About

Kamis, 29 Januari 2015

Sejarah Peradaban Islam Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad




KATA PENGENTAR
            Segala puji hanya milik Allah SWT, Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat limpahan dan Rahmat-Nya kami dari kelompok 6 mampu menyelesaikan tugas makalah ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban islam.
Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua maupun teman-teman, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Makalah ini disusun agar pembaca dapat mampu memperluas pengetahuan mengenai Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad.
Makalah yang kami sajikan berdasarkan dari buku, referensi mengenai. Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad. Semoga makalah ini dapat memberikan pengetahuan yang baru kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini banyak kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada Bapak Dosen maupun pembaca, kami meminta masukannya demi perbaikan makalah ini.

Bandung,   April 2013

           Penulis



BAB 1
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang

Dinasti-dinasti kecil di sini yang dimaksud adalah semua wilayah yang biasanya disepakati oleh seorang wali atau amir (gubernur) atas penunjukkan pemerintah pusat Baghdad. Hubungan antara keduanya secara structural bersifat vertikal konsultatif. Wilayah menjalankan pemerintahannya sejalan dengan pemerintah pusat. Wilayah tersebut sedikit demi sedikit memperoleh otonomi penuh atau sengaja melepaskan diri dari pemerintahan pusat (disintegration) sehingga oleh para sejarawan disebut dinasti-dinasti kecil (Smaller dynasties).
Oleh karena itu, dinasti-dinasti baru tersebut secara geografis terletak di sebelah Barat dan Timur pemerintahan pusat ( Baghdad ), maka sebagian sejarawan menyebutnya dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad.
Dalam makalah ini penulis menggunakan Klasifikasi pertama, yaitu dinasti-dinasti dibagi menjadi dua kelompok besar; yaitu Barat dan Timur Baghdad. Kelompok Barat meliputi dinasti-dinasti Idrisiyah (789-926 M), dinasti Aghlabiyah (800-909 M), dinasti Thuluniyah (868-905 M), dinasti Ikhsidiyah (935-969 M), dinasti Hamdaniyah (972-1152 M). Sedangkan dinasti Timur meliputi dinasti Thahiri (200-259 H), dinasti Saffariah (867-903), dinasti Samaniyah (875-1004 M), dan kondisi sosial, politik, dan Ekonomi Dinasti-Dinasti kecil di Timur. Tetapi pembahasan dalam makalah ini hanya focus pada Dinasti-Dinasti Kecil di Barat Baghdad.

1.2  Rumusan Masalah

1.      Bagaimana kemunculan Dinasti-dinasti Kecil di Baghdad ?
2.      Apa saja kelompok-kelompok Dinasti-dinasti Kecil di Timur Bagdad ?
3.      Apa saja kelompok-kelompok Dinasti-dinasti Kecil di Barat Bagdad ?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1  KEMUNCULAN DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGHDAD
Kemunculan dinasti-dinasti kecil paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama, pemimpin local melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjik menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk anaknya sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang relative singkat, baik di sebelah barat maupun timur Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan lepas dari control langsung Baghdad.[1]
Faktor-faktor yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu :
1.      Adanya persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan Persia.
2.      Tumbuhnya dinasti-dinasti yang memisahka diri dari kekuasaan pemerintahan pusat Baghdad ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.[2]

