BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Mengenai
masalah agama atau keagaamaan, para pakar ilmuan berbeda
pendapat. Agama bisa didefinisikan sebagai suatu peraturan yang mengatur
keadaan manusia, maupun mengenai suatu yang ghaib ataupun mengenai budhi
pekerti, pergaulan hidup bersama.[1]
Jadi agama adalah suatu norma yang mengatur kehidupan baik secara bentuk wujud
manusia ataupun secara ghaib. Dengan memakai
konsekuwensi yang telah diberikan kepada
kehidupan manusia. Manusia akan merasa
selamat dan nyaman jika memiliki agama dalam dirinya.
Pada umumnya di Indonesia digunakan istilah ‘agama’ yang sama
dengan artinya dengan istilah asing ‘religie’ atau ‘godsdienst’
(belanda) atau ‘religion’ (ingris). Istilah agama berasal dari bahasa
sangsekerta yang pengertiannya menunjukan adanya kepercayaan manusia
berdasarkan wahyu Tuhan. Agama mengandung arti hidup yang sangat kekal bagi
kehidupan manusia.[2]
“Sedangkan W. J. S. POERWADARMINATA mendefinisikan agama
sebagai segenap kepercayaan Tuhan atau Dewa, disertai kebaktian dan
kewajiban-kewajiban yang bertalian dengan kepercayaan itu.” Agama menjadi
sebuah pengakuan yang sangat sakral, dalam agama adanya suatu bentuk yang suci,
manusia akan insaf dengan adanya suatu agama yang memiliki kekuasaan di atas
segalanya. Kekuasaan inilah yang dianggap sebagai asal atau khalik segala yang
ada. Manusia memiliki bayangan cara hidup yang lurus.[3]
Agama, yang
menyangkut kepercayaan serta berbagai prakteknya, benar-benar merupakan sosial
dan sampai saat ini senantiasa ditemukan dalam setiap masyarakat manusia dimana
kita memiliki berbagai catatan termasuk yang biasa diketengahkan dan ditafsirkan oleh para ahli arkeologi. Dalam masyarakat yang sudah mapan, agama merupakan salah satu struktur
institusional penting yang melengkapi keseluruhan sistem sosial. Akan tetapi
masalah agama berbeda dengan masalah pemerintah dan hukum.[4]
Agama melukiskan
sebagai kebutuhan dasar dan untuk membela diri terhadap segala kekacauan yang
mengancam manusia. Hampir seluruh masyarakat mempunyai agama “tidak ada bangsa
bagaimanapun primitifnya, yang tidak memiliki agama”. Agama dapat dipandang
sebagai kepercayaan dan pola perilaku kehidupan individu dan kelompok, juga
memberi harapan kelanggengan hidup sesudah mati dan mengingkat diri dari
kehidupan duniawi yang penuh penderitaan untuk mencapai kemandirian spiritual.[5]
Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi
manusia yang paling sublime,[6]
sejumlah besar moralitas, sumber tatanan masyarakat dan perdamaian batin
individu; sesuatu yang memuliakan dan yang membuat manusia beradab. Akan
tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai penghambat kemajuan manusia dan
mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran, pengacuhan, tahayul
(kesia-siaan).[7]
Manusia pada dasarnya percaya akan adanya kekuatan ghaib, yang sangat luar
biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap individu atau kelompok
sehingga menimbulkan sikap mental, rasa takut, pasrah yang akhirnya akan
menimbulkan perilaku berdo’a, memuja dan bersandar pada agama.[8] Dalam agama terdapat peraturan hukum yang harus dipahami oleh manusia.
Agama menguasai seseorang hingga membuat ia tunduk dan patuh kepada Tuhan
dengan cara menjalankan ajaran-ajaran
agama untuk mencoba mencari keselamatan.[9] Dalam kehidupannya manusia mengalami ketidakpastian, yaitu kematian.
Selain tidak bisa diramalkan, kematian juga berada di luar jangkauan kekuatan
manusia.
Sekalipun mengetahui bahwa kematian merupakan kepastian, namun tidak ada
seorang-pun yang mengetahui kapan kematian itu akan terjadi, hal ini membuat
manusia kecewa atau cemas. Dalam menghadapi kekecewaan tersebut manusia tidak
berdaya, akhirnya manusia menyadarkan diri pada agama. [10] Dengan demikian, agama selain membawa aturan-aturan dan hukum-hukum, juga
berfungsi membantu manusia dalam menghadapi masalah hidupnya.
Tanpa suatu penelitian ilmiah pun, cukup berdasarkan pengalaman
sehari-hari, dapat dipastikan bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan
baik dalam hidup sekarang ini, maupun sesudah mati. Jaminan untuk itu mereka
temukan dalam agama. Terutama karena agama mengajarkan dan memberikan jaminan
dengan cara-cara yang khas untuk mencapai kebahagiaan yang pencapainnya
mengatasi kemampuan manusia secara mutlak. Hanya manusia agama (homo
religious) dapat mencapai titik itu, entah itu manusia yang hidup dalam
masyarakat primitif atau masyarakata modern.[11]
Dari sudut fungsional, agama menjadi sangat penting sehubungan dengan
unsur-unsur pengalaman manusia yang diperoleh dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan dan keterasingan yang memang merupakan karakteristik
fundamental kondisi manusia. Dalam hal ini fungsi agama ialah menyediakan dua
hal. Yang pertama, suatu cakrawala pandang tentang dunia luar yang tak
terjangkau oleh manusia, dalam arti dimana frustasi dapat dialami sebagai
sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang
memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan
jaminan dan keselamatan bagi manusia dalam mempertahankan moralnya.[12] Agama bisa dikatakan suatu peraturan yang mendorong jiwa seseorang yang
mempunyai akal, untuk memegang peraturan Tuhan dengan kehendaknya sendiri
supaya mencapai kebaikan kelak hidup di dunia dan akhirat.[13]
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan terhadap keyakinan
adanya kekuatan ghaib, luar biasa atau supranatural yang berpengaruh terhadap
kehidupan individu dan masyarakat, bahkan terhadap segala gejala alam.
Kepercayaan itu menimbulkan perilaku tertentu, seperti berdo’a, memuja dan
lainnya, serta menimbulkan sikap mental tertentu, seperti rasa takut, rasa
optimis, pasrah dan lainnya dari individu dan masyarakat yang mempercayainya.[14]
Asal keyakinan keagamaan itu berpijak pada sesuatu kodrat kejiwaan, yaitu
keyakinan kuat atau rapuh kelanjutan hidup sesuatu agama itu tergantung pada
masalah tentang berapa dalam dan berapa jauh keyakinan keagamaan itu meresap
pada jiwa setiap penganutnya. Kalangan agamawan berpendapat bahwa agama itu
berasal dari kodrat maha pencipta, yang memberikan bimbingan kepada manusia
pertama mewariskan pada keturunannya, dan kodrat penciptaan itu melahirkan
pembaharuan agama. [15]
Agama merupakan salah satu aspek yang paling penting, karena saling
mempengaruhi antara lembaga budaya dalam tabiat manusia serta sistem nilai,
moral dan etika. Agama itu mempengaruhi organisasi kekeluargaan, perkawinan,
ekonomi, hukum-hukum dan politik agama tidak terlepas dari suatu intitusi
kebudayaan yang menyajikan sesuatu lapangan ekspresi dan implikasi begitu halus
agama tersebut. [16] Menempatkan tradisi keagamaan dalam bentuk kontekstual dalam dinamika perubahan
sosial adalah keniscayaan yang harus disikapi dengan cara menciptakan wajah
baru dari ajaran agama. Dengan demikian agama bukanlah sekedar wacana yang
memiliki psikologi dan spiritual semata, melainkan meliputi banyak aspek
kehidupan.[17]
Demikian pula, agama yang telah dicirikan sebagai pemersatu aspirasi
manusia yang paling sublime, sejumlah besar moralitas, sumber tatanan
masyarakat dan perdamaian batin individu; sesuatu yang memuliakan dan yang
membuat manusia beradab. Akan tetapi, agama pula telah di tuduh sebagai
penghambat kemajuan manusia dan mempertinggi fanatisme dan sifat tidak toleran,
pengacuhan, tahayul (kesia-siaan).[18]
Agama atau pengalaman keagamaan merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan tingkah laku manusia,, dengan pengalaman keagamaan inilah sesorang
dapat meningkatkan eksitensi keyakinan terhadap adanya sesuatu yang sakral,
seperti yang diungkapkan Mircea Eliade, kehidupan dapat di ubah dengan apa yang
ia sebut sebagai pengalaman ‘sakral mental’.[19]
Hal yang penting dalam pemikiran Joachim Wach didasarkan pada anggapan
bahwa keagamaan bahwa keagamaan yang bersifat subjektivitas diobjektifikan
dalam berbagai macam ungkapan, dan ungkapan tersebut mempunyai struktur yang dapat dipahami.
Setudi terhadap struktur-struktur tersebut merupakan salah satu tugas ilmu agama.[20]
Bagi Joachim Wach setiap manusia memiliki agama atas pengalaman
keagamaannya itu sendiri, yang membuat dirinya merasa bermakna: di tengah
masyarakatnya atau di dunia ini. Pengalaman keagamaan adalah suatu perasaan
yang didapat manusia pada saat ia berhubungan atau merasa hubungan dengan Yang
Maha Mutlak.[21] Pengalaman
keagamaan perlu adanya suatu tataran kajian mendalam tentang hakikat eksitensi
pada Tuhan, dengan cara melihat hakikat pengalaman keagamaan pada perilaku
manusia. Tidaka akan terlihat hakikat pada manusia tentang Tuhannya, kalau
tidak mempunyai hakikat pengalaman keagamaan pada ddirinya.
Joachim Wach menguraikan dengan sangat mendalam tentang hakikat
pengalaman keagamaan (religious exsperience), yaitu thogut (mite,
doktrin dan dogma), practice, (pengabdiaan dan upacara agama) dan fellowship
(kelompok-kelompok keagamaan).[22]
Agaknya ada dua macam untuk melihat hakikat pengalaman keagamaan pada
manusia. Cara pertama ialah dengan menggunakan deskripsi sejarah agama, sekte
atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara lain adalah berangkat dari
sebuah pertanyaan ”dimana aku,” yaitu lingkungan potensial dimana pengalaman
perorangan berlangsung. Pendekatan yang bertolak dari lingkungan potensial
pengalaman perorangan, paling tidak akan mengundang dua macam keberatan,
seperti dijelaksan Webb. Pertama, kata ’pengalaman’ tersebut terasa mengacu
kepada perbuatan manusia bukan perbuatan Tuhan. Kata tersebut cenderung
memusatkan pada pengalaman daripada apa yang dialami. Keberatan kedua ialah
bahwa kemanunggalan peristiwa-peristiwa wahyu yang khusus terasa habis terserap
oleh istilah ’agamis’. Proposisi ini kemudian membangkitkan protes-protes keras
terhadap setiap penggambaran agama. Keberatan ketiga terhadap teori tersebut
menyatakan bahwa mulai dari pengalaman perorangan akan dapat menimbulkan
kesulitan atau bahkan tidak mungkin dapat memberikan penilai yang tepat
terhadap sifat kebersamaan agama.[23]
Keagamaan bagi
manusia yang berjiwa solidaritas bermasyarakat
sangatlah penting, Joachim Wach melihat dari bentuk-bentuk pengalaman
keagamaan, dalam bentuk pemikiran, perbuatan dan persekutuan. Fungsi keagamaan
sebagai jalan yang memperkuat keyakinan dan keselamatan, disamping itu pula
dapat memperkuat kembali solidaritass sosial dan kelompok masyarakat terhadap
penyelasaian persoalan yang dihadapi oleh orang yang ditinggal.[24]
Kondisi sosio-kultur suatu masyarakat pada umumnya memberikan ciri
tersendiri terhadap perkembangan suatu pemahaman keagamaan. Hal ini karena secara
sosiologi agama, agama merupakan salah satu penting yang memberikan muatan
nilai bagi suatu masyarakat. Secara timbale balik, suatu paham keagamaan juga
dibentuk dan di pengaruhi oleh tradisi lokal.[25]
Kesadaran beragama selalu mereflesikan kebenaran agama secara benar.
Setiap agama sudah pasti memiliki dan mengajarkan kebenaran. Keyakinan tentang
benar itu didasarkan kepada Tuhan sebagai satu-satunya Tuhan sebagai
satu-satunya sumber kebenaran. Namun demikian pada tataran sosiologis, klaim
kebenaran berubah menjadi simbol agama yang dipahami secara subjektif oleh
setiap pemeluk agama.[26]
Oleh karena itu, perlu pengkajian ulang terhadap konsep kerukunan antarumat
beragama yang selama ini di terapkan pemerintah. Ia tidak hanya lagi sebagai
bungkus formal dari kenyataan pluralitas agama di Indonesia. Tetapi harus
menjadi motivator bagi tebentuknya
kesadaran beragama dan berteologi di Indonesia. Dengan pengalaman keagamaan
inilah kesadaran beragama pada tataran kehidupan sehari-hari akan berjalan
secara mulus.[27]
Keterkaitan antara sosial keagamaan yang berada di Indonesia terlihat pada
kerukunan keagamaan dan dan kesadaran
beragama.
Dari permasalahan-permaslahan yang dikemukakan diatas, telah terjadi cara
pandang terhadap keberagamaan pada seseorang yang mana bisa dilihat dari dari
kehidupan bermasyarakat sehari-hari terutama dalam kehidupan pengalaman
keagamaan. Maka penulis merasa tertarik untuk meneliti
tentang masalah tersebut yang kemudian di tuangkan dalam bentuk judul
penelitian yaitu: “KONSEP PENGALAMAN KEAGAMAAN MENURUT PEMIKIRAN JOACHIM WACH”
B. Perumusan Masalah
Berpijak dari asumsi tersebut, maslah penelitian dirumuskan sebagai
berikut, ” terjadi adanya suatu konsep
dalam keagamaan yang menghasilkan berbagai konsep dengan berpijak kepada
keagamaan, yang dihasilkan dari pengalaman, bentuk pemikiran, bentuk keagamaan dalam
bentuk perbuatan, pengalaman bentuk persekutuan yang dirasakannya, yang terkait
dengan keadaan selama ini.”
Persoalan yang di kaji merupakan persoalan yang demikian luas, seperti di ungkapkan
dan di rumusan masalah. Oleh karena itu menyadari keterbatsan metodologi,
pendekatan dan kemampuan, kesempatan dan sumber data yang penulis miliki, maka
penulis membatasi persoalan-persoalan tersebut dengan mengajukan sejumlah
pertanyaan penelitian disamping sebagai pembatas terhadap poko dan tema bahasan
yang akan di garap juga sebagai pedoman teknis dalam penelitian ini, Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,
masalah utama dalam peneliti ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana konsep-konsep
yang di hasilkan Joachim Wach?
2. Bagaimana hakikat dan bentuk-bentuk
pengalaman keagamaan Joachim Wach?
3. Bagaimana analisis
terhadap konsep keagamaan Joachim Wach?
C. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian
1. Berdasarkan perumusan masalah tersebut di atas maka tujuan penelitian
ini adalah:
a. Untuk mengetahui
konsep-konsep yang di hasilkan Joachim Wach.
b. Untuk mengetahui hakikat bentuk
pengalaman keagamaan Joachim Wach.
c. Untuk mengetahui analisis
terhadap konsep keagamaan Joachim Wach.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun
kegunaan dari penelitian ini baik secara teoritis (akademik) maupun praktis adalah sebagai berikut:
a.
Secara
Teoritis
1. Peneliti diharapkan dapat
memberikan kontribusi bagi khazanah ilmu pengetahuan tentang keagamaan.
2. Peneliti diharapkan dapat
memberi sumbangan pemikiran bagi kalangan akademik.
b.
Secara Praktis
Secara Praktis yaitu,
untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam
meraih gelar Jurusan Perbandingan Agama di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung.
D. Tinjauan Pustaka
Sejauh yang penulis ketahui, peneliti yang berjudul ” Konsep
Keagamaan Menurut Joachim Wach” belum ada yang melakukan penelitian. Buku yang menyangkut tentang
penelitian studi pustaka ini adalah buku ”Ilmu Perbandingan Agama”
karangan Joachim Wach. Dan buku-buku lainnya yang menyangkut dengan penelitian.
Namun dalam penelitian ini penulis lebih menitik beratkan pada persoalan konsep
keagamaan, hakikat dan bentuk pengalaman keagamaan.
E. Kerangka Berpikir
Penelitian konsep yang di ungkapkan Joachim Wach, bertolak dari uraian
singkat mengenai perkembangan disiplin ilmu, kemudian di ikuti dengan
pembahasan metodologi, yang seterusnya membawa kepada penyajian teori
penghayatan, dan bentuk pengalaman keagamaannya. Kemudian dari masalah
pemahaman keagamaan yang berbeda dari agamanya sendiri.[28]
Setelah itu menghasilkan sebuah teori pengalaman agama dan bentuk-bentuk
pengungkapannya, dalam pemikiran peribadatan, pemujaan, upacara dan kelompok
sosial.
Adapun agama dalam pengertian sosiologis adalah gejala sosial seseorang
yang umum dimilki masyarakat yang ada di dunia ini. Agama juga bisa dilihat
sebagai unsur dari kebudayaan suatu masyarakat. Dilihat dari sudut kategori
pemahaman manusia, agama memiliki dua segi yang membedakan dalam perwujudannya
yaitu:
1. Segi kejiwaan (pschological),
yaitu kondisi dalam jiwa manusia, berkenaan apa yang dirasakan oleh penganut
agama.
2. Segi (objective
state), yaitu segi luar yang di sebutjuga kejadian objektif, dimensi
empiris dari agama, keadaan ini muncul ketika agama dinyatakan oleh penganutnya
dalam berbagai ekspresi, baik ekspresi teologis, ritual maupun persekutuan.[29]
”Sementara itu Emile Burnaof, berpendapat bahwa agama ialah ibadah, dan
ibadah itu merupakan amalan campuran. Agama merupakan amalan akal manusia
dengan mengakui dengan adanya kekuatan yang Maha Tinggi dan juga amalaiah hati
manusia ber-tawajuh untuk memohon rahmat dari kekuatan tersebut”.[30]
Agama juga di pandang sebagai intitusi yang lain, yang mengemban tugas
(fungsi) agar masyarakat berfungsi dengan baik, baik dalam lingkup lokal,
regional, nasional maupun modial. Maka tujuannya yang dipentingkan ialah daya agama dan pengaruh agama terhadap
masyarakat, sehingga berkat eksitensi dan fungsi agama (agama-agama), cita-cita
masyarakat cara keadilan dan kedamaian dan akan kesejahtraan (jasmani dan
rohani) dapat terwujud.[31]
Agama adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang di anut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengannya. Poko persoalan
yang di bahas oleh agama adalah eksitensi Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia
dengan-Nya. Merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan
bagian dari benda alam termasuk dalam kategori fisika. Dengan demikian membahas
agama ada keterkaitan dengan filsafat, filsafat membahass agama dari segi
metafisika dan fisika.[32]
Berpikir secara bebas dalam membahas dasar-dasar agama dapat mengambil dua
bentuk yaitu:
a. Membahas dasar-dasar agama secara[33] analitis
dan kritis tanpa terikat pada ajaran-ajaran dan atampa tujuan untuk menyatakan
kebenaran suatu agama.
b. Membahas dasar-dasara agama secara analitis
dan kritis dengan maksud untuk menyatakan kebenaran ajaran-ajaran agama, atau
sekurang-kurangnnya untuk menjelaskan bahwa apa yang diajarkan agama tidak
bertentangan dengan logika.
Wach tak tergoyahkan
masalah agama, karena bagiannya ilmu agama sungguh-sungguh dan benar-benar
sebuah ilmu yang mempelajari keyakinan manusia yang paling dalam (geisteswissenschaft).
Titik tolak Wach berangkat dari anggapan dasar bahwa keagamaan bersifat subjek.
Studi terhadap setuktur-stuktur tersebut merupakan salah satu tugas poko dari ilmu
agama.
Konsep-konsep yang di
ungkapkan Joachim Wach menghasilkan tiga konsep pada tataran keagamaan, yaitu: Pertama,
’konsep tentang manusia’, ilmu pengetahuan deskriptif Wach dan analisi
empirisnya di dasarkan atas suatu tradisi filsafat yang jelas dengan manusia
sebagai titik sentralnya.[34] Kedua,
konsep tentang gemeinschaft, berusaha untuk mencari hubungan antara
komunitas (himpunan) keagamaan dengan gesselschaft (masyarakat society).
Ketiga, konsep tentang agama, baginya agama adalah perbuatan
manusia yang paling mulia dalam kaitan dengan Tuhan Maha Pencipta, kepadanyalah
manusia memberikan kepercayaan dan keterkaitan yang sesungguhnya.[35]
Dalam the comparatife studi of religions, Wach membahas hakikat
pengalaman keagamaan dalam bab kedua, dan menguraikan bentuk-bentuk ungkapan-ungkapan
pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan praktek serta persekutuan
keagamaan dalam bab ketiga, keempat dan kelima. Dari analisa yang bersifat
fenomenologis, Wach berusaha menjelaskan ”apabila sesuatu yang menyerupai
sebuah setruktur dapat diketemukan dalam semua bentuk ungkapan ini, maka
terhadap pengalaman macam apakah ungkapannyang anekaragam tersebut dapat
ditelusuri, dan akhirnya, realitas atau realitas macam mungkin apakah yang
mungkin berhubungan dengan ungkapan-ungkapan itu”.
Dia menegaskan bagaimana sikap keagamaan, dengan ’tujuan’ dan ”pemahaman
diri”nya sendiri terhadap pengalaman keagamaan, mengembangkan bentuk-bentuk
sendiri yang lebih unik dari ungkapan pengalaman keagamaan itu sendiri.[36]
Dalam kenyataan agama memang tidak hanya satu, tapi banyak.
