PSIKOLOGI AGAMA
DEFINISI DAN ARTI
BAB
I
PENDAHULUAN
Manusia
adalah suatu mahluk somato-psiko-sosial dan karena itu maka suatu pendekatan
terhadap manusia harus menyangkut semua unsur somatiK, psikologik, dan social.[1]
Psikologi secara etimologi memiliki
arti “ilmu tentang jiwa”. Dalam Islam, istilah “jiwa” dapat disamakan
istilah al-nafs, namun ada pula yang menyamakan dengan istilah al-ruh, meskipun
istilah al-nafs lebih populer penggunaannya daripada istilah al-nafs. Psikologi
dapat diterjamahkan ke dalam bahasa Arab menjadi ilmu al-nafs atau ilmu al-ruh.
Penggunaan masing-masing kedua istilah ini memiliki asumsi yang berbeda.
Psikologi menurut Plato dan Aristoteles
adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang hakikat jiwa serta prosesnya
sampai akhir.Menurut Wilhem Wundt (tokoh eksperimental) bahwa psikologi
merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari pengalaman-pengalaman yang timbul
dalam diri manusia , seperti penggunaan pancaindera, pikiran, perasaan, feeling
dan kehendaknya.[2]
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat
bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang
berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk
membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan
manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan
keyakinannnya
Mengapa manusia ada yang percaya Tuhan ada
yang tidak , apakah ketidak percayaan ini timbul akibat pemikiran yang ilmiah
atau sekedar naluri akibat terjangan cobaan hidup, dan pengalaman hidupnya.
BAB
II
DEFINISI
AGAMA , TUHAN, SPIRITUAL, KEPERCAYAAN
- AGAMA dan PSIKOLOGI AGAMA
Agama berasal dari kata latin religio, yang dapat berarti
obligation/kewajiban
Agama dalam
Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan yang selalu hidup,
yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam semesta dan mempunyai
hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)[3]
Agama seseorang adalah ungkapan dari
sikap akhirnya pada alam semesta, makna, dan tujuan singkat dari seluruh
kesadarannya pada segala sesuatu, (Edward Caird)[4]
Agama hanyalah upaya mengungkapkan
realitas sempurna tentang kebaikan
melalui setiap aspek wujud kita (F.H Bradley)[5]
Agama adalah pengalaman dunia dalam seseorang tentang keTuhanan disertai
keimanan dan peribadatan[6]
Jadi agama pertama-tama harus dipandang sebagai pengalaman dunia dalam
individu yang mengsugestit esensi pengalaman semacam kesufian, karena kata Tuhan
berarti sesuatu yang dirasakan sebagai supernatural, supersensible atau
kekuatan diatas manusia. Hal ini lebih bersifat personal/pribadi yang merupakan
proses psikologis seseorang[7]
Yang kedua adalah adanya keimanan, yang sebenarnya intrinsik ada pada
pengalaman dunia dalam seseorang. Kemudian efek dari adanya keimanan dan pengalaman dunia yaitu
peribadatan.[8]
Tidak ada satupun definisi tentang
agama (religion) yang dapat diterima secara umum, karena para filsuf, sosiolog, psikolog merumuskan
agama menurut caranya masing-masing, menurut sebagian filsuf religion adalah
”Supertitious structure of incoheren metaphisical notion. Sebagian ahli
sosiolog lebih senang menyebut religion sebagai ”collective expression of human
values”. Para pengikut Karl Marx mendifinisikan Religion sebagai “the opiate of
people”. Sebagian Psikolog menyimpulkan religion adalah mystical complex
surrounding a projected superego” disini menjadi jelas bahwa tidak ada batasa
tegas mengenai agama/religion yang mencakup berbagai fenomena religion.[9]
Menurut Einstein , pada pidato tahun 1939
di depan Princeton Theological seminar, ”ilmu pengetahuan hanya dapat
diciptakan oleh mereka yang dipenuhi dengan gairah untuk mencapai kebenaran dan
pemahaman, tetapi sumber perasaan itu berasal dari tataran agama, termasuk
didalamnya keimanan pada kemungkinan bahwa semua peraturan yang berlaku pada
dunia wujud itu bersifat rasional, artinya dapat dipahami akal. Saya tidak
dapat membayangkan ada ilmuwan sejati yang tidak mempunyai keimanan yang
mendalam seperti itu, ilmu pengetahuan tanpa agama lumpuh, agama tanpa ilmu
pengetahuan buta[10]