2.1  DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD
1.      Dinasti Thahiri (200—259 H./820-872 M.)
Sebelum meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi putra mahkota untuk menjadi khalifah : Al-Amin dan al-Ma’mun. al-Amin dihadiahi wilayah bagian barat; sedangkan al-ma’mun dihadiahi wilayah bagian timur. Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M), al-Amin putra mahkota tertua tidak bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma’mun. oleh karena itu, pertempuran dua bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangi oleh al-Ma’mun, setelah perang usai, al-Ma’mun menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu, ia didukung oleh Tahir panglima militer, dan saudaranya sendiri, yaitu al-Mu’tashim.
Sebagai imbalan jasa, Tahir diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Bani Abbas dan Gubernur Mesir (205 H). wilayah kekuasaannya kemudian diperluas sampai ke Khurasan (820-822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan pada anak-anaknya.[3]
Dinasti ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai panglima tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. ia telah banyak berjasa membantu Al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah Al-Amin dan memadamkan pemberontakan kaum Alwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun 205 H. kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6 tahun, yaitu sejak 207-213 H.
Setelah Thalhah, kekuasaan berpindah ke tangan penerusnya, yaitu Abdullah Ibn Thahih dan merupakan pemegang jabatan gubernur Khurasan terlama (213-248 H). selama memegang pemerintahan setingkat gubernur. Dinasti Thahiri mempertahankan hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Bahkan, daerah Mesir pun diserahkan oleh Al-Ma’mun kepada penguasaan Abdullah Ibn Thahir pada tahun 210 H. yang pada waktu itu sempat menimbulkan gejolak. Karena hubungan dekat dan kepercayaan yang diberikan Al-Ma’mun cukup besar, wilayah kekuasaan Abdullah diperluas sampai ke daerah Suriah dan Jazirah.
Pada tahun 213 H. wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir dikurangi dan Al-ma’mun menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada saudaranya sendiri, yaitu Abu Ishak Ibn Harun Ar-Rasyid.
Sesudah Abdullah Ibn Thahir, jabatan gubernur Khurasan depegang oleh saudaranya, yaitu Muhammad Ibn Thahir (248-259 H). ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga Thahiri. Kemudian daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui perjuangan bersenjata. Keluarga Saffari merupakan saingan kaluarga Thahiri di Sijistan.
Akan tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan perhatiannya kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti dan melancarkan gerakan untuk menguasai Khurasan.
Dalam keadaan mulai melemah, keluarga dan pengikut Alawiyin di Tabaristan menggunakan kesempatan untuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan Saffari yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259 H, jatuh dan berakhirlah Dinasti Thahiri. [4]
2.      Dinasti Saffariah (867-903 M.)
Dinasti Saffari didirikan oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar yang berkuasa antara tahun 867-878 M. Ya’qub  Ibn Laits al-Shafar adalah perwira militer yang kemudian diangkat menjadi amir wilayah Sjistan pada zaman khalifah al-Muhtadi (869-970 M.). Ya’qub Ibn Laits al-shafar mendapat dukungan dari khalifah al-Mu’tamid (870-892 M.) untuk memperluas wilayah kekuasaanya hingga berhasil menaklukkan Blakh, Tabaristan, Sind, dan Kabul. Penaklukan yang dilakukannya membuat Ya’qub Ibn Laits al-Shafar semakin kuat dan mengirimkan hadiah kepada khalifah di Baghdad; dan bahkan ia pun didukung untuk menaklukkan dinasti Tahiri di Khurasan. Akan tetapi, penaklukan wilayah-wilayah yang dilakukan oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar membuat khalifah di Baghdad khawatir. Oleh karena itu, khalifah al-Mu’tamad (256-279 H./870-892 M.) menaklukan Safari yang dipimpin oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar; Ya’qub menantang khalifah dan menuntut kemerdekaan wilayahnya. Setelah meninggal, Ya’qub digantikan oleh saudaranya, Amr Ibn al-Laits (878-903 M.). Atas bantuan Isma’il Ibn Ahmad al-Samani, khalifah Baghdad berhasil menangkap Amr Ibn al-Laits; kemudian ia dipenjara di Baghdad hingga meninggal pada zaman khalifah al-Mu’tadhid (870-892 M.). Atas dasar itulah, Khalifah menjadikan dinasti Samani sebagai penguasa Khuarasan.[5]
Pada saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadhid, Baghdad tetap mengakui kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar istana menahan Amr, kemudian memeberikan kekuasaaannya kepada cucunya, Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr. Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini berhadapan dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Saffariah.
3.      Dinasti Samaniyah  (875-1004 M)
Untuk menelusuri kekuasaan Samani, kita harus kembali pada zaman Al-Makmun yang membagi-bagi wilayah kepada para pendukungnya bersamaan degan pemberian wilayah kepada Tahiri di Khurasan. Pembagian wilayah dan amirnya pada zaman Al-Makmun dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 11:
Pembagian Wilayah pada Zaman al-Ma’mun
No
Wilayah
Gubernur (Amir)
1.       
Transoxiana
Asad Ibn Saman
2.       
Samarqand
Nuh Ibn Asad
3.       
Farganah
Ahmad Ibn Saman
4.       
Syashy dan Asyrusanah
Yahya Ibn Asad
5.       
Hirrah
Ilyas Ibn Asad
            Asad Ibn Saman diberi kewenangan oleh Al-Makmun untuk memimpin daerah Trassoxiana. Kemudian dinasti kecil ini menaklukan wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga berhasil menguasai Transoxiana, Khurasan, Sajistan, Karman, Jurjan, Rayy, dan Tabaristan. Dinasti Samani berkuasa hingga Khurasan setelah berhasil membantu khalifah Al-Mutaaddid (Dinasti Abbasiyah) menangkap dan memenjarakan Amr Ibn Al-Laits (khalifah Dinasti Safari terakhir).
            Pada waktu itu lahir ulama besar yang juga melhirkan karya-karya besar. Diantara mereka adalah Al-Firdausi, Umar Hayyam, Ibn Sina, Al-Biruni, Jakaria, Ar-Razi, dan Al-Farabi.
a.       Zakaria Al-Razi (865-925 M)
Al-Razi terkenal dengan Razhes (bahasa latin). Beliau adalah ahli kedokteran klinis, dan penerus Ibn Hayyan dalam pengembangan ilmu kimia. Ia melakukan penelitian empiris dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih disbanding dengan kegiatan ilmiah sebelumnya dan mencatat setiap perlakuan kimiawi yang dikenakannya terhadap bahan-bahan yang ditelitinya serta hasilnya.
b.      Al-Farabi (870-950 M)
Al-Farabi dikenal di Barat dengan nama Al-Farabius adalah filosof yang juga ahli dalam bidang logika, matematika, dan pengobatan. Dalam bidang fisika, Al-Farabi menulis kitab Al-musiqa: kitab-kitab yabg ditulisnya begitu banyak dan sebagian masih dapat dibaca hingga sekarang ini.
c.       Al-Biruni (973-1048 M)
Al-Biruni (AAl-Beruni) adalah Abu Raihan Muhammad Al-Biruni. Ia tinggal di istana Mahmud di Gazni (Afganistan). Akbar S.Ahmed menjulukinya dengan gelar ahli antropologi pertama (bapak antropologi). Argumentasinya adalah Al-Biruni merupakan observasi partisipan yang luas tentang masyarakat “asing” dan berupaya mempelajari naskah primer dan pembahasannya. Di samping sebagai antropolog, Al-Biruni juga ahli matematika, astronomi, dan sejarah.
d.      Ibn Sina (980-1037 M)
Nama latin Ibn Sina adalah Avicenna : beliau adalah ahli ilmu kedokteran dan filsafat. Karya besarnya dalam bidang kedokteran adalah Al-Qanun fi At-tib.
e.       Umar Hayyan (1038-1148 M)
Umar Hayyan adalah ahli astronomi, kedokteran, fisika, dan sebagian besar karyanya dalam bidang matematika. Akan tetapi, beliau lebih dikenal sebagai penyair dan sufi. Belaiu adalah penemu koefisien-koefisien binomial dan memecahkan persamaan-persamaan kubus.