Konsep ”kesatuan agama” yang merupakan konsekwensi dari ajaran keesaan Tuhan
dalam Islam hendaknya dipahami bukan dalam pengertian jumlah, tetapi lebih pada
pengetian filosofis-teologis , yaitu bahwa semua agama bermula bersumber dari
Tuhan. Jadi dari segi jumlah agama tetap banyak. Tetapi juga mengandung banyak
perbedaan satu sama lain. Pendapat yang menyatakan semua agama sama sangatlah
keliru, sama sekali kelirunya dengan menyatakan bahwa hitam itu putih, karena
bertentangan dengan fakta.[37]
Wach mengemukakan bahwa
untuk memahami pengalaman keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang
dihayati sebagai realitas mutlak, maka pengalaman itu akan mengikut sertakan
empat hal. Pertama, anggapan dasar bahwa di bawah tanggagapan sendiri
terdiri dari beberapa tingkat kesadaran seperti; pemahaman, konsepsi dan
perilaku. Kedua, tanggapan di pandang sebagai suatu penjumpaan dan
sapaan. Ketiga, menghayati
realitas yang tertinggi mengandung arti ada hubungan yang di namis antara yang
menghayati dan yang di hayati. Kempat, pengalaman manusia itu abadi dan
berada terus menerus dalam keadaan ketergantungan padahal tertentu, jika di
pandang dari karakteristik situassional.[38]
Pengalaman keagamaan tersebut di dapat lewat dilaksanakannya
bentuk-bentuk tertentu dari ajarana agama. Jachim Wach mengemukakan tiga hal;
pemikiran, perbuatan dan persekutuan sosial. Pengalaman keagamaan dapat
diterima oleh kita pada saat sseorang yang telah melakukan prilaku keagamaan
mengemukakan pengalamannya dalam bentuk pemikiran. Kedalaman ketika
mengemukakan pengalaman ini dipengaruhi oleh kekuatan teknis dan logika manusia
yang mengungkapkan dan menerimannya. Untuk itu dalam menghayati pengalaman ini,
Joachim Wach menyatakan ”kekurangan teknis dan logis harus diimbangi dengan
adanya kekayaan pengetahuaan yang
mendalam mengenai pengalaman-pengalaman yang fundamental yang dengan sendirinya
memikirkan pemikiran yang handal tentang Tuhan”.[39]
Secara sepintas penulis telah menggambarkan ungkapan pengalaman
keagamaan dalam bentuk pemikiran. Ada beberapa faktor yang dinyatakan sebagai
pengungkapan pengalaman keagamaan dalam
bentuk intelektual dan pemikiran sebagaimana di ungkapkan oleh Joachim Wach[40]
yaitu:
”tema pertama yang paling fundamental dalam setiap pernyataan iman
ialah berkenaan dengan masalah hakikat realitas mutlak. Yang hidup dan tampak
jelas dalam pengalaman keagamaan akan memperlihatkan dirinya sendiri dalam
berbagai konsep hakikat Tuhan. Tema yang kedua, ialah tema hakikat dari
semuah yang tidak bersifat mutlak yaitu alam semesta dan yang terdapat di
dalamnya, dunia; ketiga, mneunjukan sebuah fenomena yang terdapat di
dunia ini yaitu manusia. Teologi, kosmologi, dan antropologi merupakan
masalah-masalah sentral yang terdapat dalam semua pemikiran keagamaan. Saling
kait antara Tuhan dan dunia, antara Tuhan dan manusia itulah yang terpenting.
Pemahaman-pemahaman dassar ini diformulasikan dalam mite, doktrin, dogma,
tulisan suci, pengalaman iman dan kredo syahadah. Formulasi-formulasi
ini dipertanyakan, diserang dibantah di samping juga dijelaskan, diberi
komentar dan dipertahankan”.
F. Langkah-langkah
Penelitian
Sesuai rumusan
masalah dan tujuan yang dibuat dan ditentukan dalam penelitian ini, maka segi menjawabnya,
agar sistematis dan terarah, perlu bagi penulis untuk menentukan
langkah-langkah dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:
1.
Metode
Penelitian
Penelitian ini
bersifat deskriptif dengan
menggunakan metode analisis isi (content analisys).[41]
Karena metode
ini dianggap tepat untuk dipakai dalam penelitian yang dilakukan, dengan
meng-kaji dan menganalisis pendapat-pendapat Joachim
Wach mengenai konsep keagamaan yang terdapat
dalam buku Ilmu Perbandingan Agama; Inti dan Bentuk Pengalaman Keagamaan.
2.
Jenis Data
Jenis data yang dikumpulkan ini
adalah jenis data kualitatif dengan mendasari pada aturan yang berlaku,
berdasarkan data yang tersedia, baik berupa bahan-bahan yang tersedia,
literatur buku-buku,
maka dibuat kesimpulan dalam rangka menjawab pokok permasalahan.
Sumber Data
Sumber Data
a. Data Primer
Data primer sumber pokok utama atau tangan utama, maka dari itu yang
penulis gunakan dalam penelitian ini adalah bukunya Joachim Wach, dan buku
lainnya yang berkaitan dengan penulisan.
b. Data Sekunder
Adapun yang menjadi data sekunder
dalam penelitian ini adalah buku-buku dan catatan-catatan lain yang dapat
menunjang terhadap penelitian yang dilakukan.
Setelah data-data perimer dan data sekunder terkumpulkan, penulis melakukan
analisis dengan menggunakan metode historis, untuk mengetahui latar
belakang eksternal, yaitu keadaan zaman Joachim Wach, mengkaji dan mengeluarkan
konsep agamanya kedalam latar belakang internal yaitu riwayat hidup,
pendidikan dan pengalaman keagammaannya.[42]
Metode sosiologis, untuk melihat hubungan dari teori agama atau
dengan pemahaman agama Joachim Wach dengan masyarakat dalam kaitannya menentukan
serta melihat sosial yang dipergunakan pemaham agama tersebut. Metode ini dalam
menetukan agama berbentuk empiris.[43]
Metode antropologi, untuk pendekatan budaya, artinya agama dipandang
sebagaibagian kebudayaan baik wujud ide atau gagasan yang di anggap sebagai
sistem norma.[44]
Metode Fenomenologis, untuk menggunakan sebagai saran perbandingan
sebagai sarana intrepetasi memahami arti ekspresi-ekspresi agama.[45] dari
keempat metode ini yang akan diterapkan dalam analisis akan di dapat
gambaran-gambaran ari pemikir terhadap agama selanjutnya di kembangkan dalam
karya tulisan.
4.
Pengumpulan
Data
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini
menggunakan metode studi kepustakaan dan penelaahan naskah, untuk melengkapi data dan menguatkan data yang di peroleh melalui buku-buku dalam penelitian ini.[46]
5.
Analisis Data
Setelah data terkumpul penulis melakukan
penafsiran dengan menggunakan penganalisaan data dengan menggunakan kerangka
logika. Hal ini untuk memudahkan peneliti mengambil kesimpulan. Adapun tahap
analisa datanya sebagai berikut:
1.
Mengumpulkan
dan menginvertarisir seluruh data yang didapat yang berhubungan dengan penulis.
2.
Mereduksi
data yang didapat untuk memilih data yang berhubungan dengan permasalahan dan
data yang tidak berhubungan dengan permasalahan.
3.
Mengklasifikasikan
data yang di peroleh.
4.
Mengambil
kesimpulan dari hasil telaah ini.[47]
Maka langkah selanjutnya mengolah data-data
tersebut dan analisis untuk memperoleh kejelasan sesuai dengan harapan. Setelah
semuah data terkumpul, barulah penulis melakukan pembacaan yang intensif serta
keritis atas semua data tersebut. Hal ini dilangsungkan dengan menggunakan conten
analisis (analisis isi) sebagai salah satu upaya agar tujuan tercapai
penulis secara sistematis dan ilmiah. Metode penelitian penulis ambil dari
pustaka karya Cik Hasan Bisri.[48]
BAB II
PEMBAHASANA TEORITIS KONSEP
PENGALAMAN KEAGAMAAN
A.
Pengalaman Keagamaan
1.
Definisi Agama
Pengertian
agama dapat melahirkan macam-macam
definisi atau arti. Karena itu penulis
akan mencoba mengambil beberapa definisi agama yang ditinjau dari beberapa
segi. Dalam bahasa Sansakerta istilah “agama” berasal dari : a =ke sini,
gam = gaan, go, gehen = berjalan-jalan. Sehingga dapat berarti
peraturan-peraturan tradisional, tujuan,
kumpulan hukum-hukum, pendeknya apa
saja turun temurun dan ditentukan oleh ada kebiasaan.[49] Berbeda
dengan ungkapan Edward B. Tylor, mendefinisikan agama sebagai
belief spiritual being.
“Alasan ia
menggunakan istilah spiritual being, karena banyak orang dari masyarakat non industry menyembah
atau takut kepada nenek moyang yang telah mati. Mereka adalah dunia manusia
dengan mahluk halus, karena itu spiritual being Tylor, tampak lebih inklusif
dibandingkan dengan percaya kepada dewa-dewa. Spiro, sejalan dengan pendapat
E.B. Taylor, bahwa agama termasuk suatu kepercayaan kepada sesuatu yang wujud (a being) yang tidak bias dialami
oleh proses pengalaman yang biasa”.[50]
Istilah agama,
atau religion dalam bahasa Inggris, berasal dari bahasa Latin religio yang berarti agama, kesucian,
kesalahan, keteitian batin; religae, yang berarti mengikatkan kembali,
pengikatan bersama. Beberapa arti agama yang terungkap dari Webster’s
Dictionary antara lain:
1)
Percaya kepada
Tuhan atau kekuatan superhuman kekuatan yang d iatas dan disembah sebagai
pencipta dan pemelihara alam semesta;
2)
Ekspresi dari
kepercayaan di atas berupa amal ibadat;
a.
Sesuatu sistem
kepercayaan, peribadatan, amal dan sebagainya yang sering melibatkan kode etik
dan filsafat tertentu, misalnya tercermin dalam ungkapan: agama Kristen, agama Budha dan sebaganya.
b.
Suatu sistem
kepercayaan, pengalaman dan nilai etika
dan sebagainya, yang menyerupai sesuatu
system, seperti humanisme adalah agamanya.
3)
Suatu keadaan
jiwa atau cara hidup yang mencerminkan kecintaan atau kepercayaan terhadap
Tuhan; kehendak perilakunya sesuai dengan “aturan Tuhan”, seperti tampak dalam
kehidupan kebiaran. Sehingga sering disebut: “ ia telah mencapai agama”.
4)
Suatu objek
yang dianggap berharga dan menjadi tujuan hidupnya, misalnya: kesucian adalah
agama baginya;
5)
Amal ibadat
yang tampak;
6)
Aturan agama
atau lingkungan agama.[51]
Edward B.
Tylor, Dalam mendefinisikan agama, Keith
A, Roberts mengemukakan tiga macam definisi, yaitu definisi substansif, fungsional, dan definisi simbolik. Pendekatan
substansif mendefinisikan agama dari substansi atau esensinya. Definisi substansif
mendefinisikan sesuatu fenomena kepada criteria tertentu jika dianggap memenuhi
syarat-syarat atau hakekatnya terpenuhi.agama sebagaimana dikutip oleh Djamari
“belief in Spiritual Being”. Alasan ia menggunakan istilah spiritual being,
karena banyak orang dari masyarakat non industry menyembah atau takut kepada
nenek moyang yang telah mati. Mereka sedikit sekali berurusan dengan Tuhan atau
dewa-dewa, tetepi dunia mereka adalah dunia manusia dengan mahluk halus. Karena
itu spiritual being Tylor tampak lebih inklusif dibandingkan dengan percaya
kepada dewa-dewa. Spiro, sejalan dengan pendapat E.B. Tylor, bahwa agama
termasuk suatu kepercayaan kepada sesuatu yang wujud (a being) yang
tidak bias dialami oleh proses pengalaman yang biasa.
Definisi lain mencoba
mencari esensi agama dengan idak
mensyaratkan sesuatu kepercayaan, seperti dilakukan oleh Emile Durkheim (1915).
Menurut Durkheim, kesucian dan perubahan sikap merupakan syarat bagi seseorang
sebelum ia memasuki ritual keagamaan. Pengakuan akan adanya d unia sacral dan
profan memberikan peluang kepada kita
untuk mendefinisikan agama dalam suatu kebudayaan.[52] James tidak mau memberikan definisi arasionil terhadap agama. Karena
agama itu mempunyai pengertian yang kompleks dan segi berbilang, sehingga
sukarlah yang harus memberikan definisi yang tepat, James mendefinisikan hanya
sebagai untuk memudahkan penelitian. Menurutnya Agama sebagai perasaan dan
pengalaman bani Insan secara individual, yang menganggap bahwa mereka
berhubungan dengan apa yang dipandangnya sbagai Tuhan.[53]
Agama juga
mengkomunikasikan, memperingatkan, menginternalisasi, interpretasi, dan
ekstrapolasi suatu kepercayaan. Dan manusia
beragama, tentu tidak terlepas dari fenomena yang dialaminya. Disini fenomena
agama harus mengandung:
1.
Mitos,
kepercayaan yang membantu manusia untuk mengerti dan menginterpretasi
kejadian-kejadian dalam hidupnya;
2.
Rites,
pemujaan atau bentuk-bentuk dalam peribadatan;
3.
Etos, atau
nilai moral kelompok;
4.
Pandangan
tentnag dunia (world viewsi) atau perspektif kognitif yang memandang
pengalaman kehidupannya sebagai dari kosmologi yang lebih besar dan penuh
makna;
Berbeda dengan
ungkapan Amtsal Bakhtiar mengenai definisi Agama, agama jika di lihat dari pandangan
filsafata adalah suatu sistem kepercayaan kepada Tuhan yang di anut oleh
sekelompok manusia dengan selalu mengadakan interaksi dengan-Nya. Pokok yang di bahas dalam agama adalah eksitensi Tuhan, manusia dan
hubungan antara manusia dengan Tuhan. Tuhan dan hubungan manusia dengan-Nya
merupakan aspek metafisika, sedangkan manusia sebagai mahluk dan baian dari
benda alam termasuk dalam kategori fisika.[55]
Bagi Jalaludin Rahmat agama menjadi sebuah relevan pada kenyataan
terdekat dan sekaligus misteri terjauh.
Begitu dekat ia selalu haddir ddalam kehidupan sehari-hari--di rumah, kantor,
media, pasar dan dimana saja berada. Begitu misterius; ia sering menampakan
wajah-wajah yang tampak berlawanan memotivasi kekrasan tanpa balas kasih,
pengabdian tanpa bata, mengilhami pencarian ilmu tertinggi atau menyuburkan
tahayul atau superstisi, menciptakan gerakan masa paling klosal, atau
menyingkap misteri ruhani paling personal dan menebarkan kebenaran paling
hakiki.[56]
Agama begitu menampakan wajahnya yang begitu misteri, orang berbondong-bondong
bersimpuh pada pemimpin agama baru atau di hadapan pemimpin dengan gaya agama
baru. Dasar tersebut di karenakan suatu pengalaman agama yang di dapatnya
dengan kehidupan sehari-hari.
Agama adalah wahyu yang diturunkan Tuhan untuk manusia. Fungsi dasar
agama adalah meberikan orientasi, motivasi dan membantu manusia untuk mengenal
dan menghayati sesuatu yang sakral. Lewat pengalaman beragama (religious
exsperince), yang penghayatan kepada Tuhan, manusia menjadi memiliki
kesanggupan, kemampuan dan kepekaan rasa untuk mengenal dan memahami eksitensi
sang illahi. Agama dirumuskan ditandai oleh tiga corak pengungkapan universal:
pengungkapan teoritis berwujud kepercayaan (belief system), pengungkapan
peraktis sebagai sistem persembahan (system of worship), dan
pengungkapan soaiologis sebagai sistem hubungan msyarakat (system of social
relation), di sini agama secara
teorits merupakan sistem yang mempunyai daya bentuk sangat kuat untuk membangun
ikatan sosial religious masyarakat.[57]
Begitu juga yang terdapat dalam buku, Agama-agama Besar di Dunia
Joesoef Sou’yb menyatakan bahwa agama itu suatu agama Wahyu (Revealed
Religion) yang disampaikan oleh Nabi
Muhammad (570-632 M) di semenanjung Arabia pada awal abada ke-7 masehi.
Agama sebagai penyerahan diri dengan sepenuhnya kepada Allah Yang Maha Esa bagi
menata diri dalam kehidupan sehari-hari, sebagai pedoman yang menjadi rujukan
agama yaitu Al-Qur’an.[58]
Dalam setiap agama akan mengajarkan pedoman kehidupan yang menjadi keyakinan
masing-masing, yang di hasilkan dari suatu pengalaman pribadi baik yang menganut agama Islam, Keristen, Hindu,
Budha dan Konghuchu.
Menurut
Joachim Wach, agama adalah perubahan manusia yang paling mulia dalam kaitannya
dengan Tuhan Pencita, kepadaNya-lah
manusia memberikan kepercayaan dan keterikatan yang sesungguhnya. Wach mengutip
Carlyle: dengan agama saya tidak mengartikannya di sini dengan kredo (syahadah)
gereja yang diucapkan, artikel-artikel keimanan yang akan ditanda tangai di depan altar, dan yang
akan d ipelihara dalam ucapan perbuatan
lain sebagainya; bukan itu semua, juga tidak dalam berbagai pertimbangan
lainnya. Tetapi agama adalah sesuatu yang dalam prakteknya seseorang
benar-benar percaya dan dengan demikian cukup tanpa mempertahannya sekalipun
dengan dirinya sendiri. Agama adalah sesuatu yang tidak berarti bagi orang
lain. Tetapi adalah sesuatu yang ditaruh dalam-dalam di lubuk hati supaya biasa
mengenalnya dengan pasti karena agama bersentuhan dengan hal-hal yang mutlak
dalam alam penuh kerahasiaan ini, di samping kewajiban serta nasibnya
ditetapkan di sana yang dalam semua hal merupakan sesuatu yang utama, yang
secara kreatif menentukan segala yang lain.[59]
Agama yang dianggap sebagai suatu jalan hidup bagi manusia (way of
life) menuntun manusia agar hidupnya tidak kacau. Agama berfungsi untuk
memelihara integritas manusia dalam mebina hubungan dengan Tuhan dengan sesame
manusia dan dengan alam yang mengintarinya. Dengan demikian agama pada dasarnya
berfungsi sebagai alat pengatur terwujudnya integritas hidup. Agama merupakan
firman Tuhan yang di wahyukan kepada
utusan-Nya untuk di sampaikan kepada manusia. Selaku titah dari Yang Mahakuasa
yang terdapat di alam sama. [60]
Agama sebagai aturan atau undang-undang yang telah di tentukan dan tidak bisa
di tentang serta harus dijalankan sesuai dengan kemampuan dirinya dengan hasil
pengalaman sebagai momentum dasar bagi keyakinan agama tersebut.
Agama menurut Kitagawa, merupakan fenomena yang kompleks, dan di
dalamnya terdapat unsur dan dimensi yang berbeda. Perbedaan ini terutama
berhubungan dengan penyikapan manusia, yang homo religious, terhadap alam yang penuh dengan misteri. Oleh karena itu
tidak ada satupun agama yang menggambarkan secara tepat ddan komprehensif
tentang agama itu sendiri. Berdasarkan
inilah, Kitagawa mendefinisikan agama sesuai dengan anggapan umum yang
di terima oleh para ahli ilmuan.[61]
Agama menghasilkan suatu fenomena yang terjadi pada manusia yang menimbulkan
karakteristik pengalaman keagamaan yang sama dan keagamaan yang berbeda. Sesuai
apa yang telah di temukan di dalam agama pribaddi itu sendiri.
Dari sekian definisi bisa kita simpulkan kedalam dua kelompok. Pertama,
definisi agama yang menekankan pada segi rasa keimanan atau kepercayaan,
yang Kedua, menekankan pada segi peraturan hidup atau tuntunan cara
hidup di dunia, kombimasi keduanya dapat kita lihat misalnya pada kamus
filsafat dictionarie ilulustre des philosophes yang mengatakan bahwa
agama adalah sistem kepercayaan dan praktek yang selalu di hubungkan dengan
Tuhan. Menurut hemat penulis agama ialah peraturan Tuhan tentang bagaimana cara
hidup.[62]
Dengan agama-lah mansuia akan mampuh bertahan dalam kehidupannya, ketika
seorang manusia prustasi dengan keadaanya maka agamalah yang menjadi penentram
batin bagi jiwa manusia.
Agama
merupakan suatu penyerahan kepada kekuatan yang lebih tinggi dari pada manusia
yang dipercayai mengatur jalannya alam dan kehidupan manusia. Apabila dilihat
dari asal usulnya agama, maka dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu agama
wahyu dan agama duniawi. Agama wahyu merupakan agama yang bersumber pada wahyu
Tuhan, sedangkan agama duniawi merupakan hasil akal pikiran manusia.[63]
2.
Pengertian
Keagamaan
Salah sau yang ada dalam agama adalah
penbgalaman keagamaan, di mana setiap manusia yang beragama sudah barang tentu
akan dan pernah mengalami pengalaman keagamaan tersebut. Pengalaman adalah
universal. Para ahli antropologi, seperti Marett dan Malinowski, telah
membuktikan bahwa, jauh dari sesuatu yang sifatnya diinduksikan dengan cara di
buat-buat (diciptakan, sebagaimana yang diyakini pada masa pencerahan),
agama adalah merupakan ungkapan dari perasaan ketuhanan (sensus numinis,
istilah Otto yang sekarang terkenal) yang terdapat di mana-mana. Henri Bergson
mengemukakan: “ tidak pernah ada suatu masyarakat yang tanpa agama; dan Raymond Firth menegaskan
bahwa “ agama adalah sesuatu yang universal dalam masyarajat manusia.[64]
Joachim Wach sebagaimana diungkakan oleh
Joseph Kitagawa, pengalaman keagamaan adalah tanggapan terhadap apa yang
dihayati sebagai Realitas Mutlak. Yang dimaksud dengan Realitas Mutlak adalah
realitas yang menentukan dan mengikat segala-galanya, yang dalam istilah
Dorothy Emment disebut dengan “ yang memberi kesan dan menantang kita. Dengan
demikian bahwa pengalaman mengenai sesuatu yang sifatnya tidak akan dapat merupakan suau pengalaman keagamaan
melainkan sekedar sebuah pengalaman pseudo-agama.[65]
Apabila kita mengemukakan pengalaman
keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas
Mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan empat hal. Pertama, anggapan dasar bahwa di dalam tanggapan terkandung beberaoa
tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konswpsi, dan lain sebagainya. “
kesadaran,” menurut Whitehead, “memerlukan adanya pengalama.”Kedua, tanggapan dipandang sebagai bagian dari suatu
perjumpaan. Ketiga, menghayati “realitas yang tertinggi mengandung arti adanya hubungan
yang dinamis antara orang yang menghayati
dengan yang dihayati. Keempat, pengalaman keagamaan ada terus
menerus.