Beragama berarti melakukan dengan cara tertentu dan sampai tingkat tertentu
penyesuaian vital betapapun tentative dan tidak lengkap pada apapun yang
ditanggapi atau yang secara implicit atau eksplisit dianggap layak diperhatikan
secara serius dan sungguh-sungguh (Vergulius Ferm)[11]
Psikologis atau ilmu jiwa mempelajari manusia dengan memandangnya dari segi
kejiwaan yang menjadi obyek ilmu jiwa yaitu manusia sebagai mahluk berhayat
yang berbudi. Sebagai demikian, manusia tidak hanya sadar akan dunia
disekitarnya dan akan dorongan alamiah
yang ada padanya, tetapi ia juga menyadari kesadaranya itu , manusia mempunyai kesadaran diri ia menyadati dirinya
sebagai pribadi, person yang sedang berkembang , yang menjalin hubungan dengan
sesamanya manusia yang membangun tata ekonomi dan politik yang menciptakan
kesenian, ilmu pengetahuan dan tehnik yang hidup bermoral dan beragama, sesuai
dengan banyaknya dimensi kehidupan insani , psikologi dapat dibagi menjadi
beberapa cabang [12]
Kepercayaan dan pengamalannya sangat
beragam antara tradisi yang utama dan usaha dalam mendifinisikan agama itu sendiri
secara keseluruhan yang sempurna. Agama sendiri menurut bahasa latin berasal
dari kata religio, yang dapat di artikan sebagai kewajiban atau ikatan [13]
Menurut Oxford English Dictionary,
religion represent the human recognition of super human controlling power, and especially of a personal God or
Gods entitle to obedience and worship, agama
menghadirkan ‘ manusia yang kehidupannya di kontrol oleh sebuah kekuatan
yang disebut Tuhan atau para dewa-dewa untuk patuh dan menyembahnya.
Psikologi agama merupakan bagian
dari psikologi yang mempelajari masalah-masalah kejiwaan yang ada sangkut
pautnya dengan keyakinan beragama, dengan demikian psikologi agama mencakup 2
bidang kajian yang sama sekali berlainan , sehingga ia berbeda dari cabang
psikologi lainnya.[14]
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat bahwa
psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku orang
atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang
berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi[15]
Psikologi
agama tidak berhak membuktikan benar tidaknya suatu agama, karena ilmu
pengetahuan tidak mempunyai tehnik untuk mendemonstrasikan hal-hal yang seperti
itu baik sekarang atau masa depan, Ilmu pengetahuan tidak mampu membuktikan
ketidak-adaan Tuhan, karena tidak ada tehnik empiris untuk membuktikan adanya
gejala yang tidak empiris, tetapi sesuatu yang tidak dapat dibuktikan secara
empiris bukanlah berarti tidak ada jiwa. Psikologi agama sebagai ilmu
pengetahuan empiria tidak menguraikan tentang Tuhan dan sifat-sifatNya tapi
dalam psikologi agama dapat diuraikan tentang pengaruh iman terhadap tingkah
laku manusia. Psikologi dapat menguraikan iman agama kelompok atau iman
individu, dapat mempelajari lingkungan-lingkungan empiris dari gejala keagamaan
, tingkah laku keagamaan, atau pengalaman keagamaan , pengalaman keagamaan,
hukum-hukum umum tetang terjadinya keimanan, proses timbulnya kesadaran
beragama dan persoalan empiris lainnya. Ilmu jiwa agama hanyalah menghadapi
manusia dengan pendirian dan perbuatan yang disebut agama, atau lebih tepatnya
hidup keagamaan[16]
- Tuhan/ God/ Allah
Menurut Carl
Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu
kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat
di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang
menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena
manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi
dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap
mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio
sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agama[17]
Fredrick
Schleimacher berpendapat bahwa yang
menjadi sumber keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak (sense of
depend). Dengan adanya rasa ketergantungan yang mutlak ini manusia merasakan
dirinya lemah, kelemahan ini menyebabkan manusia selalu tergantung hidupnya
dengan suatu kekuasaan yang berada diluar dirinya, berdasarkan rasa
ketergantungan ini timbullah konsep tentang Tuhan.