4.      Dinasti Gaznawi
Abd Al-Malik Ibn Nuh (khalifah dari Dinasti Samani) mengangkat Alptigin untuk menjadi pengawal kerajaan. Karena kesetiaannya yang baik, ia diangkat menjadi gubernur (amir) Khurasan. Alptigin hanya setia kepada Abd Al-Malik Ibn Nuh. Ketika Abd Al-Malik wafat, ia tidak mentaati khalifah Dinasti Samani yang baru, yaitu Mansur Ibn Nuh (pengganti Abd Al-Malik Ibn Nuh. Pada tahun 963 M, Alptigin wafat dan digantikan oleh putranya, Ishak. Akan tetapi, kekuasaannya kemudian direbut oleh Baltigin, dan Baltigi digantikan oleh Firri: Firri kemudian diserang oleh sabuktigin dan ia berhasil menguasai Gazna [ada tahun 977 M. Sabuktigin dianggap sebagai pendiri Dinasti Gaznawi yang sebenarnya. Akan tetapi, Sabuktigin masih tunduk kepada Dinasti Samani, yaitu Nuh Ibn Mansur.
a.       Perluasan Wilayah
Dalam rangka maemperkuat Dinasti Gaznawi, Sabuktigin melakukan penaklukan wilayah di sekitarnya. Daerah-daerah yang ditaklukan Sabuktigin adalah Punjab (India), dan Kabul (Afganistan). Pada tahun 997, Sabuktigin wafat. Ia digantikan oleh anaknya Ismail. Akn tetapi kepemimpinan Ismail di kudeta oleh saudaranya Mahmud. Mahmud mulai memakai gelar Sultan (sebelumnya bergelar amir) dan menyatakan diri tunduk kepada khalifah Abbasiyah (Al-Kodir billah). Antara tahun 1001 hingga 1024 M, Mahmud Al-Gaznawi juga melakukan perluasan wilayah dengan menaklukan Lahore, Multan, dan sebagian daerah Sind. Setelah itu, ia menaklikan Gujarat (1025 M), Khawarizmi, Georgia, dan Rayy (1026 M). akhirnya kekuasaan Dinasti Gaznawi meliputi India Utara, Irak, Persia, Khurasan, Turkistan, sbagian Transoxiana, Sijistan, Tepi sugai Gangga, dan Punjab (sekarang kaistan).
b.      Kemajuan Ilmu Pengetahuan
Pada zaman kejayaan Al-Gaznawi, muncul sejumlah ulama yang memiliki karya besar. Diantara mereka adalah :
1.      Firdausi. Karyanya yang tebesar adalah Sah-nama (Kitab syair terdiri atas 60.000 bait).
2.      Al-Biruni. Ia adalah ahli matematika, astronomi, ilmu alam, dan sejarah. Ia adalah salah seorang ilmuwan yang mendapat perlindungan dari Mahmud Al-Gaznawi.
Mamud Al-Gaznawi meruoakan khalifah terbaik Dinasti Gaznawi. Pada tahun 1030 M Mahmud Al-Gaznawi wafat dan din gantikan oleh putranya Muhammad. Akan tetapi, kepemimpinan Muhammad ditolak oleh saudaranya Mas’ud, sehingga terjadi pertikaian diantara keduanya yang dimenangkan oleh Mas’ud.
5.      Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam. Bapak mereka adalah Abu Syujai Al-Buwaihi. Tiga saudara ini dalam sejarah dikenal sebagai tentara bayaran. Ketika terjadi perang antara makan Ibn Kaki Al-Dailami dengan Mardawij; tiga bersaudara ini membelot dari makan dan berpihak ketipad Mardawij dengan alasan, makan Ibn Kaki Al-Dailami tidak lagi mampu membayar mereka. Mardawij menyambut baik keperpihakan mereka.
a.       Pembentukan Khalifah Boneka
Ketika berkuasa di Bagdad, khalifah Bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (De Jure), dan pengendalian pemerintah secara De Facto berada di tangan para amir. Tiga bersaudara ini memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Ahmad Ibn Buwiahi berkuas di Bagdad; Ali Ibn Buwaihi (Imad Al-Daulat) berkuasa di Pars; dan Hasan Ibn Buwaihi (Rukn Ad-Daulat berkuasa di Jibal), Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti kekusaan politik dan sumber-sumber material para khalifah. Mereka menjadikan khlifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus menjadi alat yang dapat mereka gunakan untuk mencapai ambisi meraka. Keunikan Bani Buwaihi adalah bahwa para Amir Nuwaihi penganut Syi;ah, tetapi mereka tidak menghapuskan khalifah (sunik).
Ahmad Ibn Buwaihi meninggal karena sakit (356 H) dan diagnti oleh anaknya, Bahtiar (356-367 H/ 967-978 M) dengan gelar Izz Al-Daulat. Bahtiar bersik]kisih dengan khalifah Al-Mu’ti karena khalifah tidak mengijinkan penggunaan dana Negara u ntuk mlawan pasukan Romawi.
b.      Kemajuan  Buwaihi
Ditandai dengan : pertama, pembangunan rumah sakit “bimaristan al-adhudi” yang memiliki 24 tenaga medis, dan rumah sakit ini duijadiakan pusat studi kedokteran. Rumah sakit ini didirikan pada tahun 978 M. Kedua, pembangunan sekolah-sekolah dan observatorium di Bagdad, Syiraz, Rayy, dan Isfahan, serta gerakan terjemahan yang dipelopori oleh Al-Hud Al-Daulah. Pada zamannya, Al-Hud Ad-Daulah menerapkan dua criteria dalam pemilihan materi: a. kemampuan manjrial; dan b. kemampuan retorika. Oleh karena itu, wajar bila para mentri Buwaihi pandai dalam sastra. Ketiga, pada masa ini muncul penyair ternama, yaitu Bu Ali Al-Farisi yang menulis kitab Al-Idhah (book of explanation) yang didedikasiakan pada Ad-Hud Al-Daulah. Keempat, pada fase ini lahir sejumlah pakar yang hingga hari ini karyanya masih dijadikan rujukan, mereka adalah:
1.      Ibn sina
2.      Ibn Masykawaih
3.      Istakhri
4.      Nasawi
5.      Kelompok Ikhwan Al-Shafa
6.      Al-Khawarizmi
7.      Ibn Khaitsman
c.       Kemunduran dan akhir Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi sepeninggalan Muiz Al—Daulah dilanda konflik iternal. Perebutan kekuasaan di dalam tubuh Dinasti Buwaihi menjadi sebab kemunduran dinasti ini. Di samping itu, Buwaihi juga tidak dapat menagatasi perasaingan di tubuh militer yang berasal dari dua suku: Dailam dan Turki Saljuk. Salah satu peristiwa pentingnya adalah abatan Malik Abd Al-Rahim sebagai amir Al-Umara berusaha direbut oleh panglimanya sendiri, Al-Seran Basasiri yang kemudian memperlakukan Malik Abdu Al-Rahim dan khalifah Al-Qoim dengan semena-mena.
6.      Dinasti Saljuk
a.      Asal-usul Saljuk
Dinasti Saljuk dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq. Tuqaq (ayah Saljuk) adalah pemimpin suku Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai wilayah Turkestan, tempat mereka tinggal. Saljuk Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima imperium Ulghur yang ditempatkan di selatan lembah Tahrim dengan Kashgar sebagai ibu kotanya. Karena merasa tersaingi kewibawaan, permaisuri raja Ulghur merencanakan pembunuhan terhadap Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat direalisasikan, rencana itu sudah diketahui oleh Saljuk. Dalam rangka menghindari pembunuhan, Saljuk dan orang-orang yang setia kepadanya menyelamatkan diri dengan melarikan diri kea rah Barat, yaitu daerah Jundi (Jand), suatu daerah yang merupakan bagian dari asia Kecil yang dikuasai dinasti Samaniyah yyang dipimpin oleh Amr abd al-Malik Ibn Nuh (954-961 M). Amr Abd al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di Jundi, Nuh, saljuk dan pengikutnya memeluk islam aliiran sunni sesuai dengan aliran yang dianut oleh masyarakat setempat.
b.      Tugril Bek : Pendirian Diinasti Saljuk
Sepeninggal saljuk, pemimpin suku dipegang oleh Mikail. Akan tetapi, ia pun gugur ketika melawan dinasti Ghaznawi yang hendak merebut Khurasan dari Samaniyah. Setelah wafat, Mikail digantikan oleh anaknya, Tugril Bek. Tugril Bek, karena dinasti Samani sudah mulai melemah, berhasil menguasai Merv (ibu kota Khurasan), Jurzan, Tibristan, Dailam dan Karman (1037 M).
c.       Saljuk Menguasai Baghdad
Di Baghdad terjadi penindasan yang dilakukan oleh dinasti Buwaihi terhadap khalifah Bani abbas. Karena bertikai dengan Malik abd al-Rahman, Arselan Basasiri (panglima militer) mengundang dinassti Fatimiyah untuk menguasai Baghdad. Hal itu membuat khalifah khawatir dan akhirnya meminta bantuan Tugril Bek yang berkuasa di Jibal. Pada tanggal 18 Desember 1055 (447 H), Tugril Bek memasuki Baghdad. Pertempuran terjadi antara pasukan Tugril Bek dengan pasukan Arselan al-Basasiri.