3.
Pengalaman
Keagamaan
Agama sebagai jalan punggung
manusia untuk mencapai keyakinan yang
supranatural. Sedangkan keagamaan itu sendiri perillaku
dan pengalaman yang di hasilkan oleh
mansuai setelah menemukan agama. Salah satu yang ada dalam agama adalah pengalaman
keagamaan, di mana setiap manusia yang beragama sudah barang tentu akan dan
pernah mengalami pengalaman keagamaan tersebut. Pengalaman adalah universal.
Para ahli antropologi, seperti Marett dan Malinowski, telah membuktikan bahwa,
jauh dari sesuatu yang sifatnya diinduksikan dengan cara di buat-buat (diciptakan,
sebagaimana yang diyakini pada masa pencerahan), agama adalah merupakan
ungkapan dari perasaan ketuhanan (sensus numinis, istilah Otto yang sekarang
terkenal) yang terdapat di mana-mana. Henri Bergson mengemukakan: “ tidak
pernah ada suatu masyarakat yang tanpa
agama; dan Raymond Firth menegaskan bahwa “ agama adalah sesuatu yang universal
dalam masyarajat manusia.[66]
Dalam
pandangan Elizabeth K. Notingham salah
satu motivasi manusia untuk melakukan dan menghayati agama adalah ketidakpuasan
terhadap apa yang mereka dapatkan, karena agama mengandung nilai-nilai ajaran
yang dapat menentramkan batin seseorang sehingga akan tercapai hidup bahagia
aman dan tentram.[67]
Untuk mencapai
hal tersebut ajaran dan petunjuk bagi para penganut agama untuk bisa selamat
dari api neraka dalam kehidupan setelah mati, merupakan sesuatu yang ditawarkan
agama sebagai sebuah sistem keyakinan. Karena itu keyakinan keagamaan dapat
dilihat sebagai orientasi pada masa yang akan datang, dengan cara mengikuti
kewajiban-kewajiban keagamaan dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan agama
yang dianut dan diyakini kebenarannya oleh para penganut agama tersebut. Karena agama berisikan ajaran-ajaran mengenai
kebenaran tertinggi dan mutlak bagi eksistensi manusia dan petunjuk untuk hidup
dan selamat di dunia dan di akhirat setelah mati. Agama sebagai sistem
keyakinan juga dapat menjadi bagian dan inti dari sistem-sitem nilai yang ada
dalam kebudayaan dari masyarakat yang bersangkutan dan menjadi pendorong dan
penggerak.[68]
Joachim Wach
sebagaimana diungkakan oleh Joseph Kitagawa, pengalaman keagamaan adalah
tanggapan terhadap apa yang dihayati sebagai Realitas Mutlak. Yang dimaksud
dengan Realitas Mutlak adalah realitas yang menentukan dan mengikat
segala-galanya, yang dalam istilah Dorothy Emment disebut dengan “ yang memberi
kesan dan menantang kita. Dengan demikian bahwa pengalaman mengenai sesuatu
yang sifatnya tidak akan dapat merupakan
suau pengalaman keagamaan melainkan sekedar sebuah pengalaman pseudo-agama.[69]
Selain
mengutip pendapat yang dikemukakan Joach Wach tentang hakikat pengalaman
keagamaan, penulis juga mengutip pendapat yang
lain. Menurut Djamari, hakikat pengalaman religious, yaitu kepekaan
terhadap yang suci, timbul dalam pergaulan dengan dunia, maka pengalaman
religious (dan tiap-tiap pengalaman yang bersifat primer dan pondamental) harus
dikatakan bukan hanya natural tetapi juga cultural sifatnya. Pengalaman religious
itu sekaligus soal alam dan soal kebudayaan. Manusia yang beragama menghayati
dunia sebagai tanda bekas dari Nan Ilahi. Sebagai demikian terpantullah
dunia di dalam batin manusia yang
afektif dan patis itu. Oleh karenanya pengalaman religious harus disebut soal
alam. Teapi pengalaman religious itu juga ber langsung dalam suatu tradisi
kebudayaan afeksi manusia tida bisa tidak d ipengaruhi oleh gaya bahasa dan
oleh hubungan dengan dunia. Kedua-duanya ini berubah-ubah sekedar kebudayaan
makanya pengalaman religious itu pun soal kebudayaan.[70]
Apabila kita
mengemukakan pengalaman keagamaan sebagai suatu tanggapan terhadap apa yang
dihayati sebagai Realitas Mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan
empat hal. Pertama, anggapan
dasar bahwa di dalam tanggapan
terkandung beberaoa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konswpsi, dan lain
sebagainya. “ kesadaran,” menurut Whitehead, “memerlukan adanya pengalama.”Kedua,
tanggapan dipandang sebagai bagian
dari suatu perjumpaan. Ketiga, menghayati “realitas yang tertinggi mengandung arti adanya hubungan
yang dinamis antara orang yang menghayati
dengan yang dihayati. Keempat, pengalaman keagamaan ada terus
menerus.
Menurut Nico
Syukur, yang dimaksud dengan istilah “pengalaman” ialah suatu pengetahuan yang
timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari pergaulan
praktis dengan dunia. Pergaulan tersebut
bersifat langsung, intuitif dan afektif. Dan istilah “dunia” mencakup baik
orang maupun barang. Salah satu cirri
khas penbgatahuan semacam itu ialah tekanan pada unsure pasif. Dalam
megalami sesuatu, orang pertama-tama merasa “kena” atau mengolah hal itu
(sebagaimana terjadi dalam pemikiran). Oleh karena itu keindrawian, afeksi dan
emosi memainkan peranan besar d alam pengalaman. Jadi pengalaman beragama ada
sangkut pautnya dengan apa yang bersifat
irasional dalam diri manusia. “irasional” (= apa yang tidak bersifat rasio)
maksudnya apa yang tidak berasal dari rasio atau sekurang-kurangnya t idak atau
belum (dapat) diolah oleh rasio.[71]
Durkheim mengkaji pengalaman keagamaan sesuai dengan pengalaman pribadi,
bahwa agama membuat pemisahan yang menggolongkan semua pengalaman manusia ke
dalam dua kategori yang mutlak bertentangan, yakni pengalaman yang suci dan profan.
Pengalaman yang profan adalah dunia pengalaman rutin, yang sampai tingkat
tertentu sejalan dengan apa yang dimaksud Pareto sebagai pengalaman “logica-experimental”
yang terasendensikan oleh agama. Agama sebagai suatu sikap terhadap yang
suci, tidak mempunyai tujuan dan sasaran ekstrinsik dalam dirinya.[72]
Pengalaman keagamaan dapat merupakan pengalaman kerohanian, orang
mengalami dunia sampai pada batasannya seakan-akan menyentuh apa yang ada di
sebrang duniawi atau yang di luar profane. Pengalaman keagamaan ini yang khas
itu merupakan tanda adanya Tuhan dan sifat-sifatnya. Akan tetapi karena
pengalaman itu dirasakan oleh manusia, maka seringkali pengalaman yang kudus
bercampur dengan hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjadi dangkal.
Kesyahduan memandang Ka’bah, kelezatan bergelantung di Multazam, khusyuan
shalat atau keasyikan bertawaf merupakan pengalaman keagamaan yang kudus.[73]
Menurut Dadang Kahmad,
pengalaman keagamaan adalah bersifat pribadi (individual expesriwnce)
dan unik. Artinya pengalaman keagamaan yang di alami oleh seorang penganut
suatu agama akan berbeda dengan pengalaman keagamaan yang di alami oleh seorang
penganut agama lainnya. Setiap orang yang beragama selalu menjalankan ajaran
agamanya, baik dalam bentuk ritual ataupun pelayanan, sehingga ia akan
memperoleh pengalaman yang bentuk dan derajatnya sangat individual. Ini
sebabnya pengalaman keagamaan yang satu dengan agama yanga lain.[74]
Nico Syukur Dister mengungkapkan bahwa pengalaman adalah pengetahuan yang
timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan dari pergaulan praktis dengan
dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif dan efektif.[75] Dan istilah dunia mencakup baik orang maupun benda. Salah satu ciri khas
pengetahuan semacam itu ialah tekanan pada unsur pasif dalam mengatasi sesuatu,
orang pertama-tama merasa kena ketika disentuh, lebih daripada secara aktif
mengajarkan atau mengolah. Hal itu, sebagaimana terjadi dalam pemikiran oleh
keindrawian, afeksi dan emosi merupakan unsur yang memainkan peranan besar
dalam pengalaman keagamaan.
Ramayulis
mengemukakan masalah tingkah-laku keagamaan pada manusia, bahwa tingkah-laku
keagamaan pada manusia adalah segala aktivitas manuisa dalam kehidupan di
dasarkan atas nilai-nilai agama yang di
yakininya. Tingkah-laku keagamaan tersebut merupakan perwujudan dari rasa dan
jiwa keagamaan berdasarkan dan pengalaman keagamaan pada diri sendiri. Agama
bagi manusia, memiliki kaitan yang erat
dengan kehidupan batinnya. Oleh karena
itu kesadaran agama dan pengalaman keagamaan seseorang banyak menggambarkan
sisi-sisi batin dalam kehidupanyang ada kaitannya dengan seseatu yang sakral
dan dunia ghaib, kesadaran agama dan
pengalaman keagamaan ini pula kemudian
munculnya tingkah-laku keagamaan yang di ekspresikan seseorang.[76]
Selain itu juga, bahwa dalam rangka mencapai kedekatan dengan realitas
mutlak atau realitas tertinggi yang tak terjangkau oleh indera manusia, maka
manusia melakukan berbagai praktik Ritual keagamaan untuk mendekatkan diri dan
berhubungan baik dengan Realitas Tertinggi atau Tuhan dengan melakukan berbagai
ibadah, pemujaan, berkorban, bersemedi, berdo’a dan lain-lainnya. Jadi Ritual
keagamaan dapat dipahami merupakan sebagai kegiatan empiris manusia dalam
mengungkapkan kepercayaan dan keyakinanya yang diteransendensikan.[77]
B.
Hakikat Pengalaman Keagamaan
Pengalaman
keagamaan didefinisikan sebagai pencarian Realitas Asli. Dalam pencarian ini
tampaknya agama-agama sering terdorong untuk menegaskan dirinya sebagai yang
unik dan universal. Banyak agama yang memperlihatkan kecendrungan untuk
menawarkan sebagai jalan yang benar menuju keselamatan atau pembebasan.[78]
Pengalaman
keagamaan merupakan pengalaman kerohanian, orang mengalami dunia sampai pada
batasanya seakan-akan menyentuh apa yang ada di seberang dunia atau yang ada di
luar profan. Pengalaman keagamaan yang khas itu merupakan tanda adanya Tuhan
dan sifat-sifat-Nya. Akan tetapi karena pengalaman keagamaan itu dirasakan oleh
mansuia, maka seringkali pengalaman keagamaan yang kudus bercampur dengan
hal-hal yang duniawi sehingga kekudusannya menjaddi dangkal.[79]
Nico
Syukur berpendapat mengenai masalah definisi ”pengalaman” ialah suatu
pengetahuan yang timbul bukan pertama-tama dari pikiran melainkan terutama dari
pergaulan peraltis dengan dunia. Pergaulan tersebut bersifat langsung, intuitif
dan efektif. Oleh karena itiu keindrawian, afeksi dan emosi memainkan peranan
besar dalam pengalaman.[80]
Dalam
definisi kita bahwa pengalaman keagamaan merupakan tanggapan terhadap apa yang
dihayati sebagai realitas mutlak, maka pengalaman itu akan mengikutsertakan
empat hal. Pertama, anggapan dasar bahwa di dalam tanggapan terkandung
beberapa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konsepsi, dan lain sebagainya.
Maka dengan itu kesadaran memerlukan sebuah pengalaman. Kedua, tanggapan
dipandang sebagai suatu perjumpaan. Pengalaman keagamaan yang murni telah
dikenal oleh hermines religiosi di sepanjang masa dan di semua bagian
dunia. Ketiga, menghayati realitas yang tertinggi terjadi adanya
hubungan dinamis. Keempat, adanya pengalaman keagamaan secara sepontan
bagi manusia.[81]
Cara
yang memungkinkan dalam menganalisa hakekat dari pengalaman keagamaan, menurut
Joachim Wach, yaitu dengan pengungkapan masalah yang sangat penting dari
kebenaran agama tanpa mengabsolutkan agama itu sendiri. Hal ini dimaksudkan
untuk mempermudah memberikan penilaian terhadap hubungan yang sangat erat
dengan penngalaman keagamaan dengan berbagai pengalaman yang lain, dan pada
saat yang sama akan dapat melindungi hakikat pengalaman keagamaan yang sebenarnya.[82]
Agama,
menurut Emile Burnaos adalah ibadah, dan ibadah itu campur, agama merupakan
amaliah akal yang mengakui adanya kekuatan Yang Maha Tinggi, juga amalaiah hati
manusia yang ber-tahajjuh untuk memohon Rahmat darikekuatan tersebut.[83]untuk itu dalam sebuah agama harus ada kebiasaan, bentuk
ajaran, format ibadah, hukum dan peraturan perilaku, sebagai hubungan manusia
yang dihayati antara manusia yang terasenden. Hubungan tersebut bersifat lahir
dan bathin. Menurut Nico Syukur, dari segi bathin, agama menyangkut masalah
perasaan, keinginan, harapan dan keyakinan manusia terhadap yang Trasenden
sedangkan lahirnya agama menyangkut masalah kelakuan, aktivitas dan
tindak-tanduk tertentu yang mengungkapkan segi batin tadi dalam praktek
kehidupan.
Agama-agama
bukannya hanya ritus-ritus yang memberikan kelegaan emosional dan cara-cara
untuk memperkokoh kepercayaan manusia agar mampu melaksanakan suatu pekerjaan,
akan tetapi agama juga mengembangkan interpretasi-intrepetasi intelektual yang
membantu manusia dalam mendapatkan makna dari seluruh pengalaman hidupnya.
Perasaan dekat (akrab) dengan Tuhan, perasaan do’a-do’a yang terkabul, perasaan
tentram bahagia mempertahankan Allah, perasaan mendapatkan peringtan atau
pertolongan dari Allah; merupakan pengalaman-pengalaman individual yang sering
dirasakan oleh manusia yang beragama.
Pengalaman
bathin individu sering juga terjadi ketika seseorang melaksanaan ritus-ritus
keagamaan seperti: sahalat, puasa, korban, berdo’a, haji dan sebagainya; ketika
seseorang ingin berbuat baik kepada sesamanya, ketika seseorang memikirkan
keaguman Tuhan, janji dan ancaman Tuhan, ketika seorang meyakini akan datangnya
hari pembalasan, ketika ada perasaan-perasaan aneh yang sulit di pahami, ketika
rasa takut dan cinta dan perasaan pesona yang berhubungan dengan yang
terasenden.[84] Manusia dalam beragama itu memperkembangkan
hubungan dengan Tuhan atau ”Naan Ilahi”
dalam bentuk pola-pola perasaan dan
sistem-sistem pemikiran (keyakinan
religius, ajaran agama, mitos dan dogma), sistem kelakuan sosial (upacara
sembahyang bersama, ritus, liturgi) dan organisasi-organisasi.[85]
Ada
empat pengalaman keagamaan menurut Joachim Wach. Pertama, menyangkal
adanya pengalaman tersebut, apa yang dikatakan pengalaman hanya ilusi belaka. Kedua,
mengakui eksitensi pengalaman keagamaan tersebut tidak dapat dipisahkan,
karena sama pengalaman yang bercorak umum. Ketiga, mempersamakan antara
bentuk sejarah agama dengan pengalan keagamaan. Keempat,pandangan yang
mengakui suatu pengalaman keagamaan murni yang dapat didefinisikan dengan
mempergunakan keriteria tertentu.[86]
Adapun
kriteria tersebut, sebagaimana yang di tunjukan oleh Joachim Wach ada empat
yaitu, pertama, pengalaman keagamaan itu merupakan tanggapan terhadap
apa yang dihayati sebagai realitas mutlak. Realitas mutlak adalah Realitas yang
menetukan dan mengikat segala-glanya. Dengan kriteria di atas, maka pengalaman
keagamaan yang mengikut sertakan empat hal, pertama anggapan dasar bahwa di dalam
tanggapan terkandung beberapa tingkat kesadaran, seperti pemahaman, konsepsi
dan sebagainya. Kedua, tanggapan di pandang sebagai suatu perjumpaan. Ketiga,
menghayati ealitas yang tertinggi mengandung arti adanya hubungan yang dinamis
antara orang ynag menghayati dan dihayati. Keempat memahami karakteristik
situasional dari pengalaman keagamaan, yaitu memandangnya dalam konteks yang
khusus.
Kriteria
kedua adalah pernyataan bahwa pengalaman keagamaan harus dipandang
dengan suatu tanggapan yang menyeluruh dari makhluk utuh terhadap relaitas
Mutlak. Berarti peribadi yang utuhlah yang terlibat, yang terdiri dari fikiran,
perasaan dan kehendak hati. Menurut Mouroux, pengalaman keagmaan merupakan
suatu bertingkat yang terdiri dari tiga unsur, yaitu, akal perasaan dan
kehendak hati. Sedangkan Maret mengemukakan bahwa dalam setiap fase yang
kongkrit, proses berfikir merasa dan berkehendak adalah sama-sama terlibat
sedangkan tujuan analisa suatu ketika ditekankan pada pemikiran, suatu ketika
pada perasaan dan ketika yang lain pada tingkah laku menjadi tempat di
ungkapkannya pengalaman keagamaan.
Kriteria
ketiga, kedalam, (intensity).
Secara potensial pengalaman keagamaan merupakan pengalaman yang paling kuat,
menyeluruh mengesankan dan mendalam yang sanggup di miliki manusia. Tokoh-tokoh
agama disegala zaman dan dimana saja telah memperlihatkan bukti pengalaman
keagamaan ini dalam pemikiran, kata-kata dan perbuatan.
Kriteria
keempat, adalah tersebut dinyatakan dalam perbuatan. Pengalaman
keagamaan merupakan sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.
Perbuatan merupakan bukti yang tepat untuk menunjukan bahwaseseoranbg sebagai
pemeluk agama yang sungguh-sungguh. Perbuatan akan menunjukan pengalaman
tersebut bersifata sepiritual dan agamis.[87]
Joachim Wac memaparkan pengalaman hidupnya dia pernah
mengalami pengalaman yang sangat religious
yaitu perasaan terhadap ajaran agama yang dipahaminya. Sedikitpun tidak dapat
disangkal bahwa pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia, hakikat
kemanusiaan yang umum mencakup
kemungkinan yang selalu ada pada agama. Di lain tempat pengarang yang sama juga
mengemukakan “ Perasaan keagamaan yang
terdapat dalam diri manusia adalah segi yang bersifat tetap dan universal dalam
kehidupan mentalnya”.[88]
Jika
hanya ada satu atau beberapa diantara keriteria di atas tidak cukup memberikan
karakteristik yang jelas pada suatu pengalaman. Sebagai pengalaman keagamaan
dan hanya merupakan pengalaman keagamaan semu (pesudo agama) atau pengalaman
semi keagamaan. Pengalaman keagamaan memerlukan adanya kemampuan dalam diri
manusia untuk memberikan tanggapan. Pemikiran tentang penampakan Tuhan sebagai
kenyataan objektif dalam alam, sejarah dan kehidupan manusia, memerlukan adanya
suatu kesiapan bathin dalam diri manusia sebagai imbangan untuk memahamminya
secara sepiritual.[89]
Walaupun
pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan bermacam-macam, namun menurut
Trueblood, ada beberapa proses untuk menyelediki kebenaran pengakuan pengalaman keagamaan,
yaitu pertama, bilangan orang yang
mengaku mempunyai pengalaman keagamaan, jika lporan pengakuan itu sedikit,
kemungkinan hal itu tidak benar, tetapi apabla pengaluan itu tidak di laporkan
oleh macam-macam orang dari periode dalam sejarah, maka keberadaan pengalaman
keagamaan akan lebih dapat dipercaya. Kedua, budi pekerti orang yang menyatakan
pengakuan. Apakah berakhlak baik atau seorang pemohong. Ketiga, penyesuaian
antara laporan-laporan pengakuan tersebut. Didalam pengakuan tersebut terdapat
kesamaan yang poko dan universal. Keempat, perubahan hidup dari orang yang
berpengalaman keagamaan sebagai tanggapannya atas penghubung dengan Tuhan. Hakikat
yang ada pada pengalaman keagamaan menyangku beberapa hal yang diantaranya:
1.