Mengapa
manusia ada yang bersifat Atheis , tidak percaya adanya Tuhan, ucapan terkenal
sepanjang masa adalah dari seorang yang bernama Nietscshe yang mengatakan “Gott
ist Gestorben” Tuhan sudah mati. Paul Vitz yang menceritakan kisah Nietscshe
menyampaikan teori kekafiran Nietsche (theory of unbelief) bukan karena
perenungan dan penelitian yang sadar , anda tidak percaya kepada agama bukan
karena secara ilmah anda menemukan agma
itu hanya sekumpulan tahayul, anda menolak agama bukan karena anda alas an
rasional ,melainkan fakto psikologis yang tidak anda sadari, Nietsche menolak
Tuhan seperti yang diakuinya bukan karena pemikiran tapi karena naluri.[18]
Kematian ayah nya diusia 36 tahun membawa kesedihan yang mendalam
pada diri Niersche
Tidak
berbeda dengan Nietsche , maka Freud menulis dalam future of an Illusion bahwa gagasan-gagasan agama muncul dari
kebutuhan yang sama seperti yang memunculkan pencapaian peradaban lainnya ,
yakni dari desakan untuk mempertahankan diri melawan kekuatan alam yang lebih
perkasa dan menaklukkan (kepercayaan agama hanyalah) ilusi, pemuasan dari
keinginan manusia yang paling tua, paling kuat, dan yang paling penting seperti yang kita ketahui, kesan tidak
berdaya yang menakutkan pada masa anak-anak membangkitkan kebutuhan akan
perlindungan melalui cinta yang diberikan oleh sang Bapa jadi peraturan Tuhan
yang maha kuasa dan Maha pengasih menentramkan ketakutan kira akan bahaya
kehidupan. Secara singkat pada waktu kecil anak mengidola ayahnya sebagai
pelindung dan pemelihara , ketika posisi anak tidak berdaya, setelah dewasa
ketika manusia berhadap dengan kekuatan yang maha perkasa, ia kembali ingat
kepada ayahnya, lalu ia berilusi tentang Tuhan yang seperti ayahnya , untuk
memenuhi kebutuhan seorang ayah ia menciptakan Tuhan Bapak, manusia diciptakan
tidak berdasar citra Tuhan , tetapi Tuhan diciptakan berdasar citra manusia.[19]
Bagaimana
Freud seorang psikoterapi dan seorang atheis berpendapat unsur kejiwaan yang menjadi sumber keagamaan ialah sexual
(naluri seksual). Berdasarkan libido ini timbullah idea tentang ketuhanan,
upacara keagamaan setelah melalui proses
Oedipus Complex (sebuah mythos Yunani yang menceritakan bahwa karena
perasaan cinta kepada ibunya, maka Oedipus membunuh ayahnya, sehingga setelah
membunuh ayah timbul rasa bersalah (sense of guilt) pada diri anak-anak itu.
Father Image (citra bapak) setelah membunuh timbul rasa bersalah yang kemudian
perasaan itu menimbulkan ide membuat suatu cara penebusan dengan memuja arwah
ayah yang telah mereka bunuh, Realisasi dari pembawaan itulah menurutnya
sebagai asal upacara keagamaan. Sigmund freud yakin akan kebenaran pendapatnya
itu berdasarkan kebencian setiap agama terhadap dosa[20]
Seperti Nietscshe , Freud memandang
ayahnya sebagai bapak yang lemah, pengecut dan berprilaku sexual yang
menyimpang , Ia membenci ayahnya dan selanjutnya membenci Tuhan yang tercipta
berdasarkan citra ayahnya, Psikoanalis akhirnya membuang Tuhan sebagai sekadar
ilusi kekanak-kanakan, bagi freud agama adalah irasional dan patologi, prilaku
yang diperteguh , respons pada situasi yang tak terduga dan pemuasan keinginan
kekanak-kanakan[21]
Freud membagi jiwa dalam 3 bagian yang
semuanya punya fungsi sendiri-sendiri: Id
adalah tempat dorongan naluri (instinct) dan berada dibawah pengawasan proses
primer, id bekerja sesuai prinsip kesenangan. Ego (pribadi) tugasnya menghindari ketidak senangan dan rasa nyeri
dengan melawan atau mengatur pelepasan dorongan nalurinya agar sesuai dengan
tuntutan dunia luar. Ego bekerja sesuai dengan prinsip kenyataan dan mempunyai
mekanisme pembelaan seperti represi, salah pindah, rasionalisasi dan lain-lain.