d.      Kemajuan Saljuk
Dinasti saljuk tercatat sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika itu. Di antara kegiatan yang dilakukannya adalah: (1) Memperluas majid al-Haram dan masjid al-Nabawi; (2) pembangunan rumah sakit di Naisafur; (3) pembangunan gedung peneropong bintang; dan (4) pembangunan sarana prndidikan.
e.       Pemicu Perang salib
Setelah berhasil menguasai Baghdad, dinasti Saljuk melakukan ekspansi hingga menguasai Asia Kecil (Turki sekarang) dan menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai Bizantium. Perang terjadi antara pasukan saljuk dengan pasukan Bizantium. Apabila ada orang Bizantium dan Eropa yang hendak beribadah ke Bait al-Maqdis di Yerussalem; hartanya dirampas oleh Saljuk.
f.       Kemunduran dan Akhir Dinasti Saljuk
Dinasti Saljuk dilanda konflik internal dan akhirnya wilayah kekuasaanya dibagi-bagi menjadi kesultanan-kesultanan yang dikendalikan oleh para atabek (para budak yang menjadi pembesar Negara). Malik Syah meninggalkan sejumlah anak; Barkiyaruk, Muhammad, Sanjar, dan Mahmud. Ketika Barkiyaruk menjadi Sanjar seringkali berusaha merebut kekuasaan. Setelah Sanjar meninggal, saljuk menjadi kesultanan-kesultanan.
Secara eksternal, Eropa yang merasa ditindas oleh Saljuk melakukan perlawanan. Karena serangan-serangan dari Bizantium dan Eropa, saljuk menjadi lemah. Kelemahan Saljuk diperparah lagi dengan adanya gerakan dinasti Khawarizm yang berusaha merebut daulat Abasiyah dari tangan Saljuk. Dinasti Saljuk di Baghdad berakhir dan dilnjutkan oleh Atabek.[6]