Hakekat Tuhan
Inti pengalaman keagamaan
adalah Tuhan. Kalimat Syahadah, atau pengakuan penerimaan dengan Islam,
menegaskan ”tidak ada Tuhan selain Allah.” nama Tuhan adalah ”Allah”, dan
menepati posisi sentral dalam setiap kedudukan, tindakan, dan pemikiran setiap
Muslim. Kehadiran Tuhan mengisi kesadaran Muslim dalam waktu kapan-pun. Bagi
kaum Muslim, Tuhan merupakan obsesi yang agum.[90] Tuhan sebagai kenormativan berarti bahwa dia adalah Dzat
yang Memerintah. Gerakan-gerakan-Nya, pemikiran-pemikiran-Nya dan
perbuatan-perbuatan adalah realitas-realitas yang tak bisa diragukanuatan-Nya;
sepanjang manusia memahaminya, satu nilai baginya, suatu keharusan, bahkan
jika, dalam kasus dimana hal telah disadari, tidak ada kewajiban yang timbul
baginya. Disamping bersifat etafisik, sifat ultimat Tuhan bagi seorang Muslim
tidak dapat dipisahkan dari atau ditekankan dengan mengorbankan sifat
aksiologi-Nya. Tuhan sebagai tujuan terakhir, yakni akhir di mana semua kaitan
finalistik mengarah dan berhenti. Dia adalah tijuan akhir dari segala kehendak
dan keinginan.[91]
Mengenai konsep hakikat
ketuhanan Mariasusai Dhavamony, kepercayaan pada ”adikodrati”, dengan siap
manusia berhubungan dalam pengalaman religiusnya, merupakan has semua agama dan
di anggap sebagai yang umum dan merata (ada dalam setiap agama). Kendati
demikian, kepercayaan pada Tuhan ada dalam banyak manifestasi yang berbeda
dalam semua hampir agama. Di mana satu
Tuhan disembah sebagai yang Maha Tinggi, secara implisit dan eksplisit hal itu
mengesampingkan yang Maha Tinggi lainnya, kita menyebut monotaisme.[92]
Lebih jauh, para sufi
mewujudkan Tuhan dalam manifestasi Jamaliyyah (keindahan) dan Jalaliyyah
(keagungan) Tuhan. namun kedua argumen tentang Tuhan itu berasal dari
pengalaman akal dan hati manusia yang sangat subjektif tentunya. Apapun
argumennya, baik itu argumen akal ataukah hati, melahirkan ketrpecahan makna
pemahaman ketuhanan. Akhirnya, kita harus sepakat tentang keberadaan tuhan,
bahwa Tuhan itu ada kalau kita menyebut-Nya. Itulah kesepakatan primordial kita
tentang Tuhan yang termanifestasi dalam realitas. Tuhan itu ada atas
kesepakatan kita.[93]
Hal-hal yang perlu di ingat oleh manusia
mengenai masalah hakekat Tuhan:
a.
Bahwa segala
sesuatu selain ari pada Tuhan, termasuk keseluruhan alam semesta, tergantung
pada Tuhan.
b.
Bahwa Tuhan
Yang Maha Besar dan Perkasa pada dasarnya, adalah Tuhan yang maha pengasih; dan
Tuhan.
c.
Bahwa
aspek-aspek ini sudah tentu mensyaratkan sebuah hubungan yang tepat diantara
Tuhan dengan manusia-manusia, hubungan diantaranya di per-Tuhan dengan hambanya
dan sebagai konsekwensinya sebuah hubungan yang tepat antara manusia dengan
manusia.[94]
Manusia dalam menanggapi masalah hakikat Tuhan (Allah) berbeda pendapat.
Dalam menanggapi ada atau tidak adanya Allah
ini manusia sudah terbagi kedalam dua kelompok besar, yaitu: Pertama, mengakui
adanya Allah. kedua, tidak mengakui adanya Allah. Kelompok yang mengakui
adanya Allah terbagi pula kedalam dua kelompok yaitu;
1.
Mengakui
adanya Allah dengan memeluk agama.
2.
Mengakui
adanya Allah tidak memeluk agama.[95]
Dengan
demikian hakekat Tuhan ada karena adanya suatu penciptaan di dunia ini, maka
dengan pengalaman agamalah manusia cara mengenal hakikat, tanpa adanya suatu
pegangan dalam diri dan tanpa pengalaman dari suatu agama tidak akan menemukan
hakikat tersebut.
Tuhan (Allah Swt) adalah suatu zat yang tidak
terdiri atas sesuatu, maka tidak membutuhkan waktu dan Ruang, pengertian Tuhan
tidak membutuhkan ruang dan waktu adalah ruang dan waktu adalah mahluk. Tuhan
menepati ruang Tuhan sendiri yaitu, arsy
(alam Tuhan) di luar alam makhluk. Sebab pengertian adanya suatu dzat yang
tidak membutuhkan ruang adalah sulit di cerna oleh akal.[96]
Tuhan dalam pandangan filsafat islam adalah pengetahuan yang terjadi dari
pengetahuan tentang sifat-sifatnya.
M. Quraish Shihab mengemukakan tentang Tuhan,
hampir semua manusia mempercayai adanya Tuhan yang
mengatur alam Raya ini. Orang-orang Yunani Kuno menganut paham politeisme
(keyakinan banyak Tuhan): bintang adalah tuhan (dewa), Venus adalah (tuhan),
Dewa Kecantikan, Mars adalah dewa peperangan, Minerva adalah dewa Kekayaan,
sedangkan Tuhan tertinggi adalah Apollo atau Dewa Maatahari.[97]
Keyakinan tentang Kesaan Allah, memang tidak di temukan dalam Al-Qur’an ayat
yang membicarakan wujud Tuhan. Bahkan Syekh Abdul Halim Mahmud dalam bukunya Al-Islam
wa A’l-Aql menegaskan bahwa “jangankan Al-Qur’an, Kitab Taurat, dan Injil
dalam bentuknya sekarang-pun (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) tidak
menguraikan tentang Wujud Tuhan”. Ini disebabkan karena Wujud-Nya sedemikian
Jelas, dan “terasa” sehingga tidak perlu dijelaskan. Al-Qur’an mengisyaratkan
bahwa kehadiran Tuhan ada dalam setiap diri insan, hal tersebut merupakan
fitrah (bawaan) manusia sejak asal
kejadiannya.[98]
Harun Nasution
mengungkapkan tentang adanya suatu kepercayaan pada manusia terhadap keagamaan.
Menurutnya kepercayaan pada Tuhan adalah
dasar yang utama sekali dalam paham keagamaan. Tiap-tiap agama mempunyai
kepercayaan pada yang gaib dan cara hidup manusia yang berbeda, percaya pada
agama di dunia ini amat rapat hubunganhya dengan kepercayaan tersebut pada hal
yang gaib. Kekuatan gaib itu, kecuali
dalam agama-agama primitif, di sebut Tuhan. Artinya bagi orang primitif sesuatu yang gaib
adalah sesuatu yang menjadi pegangan kepercayaan secara supranatural dalam
kehidupannya.[99]
2.
Hakekat Kemanusiaan
Manusia adalah ciptaan Tuhan. Ini diciptakan secara alamiah, karena Tuhan
nciptakan Adam dari tanah (15: 26, 28, 33, 6, 2, 7, 12 dan ayat-ayat lainnya)
yang jika diorganisir kedalam diri manusia akan akan menghasilkan ekstrak. Jika
seorang manusia sekali melakukan kebaikan atau kejahatan maka kesempatannya
untuk melakukan perbuatan serupa bertambah dan untuk melakukan perbuatan yang
berlawanan semakin berkurang. Walaupun demikian, perbuatan-perbuatan yang
menyebabkan kebiasaan psikologis, betapapun kuat pengaruhnya, tidak boleh
dipandang sebagai determinan yang mutlak, karena bagi tingkah laku manusia
tidak ada keterlanjuran yang tak dapat diperbaiki. Taubat mengubah seorang
menjadi saleh.
Al-Qur’an mengatakan bahwa kelemahan manusia yang paling dasar dan yang
menyebabkan semuah dosa-dosa besarnya adalah ”kepicikan” (dha’f) dan kesempitan
pikiran (qathr). Sifat manusia adalah mudah goyah, sifat yang senantiasa
beralih dari satu titik kesatu titik ekstrim lainya yang di sebabkan oleh
kesempitan akal dan kepicikannya. Al-Qur’an memetingkan tiga macam pengetahuan
untuk manusia yaitu:
a) Pengetahuan mengenai alam
yang telah dibuat Allah tunduk kepada manusia, atau sains-sains alamiah.
b) Pengetahuan sejarah
al-qur’an dan kitab-kitab yang telah dibuat senantiassa manusia untuk berjalan
di muka bumi sehingga dapat menyaksikan apa-apa yang telah terjadi pada
kebudayaan masa lampai dan menganggap kebudayaan dapat bangkit dan runtuh.
c) Pengetahuan mengenai diri
sendirinya.[100]
Siapakah sebenarnya manusia itu? Untuk apakah mansia itu hidup? Apakah arti atau
makna hidup? Pertanyaan-pertanyaan tersebut sezak zaman Yunani
sampai zaman sekarang dan yang akan
datang, akan terus merupakan bahan pemikiran yang tak akan habis-habisnya.
Pertanyaan tersebut sedikit banyak pernah menyentuh manusia bagi yang mempunyai
akal. Oleh karena itu mmansuia adalah
mahluk yang ingin mengenal dirinya sendiri. Oleh karena itu manusia di
dasari atau tidak didasari. Walaupun pertanyaan itu berfilosof akan tetapi
mengandung ajwaban menetukan derajat seseorang, corak tipe dan watak
kpribadiannya. Hakikat manusia tidak terlepas dari bayangan dirinya untuk
selalu merubah kekuarangan ayang ada di dalam dirinya untuk mendapat nilai
bagus di hadapan Allah Swt.[101]
Hakikat
manusia ada beberapa definis yang diantaranya sebagai berikut :
1.
Makhluk yang
memiliki tenga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya untuk memenuhi
kebutuhan-kebutuhannya.
2.
Individu yang
memiliki sifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual
dan sosial.
3.
yang mampu
mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif mampu mengatur dan mengontrol
dirinya dan mampu menentukan nasibnya.
4.
Makhluk yang
dalam proses menjadi berkembang dan terus berkembang tidak pernah selesai
(tuntas) selama hidupnya.
5.
Individu yang
dalam hidupnya selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan
dirinya sendiri, membantu orang lain dan membuat dunia lebih baik untuk
ditempati.
6.
Suatu
keberadaan yang berpotensi yang perwujudanya merupakan ketakterdugaan dengan
potensi yang tak terbatas.
7.
Makhluk Tuhan
yang berarti ia adalah makhluk yang mengandung kemungkinan baik dan jahat.
8.
Individu yang
sangat dipengaruhi oleh lingkungan turutama lingkungan sosial, bahkan ia tidak
bisa berkembang sesuai dengan martabat kemanusaannya tanpa hidup di dalam
lingkungan sosial.[102]
Dalam bukunya Man
The Unknown, Dr, A, Carrel, sebenarnya manusia untuk mencurahkan perhatian
dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya, kendatipun kita memiliki
pemberdaharaan yang cukup banyak dari hasil para ilmuan untuk menjelaskan
manusia. Mengenai keterbatasan manusia atas dirinya di sebabkan oleh:
a.
Pembahsan
manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya pperharian manusia hanya
tertuju pada penyelidikian tentang alam materi.
b.
Ciri khas akal
manusia yng lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal kita seperti yang
dinyatakan oleh Bergson tidak mampu
mengetahui hakikat hidup.
c.
Multikompleksnya
masalah mansuia.[103]
Manusia
memiliki sifat kekurangan dan kelebihan tergantung kualitas pikirannya dan hati
yang menjalankan dalam agama tersebut. Karena Al-Qur’an sendiri menjelaskan
tentang adanya sifat pujur dan taqwa yang ada dalam diri manusia. Maka manusialah
sendiri yang dapat bisa menjalankan kehidupan sesuai dengan pemikiran akal yang
telah di berikan oleh Allah kepadanya.
Al-Qur’an
menegaskan kualitas dan nilai manusia dengan menggunakan tiga macam istilah
yang satu sama lain saling berhubungan, yakni al-insaan, an-naas,
al-basyar,
dan banii
Aadam. Manusia disebut al-insaan karena dia sering
menjadi pelupa sehingga diperlukan teguran dan peringatan. Sedangkan kata an-naas
(terambil dari kata an-naws yang berarti gerak; dan
ada juga yang berpendapat bahwa ia berasal dari kata unaas
yang berarti nampak) digunakan untuk menunjukkan sekelompok
manusia baik dalam arti jenis manusia atau sekelompok tertentu dari
manusia. Manusia disebut al-basyar, karena dia cenderung
perasa dan emosional sehingga perlu disabarkan dan didamaikan. Manusia disebut
sebagai banii
Aadam karena dia menunjukkan pada asal-usul yang bermula dari nabi
Adam as sehingga dia bisa tahu dan sadar akan jati dirinya. Misalnya, dari mana
dia berasal, untuk apa dia hidup, dan ke mana ia akan kembali.
Penggunaan
istilah banii
Adam menunjukkan bahwa manusia bukanlah merupakan hasil evolusi
dari makhluk anthropus (sejenis kera). Hal ini
diperkuat lagi dengan panggilan kepada Adam dalam al-Qur’an oleh Allah dengan
huruf nidaa
(Yaa Adam!). Demikian juga penggunaan kata ganti yang menunjukkan
kepada Nabi Adam, Allah selalu menggunakan kata tunggal (anta)
dan bukan jamak (antum) sebagaimana terdapat dalam
surah al-Baqarah ayat 35. Manusia dalam pandangan al-Qur’an bukanlah
makhluk anthropomorfisme
yaitu makhluk penjasadan Tuhan, atau mengubah Tuhan menjadi
manusia. Al-Qur’an menggambarkan manusia sebagai makhluk theomorfis
yang memiliki sesuatu yang agung di dalam dirinya. Disamping itu
manusia dianugerahi akal yang memungkinkan dia dapat membedakan nilai baik dan
buruk, sehingga membawa dia pada sebuah kualitas tertinggi sebagai manusia
takwa.
Al-Qur’an
memandang manusia sebagaimana fitrahnya yang suci dan mulia, bukan sebagai
manusia yang kotor dan penuh dosa. Peristiwa yang menimpa Nabi Adam sebagai
cikal bakal manusia, yang melakukan dosa dengan melanggar larangan Tuhan,
mengakibatkan Adam dan istrinya diturunkan dari sorga, tidak bisa dijadikan
argumen bahwa manusia pada hakikatnya adalah pembawa dosa turunan. Al-Quran
justru memuliakan manusia sebagai makhluk surgawi yang sedang dalam perjalanan
menuju suatu kehidupan spiritual yang suci dan abadi di negeri akhirat, meski
dia harus melewati rintangan dan cobaan dengan beban dosa saat melakukan kesalahan
di dalam hidupnya di dunia ini. Bahkan manusia diisyaratkan sebagai makhluk
spiritual yang sifat aslinya adalah berpembawaan baik (positif, haniif).
Karena itu,
kualitas, hakikat, fitrah, kesejatian manusia adalah baik, benar, dan indah.
Tidak ada makhluk di dunia ini yang memiliki kualitas dan kesejatian semulia
itu . Sungguhpun demikian, harus diakui bahwa kualitas dan hakikat baik benar
dan indah itu selalu mengisyaratkan dilema-dilema dalam proses pencapaiannya.
Artinya, hal tersebut mengisyaratkan sebuah proses perjuangan yang amat berat
untuk bisa menyandang predikat seagung itu. Sebab didalam hidup manusia selalu
dihadapkan pada dua tantangan moral yang saling mengalahkan satu sama lain.
Karena itu, kualitas sebaliknya yaitu buruk, salah, dan jelek selalu menjadi
batu sandungan bagi manusia untuk meraih prestasi sebagai manusia berkualitas mutaqqin
di atas. Gambaran al-Qur’an tentang kualitas dan hakikat
manusia di atas megingatkan kita pada teori superego yang dikemukakan oleh
sigmund Freud, seorang ahli psikoanalisa kenamaan yang pendapatnya banyak
dijadika rujukan tatkala orang berbicara tentang kualitas jiwa manusia.
Menurut Freud,
superego
selalu mendampingi ego. Jika ego yang
mempunyai berbagai tenaga pendorong yang sangat kuat dan vital (libido
bitalis), sehingga penyaluran dorongan ego (nafsu lawwamah/nafsu buruk) tidak
mudah menempuh jalan melalui superego (nafsu
muthmainnah/nafsu baik). Karena superego (nafsu muthmainnah)
berfungsi sebagai badan sensor atau pengendali ego manusia. Sebaliknya, superego
pun sewaktu-waktu bisa memberikan justifikasi terhadap ego manakala
instink, intuisi, dan intelegensi –ditambah dengan petunjuk wahyu bagi orang
beragama– bekerja secara matang dan integral. Artinya superego
bisa memberikan pembenaran pada ego manakala ego bekerja
ke arah yang positif. Ego yang liar dan tak terkendali
adalah ego
yang negatif, ego yang merusak kualitas dan hakikat manusia itu
sendiri.
Sebagai
kesimpulan dapatlah diterangkan bahwa kualitas manusia berada diantara naluri
dan nurani. Dalam rentetan seperti
itulah manusia berperilaku, baik perilaku yang positif maupun yang negatif.
Fungsi intelegensi dapat menaikkan manusia ke tingkat yang lebih tinggi. Namun
intelegensi saja tidaklah cukup melainkan harus diikuti dengan nurani yang
tajam dan bersih. Nurani (mata batin, akal budi) dipahami sebagai superego,
sebagi conscience atau sebagai nafsu muthmainnah
(dorongan yang positif). Fuad Hasan mengatakan bahwa bagi manusia
bukan sekedar to live (bagaimana memiliki) dan to
survive (bagaimana bertahan), melainkan juga to
exist (bagaimana keberadaannya). Untuk itu, maka manusia memerlukan
pembekalan yang kualitatif dan kuantitatif yang lebih baik daripada
hewan.
Manusia bisa
berkulitas kalau ia memiliki kebebasan untuk berbuat dan kehendak. Tetapi
kebebasan disini bukanlah melepaskan diri dari kendali rohani dan akal sehat,
melainkan upaya kualitatif untuk mengekspresikan totalitas kediriannya, sambil
berjuang keras untuk menenangkan diri sendiri atas dorongan naluriah yang
negatif dan destruktif. Jadi kebebasan yang dimaksudkan disini adalah upaya
sadar untuk mewujudkan kualitas dan nilai dirinya sebagai khalifah Allah di
muka bumi secara bertangung jawab. Kualitas dan nilai manusia akan terkuak bila
manusia memiliki kemampuan untuk mengarahkan naluri bebasnya itu berdasarkan
pertimbangan aqliah yang dikaruniai Allah
kepadanya dan dibimbing oleh cahaya iman yang menerangi nuraninya yang paling
murni.[104]
Nurcholis
Madjid mengemukakan perintah mengesakan Tuhan mengandung bahwa manusia hanya
boleh tunduk kepada Tuhan. Ia tidak boleh tunduk pada selain-Nya karena ia
adalah puncak ciptaan-Nya. Karena ia hanya boleh tunduk pada Tuhan, manusia
oleh Allah dijadikan sebagai khalifah di bumi (Q.S al-Baqarah {2}: 30). Karena
manusia adalah khalifah di bumi, maka alam selain manusia ditundukan oleh Allah
untuk manusia.[105]
Dapatlah
diketahui bahwa manusia itu diciptakan oleh Allah dengan segala perkembanagan
dan pertumbuhan tidaklah dengan permintaan manusia itu sendiri dan bukanlah
oleh permohonannya terlebih dahulu. Hakikat manusia ke muka bumi di ciptakan
untuk patuh dan tunduk kepada apa yang telah di berikan aturan, melalui akalnya
itu sendiri. Sehingga manusia lebih sempurna ketimbang debngan makhluk lainya,
jika manusia itu mempunyai dan memperguanakan akalnya dengan baik. Kata-kata “MANUSIA”
itu menurut kitab Sutasuma karangan I. Gt. Sugerewa. Adalah terdiri dari dua
patah kata, yaitu: MANUS dan IA, Manus artinya Jiwa, sedang ia artinya tubuh
kasar/jasa/jisim. Jadi manusia itu suatu tubuh kasar, kerangka jasmani yang
berjiwa –raga. Para Ulama ‘ Manthiq memberikanta’rief/definisi kepada manusia
itu dengan kata-kata Al-Insannun Hayawanun Natikun, benda hidup yang berjiwa dan bernyawa yang
bisa berbicara yang mempunyai akal.[106]
Agustinus
mengatakan “bahwa manusuia adalah mengetahui pengetahuan yang berawal dalam
panca indra yang menangkap kesan dari semua keadaan dan peristiwa. Kemudian
kesan ini diantarkan ke otak yang memikirkan itu. Apabila pemikiran kesan ini
tidak benar, maka ini bukanberarti bahwa kesalahan tidak terletak didalam jiwa
yang memikirkan kesan itu. Kesan adalah pancaindra bathin kita, diatas
pancaindra ada ratio Ratio atau bathin adalah bagian dari tubuh”.[107]
Mr. D. C. Mulder, seorang serjana protestan mencatat bahwa:
“Menurut aliran rasionalisme pertanyaan tentang manusia dapat
dijawab seperti berikut: manusia adalah makhluk yang berakal; akallah yang
membedakan pokok di antara manusia dan
binatang; akallah yang menjadi dasar pada kebudayaan”.
Berbeda dengan yang di ungkapkan oleh Harold H. Titus manusia adalah
organism hewani, itu memang benar, namun dia mampu mempelajari dirinya sendiri
sebagai suatu organism dan memperbandingkan dan menafsirkan bentuk-bentuk hidup
dan mampu menyelidiki makna eksitensi insane. Untuk melakukan hal itu dia harus
sanggup seakan-akan berdiri di luaratau
di atas kehidupan dan kondisi yang di timbang dan dibandingkannya itu. Manusia
hidup pada titik di mana natur dan
sepirit bertemu.[108]
3.