Ego mulai terbentuk ketika anak berumur 1 tahun. SuperEgo ajaran dan hukuman yang diletakkan kepadanya oleh orang
tua dari luar, dimasukan kedalam superego (internalisasi) yang selanjutnya
menilai dam membimbing prilakunya dari dalam, biarpun orang tua tidak ada lagi
disampingnya, Superego yang mulai terbentuk umur 5 – 6 tahun membantu ego dalam
pengawasan dan pelepasan impuls id, mengadung moral, hatinurani, rasa salah, [22]
- Spiritual
Definisi spiritual lebih sulit
dibandingkan mendifinisikan agama/religion, dibanding dengan kata religion,
para psikolog membuat beberapa definisi spiritual, pada dasarnya spitual
mempunyai beberapa arti, diluar dari konsep agama, kita berbicara masalah orang
dengan spirit atau menunjukan spirit tingkah laku . kebanyakan spirit selalu
dihubungkan sebagai factor kepribadian. Secara pokok spirit merupakan energi
baik secara fisik dan psikologi, [23]
Menurut kamus Webster (1963) kata
spirit berasal dari kata benda bahasa
latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja “Spirare” yang
berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah untuk bernafas, dan
memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual berarti mempunyai
ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau kejiwaan
dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual merupakan
kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan tujuan hidup.
Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan dan
kesejahteraan seseorang.[24]
Spiritual dalam pengertian luas merupakan
hal yang berhubungan dengan spirit , sesuatu yang spiritual memiliki kebenaran
yang abadi yang berhubungan dengan tujuan hidup manusia, sering dibandingkan
dengan Sesuatu yang bersifat duniawi, dan sementara, Didalamnya mungkin
terdapat kepercayaan terhadap kekuatan supernatural seperti dalam agama ,
tetapi memiliki penekanan terhadap pengalaman pribadi. Spiritual dapat
merupakan eksperesi dari kehidupan yang dipersepsikan lebih tinggi, lebih
kompleks atau lebih terintegrasi dalam pandangan hidup seseorang,dan lebih dari
pada hal yang bersifat indrawi. Salah satu aspek dari menjadi spiritual adlah
memiliki arah tujuan, yang secara terus menerus meningkatkan kebijaksanaan dan
kekuatan berkehendak dari seseorang, mencapai hubungan yang lebih dekat dengan
ketuhanan dan alam semesta dan menghilangkan ilusi dari gagasan salah yang
berasal dari alat indra , perasaan, dan pikiran. Pihak lain mengatakan bahwa
aspek spiritual memiliki dua proses , pertama proses keatas yang merupakan
tumbuhnya kekuatan internal yang mengubah hubungan seseorang dengan Tuhan ,
kedua proses kebawah yang ditandai dengan peningkatan realitas fisik seseorang
akibat perubahan internal. Konotasi lain perubahan akan timbul pada diri
seseorang dengan meningkatnya kesadaran diri, dimana nilai-nilai ketuhanan didalam
akan termanifestasi keluar melalui pengalaman dan kemajuan diri, [25]
Apakah ada
perbedaan antara spiritual dan religius, spiritualitas ádalah kesadaran diri
dan kesadaran individu tentang asal , tujuan dan nasib. Agama ádalah kebenaran
mutlak dari kehidupan yang memiliki manifestasi fisik diatas dunia. Agama
merupakan praktek prilaku tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang
dinyatakan oleh institusi tertentu yang dihubungkan dengan kepercayaan yang
dinyatakan oleh institusi tertentu yang dianut oleh anggota-anggotanya. Agama
memiliki kesaksian iman , komunitas dan kode etik, dengan kata lain spiritual memberikan jawaban siapa dan apa
seseorang itu (keberadaan dan kesadaran) , sedangkan agama memberikan jawaban
apa yang harus dikerjakan seseorang (prilaku
atau tindakan). Seseorang bisa saja mengikuti agama tertentu , namun memiliki
spiritualitas . Orang – orang dapat
menganut agama yang sama, namun belum tentu mereka memiliki jalan atau tingkat
spiritualitas yang sama.[26]
- FAITH AND BELIEF
Dalam iman , seorang manusia berkeyakinan bahwa ia berhubungan dengan
Allah sendiri, Tuhan sendiri tujuan dan isi iman kepercayaan. . Maka dari itu
obyek iman bukanlah pengertian-pengertian, gagasan-gagasan atau ide-ide mengenai
Tuhan melainkan Tuhan sendiri. Tuhanlah yang dipercayai manusia, Tuhan dalam
kepribadian dan dalam manifestasi-manifestasi-Nya. Antara orang yang beriman
dengan Tuhan terdapat hubungan pribadi, bagi orang beriman, Tuhan menjadi
tujuan hasrat-hasratnya yang intim , tetapi juga sekaligus penolong yang
diandalkannya dalam mengejar kesempurnaan eksistensinya. Oleh karena itu
tindakan “percaya “merupakan kenyataan
yang kompleks. Didalamnya terdapat keyakinan intelektual, ketaatan yang taqwa
dan hubungan cinta kasih. Kompleksitas ini bersesuaian dengan majemuknya faham
kebapa ilahi[27]
Secara
Pskologis kita harus membedakan arti kata iman dan percaya. Kata percaya lebih
statis dan tidak menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau
ide yang dipercayainya itu. Misalnya kita percaya besok akan hujan, kepercayaan
ini tidak selalu disertai adanya kewajiban terhadap kepercayaan itu Lin dengan
iman yang bersikap dinamis , kata iman menunjukan adanya kehangatan emosi dan
mengandung keharusan-keharusan atau kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya
keimanan. Misalnya anda iman kepada Allah
ini berarti bukan hanya percaya secara lisan kepadaNya, tapi juga
mengandung kesetiaan , kecintaan sebagai implikasi kewajiban kepada si muknin.