2.3 DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT BAGHDAD
1.      Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdu;llah pada tahun 172 H./789 M. dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam sejarah berusaha memasukkan syi’ah ke daerrah Maroko dalam bentuk yang sanagt halus.
Muhammad bin Idris merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw, yaitu cucu dari Hasan, putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786. Dan terpaksa pergi ke Mesir, kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Ada dua alasan mengapa Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga sulit untuk ditaklukkannya.
Pada masa kekhalifahan Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, ( menggantikan Al-Hadi), Harun Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut, maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan memeranginya. Namun, factor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatife lain, yaitu dengan mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura menentang Daulah abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membnuh Idris dengan meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada khalifah Harun Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak dapat kekuasaan Dinati Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan meraka sebagai kerajaan yang merdeka dan independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar memberikan nama Bayi tersebt dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia kepadanya sebagimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah yang melanjutkan jejak bapaknya )idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris 11.
Idris I dan putranya Idris II telah berhasil mempersatukan duku-suku Barnbar, imigran-imigran arab yang berhasil dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik, mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi Hasan dan Husain bin Ali bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad bin Idris (828-836 M), dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada delapan orang saudaranya, walupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki semacam supermasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.
Pada masa Ali bin Muhammad (836-849 M), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik, yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ke tangan saudaranya sendiri, yaitu Yhaya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan penduduk maupun pembangunan gudang-gudang megah.
Pada masa pemerintahan Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II dalam mengatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah kekuasaan. Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada tahun 866 M.
Dalam suasana yang mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan. Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar berhasil menguasai wilayah Kawariyyer (qairawan) dan memulihkan ketentraman dengan bantuan ayahnya.
Pada masa Yahya III, pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan aman.
Yahya IV ini berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang lainnya, dan sejak itu dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua kekuasaan besar, yaitu Bani Umayyah dari spanyol dan dinasti Bani Fatimiyah dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.
Setelah masa Yahya IV, saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya. Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin setempat sehingga kekuaaanya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M, sedangkan anak-anak dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah utara (suku Barbar Gumara).
Ada juga satu riwayat yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebebkan oleh Khalifah Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah secara pilitis. Perpecahan tersebut merupakan factor yang membahayakan keberadaan dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan dari dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan Yahya III, dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari kerajaan hingga wafatnya di Madinah. Dengan berakhirnya  Yahya, berakhirnya pula riwayat dinasti Idrisiyah.[7]
Setelah Imam Ali Ibn Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali ra. Terus berjuang untuk memperoleh kekuasaan. Di antara Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman Dinasti Umayah. Dalam perang tersebut, Imam Husen terbunuh di Karbala; dan salah seorang keluarganya, Idris Ibn Abd Allah, melarikan diri ke Mesir dan kemudian pindah ke Maroko di kota Walilia. Di Maroko, ia bergabung dengan Ishaq Ibn ‘Abd al-Hamid (kepala suku Awraba). Kemudian Idris Ibn Abd Allah dibai’at oleh suku Awraba di Maroko sebagai pemimpin mereka; maka berdirilah dinasti Idrisi di Maroko.
Muhammad Ibn Idris sukses memimpin masyarakat Awraba di Maroko sehingga memiliki tentara dan juga dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain. Akan tetapi, keberhasilan Muhammad Ibn Idris membuat khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad merasa khawatir. Oleh karena itu, Harun al-Rasyid mengutus seorang mata-mata yang bernama Sulaiman Jarir. Mata-mata ini kemudian berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris pada tahun 175 H/791 M. setelah berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris, Harun al-Rasyid bersama suku Barbar lainnya mengangkat putra mahkota yang masih muda, Idris Ibn Idris, sebagai khalifah. Idris Ibn Idris dapat memimpin masyarakatnya dengan sukses hingga meninggal tahun 213 H/ 828 M.
Idris Ibn Idris diganti oleh anaknya, Muhammad Ibn Idris Ibn Idris. Muhammad membagi kerajaan menjadi beberapa kawasan; dan disetiap kawasan diberikan kepada saudara-saudaranya untuk dipimpin. Akan tetapi, pembagian wilayah melahirkan perang saudara di kalangan Idrisi sehingga akhirnya mereka berhasil ditaklukan oleh dinasti Fatimiah.[8]