Hakekat Alam
Alam semesta
adalah totalitas ruang dan semua yang ada di dalamnya. Lebih tepatnya alam
semesta dapat di definisikan sebagai totalitas ruang, waktu materi atau
bermacam-macam ruang dan waktu. Alam semesta tidak terbatas, yaitu lebih luas
daripada ketidakterbatasan alam semesta dalam imajinassi kita sebelumnya.[109]
Apakah Alam
itu qadim (azali), ataukah muhdats (diciptakan dari ketiadaan)? Bagaimanakah
alam diciptakan? Dari apakah alam diciptakan ? Semuanya itu merupakan problema
pokok yang dibahas para ulama ahli kalam. Kaum filosof berpegang pada pendapat
yang mereka warisi dari orang Yunani: bahwa Alam adalah qadim (Azali). Ini dengan
tegas dinyatakan Aristoteles, dan kurang tegas dinyatakan oleh Plato dan
Plotinus. Menurut Plato, Alam memang qadim, tetapi Tuhanlah yang mengaturnya.[110]
Berbicara
tentang hakikat alam ada beberapa argumen, salah satu diantaranya adalah
argumen kosmologis. Argumen ini disebut juga argumen sebab-musabab, yang timbul
dari paham bahwa alam adalah bersifat ( mumkin-contingent ) dan bukan bersifat
wajib (wajib-necessary) dalam wujudnya. Dengan lain kata karena alam adalah
alam yang dijadikan, maka mesti ada zat yang menjadikannya. Argumen kosmologis
ini adalah argumen yang tua sekali seperti halnya dengan argumen ontologis.
Kalau argumen ontologis berasal dari Plato, maka argumen kosmologis berasal
dari Aristoteles ( 384-322 SM ), murid Plato.[111]
Banyak para filosof Barat mengemukakan tentang hakikat alam Hakikat Alam diantaranya sebagai berikut:
- Menurut Isaac Newton (1725 M).
Dari temuannya
yang terkenal ”Mechanistic determinisme” atau
hukum mekanik. Dengan ditemukannya hukum mekanik ini oleh Newton, maka
tersibaklah rahasia kerja alam sehingga campur tangan Tuhan terhadap alam
seperti yang dijelaskan oleh agama dipandang tidak begitu penting lagi.
- Menurut Laplace, merupakan pengikut Newton (Abad 18).
Menurutnya
peran Tuhan dalam teori penciptaan hanya sebagai hipotesa, bahkan hipotesa yang
tidak diperlukan lagi karena telah dapat dijelaskan secara sempurna oleh hukum
mekanik tentang bagaimana cara bekerja alam semesta.
- Paham Deisme.
Bahwa setelah
penciptaannya oleh Tuhan, alam telah lepas tangan. Ia tidak lagi mencampuri
urusan ciptaan-Nya. Tak ubahnya seperti jam tangan yang telah lepas dari
hubungan pembuatnya. Sebuah teori yang dikenal dengan ”clock
maker theory”. Paham Deisme ini timbul pada abad 17 dan berasal
dari Falsafat Newton (1642-1727) yang mengatakan Tuhan hanya pencipta alam dan
jika ada kerusakan baru alam perlu pada Tuhan untuk memperbaiki kerusakan yang
timbul itu. Dengan Demikian orang melihat bahwa perlunya Tuhan bagi alam
menjadi kecil.
- Menurut para pendukung Paham Naturalisme.
Alam telah
dipandang independen dari campur tangan Ilahi dan telah mencapai otonominya
yang telah maksimal, bahkan kerap dipandang telah menciptakan dirinya (self
generation)dan beroperasi dengan sendirinya (self
operating).[112]
- Menurut paham panteisme.
Pan berarti
seluruh. Panteisme dengan demikian mengandung arti seluruhnya ada dalam
keseluruhannya ialah Tuhan dan Tuhan ialah semua yang ada dalam keseluruhannya.
Benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca indra adalah bagian dari Tuhan.
a.
Menurut
Al-Kindi (796-873).
Alam ini
diciptakan dan penciptanya adalah Allah. Segala yang terjadi dalam alam
mempunyai hubungan sebab dan musabab. Sebab mempunyai efek kepada musabab,
rentetan sebab-musabab ini berakhir kepada sebab pertama yaitu Allah pencipta
alam.
b.
Menurut Al-Farabi (872-950).
Alam bersifat
mumkin wujudnya dan oleh karena itu berhajat pada suatu zat yang bersifat wajib
wujudnya untuk merubah kemungkinan wujudnya kepada wujud hakiki, yaitu sebagai
sebab bagi terciptanya wujud yang mungkin itu. Rentetan sebab-musabab tidak
boleh mempunyai kesudahan dan oleh karena itu harus ada sesuatu zat yang
wujudnya bersifat wajib dan tidak berhajat lagi pada sebab diatas. Allah maha
sempurna, berdiri sendiri, ada semenjak zaman azali, tidak berubah dari satu
hal ke hal lain.[113]
c.
Menurut Ibnu
Sina (980-1037).
Ibnu Sina
membagi wujud kedalam tiga macam: wujud mustahil (mumtani'), wujud mungkin
(mumkin), dan wujud mesti (wajib). Tiap yang ada harus mempunyai esensi
(mahiah) disamping wujud. Diantara wujud dan mahiah, wujudlah yang lebih
penting, karena wujudlah yang membuat mahiah menjadi ada dalam kenyataan.
Mahiah hanya terdapat dalam pikiran atau akal sedang wujud terdapat dalam alam
nyata, diluar pikiran atau akal. Mumtani adalah mahiah yang tidak bisa
mempunyai wujud dalam alam nyata seperti adanya kosmos lain disamping kosmos
kita ini.[114]
C.
Bentuk-bentuk Pengalaman Keagamaan
Salah satu karakteristik yang universal dari pengalaman
keagamaan adalah cendrung untuk mengungkapkan diri. Tetapi, bentuk ungkapan dan
hubungan antara bentuk ungkapan tersebut dengan pengalaman, sangat beraneka
ragam sesuai dengan ragam kebudayaan, sosial agama yang ada. Unngkapan
pengalaman keagamaan akan terlihatdalam tingkah laku (baik berupa pemujaan ataupun
dalam pelayanan) dan ungkapan-ungkapan bidang inntelektual atau ungkapan
pengalaman keagamaan ada tiga, yaitu; bentukk pemikiran atau intelektual
(teoritis), bentuk perbuatan atau peraktis dan bentuk persekutuan atau kelompok
keagamaan.[115]
1.
Ungkapan Pengalaman Keagamaan dalam Bentuk Pemikiran
Ungkapan keagamaan yang diungkapkan dalam bentuk
pemikiran atau secara intelektual (teroritis), bisa bersifat sepontan, belum mantap
atau baku dan tradisonal. Ungkapan keagamaan teoritis yang paling penting
terdapat dalam mite, Joachim Wach di balik mite tersembunyi realitas-realitas
yang paling benar, yaitu fenomena asli kehidupan spiritual. Mite merupakan
suatu pokok dan unik dalam memahami realitass, sebagai suatu pernyataan tentang
realitas dahulu yang lebih relevan.[116]
Menurut Mirca Eliade mitos merupakan dasar kehidupan
sosial dan kebudayaan bagi manusia religious arkais. Eliade memandang mitos
sebagai usaha manusia arkais untuk melukiskan lintasan yang supra-natural
kedalam dunia.[117] Sedangkan sifat mitos, dikemukakan Honing adda tiga. Pertama,
mitos terjadi pada zaman permulaan. Kedua, mitos oleh manusia
primitif dianggap sebagi peristiwa yang betul-betul pernah terjadi dan dialami
oleh para dewa atau nenek moyang. Ketiga, mitos mempunyai daya kekuatan
untuk menguasai.
Yang menjadi dasar muncul mitos-mitos di masyarakat
sebenarnya dari pertanyaan-pertanyaan besar, seperti mengapa kita disini?
Darimana kita datang? Mengapa kita mati? Pertanyaan ini dijawab dengan
cerita-cerita yang dikisahkan dari mulut ke mulut dan akhirnya dianggap sebagai
sebuah realitas yanghidup. Eliade, membedakan beberapa tipe mitos, yaitu: Pertama,
mitos kosmogoni yang mengisahkan terjadinya alam semesta secara keseluruhan. Kedua,
mitos asal-usul, yang mencritakan asal mula sesuatu, asal mula manusia,
binatang, tumbuhan- tumbuhan, benda-benda dan sebagainya. Ketiga mitos
dewa-dewa dan makhluk-makhluk Ilahi: yang mengisahkan bahwa setelah dewa
tertinggi menciptakan dunia, kehidupan dan manusia, dia merasa payah. Seluruh
tenaganya terkuras habis. Kemudian ia mengundurkan diri dari langit dan
penyempurnaan penciptaanya diserahkan kepada mahluk-makhluk Ilahi lain, yatu
anak-anaknya atau wakil-wakilnya seperti dewa matahari, dewa topan,
dewakesuburan dan sebagainya. Keempat, mitos androgini, yang merupakan
suatu keseluruhan ke-eksistensi dari hal-hal yang bertentangan. Kelima, mitos,
akhir dunia, yaitu mitos yang mengisahkan malapetaka yang mengancurkan dunia.
Manusia arkais mempunyai pandangan bahwa akhir dunia itu sudah terjadi pada
masa lampau, tetapi masih akan terulang lagi pada massa yang akan datang.[118]
Cara kedua pengungkapan pengalaman keagamaan secara
intelektual adalah doktrin. Apa-apa yang terkandung dalam simbol dan
digambarkan oleh mitos. Apabila keadaan memungkinkan akan dijelaskan secara
sistematis, ditetapkan sebagai norma dan mempertahankan dari penyimpangan.[119] Menurutnya doktrin mempunyai tiga macam fungsi yang
berbeda, yaitu penegasan dari penjelasan iman, pengaturan kehidupan normatif
dalam kelakuan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahanan iman serta
penegasan hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain. Dengan pengertian ini,
doktrin akan mengikat dan hanya akan berarti bagi masyarakat yang beriman.
Adapun faktor penyebab perkembangan mitos menjadi
doktrin, adalah: pertama, kenginan untuk berpautan, sesuatu dorongan
yang bersifat sistematis; kedua, kenginan untuk memelihara kemurnian
pandangan; ketiga, keingintahuan; keempat, tentang keadaan; kelim,
adanya kondisi-kondisi sosial, terutama adanya sesuatu pusat kekuasaan,
dalam istialah Yunani, theologi seringkali diaplikassiakn untuk doktrin,
padahal teologi dan nalar bukan dengan sendirinya menjadi sumber pengetahuan
tentang Tuhan. Keduanya mmerupakan cara intelektual dalam merumuskan Tuhan.
Sedangakan doktrin merupakan rumusan-rumusan yang sistematis terhadap pengakuan
kekauasaan Tuhan.
Bentuk ungkapan intelektual pengalaman keagamaan yang ketiga adalah
dogma. Dogma hanya dapat timbul apabila wewenang sebuah kekauasaan untuk
menetapkan diakui secara jelas. Dogma dimaksudkan untuk memberikan ketentuan
dan kepastian yang lebih besar terhadap keyakinankeyakinan agama.
Ungkapan
pengalaman keagamaan yang teoritis, dapata pula ditemukan dalam bentuk lain.
Untuk bebrapa waktu ungkpan itu terpelihara dari mulut ke mulut, tetapi lama
kelamaan dituangkan dalam tulisan. Cerita-cerita suci, nyanyian, do’a dan
sebagainya merupakan tingkatan-tingkatan yang dapat membawa pada suatu
kelanjutan, seperti yang tejadi dalam perkembangan bentuk-bentuk sastra, lirik
dan dramatik. Tulisan-tulisan itu ada yang dianggap suci, sebagai kata-kata
Tuhan, seperti yang terdapat dlaam Al-Qur’an, Weda, Injil, Tripitaka dan
sebagainya ada juga teks-teks klasik yang berfumgsi untuk menggembirakan dan
memperteguh keyakinan.
Gejala seperti atas adalah gejala umum pada kebanyakan
manusia di berbagai tempat dan pada setiap kelompok. Sampai batas tertentu
kelompok orang dewasa memiliki banyak kesamaan dengan kelompok umur lainya.
Hanya saja tentu ada perbedaan-perbedaan
pada hal-hal tertentu pada kelompok umur manusia.
Pada umumnya keyakinan
dan pemikiran mengenai ke-Tuhanan pada orang dewasa berasal dari hasil
pengalamannya di kala ia berhubungan dengan orang lain. Tapi sesuatu kenyataan
bahwa konsep ke-Tuhanan mereka tampak jelas menggambar asspek-aspek
kemanusiaan. Melalui konsep yang terbentuk dalam pikiran menganggap bahwa Tuhan
sama dengan manusia.[120]
Dari segi ilmu jiwa agama, dapart dikatakan bahwa
perubahan keyakinan atau perubahan jiwa agama pada orang dewasa bukanlah suatu
hal yang terjadi secara kebetulan saja, dan tidak pula merupakan pertumbuhan
yang wajar, akan tetapi adalah suatu kejadian yang di dahului oleh berbagai
proses dan kondisi yang dpaat diteliti dan dapat dipelajari. Dari sisnilah
mulai timbul poko-poko rasa agama.[121]
Pengalaman keagamaan bagi seseorang yang sudah dewasa di
hasilkan dari pemikiran yang inteligensi[122] dalam berfikir. Crow and
Crow menyatakan intelegensi pada sesorang adalah kapasitas umum dari seorang
individu yang dapat dilihat pada kesanggupan pikirannya dalam mengatasi
tuntutan kebutuhan dengan problem-problem dan kondisi-kondisi yang baru di
dalam kehidupan. Dan perlunya setruktur kalby yang perlu mendapat tempat tersendiri untuk meenumbuhkan aspek-aspek
efektif (al-inf’iali), seperti kehidupan eemosional, moral, spiritul dan
agama.[123] Selain berfikir iintelegensi untuk dalam bentuk
pengalaman keagamaan juga berfikir dalam mengolah kecerdasan intelektual,
kecerdasan intelektual di gunakan dalam hubungan proses kognitif seperti
berfikir daya menghubungkan dan menilai atau mempertimbangkan sesuatu. Atau
kecerdasan yang berhubungan untuk memecahkan strategi logika.[124]
Bentuk pengalaman keagamaan tidak akan hasil bagi manusia
yang mempunyai kapasitas dalam otak yang normal. Islam juga menganjurkan bagi
orang yang di wajibkan untuk melaksanakan apa-apa yang telah di sepakati dari
perintah Allah di khususkan bagi seorang yang memiliki kecerdasan berfikir dan
kesempurnaan akalnya. Begitu juga berfikir dalam mencari sebuah pengalaman
dalam beragama yang akan melahirkan kepercayaan manusia terhadap Tuhannya.
2.
Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Perbuatan
Ungkapan
pengalaman keagamaan yang nyata dalam bentuk perbuatan (praktis), yaitu adalah
pemujaan (kultus), yang merupakan suatu tanggapan total atas wujud yang
mendalam terhadap Realitas Mutlak . perbuatan keagamaan itu terjadi ruang dan
waktu dalam suatu konteks yang beraneka ragam. Ada dua bentuk utama dalam
ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata (praktis), yaitu bakti atau
peribadatan dan pelayanan, yang saling mempengaruhi.[125]
Realitas
tertinggi di sembah melalui tingkah laku pemujaan dan di layani dengan bentuk
tanggapan terhadap ajakan dan kewajiban untuk masuk kedalam persekutuan Tuhan,
pemujaan (kultus) ialah suatu ungkapan perasaan, sikap dan hubungan yang berupa
rangkian kata-kata, tindakan dan perbuatan dengan memperguanakan benda,
peralatan dan perelengkapan tertentu, sebagai pengakuan ungkapan terhadap[
Realitas Mutlak (Tuhan). Jadi ibadah dalam setiap tingkatan senantiasa
ditunjukan terhadap Tuhan. Rasa takut, cinta dan hormat karena kesucian dan
kemulyaan Tuhan di wujudkan melalui ritus merupakan perbuatan manusia dalam
rangka menjalin hubungan dengan Tuhan.[126]
Ritus
(Ibadah) adalah bagian dari tingkah laku keagamaan yang aktif dan namkak ritus menurut Kingsley Davis,
mencakup semua jenis tingkah laku keagamaan, seperti memakai pakian khusus,
mengorbankan nyawa dan harta, mengucapkan ucapan-ucapan formal tertentu, bersemedi
menyanyikan lagu greja, berdo’a (sembahyang), memuja, mengadakan pesta,
berpuasa, menari dan bersuci.
Ritus menyatakan menunjukan dengan jelas dalam konteks
tingkah laku sesorang yang sakral. Salah satu fungsi ritus adalah memperkuat
keyakinan terhadap adanya dunia gaib dan memberikan cara-cara mengungkapkan
emosi keagamaan secara simbolik. Jadi ritus menanamkan sikap kedalam kesadaran
yang tinggi dan akan memperkuat solidaritas kelompok dan komunitas moral.[127] Ibadah dalam tingkah laku yang tinggi dalam kehidupan
orang manusia. Sebagai suatu ungkapan pengalaman keagamaan ibadatmerupakan
suatu tanggapan. Adapun tujuan ibadat adalah konsekrasi, yaitu perubahan dari
semua wujud dan benda agar serasi dengan tata tertib dan kehendak Tuhan. Ibadah
dimaksudkan untuk mencapai kedekatan dan kesatuan dengan Tuhan.[128]
Menurut
Kay setiap agama mempunyai penekanan dan praktek-praktek peribadatan
sendiri-sendiri.[129] Namun yang jelas ibadah itu tertuju pada Tuhan yang jauh
diatas manusia, tapi dapat di dekati. Dalam ibadat, Tuhan di sapa, di puja dan
di puji, di hormati, di tinggikan dan di mulyakan, karena Tuhan di akui sebagai
asal, penyelenggara dalam tujuan hidup.[130]
Dalam
ibadah manusia juga mengajukan permohonan-permohonan. Pola-pola ibadah yang
formal telah di dahului dengan suatu perkembangan yang lambat dan lama. Suatu
perubahan yang sangat penting dapat terlihat dengan jelas apabila ibadah mulai
di abatasi pada bentuk-bentuk khusus yang dilakssanakan melalui cara perwakilan
dan dengan beberapa pembatasan. Umumnya, konsep-konsep dan pemikiran-pemikiran
teoritis dalam agama-agama perimitif kurang memainkan peranan penting di
bandingkan dengan perannya pada tingkat budaya dan intelektual tinggi lainnya.
Maka dalam tingkat ungkapan pengalaman keagamaan, bentuk peraktislah terlihat
adanya perbedaan besar antara agama-agama universal. Pada agama etnis lebih di
tekankan ada pelaksanaan perbuatan itu sendiri, sedangkan agama-agama yang
universal memberikan penilaian utama pada tujuan peroranngan sebagai ukuran
dari kemurnian iman, dengan melihat keterpadduan antara niat, perbuatan dan
pengaruh perbuatan itu terhadap dirinya.
Kemudian
lahirlah pertanyaan-pertanyaan dimana, kapan dan bagaimana oleh siapa ibadah itu dilaksanakan ? Semua
ibadat dilaksanakan pada setiap tempat atau suatu ketinggian yang ditandai
dengan sebuah pohon, batu, sungai yang secara temporer atau teratur digunakan
sebagai tempat ibadah. Tempat-tempat tersembunyi kerap sekali di anggap sebagai
tempat persembunyian dewa-dewa atau makhluk supranatural, kemudian di beri
tanda dan sifat hingga kekuatan dan bobot keagamaannya bertambah. Tempat-tempat
suci itu di gunakan untuk pelaksanaan upacara-upacara yang khusus, yang di
kelola oleh orang tertentu yang menjalankan berbagai fungsi dan bertempat
tinggal disitu. Tempat suci itu di perlakukan dengan hati-hati, sifat religius
suatu tempat suci akan bertambah besar dengan di adakannya ssejumlah objek atau
orang yang memiliki kekuatan keagamaan sebagai magis. Pada sebagaian besar
kebuadayaan primitif dan kebudayaan yang agak tinggi, tidak hanya bangunan
tertentu yang di jadikan tempat peribadatan, tetapi pemukiman atau perkampungan
akan di tata berdasarkan kepentingan-kepentingan peraktis keagamaan. Pada
tingkat kebudayaan tertentumenurut Van der Leeuw, menunjukan bahwa beberapa
tempat dalam lingkungan rumah tangga memiliki kekuatan istimewa yang agamis,
seperti abang pintu, dan tempat perapian.
Waktu
pelaksanaan ibadah, biasanya dalam setiap kultus ada saat-saat yang di anggap
suci, yang di anggap lebih cocok untuk melaksanakan perbuatan ibadah daripada
waktu-waktu yang lain . jam-jam tertentu, hari-hari, bulan, musim atau
tahun-tahun tertentu yang di sucikan untuk persembahan pada dewa, dan
diperlakukan dengan segala istimewa, saat itu misalnya: pagi hari, sore hari,
hari minggu, hari jum’at, bulan ramadhan, dan tahun-tahun peringatan.[131]
Adapun
cara manusia melakukan ibadah, menurut Rudolf Otto yaitu dengan memusatkan
pikiran dan merenungkan kehadiran Tuhan atau dengan berterima kasih kepada-Nya,
kita memberikan penghormatan terhadap sebuah kekuasaan yang mengandung puja.
Dalam budaya agama perimitif suara yang sederhana sekalipun seperti: seperti
siulan, bunyi gadduh, teriakan atau dua buah kata, sudah mampu mengusir roh
jahat dan mengundang perhatian dewa.[132]
Suatu
kata yang sedikit merendah, menurut farnel, akan dapat merupakan sebuah do’a
dan mantra-mantra yang dibakukan, tarian-tarian suci dan tepuk tangan, posisi
badan berdiri, berlutut, sujud merupakan isyarat dan sikap yang di pakai baik
secara terpisah atau menjadi perlengkap kata-kata yang di ucapkan atau di
nyanyikan, yang dipergunakan dalam pemujaan, dalam rangka perjumpaan dengan
Realitas Mutlak.[133]
Dalam
beribadat, manusia seakan-akan mejadikan dirinya utuh. Saat manusia memohon
pada Tuhan, dia menghubungkan dirinya dengan satu pusat kekuatan tempat ia
mencari ia kekauatan, perlindungan dan
inspirasi. Perbuatan yang penting dalam mencapai tujuan ini, adalah dan
pengorbanan dan do’a. Menurut Underhill, pengorbanan merupakan suatu perbuatan
yang positif. Esensinya suatu yang diberikan, bukan sesuatu yang di korbankan.
