatan akademis di Berlin (1920), Wach kembali ke Leipzig untuk tinggal selama lebih dari dua tahun. Wach memperoleh gelara Doktor ilmu Filsafat pada tahun 1922. Kemudian Wach mengambil sejarah agama sebagai mata pelajaran tambahan pokok, filsafat agama-agama dan studi ketimuran sebagai mata pelajaran tambahan. Tetapi nauliri intelektualnya mendesak harus mengikuti kuliah kedokteran psikiater dan juga seni.    
Pandangan Wach  terhadap agama ditentukan oleh latar belakang keluarga dan  pengalaman pribadi. Dalam persoalan keagamaan dia mewarisi sikap toleransi (irenic) keluarga dan lingkungan sekitarnya. Memori Moses Mendelshon di hormati oleh  anak-cucunya. Bahkan meskipun putranya, Abraham, mempunyai anak-anak yang di baptis di Greja Lutheran, dan Felix Mendelssohn, cucu laki-laki Moses dan anak dari Abraham mengawini putra seorang pemuka greja Reformasi, namun semangat Nathan der Weise tetap hidup dalam keluarga Wach sampai hari  ini. Universitass Leifzig, almamater Gothe, Klopstock, dan Shelling menyumbangkan pula sifat toleransi kepada diri Wach.[152]
B.     Pemahaman Keagamaan Joachim Wach
1.      Agama Joachim Wach
Wach agama baginya adalah problem pemikiran pemikiran yang utama, yang untuknya Wach telah menerapkan  seluruh kecakapan peraktis yang dia miliki, dan baginya agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam kaitannya dengan Tuhan Maha Pencipta, kepada-Nyalah manusia memberikan kepercayaan dan keterkaitan yang sesungguhnya. Wach mengutip Carlyle:
“Dengan agama  Wach tidak mengartikannya sesuatu yang kredo (syahadah) greja. Tetapi agama adalah sesuatu yang dalam perakteknya sseseorang benar-benar percaya dan  dengan demikian cukup tanpa mempertahankannya sekalipun dengan diri sendiri. Agama adalah  sesuatu yang tidak berarti bagiorang  lain. Tetapi sesuatu yang ditaruh dalam-dalam di lubuk hati supaya bisa mengenalnya dengan pasti karena agama bersentuhan dengan hal-hal yang mutlak dalam alam penuh kerahasiaan”.[153]



2.      Pengalaman Keagamaan Joachim Wach
Joachim Wac seperti yang dikutif Thomas F. O’dea, menunjukan empat kriteria universal untuk mengetahui pengalaman keagamaan. Pertama, agama adalah tanggapan terhadap apa yang dialami sebagai realitas yang tinggi, yakni dalam pengalaman keagamaan kita memberi reaksi tidak saja terhadap fenomena yang tunggal atau terbatas, material atau tidak, tetapi apa yang disadari penentu semua unsur dunia pengalaman kita. Kedua, pengalaman keagamaan adalah suatu tanggapan total dari semua mahluk pada apa yang tampak sebagai relaitas tertinggi. Ketiga, pengalaman keagamaan adalah pengalaman yang paling dalam yang pernah dialami manusia dibanding pengalaman lainnya. Dalam hal ini dapat kita temukan bahwa loyalitas keagamaan berada di atas semua loyalitas yang lain. Eksitensinya sebagai penunjuk kedalam arti dan keseriusan  tertinggi pengalam ini. Keempat, pengalaman keagamaan meliputi hal yang imperative, yaitu suatu komitmen yang memaksa manusia untuk bertindak.[154]
Manusia dalam hidupnya juga, pernah mengalami pengalaman religious yaitu perasaan terhadap ajaran agama yang dipahaminya. Sedikitpun tidak dapat disangkal bahwa pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia, hakikat kemanusiaan yang  umum mencakup kemungkinan yang se lalu ada pada agama. Di lain tempat pengarang yang sama juga mengemukakan  “ Perasaan keagamaan yang terdapat dalam diri manusia adalah segi yang bersifat tetap dan universal dalam kehidupan mentalnya”.[155]

C.     Pemahaman Konsep-konsep Joachim Wach
1.      Pemahaman Konsep Tentang Manusia
Djam’annuri mengambil pemikiran Joachim Wach (1898-1955), menegaskan bahwa manusia dilahirkan dengan pembawaan beragama, bahwa dalam diri manusia terdapat “a permanent possibility of religion” atau bahwa perasaan keagamaan merupakan “a constant and universal feature” dalam kehidupan mentalitas manusia.[156]