2.      Dinasti Aghlabiyah (184-296 H/800-909 M)
Dinasti Idrisiyah merupakan dinasti pertama pada masa pemerintahan Abbasiyah yang terpisah dari dunia Islam. Sebagimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa terancam dengan hadirnya Dinassti Idrisiyah, kemudian ia mengirimkan Sulaiman bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah.
Dengan daerah Tunisia dan Aljazair sebagai wilayah kekuasaanya, berdirilah Dinasti Aghlabiyah (800-909 M).[9]
Dinasti aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim Ibn Aghlab Ibn Salim, seorang pejabat Khurasan dalam militer abbasiyah. Adanya dinati Aghlabiyah bermula dari penyerahan kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid kepada Ibrahim Ibn Aghlab atas provinsi Ifriqiyyah (Tunisi) dalam rangka  menghadapi dinasti Idrisiyah (berfaham Syi’ah yang memberontak pada Abbasiyah) yang semakin kuat. Ibrahim diberikan otonomi penuh untuk mengatur wilayah tersebut meski harus membayar pajak tahunan ke Baghdad sebesar 40.000 dinar. Ibrahim Ibn aghlab berhasil memadamkan gejolak Kharijiyyah Berber di wilayah mereka.
Secara periodic, dinasti Aghlabiyah ini dipimpin oleh 11 orang amir yaitu: Ibrahim 1 Ibn Aghlab (184-197 H/800-812 M), Abdullah 1 (197-201 H/812-917 M), Ziyadatullah Ibn Ibrahim (201-223 H/817-838 M), Abu Iqbal Ibn Ibrahim (223-226 H/838-841 M), Abu al-Abbas Muhammad (226-242 H/841-856 M), Abu Ibrahim ahmad (242-249 H/856-863 M) Ziyadatullah 11 Ibn Ahmad (249-250 H/863-864 M), Abul Gharaniq Muhammad 11 Ibn Ahmad (250-261 H/864-875 M), Ibrahim 11 Ibn Ahmad (261-289 H/875-902 M), Abu al-Abbas Abdullah 11 (289-290 H/902-903 M), dan Abu Mudhar Ziyadatullaj 111 (290-296 H/903-909 M)
Dinasti Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam konflik berkepanjangan antara Asia dan Eropa. Yang dipimpin oleh Ziyadatullah 1 ia mengirim sebuah ekspedisi untuk merebut pulau yang terdekat dari Tunisia yaitu Sicilia dari Byzantium pada tahun 217 H/827 M). ekspedisi itu dipimpin oleh panglima Asad Ibn Furat, dengan menyerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan 10.000 orang jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar dan juga merupakan peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad kemudian ia meninggal dalam pertempuran ini. Tujuan dari memperluas wilayah Sicilis yaitu untuk berijtihad melawan orang-orang kafir, sebab penguasa Aghlabiyah pertama harus meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan fuqoha Maliki di Qayrawan. Selain itu, ekspedis yang terpenting adalah menyebarnya peradaban islam hingga Eropa. Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi lautan yang menjelajahi pulau-pulau di laut Tengah dan pantai-pantai Eropa seperti pantai-pantai Italia selatan, Sardinia, Corsica, dan Alp. Malta direbut tahun 255 H/868 M.
Dalam bidang ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi didukung oleh stabilitas pemerintahan yang mapan. Hasil-hasil pertanian seperti kurma, gandum, dan zaitun. Sector perindustrian pun telah berkembang seperti industri peralatan  dari besi yang digunakan untuk kapal laut dan senjata, industry kaca, dan industry tenun. Oleh karena itum Qayrawan merupakan pusat perdagangan selain sebagai pusat pemerintahan.
Pada akhir abad ke-9, posisi dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyyah menjadi merosot. Factor penyebab mundurnya Aghlabiyah ini adalah :
1.      Hilangnya hakikat kedaulatan dimana ikatan-ikatan solidaritas sosial semakin luntur. Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai rakyat, memungut iuran Negara, dan mengirimkan angkatan bersenjata.
2.      Amir terakhir tergelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya tertarik pada Syi’ah.
3.      Propaganda Syi’I Abu ‘Abdullah, perintis Fathimiyah, Ubaidilah al-Mahdi, memiliki pengaruh yang kuat di kalangan Berber Ketama, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan militer. Pada tahun 909, kekuatan militer Fatimiyah berhasil menggulingkan penguasa Aglabiyah yang terakhir, Ziyadatullah 111, diusir ke Mesir.[10]