Apapun yang di berikan oleh manusia, tidak dapat mengimbangi anugrah Tuhan yang
terus menerus diberikan, tanpa ada hitungan kuantitas dan kualitas yang di
terima oleh manusia pada setiap hirup napasnya.[134] Kay memberikan tiga alasan utama mengapa manusia
melakukan persembahan pada Tuhan, yaitu menarik Rahmat-Nya.[135]
Berterima
kasih dan berdo’a adalah pengajuan permohonan kepada Tuhan dan merupakan unsur
yang selalu ada dalam setiap agama. Dalam berdo’a manusia berhubungan dengan
Tuhan secara simbolis yang di gambarkan dengan hubungan-hubungan tertentu do’a
dapat dijadikan sebagai lambang ritus yang dibakukan. Praktik-praktik tersebut
kemudian dilakukan oleh manusia dewasa. Karena agama bagi manusia, memilki
kaitan yang erat dengan kehidupan batinya. Oleh karena itu kesadaran agama
dalam pengalaman keagamaan seorang banyak menggambarkan sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan suatu yang sakral dan dunia ghaib. Dari
kesadaran dan pengalaman agama ini pula kemudian munculnya tingkah laku
keagamaan yang di ekspresikan seseorang.[136]
Kendatipun demikian, dalam kenyataan hidup sehari-hari,
masih banyak orang yang merasakan kegoncangan jiwa pada usia dewasa. Bahkan
perubahan-perubahan kepercayaan dan keyakinan kadang-kadang masih terjadi saja.
Dengan demikian perlu suatu pengalaman keagamaan yang benar-benar matang.
Sehingga manusia akan berusaha untuk beriman kepada Allah.[137]
Dalam
kehidupan sehari-hari dapat kita saksikan bahwa tindak keagamaan yang dilakukan
oleh orang dewasa dapat diperoleh dari hasil ijtihad mencarai ilmu dengan
sendirinya yang direalisasikan dalam sebuah tatanan kehidupan sehari-hari,
bahkan bisa pada hasil meniru dari seorang gurunya, dan hasil dari
temuan-temuan lewat aqalnya dengan di dasarkan hukum yang sudah di dapatnya
baru keagamaan yang ada padaya akan melekat dengan secara sendirinya. Misalnya
dalam berpuasa, shalat dan berdo’a yang mereka laksanakan karena hasil melihat
dari lingkungan baik berupa pembiasaan atau pengajaran yang intensif. Para ahli
jiwa menggap bahwa dalam segala hal manusia bermula dari meniru, dan jika tidak
sesuai dengan hasil temuannya maka dia akan berontak dan akan mencari kebenaran
dengan sendirinya.
3.
Ungkapan Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Persekutuan
Seperti
telah kita ketahui bahwa pengalaman keagamaan, menurut Joachim Wach, dapat di
ungkapkan kedalam tiga bentuk, yaitu bentuk pemikiran, perbuatan dan
persekutuan. Ketiga bentuk ungkapan tersebut memiliki keterkaitan yang sangat
penting, karena ungkapan yang bersifat intelektual (pemikiran) dan peraktisn
(perbuatan) hanya dapat memperoleh arti yang sebenarnya apabila berada dalam
kontek masyarakat. Mite dan doktrin merupakan penegasan dari ungkapan
pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan menghayati Realitas Mutlak.
Kultus adalah perbuatan ibadah dan pelayanan yang timbul dalam menghadapi
Realitas Mutlak. Kedua bentuk tersebut memberikan arahan dan memusatkan
masyarakat yang telah dipersekutukan dalam pergaulan keagamaan yang khusus.
Masyarakat memelihara, mempertajam dan mengembangkan pengalaman keagamaannya
dalam bentuk pemikiran dan perbuatan. Menurut Marett ”pada pokonya subyek yang
memiliki pengalaman keagamaan adalah masyarakat agama, bukan perorangan,
masyarakat agama harus sebagai penanggung jawab utama dari perasaan, pemikiran
dan perbuatan-perbuatan membentuk agama.” [138]
Akibat
timbulnya dari suatu pergaulan yang memberikan karakter seseorang berbeda-beda,
bahkan dengan akibat adanya pergaulan dalam keseharian dalam bermasyarakat,
akibat seringnya berinteraksi antara satu sama lain yang menghasilkan pemasukan
pada hati, terutama dalam maslah keykinan. Seseorang semakin di mengerti oleh
akal pikirannya semakin hatinya untuk berontak dan mencoba untuk berubah. Tidak
sedikit orang yang terjadi konversi agama, akibat yang di hasilkan dari sebuah
pengalaman keagamaan pada kehidupan sehari-harinya.
Walter Houston Clark dalam bukunya ”The Psychology Of
Religion” memberikan pengertian
mengenai konversi agama yaitu:
”Konversi agama sebagai suatu macam pertumbuhan atau
perkembangan speritual yang mengandung perubahan arah yang cukup berarti, dalam
sikap terhadap ajaran dan tindakan agama lebih jelas dan lebih tegas lagi.
Konversi agama, emosi yang merujuk kepada arah yang mendapat hidayah Allah
secara mendadak, dan perubahan secara berangsur-angsur.”[139]
Suatu kelompok keagamaan, dipandang sangat diperlukan bagi keabsahan suatu
perbuatan keagamaan. Perkembangan keorganisasi keagamaan yang khusus,
menunjukan pengaruh umum proses kemasyarakaytan dan perubahan-perubahan kedalam
beragama. Tidak ada agama yang tidak mengembangkan suatu bentuk persekutuan
keagamaan.[140]
Demikian menurut Joachim Wach adanya kelompok keagamaan merupakan suatu
pembenaran dan perkembanganyang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya, atau
mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan. Hakikat kedalaman, lamanya dan
bentuk organisasi suatu kelompok keagamaan tergantung pada cara yang digunakan
olehpara anggotanya dalam mengahayati Tuhan, membayangkan dan berhubungan
denga-Nya kelompok kegamaan lebih dari bentuk-bentuk persekutuan yang lain, ia
mempunyai hukum, pandangan hidup, sikap dan suasana tersendiri.[141]
Menurut E.K. Notingham, hanya dengan kebersamanlah kepercayaan dengan
pengalaman-pengalaman tersebut dapat dilestarikan. Hakekat dan fungsidari
anggota masyarakat agama akan berbeda sesuai dengan hakikat dasar pengalaman keagamaan masing-masing.
Ungkapan yang simbolis dapat dinggap sebagai sebuah sarana pokok untuk
mempersatukan anggota suatu masyaralkat agama. Dengan mengindahkan,
memperhatikan dan mengamalkam berbagai bentuk ungkapan intelektual, hal itu
akan meningkatkan rasa solidaritas orang-orang yang diikatnya. Dengan ketaatan
dan peribadatan bersama akan mengikat suatu kelompok kultus dalam kesatuan yang
luar biasa kuatannya. Berdo’a bersama dapat dijaddikan sebagai tanda
persekutuan spiritual yang terdalam. Bekerjasama dalam melakukan suatu
perssembahan dapat menciptakan suatu persekutuan yang tepatdan mantap.
Usaha untuk mempererat dan memperkokoh hubungan timbal balik dalam setiap
tingkat pengelompokan sosial, dalam rumah tangga, dalam perkawinan atau
persahabatan, dalam ikatan keluarga atau
kelompok regional, dalam kampung atau kota, dalam suatu bangsa ataupun dalam
suatu masyarakat religius yang khusus, akan memperlihatkan fungsi integrassi
dari satu pengalaman keagamaan bersama. Kelompok keagamaan biasanya berbicara
dengan bahasanya sendiri untuk mengungkapkan pengalaman-pengalaman keagamaan,
pemikiran dan perasaannya atau mungkin pula mempergunakan istilah-istilah dan
rumusan-rumusan baru yang dapat dipakai untuk mengemukakan secara tepat
pengalaman-pengalamannya.[142]
Untuk mengungkapkan pengalaman keagamaannya, kelompok-kelompok keagamaan
mencari dan menemukan cara-cara komunikasi yang baru dan tidak, sehingga
munculah simbol-simbol. Adapun struktural kelompok-kelompok keagamaan
ditentukan oleh dua faktor, yaitu: Pertama, faktor agama; contohnya
bakat-bakat spiritual seperti penyembuhan dan pengajaran. Kedua, fakt or
non-agamis, contohnya: usia, kedudukan sosial, etika dan latar belakang
keturunan. Joachim Wach juga menyatakan adanya empat faktor: yang menimbulkan
perbedaan dalam suatu masyarakat agama. Pertama, perbedaan dalam fungsi.
Dalam suatu kelompok kecil yang hanya terdiri dari beeberapa orang sekalipun,
yang bersatu akan terdapat perbedaan dalam ikatan pengalaman keagamaan, akan
terdapat perbedaan tertentu didalam pembagian tugas contohnya seseorang dapat
menjaddi guru, maka yang lainnya akan bertindak sebagai tindak pembantu guru.
Seorang dapat emnajdi peminpin dalam berdo’a atau menyanyi, maka yang lainya
akan diberi tugass untuk mempersiapkan persyaratan material yang akan digunakan
untuk tujuan-tujuan ritual tersebut.[143]
Kedua perbedaan yang
didasarkan atas karisma. Kharisma dapat dimiliki oleh seseorang atas dasar
hubungan yang tetap dan persekutuan yang erat dengan Tuhan. Kharisma menurut
Max Weber merupakan suatu kualitas tertentu dalam keperibadian seseorang yang
membedakan dia dengan orang biasa dan diperlakukan sebagai seseorang yang
mendapat anugrah kekuasaan yang luar biasa dari perlakuan sebagai seseorang
yang mendapat anugrah dapat menjelaskan timbulnya perbedaan-perbedaan dalam
kekuasaan, prestse dan kedudukan dalam masyarakat. Jenis anugrah yang dimilki
oleh tokoh-tokoh kharismatik dapat berbeda-berbeda, tetapi rata-rata semuanya
memperlihatkan suatu tingkat kekuatan spiritual yang tinggi. Anugrah itu dapat
berupa kemampuan untuk memahami rahasia-rahasia Tuhan, seperti hakikat Realitas
Mutlak dan hukum-hukum yang mengatur eksitensi alam, masyarakat dan kehidupan
seseorang. Dapat pula menyembuhkan penyakit, mengajar atau cara-cara lain yang
memberikan arah dan tujuan, kekuatan tersebut dapat pula berupa kekuatan fisik
atau kekuatan intelektual, ketinggian moral, keahlian atau kecakapan-kecakapan
istimewa.[144]
Ciri-ciri dominasi kharismatik adalah ketaatan tidak kepada
peraturan-peraturan atau tradisi, tetapi kepada seseorang yang dianggap suci,
pahlawan atau yang berkualitas luar biasa.
Faktor ketiga adalah perbedaan alami yang berdasarkan usia, jenis
kelamin dan keturunan, kelompok yang muda dengan yang tua agak sedikit
dipisahkan dan masing-masing memainkan peranan sendiri-sendiri dalam kehidupan
masyarakat agama baik secara kelompok atau perorangan,walaupun ada perbedaan
demikian, namun orang yang akan memai, nkan peranan penting dalam kelompok
keagamaan adalah orang-orangyang berputar sebagai peramal, pengajar, ulama,
kiyai, nabi, pendetaatau rahib. Dalam kultus atau dalam fungsi-fungsi tertentu,
laki-laki dan wanita seringkali dipisahkan-dipisahkan dalam berbagai masyarakat
agama hanya laki-laki saja yang boleh melaksanakan fungsi-fungsi dan
ritus-ritus keagamaan, dalam agama lain peranan tersebut jusstru diberikan
kepada kaum wanita, walaupun dalam kesempatan lain, kedua jensi kelamin
tersebut dapat bergabung dalam melakukan pelayanan dan perbedaan yang
didasarkan atas keturunan berarti diterpkannya kualifikasi-kualifikasi ras.
Perbedaan yang berdasarkan keturunan ini juga dapat dilihat dalam sistem kasta
agama Hindu India pada zaman dahulu, yang sekarang sudah banyak perubahan.[145]
Fakta yang menonjol mengenai sitem ini, bahwa lingkungan kehidupan
individual, termassuk pekerjaannya, kulturalnya dan nilai-nilai ibadatnya,
ditentukan waktu dia lahir dan tak serangpun dari lingkungannya yang mampu
mengubahnya, dalam agama Hindu, hak untuk melaksanakan bagian-bagian ibadah
yang sangat penting diberikan kepada anggota-anggota kasta Brahmana, sedangkan
kasta yang lainnya mengukur jarak sosial dan keagamaan mereka dari kasta.
Keempat, adalah perbedaan yang di
dasarkan atas status. Perbedaan ini dianggap sebagai kombinasi dari
faktor-faktor yang menimbulkan perbedaan diatas. Faktro ini bersifat sosial
(non agamis), seperti perbedaan dalam hak milik, dalam fungsi-fungsi masyarakat
dan dalam penjenjangan sosial. Seringkali kekayaan dihubungkan dengan hak-hak
istimewa. Majikan, ketua atau pemimpin politik, bangsawan laki-laki atau
perempuan, atau seorang yang memilki kedudukan tinggi, akan dihormati secara
khusus, walaupun pembedaan semacam itu tidak ada suatu dukungan keagamaan.
Perbedaan-perbedaan status ini umumnya mendapat penjelasan-penjelasan mitologis
dan etologis dalam lingkungan masyarakat primitif.[146]
Adanya perbedaan-perbedaan yang di dasarkan atas fungsi, kharisma,
kekuatan-kekuatan alami dan setatus hanya dapat disahkan dan di perkuat melalui
kontitusi.
Kontitusi tersebut mengatur hak-hak dan kewajiban-kewajiban pejabat
keagamaan (pendeta, rahib dan kiyai) dan orang-orang awam, menetapkan tata
tertib kependetaaan, mengatur bentuk-bentuk peribadatan dan pelayanan. Seperti
telah diketahui sebelumnya bahwa ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk
persekutuan akan melahirkan kelompok-kelompok keagamaan, maka dari kelompok
keagamaan tersebut kemudian akan berkembang menjadi organisassi keagamaan.
Jadi, organisassi keagamaan yang tumbuh secara khusus semula berasal dari
pengalaman keagamaan yang dialami oleh pendiri organisasi itu dan pengikutnya.[147]
Menurut Thomas F. O’ dea, mengemukakan pengalaman keagamaan lahir dari
suatu bentuk perkumpulan keagamaan, yang kemudian menjadi organisasi keagamaan
yang sangat terlembaga. Ada dua faktor yang memacu perubahan dari
kelompok-kelompok keagamaan yang kabur menjadi organisasi keagamaan yang
khusus, demikian di tuturkan Joachim Wach sebagaimana ditulis kembali oleh Thomas F. O’ dea, pertama, meningkatnya
secara total perubahan bathin atau kedalaman beragama. Agama yang terorganisir
secra khusus ini lahir sebagai akibat dari kecendrungan umum kearah
penghusussan fungsional. Faktor kedua adalah meningkatnya pengalaman keagamaan
yang mengambil bentuk dalam berbagai corak pengalaman berorgansasi keagamaan
baru.[148]
Yang termasuk lembaga keagamaan, menururt George. A dan Achiles G.
Theodorson, adalah kebiasaan-kebiasaan, ritual, larangan, pola-pola tingkah
laku, bentuk-bentuk organisasi dan peran-peran yang ada kaitannya dengan super
natural.[149]
Memberi pengertian lembaga keagamaan yang lebih sempit, peranan-peranan dan
relasi-relasi yang terarah dan mengikat individu, mempunyai otoritas formal dan
sangsi hukum untuk mencapai kebutuhan dasar yang berkenaan dengan dunia supra
empiris.
Melalui hubungan antara mansuia dengan Tuhan dalam suatu pengalaman
keagamaan, maka orang tersebut biasa menjadi juru bicara (perantara) dengan
Tuhan. Dalam keristen dengan sakramen pengakuan dosa yang dilakukan oleh orang
yang berdosa kepada Tuhan melalui pastur, dalam islam ada wassilah antara
manusia dengan Tuhan dan para Wali atau Ulama dan Kiyai tertentu.walaupun dalam
wasilah ini banyak tantangan, terutama ditentang oleh kaum Wahabi. Tipologi
orag yang memang otoritas agama ini, menurut Joachim Wach meliputi pendiri
agama, nabi, pembaharu, peramal, dukun, orang suci, pendeta, rahib dan Kiyai
yang memperlihatkan adanya tingkatan-tingkatan otoritas yang diberikan oleh
pribadi yang memiliki kharisma resmipada mansuaia beragama.
Otoritas dalam agama yang diakui oleh semua orang menurut Wenger adalah
suatu kekuasaan yang memiliki sifat dan cara hidup yang menimbulkan kesan
memiliki pandangan yang mendalam terhadap kebenaran-kebenaran yang tidak dapat
diketahui oleh manusia biasa. Dengan demikian seserorang yang menggeluti
kebenaran agama, haruslah orang yang mempunyai kemampuan untuk melihat
keseluruhan hidup dan memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan agama masalah
motivasi juga bisa menjaddi masalah yang
sangat penting dalam mmenialai keabsahan dari suatu klaim dan otoritas agama.
Ambisi atau keinginan pribadi untuk memperoleh kekuasaan, kekayaan atau hal-hal
lain yang menyenangkan, harus dijauhi dari otoritas kebenaran agama.
BAB III
PEMIKIRAN AGAMA TERHADAP
KONSEP
PENGALAMAN KEAGAMAAN JOACHIM WACH
A.
Biografi Joachim Wach
Joachim Wach, putra tertua
Felix dengan Katherine Wach, di lahirkan 25 Januari 1898 di Chemintz, Saxony.
Ayahnya adalah putra dari Adolf Wach dan Lily Mendelssohn Bartholdy Wach. Lily
adalah putrid termuda seorang komponis, Felix Mendelsshon Bartholdy. Adolf Wach mengajar hokum di Rostock dan kemudian
di Lepizig.
Joachim Wach adalah
keturunan dari keluarga Mendelssohn Bartholdy baik dari garis ibu ataupun
ayahnya. Katherine, sang ibu yang meninggal dunia pada musim panas tahun 1956
adalah cucu perempuan Paul Mendelssohn-Bartholdy, saudara laki-laki Felix.
Garis keayahnya dari Mendelssohn (garis komponis) memakai nama tampa
penghubung, sementara garis keibuannya (garis Paul) mempergunakan nama dengan
tanda penghubung antara kedua nama tersebut. Kedua garis tersebut berpangkal
pada filososf Yahudi yang besar, yaitu Moses Mendelssohn (1729-1786).[150]
Wach semasa kecilnya
amat di sayang oleh dan bukan dari kedua
orang Tuanya tetapi juga dari kakek dan neneknya dari pihak ayah ataupun ibu.
Mereka semua adalah orang-orang yang berbudaya tinggi. Rumah-rumah mereka kerap
kali dikunjungi oleh para serjana yang terkenal, para artis diplomat, dan
ahli-ahli kenegaraan. Sejak awal masa kanak-kanaknya Wach sudah tertarik dengan
music, satra dan puisi, bahasa kelasik serta bahasa-bahasa asing modern. Dengan
imajinasinya yang hidup telah mencip sebuah negri fantasi yang di sebutnya “pelagipten”,
segala kata yang mencakup segala jenis dan keindahan jabatan politik dan
keagamaan.
Wach minatnya terhadap
agama bermula ketika dia masih belia. Gurunya, seorang wanita penganut agama
Katolik Romawi yang taat, suatu ketika mengajaknya beraudiensi dengan Bishop di
Wurzburg. Di sana ia diberi beberapa buah gambaran keagamaan.[151]
Wach menginjak pada pendidikkan menengahnya diperoleh di Vitzthumsche Gimnasium
di Dresden di mana dia lulis ujian akhir pada tahun 1916. Dalam tahun
yang sama, pada usia delapan belass tahun, Wach memassuki tentara Jerman
ssebagai Letnan dan dikirim ke Pront
Rusia. Di kemudian hari Wach sering berkelekar bahwa pengetahuannya mengenai
bahasa Rusia dan bahasa Arab merupakan hasil sampingan dari perang. Sesuasai perang Dunia I, dia
mngajar sebentar di Universitas Leipzig dan menghabiskan tahun 1919 di Munich.
Sesuadah satu kwartal kegiatan akademis di Berlin (1920), Wach kembali ke
Leipzig untuk tinggal selama lebih dari dua tahun. Wach memperoleh gelara
Doktor ilmu Filsafat pada tahun 1922. Kemudian Wach mengambil sejarah agama
sebagai mata pelajaran tambahan pokok, filsafat agama-agama dan studi ketimuran
sebagai mata pelajaran tambahan. Tetapi nauliri intelektualnya mendesak harus
mengikuti kuliah kedokteran psikiater dan juga seni.
Pandangan Wach terhadap agama ditentukan oleh latar belakang
keluarga dan pengalaman pribadi. Dalam
persoalan keagamaan dia mewarisi sikap toleransi (irenic) keluarga dan
lingkungan sekitarnya. Memori Moses Mendelshon di hormati oleh anak-cucunya. Bahkan meskipun putranya,
Abraham, mempunyai anak-anak yang di baptis di Greja Lutheran, dan Felix
Mendelssohn, cucu laki-laki Moses dan anak dari Abraham mengawini putra seorang
pemuka greja Reformasi, namun semangat Nathan der Weise tetap hidup
dalam keluarga Wach sampai hari ini.
Universitass Leifzig, almamater Gothe, Klopstock, dan Shelling menyumbangkan
pula sifat toleransi kepada diri Wach.[152]
B.
Pemahaman Keagamaan Joachim Wach
1.