2.      Pemahaman Konsep Tentang Gemeinsachaft

3.      Pemahaman Konsep Tentang studi Agama
Dalam karyanya Joachim Wach membahas hubungan antara ilmu agama dengan  filsafat, menurutnya sedikit perbedaan antara keduanya. Di lain fihak, hubungan antara teologi  dan sejarah (atau ilmu) agama, adalah jauh lebih kompleks.[157]
Joachim Wach salah seorang yang berkecimpung di bidang  ilmu agama dan keagamaan, selain tertarik pada bidang filsafat dan  teologi, dia sangat konsisten di bidang ilmu agama. Agama yang di utarakan Joachim Wach mencakup tiga bidang utama, yakni; pertama, hermeneutika; kedua, setudi tentang pengalaman keagamaan; dan ketiga, sosiologi agama, ilmu agamanya dapat dilukiskan sebagai suatu jenis ensiklopedi keagamaan, yakni, suatu hasil penyelidikan yang terorganisasi rapi mengenai hakikat karakteristik dan fungsi agama.[158]
Menurut Joachim Wach, Ilmu agama benar-benar merupakan “ilmu yang mempelajari keyakinan manusia yang paling dalam (qeistesurussenschaft)”. Titik tolak pemikiran Wach didasarkan pada anggapan bahwa keagamaan yang bersifat subjectivitas diobjektifkan dalam berbagai macam ungkapan, dan ungkapan-ungkapkan  tersebut mempunyai struktur tertentu yang dapat dipahami. Studi terhadap struktur-struktur tersebut merupakan salah satu tugas ilmu agama.[159]
Joachim wach berpendapat selain mengenai studi agama juga berpendapat mengenai ilmu perbandingan agama, ilmu perbandingan agama bahwa tidaklah terdapat satu jalan atau satu metode untuk menerangkan agama, karena harus disesuaikan keperluan-keperluan khusus dan keadaan-keadaan yang berbeda-beda dalam memahami agama. Namun di sini, patut di sebutkan tujuh buah anjuran umum bagi yang akan mengembangkan ilmu perbandingan agama. Ia menyatakan bahwa ajaran ilmu perbandingan agama harus (1) integral, (2) kompoten, (3) di hubungkan dengan kepentingan yang eksitensial, (4) selektif (5) seimbang, (6) imajinatif, dan (7) di sesuaikan dengan tingkat-tingkat pelajaran yang beraneka ragam.[160]
Joachim Wach mengutarakan dalam meneliti ilmu agama ada dua pendekatan. pertama, pendekatan secara teologis, yaitu pendekatan kewahyuan atau pendekatan keyakinan penulisan sendiri. Pendekatan ini biasanya dilakukan penelitian terhadap suatu agama untuk meneliti kepentingan agama yang di yakini si peniliti. Atau penelitian agama di lakukan oleh pemeluk agama itu sendiri, untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Kedua, pendekatan keilmuan, yaitu pendekatan yang memakai metodologi ilmiah, penelitian yang memakai aturan-aturan yang  lazim dalam penelitian keilmuan. Pendekatan dalam keilmuan agama, cara kerjanya adalah mencari informasi tentang agama yang muncul dari asspek kenyataan. Agama yang menjaddi kenyataan ketika sudah menjadi bagian dari pemeeluk agama.[161]
Dalam mengkaji ilmu perbandingan agama Joachim Wach lebih mengarah pada pembahsan pluralisme. Wach mengemukakan tiga perinsip utama berikut ini untuk ilmu perbandingan agama. Pertama, harus menyadari adanya suatu yang apologis dalam setiap agama, tetapi disiplin ilmu sendiri tidak boleh terpengaruh oleh keinginana pologis; kedua, harus memandang semua agama sebagai pilihan-pilihan universal, yang tidak tunduk dalam determinisme cultural; ketiga, disamping harus menyadari bahwa “setiap agama tentu mempunyai andil dalm pendidikan spiritual pendidikan bangsa”, maka ilmu perbandingan agama tidak boleh menutup mata terhadap perbedaan-perbedaan kulaitatif yang terdapat dalam berbagai agama.[162]
Bagi Joachim Wach meneliti agama dalam ilmu perbandingan agama, di samping pendekatan teologi, sosiologi juga menggunakan pendekatan fenomenologi. Oleh karena itu, ilmu studi agama identik dengan fenomenologi agama atau sejarah agama sebagaimana yang dipergunakan oleh the International Association for the Histories of Religions, suatu himpunan  suatu keserjanaan dalam Ilmu Perbandingan Agama.[163]

D.    Hakikat Pengalaman Keagamaan Joachim Wach
Ada dua cara untuk meneliti hakikat pengalaman keagamaan. Cara pertama  ialah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte, atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara lain adalah berangkat dari pertanyaan “dimana Aku,” yaitu lingkungan potensial di mana pengalaman perorangan berlangsung.
Pendekatan yang bertolak dari lingkungan  potensial pengalaman perorangan, paling tidak ada dua macam  keberatan, seperti dijelaskan Webb. Pertama, kata “pengalaman” tersebut terasa mengacu kepada perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Kata tersebut cenderung memusat pada pengalaman dari pada apa yang dialami. Tetapi, kata tersebut juga menunjukkan pada adanya eksistensi yang berdiri sendiri terpisah dari objek yang dialami sehingga dengan demikian menolak subyektivisme. Keberatan kedua ialah  bahwa kemanunggalan peristiwa –peristiwa wahyu yang khusus terasa habis terserap oleh  istilah “agamis”.[164]
Selanjutnya ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan. Pertama, menyangkal adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai pengalaman keagamaan adalah ilusi belaka, pandangan ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli psikologi, sosiologi , dan para pemikir filsafat. Kedua, mengakui eksistensi pengalaman, namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan karena sama dengan pengalaman yang bercorak umum. Ketiga, mempersamakan antara bentuk sejaraj agama dengan pengalaman keagamaan, suatu kebiasaan yang menjadi cirri sikap konservatif yang  tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat agama. Pandangan yang keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman kea gamaan murni  yang dapat diidentifikasi dengan mempergunakan criteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap  ungkapan-ungkapannya yang manapun.
Kriteria-kriteria tentang pandangan yang mengakuui adanya pengalaman keagamaan murni, sebagai berikut:
1)      Pengalaman  keagamaan itu sebagai suatu tanggapan  apa yang dihayati sebagai realitas Mutlak.
2)      Mouroux menyebut pengalaman ini sebagai pengalaman yant paling menyatukan dan yang paling menginsafi  (realissante), yang merupakan perpaduan tertinggi dari unsure-unsur yang di tempat lain dapat dengan mudah dipisah-pisahkan. Menurut d ia, pengalaman keagamaan merupakan suatu susunan bertingkat yang terdiri dari tiga unsure, yaitu akal, perasaan, dan kehendak hati.
3)      Kedalaman. Ini tidak dimaksudkan sebagai suatu pernyataan yang deskriftif. Secara potensial pengalaman keagamaan tersebut adalah merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesan, dan mendalam yang sanggup dimiliki manusia. Tillich adalah benar ketika mengatakan bahawa “dewa-dewa adalah wujud yang mengatasi lingkungan pengalaman biasa dalam kekuaan dan pengertiannya, dan yang dengan dewa-dewa tersebut manusia menjalin  hubungan yang melampaui  hubungan-hubungan biasa dalam kedalaman dari arti pentingnya. Tokoh-tokoh agama disegala zaman dan di mana saja telah memperlihatkan bukti mengenai kedalaman pengalaman  keagamaan ii dalam pemikiran, kata-kata, dan perbuatan mereka.
4)      Pengalaman keagamaan tersebut dinyatakan dalam  perbuatan. Pengalaman tersebut melibatkan sesuatu yang bersifat  impreatif. Ia adalah sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.[165]