3.      Dinasti Thuluniyah (868-901 M)
Dinasti ini merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang memperoleh hak otonom dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn Thulun, yaitu seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh panglima Thahir bin Al-Husain ke Baghdad untuk dipersembahkan kepda Khalifah Al-Makmun dan diangkat menjadi kepala pegawai Istana.
Ahmad Ibn Thulun ini dikenal sebagai sosok yang dikenal kegagahan dan keberaniannya, dia juga seorang yang dermawan, Hafidz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer.
Pada mulanya,Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah di sana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan Suriah. Pada masa Khalifah Al-Mu’taz Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagai wali di Mesir dan Libya atas bantuan ayah Tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki di belahan barat. Masa ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik pemerintahan Abbasiyah.
Bakbak adalah seorang pemimpin militer yang berkembangsaan Turki yang diberi jabatan wali (setingkat gubernur) untuk kawasan Mesir oleh al-Mu’taz (862-866 M) dari dinasti Bani Abbas. Bakbak kemudian memberikan jabatan tersebut kepada asistennya, Ahmad IBn Thulun pada tahun 254 H/868 M.
Di bawah kepemimpinan Thulun, Mesir menjadi wilayah yang merdeka dari pemerintahan Abasiyah di Irak. Pada waktu itu, dibangun Masjid Jami Ibn Thulun yang masih terpelihara hingga sekarang, dan Fusthath dijadikan pusat pemerintahan. Puncak dinasti Thuluniah di Mesir adalah pada zaman Khumariyah Ibn Ahmad Ibn Thulun (270-282 H/883-895 M). Setelah Khumariyah meninggal, terjadi konflik internal yang menghancurkan ekonomi dan militer Thuluniyah. Dalam situasi konflik internal Thuluniyah, dinasti Bani abbas berhail menundukkan dinasti Thulun.[11]
Keberadaan dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat, apalagi setelah adanya ikatan kuat melalui perkawinan antara Ahmad Ibn Thulun dengan saudara Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang diperolah Thuluniyah. Ahmad Ibn Thulun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz di Semenanjung Arabia hingga Palestina dan Siria, yaitu pada tahun 878 M, serta wilayah Sisilia di Asia Kecil pada tahun 879 M.
Pada masa kekuasaan terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitan yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu, Syaiban itu, syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte tersebut, dan bersamaan dengan itu pula Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan untuk menaklukkan Dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih hidup ke Baghdad, setelah ditaklukkan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.
4.      Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M)
Dinasti Ikhsidiyah ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar Al-Ikhsyid (pangeran) pada tahun 939 M. Muhammad Ibn Tughi diangkat menjadi seorang gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat di Afrika Utara.
Dinasti IKhsidiyah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyokong dan memperkuat wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat kuat karena ditopang dengan kemiliteran Ikhsisiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadinya.
Pada masa dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah intelektual, seperi mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di masjid-masjid dan rumah para mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang sangat berperan dalam pendewasaan pendididkan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun sebuah pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal dengan nama Syuq Al-Waraqin.
Ada bebrapa factor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena serangan terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum penaklukan oleh Fatimiah, telah terjadi pula penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M. selain itu juga, terjadi penyekapan jamaah haji Mesir serta serbuan orang-orang Nubia yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.
5.      Dinasti Hamdaniyah (972-1152 M)
Dinasti ini didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang Amir dari suku Taghlib. Putranya Al-Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan abu Al-Haija Abdullah diangkat menjadi gubernur Maosul oleh khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M.
Pada masa hidupnya, Abu Hamdaan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh khalifah Abbasiyah karena beraliansi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas. Akan tetapi atas jasa putranya, Husain IBn Hmadun diampuni oleh Khalifah Abbasiyah.
Wilayah kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mousul dan wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb, terkenal sebagai pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula, muncul tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang menggeluti dibidang ilmu Nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn Nashr Ad- Daulah, abu A’La Al Ma’ari, dan Syaif Ad-Daulah sendiri yang mendalami lmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.
Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat bebarapa faktor :
1.      Meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya yang tidak bertanggung jawab dan sikapnya yang destruktif tetap ia jalankan. Dengan sikap seperti itu, Suriah, dan Aljazirah ,merasa menderita  karena kerusakan yang ditimbulkan oleh peperangan. Hal inilah yang menjadikan kurangnya simpati masyarakat dan wibanya jatuh.
2.      Bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah di Suriah menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari invasi wilayyah kekuasaanya dari serangan Bizantium yang energik. Invasi yang dilakukan oleh Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo dan Himsh terlepas dari wilayah kekuasaannya, hingga Dinasti Hamdaniyah menjadi lumpuh.
3.      Kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan, juga melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini mengakibatkan terbunuhnya Said Ad-Daulah yang tengah memegang tumpuk kekuasaan Dinasti Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada dinasti Fatimiah.

Setelah mencermati uraian yang cukup panjang mengenai dinasti-dinasti kecil d barat Baghdad, kiranya dapat diambil beberapa catatan berikut. :
1.      Paling tidak, terdapat lima latar sosial politik munculnya dinasti-dinasti kecil di Barat Baghdad, yaitu :
1)      Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan politisasi, sehingga memberikan banyak peluang terhadap wilayah-wilayah atau provinsi-provinsi tertentu yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melepaskan dan memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah.
2)      Karena peta kekuaaan abbasiyah yang tidak diakui oleh Spanyol dan seluruh afrika Utara, kecuali Mesir, bahkan dalam kenyataannya banayk daerah yang tidak disukai oleh khalifah, sehingga peta kekuasaan tersebut membuat daerah-daerah yang jauh itu mendirikan dinasti-dinasti kecil
3)      Masalah fanatisme atau ras kebangsaan (Syu’ubiyat) yang membuat mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah sampai memperluas kekuasaanya.
4)      Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkontol karena yang memberikan hak berada jauh dari pemerintahan pusat, dan
5)      Terlalu luasnya kekuasaan abbasiyah.
2.      Bahwa proses pelepasan daerah-daerah kecil itu memakai salah satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang angkat menjadi gubernur oleh khalifah untuk menjadi pemimpin kekuasaan kecil dan seorang pemimpin lokal itu dituntut untuk memimpin suatu pemberontakan sehingga mendapatkan kemerdekaan penuh.
3.      Bahwa munculnya dinasti-dinasti kecil ini, meskipun banyak mengancam terhadap kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak memberikan konstribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan, kebudayaan, sehingga perluasan wilayah, juga memberikan kontribusi terhadap pemerintahan pusat untuk mengantisipasi serangan dari pihak luar.[12]

