KATA PENGENTAR
Segala puji hanya
milik Allah SWT, Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Rasulullah SAW. Berkat
limpahan dan Rahmat-Nya kami dari kelompok 6 mampu menyelesaikan tugas makalah
ini guna memenuhi tugas mata kuliah Sejarah Peradaban islam.
Dalam penyusunan tugas atau makalah ini, tidak sedikit hambatan
yang kami hadapi. Namun kami menyadari bahwa kelancaran dalam penyusunan
makalah ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan orang tua maupun
teman-teman, sehingga kendala-kendala yang kami hadapi teratasi. Makalah ini
disusun agar pembaca dapat mampu memperluas pengetahuan mengenai
Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad.
Makalah yang kami sajikan berdasarkan dari buku, referensi mengenai.
Dinasti-Dinasti Kecil di Baghdad. Semoga makalah ini dapat memberikan
pengetahuan yang baru kepada pembaca. Kami sadar bahwa makalah ini banyak
kekurangan dan jauh dari sempurna. Untuk itu kepada Bapak Dosen maupun pembaca,
kami meminta masukannya demi perbaikan makalah ini.
Bandung, April 2013
Penulis
BAB
1
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Dinasti-dinasti
kecil di sini yang dimaksud adalah semua wilayah yang biasanya disepakati oleh
seorang wali atau amir (gubernur) atas penunjukkan pemerintah pusat Baghdad.
Hubungan antara keduanya secara structural bersifat vertikal konsultatif.
Wilayah menjalankan pemerintahannya sejalan dengan pemerintah pusat. Wilayah
tersebut sedikit demi sedikit memperoleh otonomi penuh atau sengaja melepaskan
diri dari pemerintahan pusat (disintegration) sehingga oleh para
sejarawan disebut dinasti-dinasti kecil (Smaller dynasties).
Oleh
karena itu, dinasti-dinasti baru tersebut secara geografis terletak di sebelah
Barat dan Timur pemerintahan pusat ( Baghdad ), maka sebagian sejarawan
menyebutnya dinasti-dinasti kecil di Barat dan Timur Baghdad.
Dalam
makalah ini penulis menggunakan Klasifikasi pertama, yaitu dinasti-dinasti
dibagi menjadi dua kelompok besar; yaitu Barat dan Timur Baghdad. Kelompok
Barat meliputi dinasti-dinasti Idrisiyah (789-926 M), dinasti Aghlabiyah
(800-909 M), dinasti Thuluniyah (868-905 M), dinasti Ikhsidiyah (935-969 M),
dinasti Hamdaniyah (972-1152 M). Sedangkan dinasti Timur meliputi dinasti
Thahiri (200-259 H), dinasti Saffariah (867-903), dinasti Samaniyah (875-1004
M), dan kondisi sosial, politik, dan Ekonomi Dinasti-Dinasti kecil di Timur.
Tetapi pembahasan dalam makalah ini hanya focus pada Dinasti-Dinasti Kecil di
Barat Baghdad.
1.2 Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
kemunculan Dinasti-dinasti Kecil di Baghdad ?
2.
Apa saja
kelompok-kelompok Dinasti-dinasti Kecil di Timur Bagdad ?
3.
Apa saja
kelompok-kelompok Dinasti-dinasti Kecil di Barat Bagdad ?
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 KEMUNCULAN DINASTI-DINASTI KECIL DI BAGHDAD
Kemunculan
dinasti-dinasti kecil paling sedikit mempunyai dua pola. Pertama, pemimpin
local melakukan suatu pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan
penuh. Kedua, seseorang yang ditunjik menjadi gubernur oleh khalifah
menjadi sedemikian kuatnya sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk
anaknya sebagai pengganti. Atas dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang
relative singkat, baik di sebelah barat maupun timur Baghdad bermunculan
dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan lepas dari control langsung Baghdad.[1]
Faktor-faktor
yang mendorong berdirinya dinasti-dinasti kecil ini, yaitu :
1.
Adanya
persaingan jabatan khalifah di antara keluarga raja dan munculnya sikap
ashabiyah antara keturunan Arab dan non-Arab, tepatnya persaingan Arab dan
Persia.
2.
Tumbuhnya
dinasti-dinasti yang memisahka diri dari kekuasaan pemerintahan pusat Baghdad
ini tidak terlepas dari persaingan antara Bani Hasyim dan Bani Umayah dan
munculnya Bani Ali, yang merupakan pecahan dari Bani Hasyim.[2]
2.1 DINASTI-DINASTI KECIL DI TIMUR BAGHDAD
1.