E.     Bentuk-bentuk Pengalaman Keagamaan Joachim Wach
1.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Pemikiran
“Dalam agammanya, Kata Webb, “ manusia mengugkapkan pandang,  atau  pandangan yang siap diterimanya, tentang realitas mutlak dan juga tentang kaitan-kaitannya,” Pengetahuan yang mendalam yang menyertai pengalaman keagamaan yang paling kuat teflah menunjukan dirinya dalam gerakan-gerakan yang  kita sebut sebagai agama-agama besar d unia. Seperti halnya pengalaman lain, pengalaman keagamaan cenderung mengungkapkan diri. “  pengalaman-pengalaman begitu tidak serupa satu sama lain, bukan saja karena isinya tetapi juga kadang-kadang lantaran pengungapannua,”  kata Eliade. Pengalaman-pengalaman ini menjadi  ada  untuk yang lain-lainnya, hanya dalam tingkat  ia diperlihatkan, dan di mana terdapat agama murni maka pengalaman tersebut pasti  akan diungkapkan .

Salah satu bentuk dari pengalaman keagamaan adalah dalam bentuk pemikiran, artinya seseorang  akan mengungkapkan pengalamannya melalui pemikiran. Pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran memiliki beberapa motivasi  untuk diungkapkan, yaitu:
1.      Adanya suatu sifat  yang eksplosif, yaitu yang menggebu-gebu dari sesorang yang mengalami pengalaman keagamaan untuk mengungkapkan pengalamannya. Orang pasti akan memperlihatkan perasaan gembira dan susah. Demikian pula dengan  perasaan-perasaan yang lainnya.
2.      Pengalaman keagamaan  itu bersifat propagandistic. Adanya suatu dorongan yang kuat bukan saja dirasakan untuk ikut ambil bagian, teapi juga  untuk memikat dan mengajak fihak lain agar melihat dan mendengar seperti a pa yang telah dilihat dan didengar oleh seseorang. Dorongan ini kadang-kadan sedemikian kuat sehingga mampu mempengaruhi dan menguasai individu-indivdu dan kelompok-kelompok, bukan melalui kekuatan pesan yang disampaikan tetapi semata-mata melaui kemampuan dari para pembawa pesan tersebut.
3.      Pengalaman keagamaan yang sifatnya subjektif, cbatini dan individual, telah menunjukkan bahwa pengalaman keagamaan itu hanya bisa diungkapkan jika seseorang yang mengalami pengalaman keagamaan mampu memahami dirinya tatkala mengalami perasaan di luar jangkauannya.