Agama Joachim Wach
Wach agama
baginya adalah problem pemikiran pemikiran yang utama, yang untuknya Wach telah
menerapkan seluruh kecakapan peraktis
yang dia miliki, dan baginya agama adalah perbuatan manusia yang paling mulia dalam
kaitannya dengan Tuhan Maha Pencipta, kepada-Nyalah manusia memberikan
kepercayaan dan keterkaitan yang sesungguhnya. Wach mengutip Carlyle:
“Dengan
agama Wach tidak mengartikannya sesuatu
yang kredo (syahadah) greja. Tetapi agama adalah sesuatu yang dalam perakteknya
sseseorang benar-benar percaya dan
dengan demikian cukup tanpa mempertahankannya sekalipun dengan diri
sendiri. Agama adalah sesuatu yang tidak
berarti bagiorang lain. Tetapi sesuatu
yang ditaruh dalam-dalam di lubuk hati supaya bisa mengenalnya dengan pasti
karena agama bersentuhan dengan hal-hal yang mutlak dalam alam penuh
kerahasiaan”.[153]
2.
Pengalaman Keagamaan Joachim Wach
Joachim Wac seperti yang dikutif Thomas F. O’dea, menunjukan empat kriteria
universal untuk mengetahui pengalaman keagamaan. Pertama, agama adalah
tanggapan terhadap apa yang dialami sebagai realitas yang tinggi, yakni dalam
pengalaman keagamaan kita memberi reaksi tidak saja terhadap fenomena yang tunggal
atau terbatas, material atau tidak, tetapi apa yang disadari penentu semua
unsur dunia pengalaman kita. Kedua, pengalaman keagamaan adalah suatu
tanggapan total dari semua mahluk pada apa yang tampak sebagai relaitas
tertinggi. Ketiga, pengalaman keagamaan adalah pengalaman yang paling
dalam yang pernah dialami manusia dibanding pengalaman lainnya. Dalam hal ini
dapat kita temukan bahwa loyalitas keagamaan berada di atas semua loyalitas
yang lain. Eksitensinya sebagai penunjuk kedalam arti dan keseriusan tertinggi pengalam ini. Keempat, pengalaman
keagamaan meliputi hal yang imperative, yaitu suatu komitmen yang
memaksa manusia untuk bertindak.[154]
Manusia dalam
hidupnya juga, pernah mengalami pengalaman religious yaitu perasaan terhadap
ajaran agama yang dipahaminya. Sedikitpun tidak dapat disangkal bahwa
pengalaman keagamaan terdapat dalam diri manusia, hakikat kemanusiaan yang umum mencakup kemungkinan yang se lalu ada
pada agama. Di lain tempat pengarang yang sama juga mengemukakan “ Perasaan keagamaan yang terdapat dalam diri
manusia adalah segi yang bersifat tetap dan universal dalam kehidupan
mentalnya”.[155]
C.
Pemahaman Konsep-konsep Joachim Wach
1.
Pemahaman
Konsep Tentang Manusia
Djam’annuri mengambil
pemikiran Joachim Wach (1898-1955), menegaskan bahwa manusia dilahirkan dengan
pembawaan beragama, bahwa dalam diri manusia terdapat “a permanent
possibility of religion” atau bahwa perasaan keagamaan merupakan “a
constant and universal feature” dalam kehidupan mentalitas manusia.[156]
2.
Pemahaman
Konsep Tentang Gemeinsachaft
3.
Pemahaman
Konsep Tentang studi Agama
Dalam karyanya Joachim Wach membahas hubungan antara ilmu agama
dengan filsafat, menurutnya sedikit
perbedaan antara keduanya. Di lain fihak, hubungan antara teologi dan sejarah (atau ilmu) agama, adalah jauh
lebih kompleks.[157]
Joachim Wach salah seorang yang berkecimpung di bidang ilmu agama dan keagamaan, selain tertarik pada
bidang filsafat dan teologi, dia sangat
konsisten di bidang ilmu agama. Agama yang di utarakan Joachim Wach mencakup
tiga bidang utama, yakni; pertama, hermeneutika; kedua, setudi
tentang pengalaman keagamaan; dan ketiga, sosiologi agama, ilmu agamanya
dapat dilukiskan sebagai suatu jenis ensiklopedi keagamaan, yakni, suatu
hasil penyelidikan yang terorganisasi rapi mengenai hakikat karakteristik dan
fungsi agama.[158]
Menurut Joachim Wach, Ilmu agama benar-benar merupakan “ilmu yang
mempelajari keyakinan manusia yang paling dalam (qeistesurussenschaft)”.
Titik tolak pemikiran Wach didasarkan pada anggapan bahwa keagamaan yang
bersifat subjectivitas diobjektifkan dalam berbagai macam ungkapan, dan
ungkapan-ungkapkan tersebut mempunyai
struktur tertentu yang dapat dipahami. Studi terhadap struktur-struktur
tersebut merupakan salah satu tugas ilmu agama.[159]
Joachim wach berpendapat selain mengenai studi agama juga berpendapat
mengenai ilmu perbandingan agama, ilmu perbandingan agama bahwa tidaklah
terdapat satu jalan atau satu metode untuk menerangkan agama, karena harus
disesuaikan keperluan-keperluan khusus dan keadaan-keadaan yang berbeda-beda
dalam memahami agama. Namun di sini, patut di sebutkan tujuh buah anjuran umum
bagi yang akan mengembangkan ilmu perbandingan agama. Ia menyatakan bahwa
ajaran ilmu perbandingan agama harus (1) integral, (2) kompoten, (3) di
hubungkan dengan kepentingan yang eksitensial, (4) selektif (5) seimbang, (6)
imajinatif, dan (7) di sesuaikan dengan tingkat-tingkat pelajaran yang beraneka
ragam.[160]
Joachim Wach mengutarakan dalam meneliti ilmu agama ada dua pendekatan. pertama,
pendekatan secara teologis, yaitu pendekatan kewahyuan atau pendekatan
keyakinan penulisan sendiri. Pendekatan ini biasanya dilakukan penelitian
terhadap suatu agama untuk meneliti kepentingan agama yang di yakini si
peniliti. Atau penelitian agama di lakukan oleh pemeluk agama itu sendiri,
untuk menambah pembenaran keyakinan terhadap agama yang dipeluknya itu.
Kedua, pendekatan keilmuan,
yaitu pendekatan yang memakai metodologi ilmiah, penelitian yang memakai
aturan-aturan yang lazim dalam
penelitian keilmuan. Pendekatan dalam keilmuan agama, cara kerjanya adalah
mencari informasi tentang agama yang muncul dari asspek kenyataan. Agama yang
menjaddi kenyataan ketika sudah menjadi bagian dari pemeeluk agama.[161]
Dalam mengkaji ilmu perbandingan agama Joachim Wach lebih mengarah pada
pembahsan pluralisme. Wach mengemukakan tiga perinsip utama berikut ini untuk
ilmu perbandingan agama. Pertama, harus menyadari adanya suatu yang
apologis dalam setiap agama, tetapi disiplin ilmu sendiri tidak boleh
terpengaruh oleh keinginana pologis; kedua, harus memandang semua agama
sebagai pilihan-pilihan universal, yang tidak tunduk dalam determinisme
cultural; ketiga, disamping harus menyadari bahwa “setiap agama tentu
mempunyai andil dalm pendidikan spiritual pendidikan bangsa”, maka ilmu
perbandingan agama tidak boleh menutup mata terhadap perbedaan-perbedaan
kulaitatif yang terdapat dalam berbagai agama.[162]
Bagi Joachim Wach meneliti agama dalam ilmu perbandingan agama, di
samping pendekatan teologi, sosiologi juga menggunakan pendekatan fenomenologi.
Oleh karena itu, ilmu studi agama identik dengan fenomenologi agama atau
sejarah agama sebagaimana yang dipergunakan oleh the International
Association for the Histories of Religions, suatu himpunan suatu keserjanaan dalam Ilmu Perbandingan
Agama.[163]
D. Hakikat Pengalaman
Keagamaan Joachim Wach
Ada dua cara
untuk meneliti hakikat pengalaman keagamaan. Cara pertama ialah dengan menggunakan deskripsi sejarah
agama, sekte, atau aliran pemikiran keagamaan itu sendiri. Cara lain adalah
berangkat dari pertanyaan “dimana Aku,” yaitu lingkungan potensial di mana
pengalaman perorangan berlangsung.
Pendekatan
yang bertolak dari lingkungan potensial
pengalaman perorangan, paling tidak ada dua macam keberatan, seperti dijelaskan Webb. Pertama,
kata “pengalaman” tersebut terasa mengacu kepada perbuatan manusia bukan
perbuatan Tuhan. Kata tersebut cenderung memusat pada pengalaman dari pada apa
yang dialami. Tetapi, kata tersebut juga menunjukkan pada adanya eksistensi
yang berdiri sendiri terpisah dari objek yang dialami sehingga dengan demikian
menolak subyektivisme. Keberatan kedua ialah
bahwa kemanunggalan peristiwa –peristiwa wahyu yang khusus terasa habis
terserap oleh istilah “agamis”.[164]
Selanjutnya
ada empat macam pendapat mengenai hakikat pengalaman keagamaan. Pertama, menyangkal
adanya pengalaman tersebut. Apa yang dikatakan sebagai pengalaman keagamaan
adalah ilusi belaka, pandangan ini dikemukakan oleh kebanyakan ahli psikologi,
sosiologi , dan para pemikir filsafat. Kedua, mengakui eksistensi
pengalaman, namun mengatakan bahwa pengalaman tersebut tidak dapat dipisahkan
karena sama dengan pengalaman yang bercorak umum. Ketiga, mempersamakan
antara bentuk sejaraj agama dengan pengalaman keagamaan, suatu kebiasaan yang
menjadi cirri sikap konservatif yang
tegar yang terdapat dalam berbagai masyarakat agama. Pandangan yang
keempat adalah pandangan yang mengakui adanya suatu pengalaman kea gamaan
murni yang dapat diidentifikasi dengan
mempergunakan criteria tertentu yang dapat diterapkan terhadap ungkapan-ungkapannya yang manapun.
Kriteria-kriteria
tentang pandangan yang mengakuui adanya pengalaman keagamaan murni, sebagai
berikut:
1)
Pengalaman keagamaan itu sebagai suatu tanggapan apa yang dihayati sebagai realitas Mutlak.
2)
Mouroux menyebut pengalaman ini
sebagai pengalaman yant paling menyatukan dan yang paling menginsafi (realissante), yang merupakan perpaduan
tertinggi dari unsure-unsur yang di tempat lain dapat dengan mudah
dipisah-pisahkan. Menurut d ia, pengalaman keagamaan merupakan suatu susunan
bertingkat yang terdiri dari tiga unsure, yaitu akal, perasaan, dan kehendak
hati.
3)
Kedalaman. Ini tidak dimaksudkan
sebagai suatu pernyataan yang deskriftif. Secara potensial pengalaman keagamaan
tersebut adalah merupakan pengalaman yang paling kuat, menyeluruh, mengesan,
dan mendalam yang sanggup dimiliki manusia. Tillich adalah benar ketika
mengatakan bahawa “dewa-dewa adalah wujud yang mengatasi lingkungan pengalaman
biasa dalam kekuaan dan pengertiannya, dan yang dengan dewa-dewa tersebut
manusia menjalin hubungan yang
melampaui hubungan-hubungan biasa dalam
kedalaman dari arti pentingnya. Tokoh-tokoh agama disegala zaman dan di mana
saja telah memperlihatkan bukti mengenai kedalaman pengalaman keagamaan ii dalam pemikiran, kata-kata, dan
perbuatan mereka.
4)
Pengalaman keagamaan tersebut
dinyatakan dalam perbuatan. Pengalaman
tersebut melibatkan sesuatu yang bersifat
impreatif. Ia adalah sumber motivasi dan perbuatan yang tak tergoyahkan.[165]
E. Bentuk-bentuk Pengalaman Keagamaan Joachim
Wach
1.
Ungkapan
Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Pemikiran
“Dalam
agammanya, Kata Webb, “ manusia mengugkapkan pandang, atau
pandangan yang siap diterimanya, tentang realitas mutlak dan juga
tentang kaitan-kaitannya,” Pengetahuan yang mendalam yang menyertai pengalaman
keagamaan yang paling kuat teflah menunjukan dirinya dalam gerakan-gerakan
yang kita sebut sebagai agama-agama
besar d unia. Seperti halnya pengalaman lain, pengalaman keagamaan cenderung
mengungkapkan diri. “
pengalaman-pengalaman begitu tidak serupa satu sama lain, bukan saja
karena isinya tetapi juga kadang-kadang lantaran pengungapannua,” kata Eliade. Pengalaman-pengalaman ini
menjadi ada untuk yang lain-lainnya, hanya dalam
tingkat ia diperlihatkan, dan di mana
terdapat agama murni maka pengalaman tersebut pasti akan diungkapkan “.
Salah satu
bentuk dari pengalaman keagamaan adalah dalam bentuk pemikiran, artinya
seseorang akan mengungkapkan
pengalamannya melalui pemikiran. Pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran
memiliki beberapa motivasi untuk
diungkapkan, yaitu:
1.
Adanya suatu
sifat yang eksplosif, yaitu yang
menggebu-gebu dari sesorang yang mengalami pengalaman keagamaan untuk
mengungkapkan pengalamannya. Orang pasti akan memperlihatkan perasaan gembira
dan susah. Demikian pula dengan
perasaan-perasaan yang lainnya.
2.
Pengalaman
keagamaan itu bersifat propagandistic.
Adanya suatu dorongan yang kuat bukan saja dirasakan untuk ikut ambil bagian,
teapi juga untuk memikat dan mengajak
fihak lain agar melihat dan mendengar seperti a pa yang telah dilihat dan
didengar oleh seseorang. Dorongan ini kadang-kadan sedemikian kuat sehingga
mampu mempengaruhi dan menguasai individu-indivdu dan kelompok-kelompok, bukan
melalui kekuatan pesan yang disampaikan tetapi semata-mata melaui kemampuan
dari para pembawa pesan tersebut.
3.
Pengalaman
keagamaan yang sifatnya subjektif, cbatini dan individual, telah menunjukkan
bahwa pengalaman keagamaan itu hanya bisa diungkapkan jika seseorang yang
mengalami pengalaman keagamaan mampu memahami dirinya tatkala mengalami
perasaan di luar jangkauannya.
Ada dua ragam
yang terdapat d alam pengalaman keagamaan yaitu ragam endeiztic. Endeixtis adalah
kata Yunani yang berarti “permakluman” (announcement). Bentuk endeitik
figunsksn untuk menunjukkan sesuatu yang diisyaratkan, atau untuk yang
diungkapkan dalam bentuk terse;lubung, dan yang memainkan peranan penting dalam
sejarah agama-agama.
Beberapa
contoh ungkapan pengalaman keagamaan yang endeitik, yaitu symbol. Menurut W.M.
Webb, “ symbol keagamaan menunjukkan cirri umum dari semua symbol. Kata symbol berasal dari kata Yunani,
Symballein, berarti pertalian yng spontan dan bersinambungan antara dua bagian,
yaitu bagian fisik yang konkrit dan realitas yang bersifat spiritual. Yang
tersebut kemudian ini “diberi makna” sebagai ungkapan yang bersifat simbolis.
Symbol dapat d iuraikan secara konseptual, menjurus pada perbuatan, dan dapat
pula mengisi fungsi integratif. Menurut Underhill, “ symbol adalah gambaran
penting yang membantu jiwa yang sedang melakukan pemujaan untuk memahami (dan
kita dapat menambahkaan, untuk mengungkapkan) realitas spiritual.”[166]
Ungkapan
pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran, juga bisa disebut sebagai
pengalaman keagamaan yang diungkapkan secarad intelektual yang bisa bersifat
spontan, belum mantap, atau baku dan tradisional. Ungkapan pengalaman keagamaan
teoritis yang paling penting terdapat pada mite. Urban mengutip proposisi
Berdyaev dalam Freedom and the spirit: “…..kita tidak lagi mempesamakan mite
dengan penemuan (invention), dengan ilusi mentalitas primitif, atau dengan
apapun yang ternyata secara esensial bertentangan degan fakta. Tetapi, di balik mite tersembunyi
realitas-realitas yang paling besar, yaitu fenomena asli kehidupan spiritual.”
Cara kedua
mengungkapkan pengalaman keagamaan secara intelektual adalah doktrin. Doktrin mempunyai tiga macam fungsi yang
berbeda-beda; penegasan dan penjelasan iman, pengaturan kehidupan normative dalam
melakukan pemujaan dan pelayanan, dan fungsi pertahnan iman serta penegasan
hubungannya dengan ilmu pengetahuan yang lain (apologetic). Bentuk doktrin kita
bisa melihatnya dalam berbagai agama yang ada, sehingga keberadaan doktrin
cenderung untuk diterimna oleh semua agama yang mempercayainya dan menganutnya.
Ungkapan
pengalaman keagamaan d alam bentuk pemikiran, juga bia disebut sebagai
pengalaman keagamaan yang diungkapkan secara intelektual yang bisa bersifat
spontan, belum mantap atau baku dan tradisonal. Ungkapan pengalaman keagamaan
teoritis yang paling penting terdapat pada mite. Urban mengutip proposisi
Berdyaev dalam Freedom and the Spirit:”….kita tidak lagi mempersamakan mite
dengan penemuan (invention), dengan ilusi mentalitas primitive, atau dengan a
papun yang ternyata secara esensial bertentangan dengan fakta. Tetapi, di balik
mite tersembunyi realitas-realitas yang paling besar, yaitu fenomena asli
kehidupan spiritual.”[167]
2.
Ungkapan
Pengalaman Keagamaan Dalam Bentuk Perbuatan
Ungkapan
pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan, mengandung arti bahwa pengalaman
yang terjaddi merupakan hasil dari adanya pemahaman tentang Tuhan, manusia, dan
alam yang didapatnya melalui proses pemikiran terlebih dahulu. Dimana pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan
akan terungkapkan melalui; mengabdikan diri atau beribadah, mendekatkan diri
atau memohonkan sesuatu kepada Tuhannya,
menguasai atau mengontrol Tuhan supaya melakukan apa yang di inginkan oleh
manusia, mensyukuri karuia atau nikmat Tuhan, memberikan santunan atau hadiah
Tuhan, memberikan pelayanan pada sesama umat manusia. Dari semuanya itu dimaksudkan sebagai usaha unutk
menjalankan segala perintah dari Tuhan yang telah dibebankan kepadanya.
Tingkah laku
agama yang pertama dan utama, menurut Von Hugel, “ adalah pemujaan…”
Dari satu segi, kultus dapat dijelaskan sebagai sebuah reaksi penghayatan
terhadap Realitas Mutlak atau tertinggi. “ Tuhan datang kepada manusia ketika
manusia mendekati Tuhan.” Dalam pengalaman keagamaan, dalam diri manusia munvul
rasa kedaran merendahkan diri sehingga bukan d ia yang memperkokoh suatu
hubungan atau komuni tetapi dialah yang diperkokoh oleh dan melalui pelaksanaan
praktek keagamaan. Manusia akan menjadi manusia melalui perbuatan-perbuatan
ini, yang akan memperbaiki dirinya menuju hakikat dan nasnibnya yang
sebenar-benarnya.
Jadi, kultus
atau ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk
yang nyata adalah merupakan suatu tanggapan total atas wujud total
mendalam dan integral. Realitas Mutlak, dalam bentuk perbuatan. Menurut
Scheler, “kesadaran beragama adalah suatu pemahaman yang tidak timbul
seluruhnya mendahului ungkapan kultisnya”.
Kedua, bentuk
ungkapan pengalaman kegamaan yang nyata (praktis) adalah bakti atau peribadatan
dan pelayanan. Kedua-duanya saling pengaruh mempengaruhi. Apa yang difahami
sebagai realitas tertinggi akan desembah melalui suatu tingkah laku pemujaan,
dan dilayani dalam bentuk tanggap terhadap ajakan dan kewajuban untuk masuk ke
dalam persekutuan Tuha.
Setiap agama
mempunyai praktek-praktek peribadatannya
sendiri-sendiri. Joachim Wach mengutip kembali pernyataan Underhill yang indah,
yang telah disinggung dalam karyanya yang dahulu: manusia yang didorong oleh
Tuhan, sadar atau tidak sadar dorongan Tuhan yang tersembunyi itu,
menanggapi-Nya denngan cara yang terbaik bukan melalui suatu gerak akal yang
sederhana, teapi melalui suatu perbuatan yang banak dan kompleks, di mana s
eluruh sifatnya diperhatikan, dan yang dalam perkembangannya yang sempurna
menyerupai sifat-sifat karya seni.[168]
Adanya
kesadaran manusia akan segala sesuatu yang muncul dalam kehidupannya tidak hanya ditanggapi lewat akalnya saja, teapi
adanya kecenderungan manusia untuk mengaktualisasikan pemahamannya tentang
sesuatu hal itu dalam bentuk perbuatan yang nyata. Hal ini dimungkinkan bahwa
pengalaman keagmaan dal bentuk perbuatan menuntut suatu aktifitas dari manusia
itu sendiri, sehingga bukan hanya angan-angan saja yang ada dalam benak manusia
itu, tetapi juga lebih konkrit untuk dilaksanakan dalam bentuk yang nyata yaitu
perbuatan.
Kita telah mengetahui bahwa ketaan dan peribadatan adalah dua bentuk dari
ungkapan pengalaman keagamaan yang nyata. Peribadatan hendaknya difahami dalam
pengertiannya yang paling luas. Karena
itu dapat dikatakan bahwa “ suatu perbuatan murah hati yang tertentu akan dapat
menjadi suatu alat bantu untuk melaksanakan
ibadat apabila bukan ibadat itu sendiri. Dalam menghadapi realitas
Mutlak, manusia sadar terhadap
adanya kewajiban yang dibebankan
atas dirinya oleh sifatnya yang asli
yang difahami dari segi keberhadapan ini.[169]
Manusia yang
beragama tentu tidak terlepas dari kedua
perbuatan tersebut, yaitu ketaatan dan peribadatan, karena setiap agama yang
mempunyai ajaran-ajaran mewajibkan
umatnya untuk melaksanakan segala sesuatu yang d iperintahkannya,
sehingga tidak ada alasan mausia yang beragama tidak melakukan perbuatan
tersebut.