Dinasti
Thahiri (200—259 H./820-872 M.)
Sebelum
meninggal, Harun al-Rasyid telah menyiapkan dua anaknya yang diangkat menjadi
putra mahkota untuk menjadi khalifah : Al-Amin dan al-Ma’mun. al-Amin dihadiahi
wilayah bagian barat; sedangkan al-ma’mun dihadiahi wilayah bagian timur.
Setelah Harun al-Rasyid wafat (809 M), al-Amin putra mahkota tertua tidak
bersedia membagi wilayahnya dengan al-Ma’mun. oleh karena itu, pertempuran dua
bersaudara terjadi yang akhirnya dimenangi oleh al-Ma’mun, setelah perang usai,
al-Ma’mun menyatukan kembali wilayah Dinasti Bani Abbas. Untuk keperluan itu,
ia didukung oleh Tahir panglima militer, dan saudaranya sendiri, yaitu
al-Mu’tashim.
Sebagai
imbalan jasa, Tahir diangkat menjadi panglima tertinggi tentara Bani Abbas dan
Gubernur Mesir (205 H). wilayah kekuasaannya kemudian diperluas sampai ke
Khurasan (820-822 M) dengan janji bahwa jabatan itu dapat diwariskan pada
anak-anaknya.[3]
Dinasti
ini didirikan oleh Thahir Ibn Husain (150-207 H), seorang yang berasal dari
Persia, terlahir di desa Musanj dekat Marw. Ia diangkat sebagai panglima
tentara pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun. ia telah banyak berjasa
membantu Al-Ma’mun dalam menumbangkan Khalifah Al-Amin dan memadamkan
pemberontakan kaum Alwiyin di Khurasan. Pada mulanya, Al-Ma’mun memberikan
kesempatan kepada Thahir untuk memegang jabatan gubernur di Mesir pada tahun
205 H. kemudian dipercaya pula untuk mengendalikan wilayah timur. Thahir Ibn
Husain yang memerintah pada tahun 205-207 H, menjadikan kota Marw sebagai
tempat kedudukan gubernur. Setelah ia wafat, jabatan gubernur dilimpahkan oleh
khalifah kepada anaknya, yaitu Thalhah Ibn Thahir yang memerintah selama 6
tahun, yaitu sejak 207-213 H.
Setelah
Thalhah, kekuasaan berpindah ke tangan penerusnya, yaitu Abdullah Ibn Thahih
dan merupakan pemegang jabatan gubernur Khurasan terlama (213-248 H). selama
memegang pemerintahan setingkat gubernur. Dinasti Thahiri mempertahankan
hubungan baik dan setia kepada pemerintahan Abbasiyah di Baghdad. Bahkan,
daerah Mesir pun diserahkan oleh Al-Ma’mun kepada penguasaan Abdullah Ibn
Thahir pada tahun 210 H. yang pada waktu itu sempat menimbulkan gejolak. Karena
hubungan dekat dan kepercayaan yang diberikan Al-Ma’mun cukup besar, wilayah
kekuasaan Abdullah diperluas sampai ke daerah Suriah dan Jazirah.
Pada
tahun 213 H. wilayah kekuasaan Abdullah Ibn Thahir dikurangi dan Al-ma’mun
menyerahkan Suriah, Mesir, dan Jazirah kepada saudaranya sendiri, yaitu Abu
Ishak Ibn Harun Ar-Rasyid.
Sesudah
Abdullah Ibn Thahir, jabatan gubernur Khurasan depegang oleh saudaranya, yaitu
Muhammad Ibn Thahir (248-259 H). ia merupakan gubernur terakhir dari keluarga
Thahiri. Kemudian daerah Khurasan diambil alih oleh keluarga Saffari melalui
perjuangan bersenjata. Keluarga Saffari merupakan saingan kaluarga Thahiri di
Sijistan.
Akan
tetapi, ketika Dinasti Thahiri di Khurasan mendekati masa kemunduran, tampaknya
keluarga Abbasiyah menunjukkan perubahan sikap. Mereka mengalihkan perhatiannya
kepada keluarga Saffari yang mulai menggerogoti dan melancarkan gerakan untuk
menguasai Khurasan.