6.      Dinasti Fatimiyah (909-1171 M)
Dinasti fatimiyah merupakan pengejawantahan terlembaga sekte Syiah Islamiyah dalam realitas sejarah. Gerakan islamiyah terdiri dari kelompok syiah yang berpendapat bahwa Ismail Ibn Ja’far ash-Shadiq (w.765 M), bukannya Musa, yang berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka. Istilah dinasti Fatimiyah diambil dari nama Fatimah az-zahra, putra Nabi saw. Dan isstri Ali Ibn abi  Thalib melalui garis Ismail putra Ja’far ash-Shadiq. Pelekat dasar sekaligus pendiri dinasti ini adalah Ubaidillah al-Mahdi putra Husein Ibn Ahmad Ibn Abd Allah Ibn Muhammad Ibn Ismail Ibn Ja’far ash-Sahdiq. Lawan-lawannya dari sunni menyebut dinasti Ubadiyah, keturunan Ubaidillah al-mahdi. Menolak adanya hubungan dengan Ali.
Kemajuan yang dicapai pada bidang kebudayaan adalah didirikannya Masji al-Azhar yang berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan, yang dimanfaatkan oleh kelompok Syiah maupun Sunni. Untuk memajukan ilmu pengetahuan, khalifah mengundang para ahli diantaranya ahli matematika kenamaan Ibn Haytam al-Basri untuk mengunjungi Kairo. Selain itu, muncul ahli sejarah seperti Ibn Zulak, al-Musabbihi, al-Kuda’I, dan penulis kitab al-Dirayat, al-shabushi; pustakawan al-muhallabi; dan ahli geografi, Ibn al-Makmun al-Bata’ihi.
Khalifah dinasti fatimiyah beraliran syiah Islamiyah, naamun mayoritas rakyatnya tetap sunni dan menikmati sebagian besar kebebasan keagamaan mereka. Selama berkuasa dinasti ini dipimpin oleh 14 orang khalifah.
Pemerintah dinasti fatimiyah yang berlangsung 262 tahun, antar 297 H/909 M sampai 567 H/1171 M, pada akhirnya tidak dipertahankan lagi karena factor-faktor intem, sebagai penyebab dominan kemunduran khalifah fatimiyah. Adapun kehancuran dinasti fatimiyah diakibatkan adanya serangan yang dilakukan Nuruddin al-Zangki, penguasa Syiria, di bawah panglima Syirkuh yang dibantu keponakannya (Shalahuddin al-Ayyubi) mengalahkan tentara shalib tahun 564 H/1169 M. syirkuh menjadi wazir selama 2 bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan Shalaluddin al-Ayyubi. Tahun 567 H/1171 M, Shalaluddin al-ayyubi menghapuskan dinasti Fatimiyah atas desakan Baghdad dan menggantikannya denga dinasti Ayyubiyah yang berorientasi ke Baghdad.[13]



BAB III
PENUTUP
3.1  Simpulan
Kemunculan dinasti-dinasti kecil paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama, pemimpin local melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk anaknya sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang relative singkat, baik di sebelah barat maupun timur Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan lepas dari control langsung Baghdad.
Terdapat dinasti-dinasti kecil di bagian Timur dan Barat Baghdad antara lain :
Dinasti-dinasti kecil Di bagian Timur Yaitu :
1.      Dinasti Thahiri (200-259 H/820-872 M)
2.      Dinasti Saffariah (862-903 M)
3.      Dinasti Samaniyah (875-1004 M)
4.      Dinasti Gaznawi
5.      Dinasti Buwaihi
6.      Dinasti Saljuk
Dinasti-dinasti kecil Barat yaitu :
1.      Dinasti Idrisiyah (789-926 M)
2.      Dinasti Aghlabiyah (800-909 M)
3.      Dinasti Thuluniyah (868-905 M)
4.      Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M)
5.      Dinasti Hamdaniyah (972-1152M)
6.      Dinasti Fatimiyah .

DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Al-Usairy.
2011    Sejarah Islam sejak zaman nabi Adam hingga Abad XX. Akbar Media, Jakarta Timur.
Dedi Supriyadi.
2008    Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Jaih Mubarak.
2004    Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani Quraisy, Bandung.
Maslani.
2010    Sejarah Peradaban Islam, Insan Mandiri, Bandung.




[1] Drs. Maslani M.Ag. 2010 hlm 127
[2] Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008 hlm145
[3] Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 132
[4] Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008 hlm 145
[5] Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 134
[6] Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 135-152
[7] Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008) hlm 156
[8] Dr. Jaih Mubarak. M.ag. Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm. 152
[9] Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008) hlm 161
[10] Drs. Maslani M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Insan Mandiri 2010)hlm 127
[11] Dr. Jaih Mubarak. M.ag. Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm. 154

[12] Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008) hlm 155-169
[13]Drs. Maslani M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Insan Mandiri 2010)hlm 127-130

1 komentar:

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.