Ada dua ragam yang terdapat d alam pengalaman keagamaan yaitu ragam endeiztic. Endeixtis adalah kata Yunani yang berarti “permakluman” (announcement). Bentuk endeitik figunsksn untuk menunjukkan sesuatu yang diisyaratkan, atau untuk yang diungkapkan dalam bentuk terse;lubung, dan yang memainkan peranan penting dalam sejarah agama-agama.
Beberapa contoh ungkapan pengalaman keagamaan yang endeitik, yaitu symbol. Menurut W.M. Webb, “ symbol keagamaan menunjukkan cirri umum dari semua  symbol. Kata symbol berasal dari kata Yunani, Symballein, berarti pertalian yng spontan dan bersinambungan antara dua bagian, yaitu bagian fisik yang konkrit dan realitas yang bersifat spiritual. Yang tersebut kemudian ini “diberi makna” sebagai ungkapan yang bersifat simbolis. Symbol dapat d iuraikan secara konseptual, menjurus pada perbuatan, dan dapat pula mengisi fungsi integratif. Menurut Underhill, “ symbol adalah gambaran penting yang membantu jiwa yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami (dan kita dapat menambahkaan, untuk mengungkapkan) realitas spiritual.”[166]
Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran, juga bisa disebut sebagai pengalaman keagamaan yang diungkapkan secarad intelektual yang bisa bersifat spontan, belum mantap, atau baku dan tradisional. Ungkapan pengalaman keagamaan teoritis yang paling penting terdapat pada mite. Urban mengutip proposisi Berdyaev dalam Freedom and the spirit: “…..kita tidak lagi mempesamakan mite dengan penemuan (invention), dengan ilusi mentalitas primitif, atau dengan apapun yang ternyata secara esensial bertentangan degan  fakta. Tetapi, di balik mite tersembunyi realitas-realitas yang paling besar, yaitu fenomena asli kehidupan spiritual.”
Cara kedua mengungkapkan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah doktrin.  Doktrin mempunyai tiga macam fungsi yang berbeda-beda; penegasan dan penjelasan iman, pengaturan kehidupan normative dalam melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahnan iman serta penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain (apologetic). Bentuk doktrin kita bisa melihatnya dalam berbagai agama yang ada, sehingga keberadaan doktrin cenderung untuk diterimna oleh semua agama yang mempercayainya dan menganutnya.
Ungkapan pengalaman keagamaan d alam bentuk pemikiran, juga bia disebut sebagai pengalaman keagamaan yang diungkapkan secara intelektual yang bisa bersifat spontan, belum mantap atau baku dan tradisonal. Ungkapan pengalaman keagamaan teoritis yang paling penting terdapat pada mite. Urban mengutip proposisi Berdyaev dalam Freedom and the Spirit:”….kita tidak lagi mempersamakan mite dengan penemuan (invention), dengan ilusi mentalitas primitive, atau dengan a papun yang ternyata secara esensial bertentangan dengan fakta. Tetapi, di balik mite tersembunyi realitas-realitas yang paling besar, yaitu fenomena asli kehidupan spiritual.”[167]
2.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Perbuatan
Ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan, mengandung arti bahwa pengalaman yang terjaddi merupakan hasil dari adanya pemahaman tentang Tuhan, manusia, dan alam yang didapatnya melalui proses pemikiran terlebih dahulu. Dimana  pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan akan terungkapkan melalui; mengabdikan diri atau beribadah, mendekatkan diri atau memohonkan sesuatu kepada  Tuhannya, menguasai atau mengontrol Tuhan supaya melakukan apa yang di inginkan oleh manusia, mensyukuri karuia atau nikmat Tuhan, memberikan santunan atau hadiah Tuhan, memberikan pelayanan pada sesama umat manusia. Dari semuanya  itu dimaksudkan sebagai usaha unutk menjalankan segala perintah dari Tuhan yang telah dibebankan kepadanya.
Tingkah laku agama yang pertama dan utama, menurut Von Hugel, “ adalah pemujaan…” Dari satu segi, kultus dapat dijelaskan sebagai sebuah reaksi penghayatan terhadap Realitas Mutlak atau tertinggi. “ Tuhan datang kepada manusia ketika manusia mendekati Tuhan.” Dalam pengalaman keagamaan, dalam diri manusia munvul rasa kedaran merendahkan diri sehingga bukan d ia yang memperkokoh suatu hubungan atau komuni tetapi dialah yang diperkokoh oleh dan melalui pelaksanaan praktek keagamaan. Manusia akan menjadi manusia melalui perbuatan-perbuatan ini, yang akan memperbaiki dirinya menuju hakikat dan nasnibnya yang sebenar-benarnya.
Jadi, kultus atau ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk  yang nyata adalah merupakan suatu tanggapan total atas wujud total mendalam dan integral. Realitas Mutlak, dalam bentuk perbuatan. Menurut Scheler, “kesadaran beragama adalah suatu pemahaman yang tidak timbul seluruhnya mendahului ungkapan kultisnya”.
Kedua, bentuk ungkapan pengalaman kegamaan yang nyata (praktis) adalah bakti atau peribadatan dan pelayanan. Kedua-duanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang difahami sebagai realitas tertinggi akan desembah melalui suatu tingkah laku pemujaan, dan dilayani dalam bentuk tanggap terhadap ajakan dan kewajuban untuk masuk ke dalam persekutuan Tuha.
Setiap agama mempunyai praktek-praktek  peribadatannya sendiri-sendiri. Joachim Wach mengutip kembali pernyataan Underhill yang indah, yang telah disinggung dalam karyanya yang dahulu: manusia yang didorong oleh Tuhan, sadar atau tidak sadar dorongan Tuhan yang tersembunyi itu, menanggapi-Nya denngan cara yang terbaik bukan melalui suatu gerak akal yang sederhana, teapi melalui suatu perbuatan yang banak dan kompleks, di mana s eluruh sifatnya diperhatikan, dan yang dalam perkembangannya yang sempurna menyerupai sifat-sifat karya seni.[168]
                                                                                                                       