Dalam
keadaan mulai melemah, keluarga dan pengikut Alawiyin di Tabaristan menggunakan
kesempatan untuk memunculkan gerakan mereka. Bersamaan dengan gerakan Saffari
yang terus mendesak kekuasaan Tahbari dari arah selatan, pada tahun 259 H,
jatuh dan berakhirlah Dinasti Thahiri. [4]
2.
Dinasti
Saffariah (867-903 M.)
Dinasti
Saffari didirikan oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar yang berkuasa antara tahun
867-878 M. Ya’qub Ibn Laits al-Shafar
adalah perwira militer yang kemudian diangkat menjadi amir wilayah Sjistan pada
zaman khalifah al-Muhtadi (869-970 M.). Ya’qub Ibn Laits al-shafar mendapat
dukungan dari khalifah al-Mu’tamid (870-892 M.) untuk memperluas wilayah
kekuasaanya hingga berhasil menaklukkan Blakh, Tabaristan, Sind, dan Kabul.
Penaklukan yang dilakukannya membuat Ya’qub Ibn Laits al-Shafar semakin kuat
dan mengirimkan hadiah kepada khalifah di Baghdad; dan bahkan ia pun didukung
untuk menaklukkan dinasti Tahiri di Khurasan. Akan tetapi, penaklukan
wilayah-wilayah yang dilakukan oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar membuat khalifah
di Baghdad khawatir. Oleh karena itu, khalifah al-Mu’tamad (256-279 H./870-892
M.) menaklukan Safari yang dipimpin oleh Ya’qub Ibn Laits al-Shafar; Ya’qub
menantang khalifah dan menuntut kemerdekaan wilayahnya. Setelah meninggal,
Ya’qub digantikan oleh saudaranya, Amr Ibn al-Laits (878-903 M.). Atas bantuan
Isma’il Ibn Ahmad al-Samani, khalifah Baghdad berhasil menangkap Amr Ibn
al-Laits; kemudian ia dipenjara di Baghdad hingga meninggal pada zaman khalifah
al-Mu’tadhid (870-892 M.). Atas dasar itulah, Khalifah menjadikan dinasti
Samani sebagai penguasa Khuarasan.[5]
Pada
saat khalifah Baghdad dipegang oleh Al-Mu’tadhid, Baghdad tetap mengakui
kekuasaan Amr, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan istana. Pembesar
istana menahan Amr, kemudian memeberikan kekuasaaannya kepada cucunya, Thahir
Ibn Muhammad Ibn Amr. Setelah Thahir Ibn Muhammad Ibn Amr, kekuasaan diberikan
kepada saudaranya Al-Laits Ibn Ali Ibn Al-Laits, tetapi khalifah ini berhadapan
dengan As-Sabakri, yaitu pembantu Amr Ibn Al-Laits. Pada saat inilah terjadi
perebutan kekuasaan dan berakhirlah riwayat Dinasti Saffariah.
3.
Dinasti
Samaniyah (875-1004 M)
Untuk menelusuri kekuasaan Samani, kita harus kembali pada zaman
Al-Makmun yang membagi-bagi wilayah kepada para pendukungnya bersamaan degan
pemberian wilayah kepada Tahiri di Khurasan. Pembagian wilayah dan amirnya pada
zaman Al-Makmun dapat dilihat pada gambar berikut:
Gambar 11:
Pembagian Wilayah pada Zaman al-Ma’mun
No
|
Wilayah
|
Gubernur (Amir)
|
1.
|
Transoxiana
|
Asad Ibn
Saman
|
2.
|
Samarqand
|
Nuh Ibn Asad
|
3.
|
Farganah
|
Ahmad Ibn
Saman
|
4.
|
Syashy dan
Asyrusanah
|
Yahya Ibn
Asad
|
5.
|
Hirrah
|
Ilyas Ibn Asad
|
Asad Ibn Saman diberi kewenangan
oleh Al-Makmun untuk memimpin daerah Trassoxiana. Kemudian dinasti kecil ini
menaklukan wilayah-wilayah di sekitarnya sehingga berhasil menguasai
Transoxiana, Khurasan, Sajistan, Karman, Jurjan, Rayy, dan Tabaristan. Dinasti
Samani berkuasa hingga Khurasan setelah berhasil membantu khalifah Al-Mutaaddid
(Dinasti Abbasiyah) menangkap dan memenjarakan Amr Ibn Al-Laits (khalifah
Dinasti Safari terakhir).
Pada waktu itu lahir ulama besar
yang juga melhirkan karya-karya besar. Diantara mereka adalah Al-Firdausi, Umar
Hayyam, Ibn Sina, Al-Biruni, Jakaria, Ar-Razi, dan Al-Farabi.
a.