Pengalaman
keagamaan dalam bentuk perbuatan dapat dibedakan dengan pengalaman keagamaan
yang lain, karena di dalamnya terjadi
suatu pergantian eksistensi…ia adalah hasil pemantapan dari perubahan,
dan dalam masing-masing hal tersebut dia bukan semata-mata merupakan sebuah rencana untuk berbuat, tetapi perbuatan itu
sendiri. Ibadat terdiri dari segala sesuatu yang terdapat dalam tingkah laku
kehidupan semacam itu.
Ungkapan
pengalaman keagamaan dalam bentuk perbuatan memiliki pola sebagai berikut:
1.
Berkenaan
dengan tempat, artinya dimana pengalaman keagamaan itu berlangsung. Sebagai
contoh, misalkan; di dekat sumber mata air, di sa mping batu yang besar, di
bawah pohon tertentu, di tempat-tempat keramat (istimewa), di dalam sebuah
bangunan, di atas tanbah yang di batasi oleh sebuah tanda, dan lain sebagainya.
2.
Berkenaan
dengan waktu, artinya kapan pengalaman keagamaan itu berlangsung atau terjadi.
Misalnya; pada malam hari, ketika menyendiri atau menyepi, dan lain sebagainya.
3.
Berkenaan
dengancara atau proses, artinya bagaimana
proses pengalaman keagamaan itu berlangsung. Misalnya; dengan cara
bermimpi, berziarah, dan lain sebagainya.
3.
Ungkapan
Pengalaman Keagamaan dalam bentuk persekutuan
Kita sudah
mengetahui dua ungkapan pengalaman eagamaan, yaitu dalam bentuk pemikiran dan
dalam bentuk perbuatan. Dan ungkapan pengalaman keagamaan yang ketiga adalah
dalam bentuk persekutuan. Munculnya ungkapan pengalaman keagamaan dalam bentuk
persekutuan tentunya di latarbelakangi oleh adanya ungkapan pengalaman keagamaan
dalam bentuk pemikiran dan perbuatan.
Perbuatan
agama senantiasa merupakan perbuatan keagamaan dari seseorang. Bangsa barat
modern cenderung memandang kesendirian individu sebagai hal yang paling
pentingb. Tetapi, peneelitian terhadap agama-agama primitive memperlihatkan
bahwa agama pada umumnya merupakan suatu usaha bersama, sekalipun terdiri dari
pengalaman-pengalaman perorangan. Bahkan Marret mengemukakan sebagai berikut: “
pada pokoknya, subjek sebagai yang empunya pengalaman keagamaan adalah masyarat
agama, bukan perorangan, dan lebih dari itu, masyarakat agama harus diperlukan s ebagai penanggung jawab utama
dari perasaan, pemikiran, dan perbuatan-perbuatan yang membentuk agama”.
Bila melihat
pernyataan di atas, jelas bahwa keberadaan kelompok a gama adalah sesuatu yang
rasional, dan dapat dipertanggungjawabkan. Kehidupan dalam sautu agama tidak
hanya milik perorangan tapi lebih daripada itu sudah bagian da ri kelompok
agama atau masyarakat agama, sehingga dengan adanya pengalaman keagamaan dalam bentuk persekutuan
sudah menunjukkan bahwa dalam agama mesti muncul kelompok agama yang membawa
kepentingan bersama.
Dalam dan
melalui perbuatan keagamaan, terbentuk
kelompok keagamaan, tidak ada agama yang tidak mengembangkan suatu
bentuk persekutuan keagamaan. Hocking mempertanyakan mengapa homo religious
berusaha membentuk suatu kelompok. Dia menjawadnya dengan mengatakan bahwa “
adanya kelompok adalah merupakan pembenaran
(dan perkembangan) eksperimental yang berkelanjutan baik mengenai kebenarannya
ataupun mengenai caranya menuangkan dalam kenyataan.[170]
Sebagaimana diungkapkan oleh para
ahli, bahwa ternyata keberadaan kelompok agama sudah merupakan suatu kewajaran
dalam kehidupan beragama, sehingga agama
tidak lagi milik perorangan saja, tetapi
bagaimana agama sudah merupakan milik bersama atau milik suatu kelompok.
Kita bisa
membedakan antara pengalaman keagamaan perorangan dengan pengalaman keagamaan
kelompok, kalau pengalaman perorangan, hubungan yang disebut kemudian adalah yang pertama-tama
timbul, tetapi secara ontologism
hubungan tersebut bergantung pada pemikiran terhadap Tuhan. Dan pengalaman
kelompok keagamaan bergantung pada cara yang dipergunakan oleh para anggotanga dalam
menghayati Tuhan, membayangkan dan berhubungan dengan-Nya, dan bergantung pada
cara mereka mengalami persekutuan, membayangkannya dan memperaktekannya.[171]
Bisa dilihat bagaimana perbedaan
yang Nampak antara penbgalaman keagamaan yang bersifat perorangan dengan yang kelompok,
ini menunjukkan bahwa suatu pengalaman tentunya melibatkan perasaan dari orang
yang mengalaminya, dan apabila hal
tersebut menimpa kelompok agama, maka pengalamannya tentang agama tentu
dirasakan oleh anggota kelompok yang
lain, sehingga kebersamaan dalam kelompok tersebut akan nampak.
Adapun suatu kelompok bisa dikatakan
sebagai bentuk persekutuan, apabila antara anggota yang satu dengan yang lain
saling mengenal, sehingga para anggota
mempunyai cirri kedalaman perasaan yang tinggi, solidaritas yang kuat, dan
aktivitas yang babnyak. Apabila ukuran tersebut lebih besar tetapi belum di
batasi oleh kriteria semisal kelahiran,
local, dan lain sebagainya, maka sifat masyarakat tersebut akan berbeda-beda.
Ada beberapa faktor yang melahirkan suatu kelompok, faktor
tersebut ada yang bersifat faktor agama, an faktor di luar agama. Faktor agama
adanya bakat-bakat spiritual seperti penyembahan dan pengajaran adalah
contoh-contoh faktor agamis, usia, kedududkan sosial, etika, dan latarbelakang
keturunan adalah kualifikasi-kualifikasi yang bersifat non agamis.
Kemudian ada empat macam, factor
yang menimbulkan perbedaan dalam suatu masyarakat agama. Pertama adalah
perbedaan dalam fungsi. Dalam suatu kelompok yang kecil hanya terdiri beberapa
orang anggota yang dipersatukan oleh ikatan pengalaman keagamaan bersama akan terdapat perbedaan tertentu dalam
pembagian fungsi. Di samping fungsi tersebut hanya sesuai untuk orang-orang yang sudah
cukup usia atau yang sangat
berpengalaman dalam memimpin doa atau
nyayi, maka para anggota yang lebih muda dibebani dengan persyaratan material
yang akan dipergunakan untuk tujuan-tujuan kurban.
Kedua, dalam
kelompok-kelompok keagamaan pula perbedaan yang didasarkan atas karisma. Dalam
masyarakat yang sangat egalitarian
sekali pun, juga terdapat adanya
pengakuan terhadap
perbedaan-perbedaan dalam kekuasaan, prestise, dan kedudukan dalam masyarakat.
Karisma tertinggi yang dapat diangankan dan mungkin dimiliki oleh seseorang
atas dasar seseorang atas dasar humen atau tuhan. Untuk itu kekuatan-kekuatan
yang luar biasa hanya diberikan kepada
orang yang diberkati, dan dengan perwujudan pelaksanaan kekuatan tersebut tanpa
batas.
Factor ketiga, yang membedakan adanya perbedan dalam kelompok-kelompok keagamaan
adalah perbedaan alami berdasarkan usia,
jenis kelamin, dan keturunan. Karena adalah tertentu, kelompok yang muda dan
juga tua agak sedikit dipisahkan dan masing-masing memainkan peranan
sendiri-sendiri dalam kehidupan masyarakat agama baik secara perorangan ataupun kelompok.
Keempat, perbedaan
berdasarkan status. Prinsip ini dipandang sebagai suatu kombinasi dari sejumlah
factor yang telah menimbulkan perbedaan
di atas, pemikiran yang
“demokratis” tentang persamaan hak semua pemeluk agama baru muncul kemudian dalam sejarah
agama-agama, dan terus terang, dalam prakteknya jarang sekali dilaksanakan.
Ungkapan pengalaman keagamaan
dalam persekutuan ternyata, melahirkan
berbagai jenis kelompok keagamaan, hal ini karena kelompok keagamaan yang ada merupakan suatu proses dari adanya
pengalaman keagamaan dalam bentuk pemikiran dan perbuatan, sehingga
keberadaannya senantiasa mencerminkan dari latarbelakang mereka membentuk suatu
kelompok keagamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Adeng Muchtar Ghazali,
2000 Ilmu Studi Agama, Pustaka Setia, Bandung.
Adeng Muhtar Ghazali,
2005 Ilmu Studi Agama,
CV. Pustaka Setia, Bandung.
Amin Abdullah,
2000 Studi Agama, Pustaka
Pelajar Offset, Yogyakarta.
Amsal Bakhtiar,
2007 Filsafat Agama, PT.
Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Bustanuddin Agus,
2005 Agama dalam Kehidupan
Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada, Jakara.
Cik Hasan Bisri,
2001 Penuntun Penyususnan
Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Dadang Kahmad,
2000 Metodologi Penelitian
Agama, Pustaka Setia, Bandung.
2000 Sosiologi
Agama, PT. Rosdakarya, Bandung.
2002 Tarekat Dalam Islam;
Spiritualitas Masyarakat Modern, Pustaka Setia Bandung.
Daniel L.
Pals,
2011 Seven Theories of religion, QALAM, Yogyakarta.
D. Hendropuspito,
1984 Sosiologi Agama, Kanisius,
Yogyakarta.
Djam’annuri,
2000 Agama Kita; Persepektif
Sejarah Agama-agama, Kurnia Kalam Semesta,
Yogyakarta.
Elizabet K. Nottingham,
1996 Agama dan Masyarakat, PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta.
Endang Saepudin Anshari,
1987 Ilmu Filsafat
dan Agam, PT. Bina Ilmu Anggota IKAPI, Surabaya.
Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
2008 Panduan penulisan
skripsi , Bandung.
H. M.
Sayuthi Ali,
2002 Metodologi Penelitian
Agama; Pendekatan Teoritik dan Peraktek, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Harun
Nasution,
1991 Filsafat Agama, PT.
Bulan Bintang, Jakarta.
2008 Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya Jilid I, UI-Press, Jakarta.
Harlod Coward,
1989 Pluralisme
Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Jakarta.
Hilman Hadikusuma,
1993 Antropologi Agama;
Bagian I, PT. Citra Aditiya Bakti, Bandar Lampung.
Joachim Wach,
1994 Ilmu
Perbandigan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Joesoef Soy’eb,
1996 Agama-agama Besar di
Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta.
Mukhsin
Jamil,
2008 Agama-agama Baru di
Indonesia, PUSTAKA PELAJAR, Yogyakarta.
Mukti Ali,
1998 Ilmu Perbandingan Agama;
di Indonesia, Mizan, Bandung.
Ramayulis,
2002 Psikologi
Agama, Kalam Mulia, RADAR JAYA Offset, Jakarta.
Thomas F. O’dea,
1996 Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers,
Jakarta.
Zakiah
Daradzat,
1991 Ilmu Jiwa Agama, Bulan
Bintang, Jakarta.
1991 Perbandingan Agama
I, Bumi Aksara, Jakarta.
[1] Endang Saepudin
Anshari, Ilmu Filsafat dan Agam, PT. Bina Ilmu Anggota IKAPI, Surabaya,
1987, hlm. 122.
[2] Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama; Bagian I, PT. Citra Aditiya
Bakti, Bandar Lampung, 1993, hlm. 16.
[4] Thomas F.
O’dea, Sosiologi Agama; Suatu Pengenalan Awal, Rajawali Pers, Jakarta,
1996, hlm. 1.
[6] Risa Agustin, Dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, hlm. 575.
Kata Sublime Ialah Menampakan Keindahan Dalam Bentuknya Yang Tertinggi;
Utama, Mulia, Amat Indah.
[9] Harun Nasuton, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I, UI-Press,
Jakarta, 2008, hlm. 9.
[11] D. Hendropuspito, Sosiologi Agama, Kanisius, Yogyakarta, 1984, hlm.
39-40.
[12] Thomas E. O’dea, Op.Cit, hlm. 25-26.
[13] Mujahid Abdul Manaf, Sejarah
Agama-agama, PT. Raja Grafindo Presada, Jakarta, 1996, hlm. 3.
[14] Bustanuddin Agus, Agama dalam
Kehidupan Manusia; Pengantar Antropologi Agama, PT. Raja Grafindo Persada,
Jakarta, 2005, hlm. 1.
[15] Zakia Drajat, Perbandingan Agama I, Bumi Aksara.
Jakarta, 1991, hlm. 1.
[16] Joesoef Soy’eb, Agama-agama Besar di Dunia, PT. Al-Husna Zikra, Jakarta, 1996, hlm. 16.
[21] Joachim Wach,
Ilmu Perbandigan Agama, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994,
hlm. 34.
[22] Dadang
kahmad, Metode penelitian Agama; Persepektip
Ilmu Perbandingan Agama, Pustaka Setia,
Bandung, 2000, Hlm 27-28.
[25] Dadang Kahmad, Tarekat Dalam Islam; Spiritualitas Masyarakat Modern, Pustaka
Setia Bandung, 2002, hlm. 79.
[34] Ibid., hlm.
XXV.
[37] Djam’annuri, Agama Kita;
Persepektif Sejarah Agama-agama, Kurnia Kalam Semesta, Yogyakarta,
2000, hlm. 10-11.
[41] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyususnan Rencana Penelitian dan
Penulisan Skripsi, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, Hlm 60.
[45] Ibid, hlm.
55.
[47] Fakultas
Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Panduan penulisan skripsi ,
2008, hlm. 116-117.
[48] Cik Hasan Bisri, Penuntun Penyususn
Rencana Penelitian dan Penulisan Skripsi Bidang Ilmu Agama Islam, PT. Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 2003, hlm. 60.
[49] Abdul Manaf, Mudjahid, Sejarah
Agama-Agama, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, hlm. 1-2.
[52] Ibid, hlm.
14.
[57] H. M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama; Pendekatan Teoritik
dan Peraktek, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hlm. 1
[59] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. XXXIX-XL.
[64] Joachim Wach, Op.
Cit, hlm. 56.
[68] Robertson Roland, Agama dalam
Ananlisis dan Interpretasi Sosiologi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1993,
hlm.VII.
[69] Ibid, hlm.
44.
[71] Nico Sukur
Dister Ofm, Pengalaman dan Motivassi Beragama,Kanisius Anggota IKAPI,
Yogyakarta, 1988, hlm. 21-22.
[73] Abdul Azizi Ahyadi, Psikologi Agama; Keperibadian Muslim Pancasiala, Sinar Bru Algesindo, Bandung, 2005, hlm. 185.
[76] Ramayulis, Psikologi
Agama, Kalam Mulia, RADAR JAYA Offset, Jakarta, 2002, hlm. 98.
[77] Transenden berasal dari bahasa latin, transcendere. Dalam bahasa
ingris: trasendent, artinya lebih tinggi, unggul, agung, melampaui. Di
dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, transenden, di definisikan sebagai
sesuatu di luar kesanggupan manusia yang
luar biasa, menonjolkan hal-hal yang bersifat rohani, Agama Dalam Kehidupan
Manusia, Pengantar Antropologi Agama hlm. 611. Dalam kutipan
Bustanuddin Agus, transcend, berarti melewati batas terangkat dari sesuatu
yang nyata. Sedangkan transenden dalam
antropologi agama pengalaman melewati atau terangkat dari pengalaman, akal dan
kemampuan manusia biasa, pengalaman transenden adalah pengalaman religius, hlm.
108.
[78] Harold
Coward, Pluralisme Tantangan Bagi Agama-agama, Kanisius, Jakarta, 1989,
hlm. 5.
[79] Abdul Aziz Ahyadi, Psikologi Agama;
Kepribadian Muslim Pncasila, Sinar Baru Algesindo, Bandung, 2005, hlm. 185.
[80] Nico Sukur
Dister Ofm, Op. Cit, hlm. 21.
[81] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 45.
[82] Ibid, hlm.
43.
[83] Dadang
Kahmad, Op. Cit, hlm. 17.
[84] Nico Sukur
Dister Ofm, Op. Cit, hlm. 9.
[85] Ibid, hlm.
18.
[86] Joachim Wach,
Lok.Cit
[87] Ibid, hlm.
44-52.
[89] Ibid,
hlm. 54.
[90] Isma’il Raji
Al-Faruqi, Tauhid, Penerbit Pustaka,
Bandung, 1995, hlm. 1.
[91] Ibid, hlm.
3-4.
[93] Adi Bunardi , Hakikat Tuhan, Internet,
10/01 07:01 AM, hlm. 1.
[94] Mulyana Lc, Makalah
Hakekat Tuhan, Pada Mata Kuliah Filsafat Agama, Bandung Ruang Sidang
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung, 2010.
[95] Syahminan
Zaini, Aqidah Islam, Pustaka Darul Ilmi, 2006, hlm. 57.
[96] Muhammad
Rofiq, Kepercayaan Tuhan, Pencetak Offset, Yogyakarta, 1981, hlm. 36.
[97] M. Quraish
Shihab, Wawawsan Al-Qur’an, Mizan, 1996, hlm. 14.
[98] Ibid, hlm.
15.
[100] Mulyana Lc, Makalah
Hakekat Tuhan, Pada Mata Kuliah Filsafat Agama, Bandung, Ruang Sidang Fakultas Ushuluddin UIN Sunan
Gunung Djati Bandung, 2010.
[101] H. Abdul Aziz
Ahyadi, Psikologi Agama; Keperibadian Muslim Paancasila, Sinar Baru ALlGESINDO, Bandung, 2005, hlm. 111
[102] Http://Www.
Nuansaislam. Com/ indek. Php ? option=com-conten &view= article &id= Kamis, 30 April 2009 2001.
[103] M. Quraish
Shihab, Op. Cit, hlm. 277-278.
[104] Ikah Rohilah, M.Si dan Fikrah, Hakikat Manusia Dalam al-Qur'an, http//www, Hakikat Manusia Dalam al-Qur’an & catid=89, Psikologi Islam & itemid= 277, Kamis, 30 April 2009 00:00.
[105] Atang Abd
Hakim dan Jaih Mubarok, Metode Studi Islam, PT. Remaja Rosdakarya,
Bnadung, 2000, hlm. 15.
[106] H. M. Ali
Usman, Manusia Menurut Al-Qur’an; Melalui Empat Alam, PT. MAWAR,
Bandung, 1970, hlm. 26.
[107] Ibid, hlm.
63.
[108] A. Saefuddin Anshari, Ilmu, Filsafat dan Agama, PT. Bina Ilmu
Surabaya, Bandung, 1987, hlm. 8.
[109] George Thomas
White Patrick, Pengantar Singkat Ilmu Filsafat, Intelekia Pratama,
Bandung, 2010, hlm. 22 dan 24.
[110] Ahmad Fuad
Al-Ahwani, Filsafat
Islam, Pustaka Firdaus, Jakarta,
2004, hlm. 142.
[111] Harun Nasution, Falsafah Agama. Bulan
Bintang, Jakarta, 1985, hlm. 55.
[112] Mulyadi Kartanegara, Integrasi
Ilmu Dalam Perspektif Filsafat Islam, UIN Jakarta Press,
Jakarta, 2003, hlm. xix-xx.
[113] Harun
Nasution, Op. Cit, hlm. 36-58.
[114] M. Quraish Shihab, Membumikan
Al-Quran cet II, Mizan, Jakarta, 1992, hlm. 62-63.
[115] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 97.
[116] Ibid,
hlm. 98.
[117] Susanto, Mitos
Mercie Eliadde, Kanisisus,
Yogyakarta, 1987, hlm. 71.
[118] Ibid, hlm.
74-90.
[119] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 103.
[120] Jalaluddin
Rahmat, Psikologi Agama, PT. Grafindo Persada, Jakarta, 2000, hlm. 70.
[122] Inteligensi,
(kecerdasan) dalam bahasa ingris disebut intelligence dalam bahasa
Arab disebut al-Dzaka, menurut arti bahasa adalah pemahaman, kecepatan,
dan kesempurnaan sesuatu. Dalam arti kemampuan (al-Qudrab) dalam
memahami sesuatu secara cepat dan ssempurna.
[123] Ramayulis, Op.
Cit, hlm. 85.
[124] Ibid, hlm.
86.
[125] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 148-149.
[126] Thomas F.
O’dea, Op. Cit, hlm. 74.
[128] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 152-153.
[130] A. M.
Hardjana, Penghayatan Agama yang Otentik dan Tidak Otentik, Kanisius,
Jogyakarta, 1993, hlm. 71.
[131] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 158.
[132] Ibid, hlm.
160.
[133] Ibid, hlm.
161.
[134] Ibid, hlm.
163.
[135] Ibid, hlm.
164.
[136] Ramayulis, Op.
Cit, hlm. 98.
[137] Zakiah
Daradjat, Op. Cit, hlm.136.
[138] Ibid, hlm.
186.
[139] Ibid, hlm.
137.
[140] Thomas F. O
dea, Op. Cit, hlm. 90.
[141] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 198.
[143] Joachim Wach, Op. Cit, hlm. 196-197.
[144] Thomas F. O.
dea, Op. Cit, hlm. 41.
[145] Briyan S. Turner, Sosiologi Islam, Rajawali,
Jakarta, 1990, hlm. 37.
[147] Joachim Wach,
Op. Cit, hlm. 204.
[148] Thomas F. O.
dea, Op. Cit, hlm. 90.
[149] Sudirman
Teba, Islam dan Orde Baru, Perubahan dan Politik Keagamaan, Tiara
Wacana, Jogyakarta, 1993, hlm. 114.
[154] Thomas E. O’dea, Op.Cit,
hlm. 65-66.
0 komentar:
Posting Komentar