Adanya kesadaran manusia akan segala sesuatu yang muncul dalam kehidupannya tidak  hanya ditanggapi lewat akalnya saja, teapi adanya kecenderungan manusia untuk mengaktualisasikan pemahamannya tentang sesuatu hal itu dalam bentuk perbuatan yang nyata. Hal ini dimungkinkan bahwa pengalaman keagmaan dal bentuk perbuatan menuntut suatu aktifitas dari manusia itu sendiri, sehingga bukan hanya angan-angan saja yang ada dalam benak manusia itu, tetapi juga lebih konkrit untuk dilaksanakan dalam bentuk yang nyata yaitu perbuatan.
 Kita telah mengetahui bahwa  ketaan dan peribadatan adalah dua bentuk dari ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata. Peribadatan hendaknya difahami dalam pengertiannya  yang paling luas. Karena itu dapat dikatakan bahwa “ suatu perbuatan murah hati yang tertentu akan dapat menjadi suatu alat bantu untuk melaksanakan  ibadat apabila bukan ibadat itu sendiri. Dalam menghadapi realitas Mutlak, manusia  sadar terhadap adanya  kewajiban yang dibebankan atas  dirinya oleh sifatnya yang asli yang difahami  dari segi keberhadapan ini.[169]
Manusia yang beragama  tentu tidak terlepas dari kedua perbuatan tersebut, yaitu ketaatan dan peribadatan, karena setiap agama yang mempunyai ajaran-ajaran mewajibkan  umatnya untuk melaksanakan segala sesuatu yang d iperintahkannya, sehingga tidak ada alasan mausia yang beragama tidak melakukan perbuatan tersebut.
Pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan dapat dibedakan dengan pengalaman keagamaan yang lain, karena di dalamnya terjadi  suatu pergantian eksistensi…ia adalah hasil pemantapan dari perubahan, dan dalam masing-masing hal tersebut dia bukan semata-mata merupakan sebuah  rencana untuk berbuat, tetapi perbuatan itu sendiri. Ibadat terdiri dari segala sesuatu yang terdapat dalam tingkah laku kehidupan semacam itu.
Ungkapan pengalaman  keagamaan dalam bentuk  perbuatan memiliki pola sebagai berikut:
1.      Berkenaan dengan tempat, artinya dimana pengalaman keagamaan itu berlangsung. Sebagai contoh, misalkan; di dekat sumber mata air, di sa mping batu yang besar, di bawah pohon tertentu, di tempat-tempat keramat (istimewa), di dalam sebuah bangunan, di atas tanbah yang di batasi oleh sebuah tanda, dan lain sebagainya.
2.      Berkenaan dengan waktu, artinya kapan pengalaman keagamaan itu berlangsung atau terjadi. Misalnya; pada malam hari, ketika menyendiri atau menyepi, dan lain sebagainya.
3.      Berkenaan dengancara atau proses, artinya bagaimana  proses pengalaman keagamaan itu berlangsung. Misalnya; dengan cara bermimpi, berziarah, dan lain sebagainya.
3.      Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam bentuk persekutuan
Kita sudah mengetahui dua ungkapan pengalaman eagamaan, yaitu dalam bentuk pemikiran dan dalam bentuk perbuatan. Dan ungkapan pengalaman keagamaan yang ketiga adalah dalam bentuk persekutuan. Munculnya ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan tentunya di latarbelakangi oleh adanya ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan perbuatan.
Perbuatan agama senantiasa merupakan perbuatan keagamaan dari seseorang. Bangsa barat modern cenderung memandang kesendirian individu sebagai hal yang paling pentingb. Tetapi, peneelitian terhadap agama-agama primitive memperlihatkan bahwa agama pada umumnya merupakan suatu usaha bersama, sekalipun terdiri dari pengalaman-pengalaman perorangan. Bahkan Marret mengemukakan sebagai berikut: “ pada pokoknya, subjek sebagai yang empunya pengalaman keagamaan adalah masyarat agama, bukan perorangan, dan lebih dari itu, masyarakat agama harus  diperlukan s ebagai penanggung jawab utama dari perasaan, pemikiran, dan perbuatan-perbuatan  yang membentuk agama”.
Bila melihat pernyataan di atas, jelas bahwa keberadaan kelompok a gama adalah sesuatu yang rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kehidupan dalam sautu agama tidak hanya milik perorangan tapi lebih daripada itu sudah bagian da ri kelompok agama atau masyarakat agama, sehingga dengan adanya  pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan sudah menunjukkan bahwa dalam agama mesti muncul kelompok agama yang membawa kepentingan bersama.
Dalam dan melalui perbuatan keagamaan, terbentuk  kelompok keagamaan, tidak ada agama yang tidak mengembangkan suatu bentuk persekutuan keagamaan. Hocking mempertanyakan mengapa homo religious berusaha membentuk suatu kelompok. Dia menjawadnya dengan mengatakan bahwa “ adanya kelompok adalah merupakan pembenaran  (dan perkembangan) eksperimental yang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya ataupun mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan.[170]
            Sebagaimana diungkapkan oleh para ahli, bahwa ternyata keberadaan kelompok agama sudah merupakan suatu kewajaran dalam kehidupan beragama, sehingga  agama tidak lagi milik  perorangan saja, tetapi bagaimana agama sudah merupakan milik bersama atau milik suatu kelompok.
Kita bisa membedakan antara pengalaman keagamaan perorangan dengan pengalaman keagamaan kelompok, kalau pengalaman perorangan, hubungan yang disebut  kemudian adalah yang pertama-tama timbul,  tetapi secara ontologism hubungan tersebut bergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Dan pengalaman kelompok keagamaan bergantung  pada cara  yang dipergunakan oleh para anggotanga dalam menghayati Tuhan, membayangkan dan berhubungan dengan-Nya, dan bergantung pada cara mereka mengalami persekutuan, membayangkannya dan memperaktekannya.[171]
            Bisa dilihat bagaimana perbedaan yang Nampak antara penbgalaman keagamaan yang bersifat perorangan dengan yang kelompok, ini menunjukkan bahwa suatu pengalaman tentunya melibatkan perasaan dari orang yang mengalaminya, dan  apabila hal tersebut menimpa kelompok agama, maka pengalamannya tentang agama tentu dirasakan oleh anggota kelompok  yang lain, sehingga kebersamaan dalam kelompok tersebut  akan nampak.
            Adapun suatu kelompok bisa dikatakan sebagai bentuk persekutuan, apabila antara anggota yang satu dengan yang lain saling mengenal, sehingga  para anggota mempunyai cirri kedalaman perasaan yang tinggi, solidaritas yang kuat, dan aktivitas yang babnyak. Apabila ukuran tersebut lebih besar tetapi belum di batasi oleh  kriteria semisal kelahiran, local, dan lain sebagainya, maka sifat masyarakat tersebut akan berbeda-beda.
            Ada beberapa faktor  yang melahirkan suatu kelompok, faktor tersebut ada yang bersifat faktor agama, an faktor di luar agama. Faktor agama adanya bakat-bakat spiritual seperti penyembahan dan pengajaran adalah contoh-contoh faktor agamis, usia, kedududkan sosial, etika, dan latarbelakang keturunan adalah kualifikasi-kualifikasi yang bersifat non agamis.
            Kemudian ada empat macam, factor yang menimbulkan perbedaan dalam suatu masyarakat agama. Pertama adalah perbedaan dalam fungsi. Dalam suatu kelompok yang kecil hanya terdiri beberapa orang anggota yang dipersatukan oleh ikatan pengalaman keagamaan bersama  akan terdapat perbedaan tertentu dalam pembagian fungsi. Di samping fungsi tersebut hanya  sesuai untuk orang-orang yang sudah cukup  usia atau yang sangat berpengalaman  dalam memimpin doa atau nyayi, maka para anggota yang lebih muda dibebani dengan persyaratan material yang akan dipergunakan untuk tujuan-tujuan kurban.
            Kedua, dalam kelompok-kelompok keagamaan pula perbedaan yang didasarkan atas karisma. Dalam masyarakat yang sangat  egalitarian sekali pun, juga terdapat adanya  pengakuan  terhadap perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan, prestise, dan kedudukan dalam masyarakat. Karisma tertinggi yang dapat diangankan dan mungkin dimiliki oleh seseorang atas dasar seseorang atas dasar humen atau tuhan. Untuk itu kekuatan-kekuatan yang luar biasa  hanya diberikan kepada orang yang diberkati, dan dengan perwujudan pelaksanaan kekuatan tersebut tanpa batas.
            Factor  ketiga, yang membedakan adanya  perbedan dalam kelompok-kelompok keagamaan adalah perbedaan alami berdasarkan usia,  jenis kelamin, dan keturunan. Karena adalah tertentu, kelompok  yang muda dan  juga tua agak sedikit dipisahkan dan masing-masing memainkan peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan masyarakat agama baik secara perorangan ataupun  kelompok.
            Keempat, perbedaan berdasarkan status. Prinsip ini dipandang sebagai suatu kombinasi dari sejumlah factor yang telah menimbulkan perbedaan  di atas, pemikiran  yang “demokratis” tentang persamaan hak semua pemeluk agama  baru muncul kemudian dalam sejarah agama-agama, dan terus terang, dalam prakteknya jarang sekali dilaksanakan.
            Ungkapan pengalaman keagamaan dalam  persekutuan ternyata, melahirkan berbagai jenis kelompok keagamaan, hal ini karena kelompok keagamaan  yang ada merupakan suatu proses dari adanya pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan perbuatan, sehingga keberadaannya senantiasa mencerminkan dari latarbelakang mereka membentuk suatu kelompok keagamaan.