Kepercayaan bisa menjadi keimanan melalui perkembangan sedikit demi sedikit .
Dalam perkembangan ini berperan pengarug orang tua dan lingkungannya.
Keimananpun berkembang pula[28]
Keimanan
W.H. Clark
membagi taraf perkembangan keimanan seseorang kedalam 4 level:[29]
- Stimulus response verbalism, pada level ini keimanan hanyalah di bibir (anak-anak), mekanismenya disini seperti orang yang belajar, mereka mengulang-ulang perbuatan yang mendapat hadiah dan menghilangkan kata atau perbuatan yang tercela, kata-kata yang menimbulkan rasa aman akan diulang-ulang oleh si anak, dengan demikian timbul rasa aman, kepercayaan yang hanya dibibir akan dikembangkan oleh anak dengan memasukkan kepercayaan itu dalam dirinya, dan ini sangat pendtin untuk menjadi dasar dan sikapnya dan menjadi pegangan hidup.
- Intelectual comprehension
Terlihat pada masa remaja,
lebih memerlukan intelek dan adanya proses kreatif yang lebih kmpleks dari pada
respons bersyarat saja, pikirna dan logika berperan dalam setiap proses
keimanan, jiwa mula-mula percaya, timbul
kebimbangan, kemudian proses berfikir timbul kepercayaan yang baru atau insight
baru sebagai sintesa dari kepercayaan yang ada dan kebimbangan
- Behavioral demonstration
Pada level ini sebagai
akibat kepercayaan yang kuat akan keimanan seorang terlihat dalam timdakannya.
Tingkah laku lebih menunjukan kesungguhan adanya keimanan daripada sekedar
ucapan-ucapan saja, behavior demonstraton contoh nya pada sufi/mistikus yang
teguh imannya
- Comprehensive integration
Hal-hal yang termasuk
ketiga level diatas merupakan penampilan aspek-aspek saja dari pada kepercayaan
. Disamping tiu yang lebih dalam ialah yang mencakup ketiga-tiganya menjadi
satu kesatuan, baik kata-kata , pemikiran dan juga perbuatan di integrasikan untuk mebentuk satu kesatuan
dalam diri individu
KEIMANAN memberikan makna pada hidup, memberikan arti pada
kehidupan ini. Pemberian makna pada hidup itulah yang menurut Clark bekerja
sebagai dinamika dan sekaligus daya tarik agama
KESIMPULAN
Menurut Prof. Dr. Zakiah Darajat
bahwa psikologi agama meneliti pengaruh agama terhadap sikap dan tingkah laku
orang atau mekanisne yang bekerja dalam diri seseorang, karena cara seseorang
berpikir, bersikap, bereaksi dan bertingkah laku tidak dapat dipisahkan dari
keyakinannya, karena keyakinan itu masuk dalam kostruksi pribadi
Belajar psikologi agama tidak untuk
membuktikan agama mana yang paling benar, tapi hakekat agama dalam hubungan
manusia dengan kejiwaannya , bagaimana prilaku dan kepribadiannya mencerminkan
keyakinannnya
Agama berasal dari
kata latin religio, yang dapat berarti obligation/kewajiban
Agama dalam Encyclopedia of Philosophy adalah kepercayaan kepada Tuhan
yang selalu hidup, yakni kepada jiwa dan kehendak ilahi yang mengatur alam
semesta dan mempunyai hubungan moral dengan umat manusia (James Martineau)
Menurut Carl
Jung (1955) Tuhan adalah sesuatu
kekuatan yang berpengaruh besar yang alami dan pengaruhnya tidak dapat
di bendung : Very personal nature and an irresistible influence, I call it God
Thomas Van Aquino mengemukakan bahwa yang