DAFTAR PUSTAKA
Adeng Muchtar Ghazali,
2000    Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung.
Adeng Muhtar Ghazali,
2005    Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung.
Amin Abdullah,
2000    Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta.
Amsal Bakhtiar,
2007    Filsafat Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Bustanuddin Agus,
2005    Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakara.
Cik Hasan Bisri,
2001    Penuntun Penyususnan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi,  PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dadang Kahmad,
2000    Metodologi Penelitian Agama, Pustaka Setia, Bandung.
                       
2000    Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung.
                         
2002       Tarekat Dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, Pustaka Setia Bandung.
Daniel L. Pals,
2011 Seven Theories of religion, QALAM, Yogyakarta.
D. Hendropuspito,
1984    Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta.
Djam’annuri,
2000    Agama Kita; Persepektif Sejarah Agama-agama, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta.
Elizabet K. Nottingham,
1996    Agama dan Masyarakat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Endang Saepudin Anshari,
1987    Ilmu Filsafat dan Agam, PT. Bina Ilmu Anggota IKAPI, Surabaya.
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2008    Panduan penulisan skripsi , Bandung.
H. M. Sayuthi Ali,
2002       Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teoritik dan Peraktek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Harun Nasution,
1991       Filsafat Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta.
                       
2008    Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, UI-Press, Jakarta.
Harlod Coward,
1989       Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Jakarta.
Hilman Hadikusuma,
1993    Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung.
Joachim Wach,
1994    Ilmu Perbandigan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Joesoef Soy’eb,
1996    Agama-agama  Besar di Dunia,  PT. Al-Husna Zikra,  Jakarta.
Mukhsin Jamil,
2008       Agama-agama Baru di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta.
Mukti Ali,
1998    Ilmu Perbandingan Agama; di Indonesia, Mizan, Bandung.
Ramayulis,
2002       Psikologi Agama, Kalam Mulia, RADAR JAYA Offset, Jakarta.
Thomas F. O’dea,
 1996   Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta.
Zakiah Daradzat,
1991       Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta.
                         
1991    Perbandingan Agama I, Bumi Aksara, Jakarta.


[1] Endang Saepudin Anshari, Ilmu Filsafat dan Agam, PT. Bina Ilmu Anggota IKAPI, Surabaya, 1987, hlm. 122. 
[2] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung, 1993, hlm. 16.
[3] Ibid., hlm. 123.
[4] Thomas F. O’dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta, 1996, hlm. 1.
[5] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama, PT. Rosdakarya, Bandung, 2000, hlm. 119.
[6] Risa Agustin, Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 575. Kata Sublime Ialah Menampakan Keindahan Dalam Bentuknya Yang Tertinggi; Utama, Mulia, Amat Indah.
[7] Adeng Muhtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, CV. Pustaka Setia, Bandung, 2005, hlm 43. 
[8] Ibid., hlm 120.
[9] Harun Nasuton, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, UI-Press, Jakarta, 2008, hlm. 9.
[10] Elizabet K. Nottingham, Agama dan Masyarakat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996, hlm. 77.
[11] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, hlm. 39-40.
[12] Thomas E. O’dea, Op.Cit,  hlm. 25-26.
[13] Mujahid Abdul Manaf,  Sejarah Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996,  hlm. 3.
[14] Bustanuddin Agus,  Agama dalam Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1.
[15] Zakia Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara. Jakarta, 1991, hlm. 1.
[16] Joesoef Soy’eb,  Agama-agama  Besar di Dunia,  PT. Al-Husna Zikra,  Jakarta, 1996, hlm. 16.
[17] Amin Abdullah, Studi Agama, Pustaka Pelajar Offset, 2000, hlm. 11.
[18] Adeng Muhtar Ghazali, Ibid. 
[19] Daniel L. Pals, Seven Theories of religion, QALAM, Yogyakarta, 2001. Hlm. 268.
[20] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Baandung, 2005, Hlm. 44.
[21] Joachim Wach, Ilmu Perbandigan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,
hlm. 34.
[22] Dadang kahmad, Metode penelitian Agama; Persepektip Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000, Hlm 27-28.
[23] Ibid, hlm. 40-41.
[24] Elizabet K. Nottingham, Op.Cit, hlm. 82.
[25] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, Pustaka Setia Bandung, 2002, hlm. 79.
[26] Adeng Muchtar Ghazali, Op. Cit, hlm. 16.
[27] Ibid, hlm. 13.
[28] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. VII.     
[29] Dadang Kahmad, Sosiologi Agama , Op.Cit, hlm. 22.
[30] Dadang Kahmad, Metode Penelitian Agama, Op.Cit, hlm. 25.
[31] D. Hendro Puspito, Sosiologi Agama, Op.Cit,  hlm. 29-30.
[32] Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakrta, 2007, hlm. 2.
[33] Ibid., hlm. 3.
[34] Ibid., hlm. XXV.
[35] Ibid., hlm. XXXIX.
[36] Ibid., hlm. XLVI.
[37] Djam’annuri,  Agama Kita; Persepektif Sejarah Agama-agama, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta, 2000, hlm.  10-11.
[38] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 45-46.
[39] Ibid.,  hlm. 91.
[40] Ibid.,  hlm. 116-117.
[41] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyususnan Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008,  Hlm 60.
[42] Mukti Ali, Ilmu Perbandingan Agama; di Indonesia, Mizan, Bandung 1994, hlm. 25.
[43] M. Kitagawa, 1996, hlm. XXXV.
[44] Dadang Kahmad, Op. Cit, hlm. 52.
[45] Ibid, hlm. 55.

[47] Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Panduan penulisan skripsi , 2008, hlm. 116-117.
[48]  Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyususn Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, PT. Logos Wacana Ilmu, Jakarta, 2003, hlm. 60.
[49] Abdul Manaf, Mudjahid, Sejarah Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 1-2.
[50] Djamari,  Agama Dalam Perspektif  Sosiologi, PT. Prima, Bandung, 1993, hlm. 13.
[51] Ibid, hlm. 910.
[52] Ibid, hlm. 14.
[53] Zakiah Daradzat, Ilmu Jiwa Agama, Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm.18.
[54] Djamari, Op. Cit, hlm. 28-29.
[55] Amtsal Bakhtiar, Op. Cit,  hlm. 2.
[56] Mukhsin Jamil, Agama-agama Baru di Indonesia, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta 2008, hlm. xix
[57] H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teoritik dan Peraktek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 1
[58] Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, hlm. 397.
[59] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. XXXIX-XL.
[60] Dadang Kahmad Metode Penelitian Agama, Op. Cit, hlm. 29.
[61] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia, Bandung, 2000, 136
[62] Ahmad Tafsir, Pengantar Filsafat, IAIN Sunan Gunung Djati Bandung, 1977, hlm.  4-5
[63] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, Citra Aditya, Bandung, 1983, hlm. 21.
[64] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 56.
[65] Ibid, hlm. 44.
[66] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 56.
[67] Elizabeth K.  Notingham, Op. Cit, hlm. 44.
[68] Robertson Roland, Agama dalam Ananlisis dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993, hlm.VII.
[69] Ibid, hlm. 44.
[70] Djamari, Op. Cit, hlm. 31.
[71] Nico Sukur Dister Ofm, Pengalaman dan Motivassi Beragama,Kanisius Anggota IKAPI, Yogyakarta,  1988, hlm. 21-22.
[72] Thomas F. O’dea, Op. Cit, hlm. 36.
[73] Abdul Azizi Ahyadi, Psikologi Agama; Keperibadian Muslim Pancasiala,  Sinar Bru Algesindo, Bandung, 2005, hlm. 185.
[74] Dadang Kahmad, Op. Cit, hlm. 71.
[75]Nico Sukur Dister Ofm, Op. Cit, hlm. 21.
[76] Ramayulis, Psikologi Agama, Kalam Mulia, RADAR JAYA Offset, Jakarta, 2002, hlm. 98.
[77] Transenden berasal dari bahasa latin, transcendere. Dalam bahasa ingris: trasendent, artinya lebih tinggi, unggul, agung, melampaui. Di dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, transenden, di definisikan sebagai sesuatu  di luar kesanggupan manusia yang luar biasa, menonjolkan hal-hal yang bersifat rohani, Agama Dalam Kehidupan Manusia, Pengantar Antropologi Agama hlm. 611. Dalam kutipan Bustanuddin Agus, transcend, berarti melewati batas terangkat dari sesuatu yang  nyata. Sedangkan transenden dalam antropologi agama pengalaman melewati atau terangkat dari pengalaman, akal dan kemampuan manusia biasa, pengalaman transenden adalah pengalaman religius, hlm. 108.
[78] Harold Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Jakarta, 1989, hlm. 5.
[79]  Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama; Kepribadian Muslim Pncasila, Sinar Baru Algesindo, Bandung,  2005, hlm. 185.
[80] Nico Sukur Dister Ofm, Op. Cit, hlm. 21.
[81] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 45.
[82] Ibid, hlm. 43.
[83] Dadang Kahmad, Op. Cit, hlm. 17.
[84] Nico Sukur Dister Ofm, Op. Cit, hlm. 9.
[85] Ibid, hlm. 18.
[86] Joachim Wach, Lok.Cit
[87] Ibid, hlm. 44-52.
                        [88] Ibid, hlm. 58.
[89] Ibid, hlm. 54.
[90] Isma’il Raji Al-Faruqi, Tauhid, Penerbit Pustaka,  Bandung, 1995, hlm. 1.
[91] Ibid, hlm. 3-4.
[92] Mariasusai Dhavamony, Fenomenologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1995, hlm. 121
[93] Adi Bunardi , Hakikat Tuhan, Internet, 10/01  07:01 AM, hlm. 1.
[94] Mulyana Lc, Makalah Hakekat Tuhan, Pada Mata Kuliah Filsafat Agama, Bandung Ruang Sidang Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.
[95] Syahminan Zaini, Aqidah Islam, Pustaka Darul Ilmi, 2006,  hlm. 57.
[96] Muhammad Rofiq, Kepercayaan Tuhan, Pencetak Offset, Yogyakarta, 1981, hlm. 36.
[97] M. Quraish Shihab, Wawawsan Al-Qur’an, Mizan, 1996, hlm. 14.
[98] Ibid, hlm. 15.
[99]Harun Nasution, Filsafat Agama, PT. Bulan Bintang, Jakarta, 1991, hlm.  23.