menjadi sumber kejiwaan agama itu ialah berfikir , manusia berTuhan karena
manusia menggunakan kemapuan berfikirnya. Kehidupan beragama merupakan refleksi
dari kehidupan berfikir manusia itu sendiri. Pandangan semacam ini masih tetap
mendapatkan tempatnya hingga sekarang ini dimana para ahli mendewakan ratio
sebagai satu-satunya motif yang menjadi sumber agamaMenurut kamus Webster
(1963) kata spirit berasal dari kata
benda bahasa latin ‘Spiritus” yang berarti nafas (breath) dan kata kerja
“Spirare” yang berarti bernafas. Melihat asal katanya , untuk hidup adalah
untuk bernafas, dan memiliki nafas artinya memiliki spirit. Menjadi spiritual
berarti mempunyai ikatan yang lebih kepada hal yang bersifat kerohanian atau
kejiwaan dibandingkan hal yang bersifat fisik atau material. Spiritual
merupakan kebangkitan atau pencerahan diri dalam mencapai makna hidup dan
tujuan hidup. Spiritual merupakan bagian esensial dari keseluruhan kesehatan
dan kesejahteraan seseorang
Kata percaya lebih statis dan tidak
menunjukan adanya sikap emosi yang positif terhadap obyek atau ide yang
dipercayainya itu.
Iman yang bersikap dinamis , kata iman
menunjukan adanya kehangatan emosi dan mengandung keharusan-keharusan atau
kewajiban-kewajiban sebagai akibat adanya keimanan.
DAFTAR
PUSTAKA
H. Ahmad Fauzi.
2004 Psikologi Umum, Pustaka
Setia, Bandung.
Jalaluddin
Rakhmat
2004 Psikologi Agama Sebuah Pengatar,
Mizan , Bandung.
Dr. Nico Syukur
Dister.
Psikologi Agama, Penerbit Kanisius,
Davic Fontana
2003 Psychology
, Religion and
spirituality, Bps Blackwell.
Endang Saifuddun
Anshari M. A. I
1979 Ilmu , Filsafat dan Agama,
Penerbit Bina Ilmu.
Ramayulis.
2004 Psikologi Agama, Kalam Mulia.
Aziz Ahyadi,
Psikologi Agama, Mertiana,
Bandung .
Aliah B.
Purwakanta Hasan,
Psikologi Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.
WE Maramis,
1980 Ilmu
Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press,
[1]
W F. Maramis , Ilmu kedokteran Jiwa, Airlangga university Press, 1980, hal 88
[2] Drs H. Ahmad Fauzi , Psikologi Umum
Pustaka setia Bandung, 2004 hal 9
[3] Jalaluddin Rakhmat , Psikologi Agama sebuah
pengatar, Mizan 2004 hal50
[4] Ibid hal 51
[5] Ibid hal 50
[6]
Drs. Psy H.A. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama, pnerbit Martiana Bandung, hal 17
[7]
ibid
[8]
ibid
[9] H. Endang Saifuddun Anshari M. A. Ilmu ,
Filsafat dan Agama, Penerbit Bina Ilmu 1979, Hal 111
[10] Ibid hal 53
[11] Ibid hal 51
[12] Dr. Nico Syukur Dister, Psikologi Agama,
penerbit Kanisius, hal 9
[14]
Prof Dr. H. Ramayulis, Psikologi Agama , Kalam Mulia 2004 hal1
[15]
Ibid hal 5
[16]
Drs. H. Aziz Ahyadi , Psikologi Agama,
Mertiana Bandung hal 9 - 10
[17] Prof Dr. H Ramayulis , Op cit hal
26
[18] Jalaluddin Rakhmat op cit hal 149
[19]
Ibid hal 149 - 150
[20] Ibid hal 28
[21] Jalaluddin Rahmat op cit Hal 152
[22]
WE Maramis, Ilmu Kedoteran Jiwa, Airlangga University Press, 1980 hal 37
[23] David Fontana op cit hal 11
[24] Aliah B. Purwakanta Hasan, Psikologi
Perkembangan Islami, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, hal 288
[25]
Ibid ha;l 290
[27]
Prof Nico Syukur Dister op cit Hal 126
[29]
Ibid hal58 - 59
0 komentar:
Posting Komentar