[100] Mulyana Lc, Makalah Hakekat Tuhan, Pada Mata Kuliah Filsafat Agama, Bandung,  Ruang Sidang Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.
[101] H. Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama; Keperibadian Muslim Paancasila, Sinar Baru  ALlGESINDO, Bandung, 2005, hlm. 111
[102] Http://Www. Nuansaislam. Com/ indek. Php ? option=com-conten &view= article &id= Kamis, 30 April 2009 2001.
[103] M. Quraish Shihab, Op. Cit, hlm. 277-278.
[105] Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, Metode Studi Islam, PT. Remaja Rosdakarya, Bnadung, 2000,  hlm. 15.
[106] H. M. Ali Usman, Manusia Menurut Al-Qur’an; Melalui Empat Alam, PT. MAWAR, Bandung, 1970, hlm. 26.
[107] Ibid, hlm. 63.
[108] A. Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu Surabaya, Bandung, 1987, hlm. 8.
[109] George Thomas White Patrick, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama, Bandung, 2010, hlm. 22 dan 24.
[110] Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta,  2004, hlm. 142.
[111] Harun Nasution, Falsafah  Agama.  Bulan Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 55.
[112] Mulyadi Kartanegara, Integrasi Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam,  UIN Jakarta Press, Jakarta, 2003, hlm. xix-xx.
[113] Harun Nasution, Op. Cit, hlm. 36-58.
[114] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran cet II, Mizan, Jakarta, 1992,  hlm. 62-63.
[115] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 97.
[116] Ibid, hlm. 98.
[117] Susanto, Mitos Mercie Eliadde,  Kanisisus, Yogyakarta, 1987, hlm. 71.
[118] Ibid, hlm. 74-90.
[119] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 103.
[120] Jalaluddin Rahmat, Psikologi Agama, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[121] Zakiah Dradjat, Op. Cit, hlm. 137.
[122] Inteligensi, (kecerdasan) dalam bahasa ingris disebut intelligence dalam bahasa Arab disebut al-Dzaka, menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan, dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti kemampuan (al-Qudrab) dalam memahami sesuatu secara cepat dan ssempurna.
[123] Ramayulis, Op. Cit,  hlm. 85.
[124] Ibid, hlm. 86.
[125] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 148-149.
[126] Thomas F. O’dea, Op. Cit, hlm. 74.
[127] Elizabet K. Notingham, Op. Cit, hlm. 16.
[128] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 152-153.
[129]Ibid
[130] A. M. Hardjana, Penghayatan Agama yang Otentik dan Tidak Otentik, Kanisius, Jogyakarta, 1993, hlm. 71.
[131] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 158.
[132] Ibid, hlm. 160.
[133] Ibid, hlm. 161.
[134] Ibid, hlm. 163.
[135] Ibid, hlm. 164.
[136] Ramayulis, Op. Cit, hlm. 98.
[137] Zakiah Daradjat, Op. Cit, hlm.136.
[138] Ibid, hlm. 186.
[139] Ibid, hlm. 137.
[140] Thomas F. O dea, Op. Cit, hlm. 90.
[141] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 198.
[142] Elizabet K. Notingham, Op. Cit, hlm. 17.
[143]  Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 196-197.
[144] Thomas F. O. dea, Op. Cit, hlm. 41.
[145]  Briyan S. Turner, Sosiologi Islam, Rajawali, Jakarta, 1990, hlm. 37.
[146] Elizabet K. Notingham, Op. Cit, hlm. 124.
[147] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 204.
[148] Thomas F. O. dea, Op. Cit, hlm. 90.
[149] Sudirman Teba, Islam dan Orde Baru, Perubahan dan Politik Keagamaan, Tiara Wacana, Jogyakarta, 1993, hlm. 114.
[150] Joachim Waach, Op. Cit, hlm. XVI.
[151] Ibid, hlm. XVII.
[152] Ibid, hlm. Xl.
[153] Ibid, hlm. XL.
[154] Thomas E. O’dea, Op.Cit,  hlm. 65-66.
[155] Ibid, hlm. 58.
[156] Djam’annuri, Op. Cit, hlm. 1.
[157]  Joachim Wach, Op. Cit, hlm. XLV.
[158] Adeng Muchtar Ghazali, Ilmu Perbandingan Agama, Op. Cit, hlm. 22-23.
[159] Adeng Muchtar Ghazali, Studi Agama, Op. Cit, hlm. 44.
[160] Mukti Ali, Op. Cit, hlm. 64.
[161] Dadang Kahmad, Op. Cit, hlm. 87-88.
[162] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. LII.
[163] Adeng Muchtar Ghazali, Studi Agama, Op. Cit, hlm. 60.
[164] Ibid, hlm. 40-41.
[165] Ibid, hlm. 44-53.
[166] Ibid, hlm. 90-93
[167] Ibid, hlm. 98-99.
[168] Ibid, hlm. 154.
[169] Ibid, hlm. 173.
[170] Ibid, hlm. 186 dan 188.   
[171] Ibid, hlm. 189.

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.