Zakaria
Al-Razi (865-925 M)
Al-Razi
terkenal dengan Razhes (bahasa latin). Beliau adalah ahli kedokteran klinis,
dan penerus Ibn Hayyan dalam pengembangan ilmu kimia. Ia melakukan penelitian
empiris dengan menggunakan peralatan yang lebih canggih disbanding dengan
kegiatan ilmiah sebelumnya dan mencatat setiap perlakuan kimiawi yang
dikenakannya terhadap bahan-bahan yang ditelitinya serta hasilnya.
b.
Al-Farabi
(870-950 M)
Al-Farabi dikenal di Barat dengan nama Al-Farabius adalah filosof
yang juga ahli dalam bidang logika, matematika, dan pengobatan. Dalam bidang
fisika, Al-Farabi menulis kitab Al-musiqa: kitab-kitab yabg ditulisnya begitu
banyak dan sebagian masih dapat dibaca hingga sekarang ini.
c.
Al-Biruni
(973-1048 M)
Al-Biruni
(AAl-Beruni) adalah Abu Raihan Muhammad Al-Biruni. Ia tinggal di istana Mahmud
di Gazni (Afganistan). Akbar S.Ahmed menjulukinya dengan gelar ahli antropologi
pertama (bapak antropologi). Argumentasinya adalah Al-Biruni merupakan
observasi partisipan yang luas tentang masyarakat “asing” dan berupaya
mempelajari naskah primer dan pembahasannya. Di samping sebagai antropolog,
Al-Biruni juga ahli matematika, astronomi, dan sejarah.
d.
Ibn
Sina (980-1037 M)
Nama
latin Ibn Sina adalah Avicenna : beliau adalah ahli ilmu kedokteran dan
filsafat. Karya besarnya dalam bidang kedokteran adalah Al-Qanun fi At-tib.
e.
Umar
Hayyan (1038-1148 M)
Umar
Hayyan adalah ahli astronomi, kedokteran, fisika, dan sebagian besar karyanya
dalam bidang matematika. Akan tetapi, beliau lebih dikenal sebagai penyair dan
sufi. Belaiu adalah penemu koefisien-koefisien binomial dan memecahkan
persamaan-persamaan kubus.
4.
Dinasti
Gaznawi
Abd Al-Malik Ibn Nuh
(khalifah dari Dinasti Samani) mengangkat Alptigin untuk menjadi pengawal
kerajaan. Karena kesetiaannya yang baik, ia diangkat menjadi gubernur (amir)
Khurasan. Alptigin hanya setia kepada Abd Al-Malik Ibn Nuh. Ketika Abd Al-Malik
wafat, ia tidak mentaati khalifah Dinasti Samani yang baru, yaitu Mansur Ibn
Nuh (pengganti Abd Al-Malik Ibn Nuh. Pada tahun 963 M, Alptigin wafat dan
digantikan oleh putranya, Ishak. Akan tetapi, kekuasaannya kemudian direbut
oleh Baltigin, dan Baltigi digantikan oleh Firri: Firri kemudian diserang oleh
sabuktigin dan ia berhasil menguasai Gazna [ada tahun 977 M. Sabuktigin dianggap
sebagai pendiri Dinasti Gaznawi yang sebenarnya. Akan tetapi, Sabuktigin masih
tunduk kepada Dinasti Samani, yaitu Nuh Ibn Mansur.
a. Perluasan
Wilayah
Dalam rangka
maemperkuat Dinasti Gaznawi, Sabuktigin melakukan penaklukan wilayah di
sekitarnya. Daerah-daerah yang ditaklukan Sabuktigin adalah Punjab (India), dan
Kabul (Afganistan). Pada tahun 997, Sabuktigin wafat. Ia digantikan oleh
anaknya Ismail. Akn tetapi kepemimpinan Ismail di kudeta oleh saudaranya
Mahmud. Mahmud mulai memakai gelar Sultan (sebelumnya bergelar amir) dan
menyatakan diri tunduk kepada khalifah Abbasiyah (Al-Kodir billah). Antara
tahun 1001 hingga 1024 M, Mahmud Al-Gaznawi juga melakukan perluasan wilayah
dengan menaklukan Lahore, Multan, dan sebagian daerah Sind. Setelah itu, ia
menaklikan Gujarat (1025 M), Khawarizmi, Georgia, dan Rayy (1026 M). akhirnya
kekuasaan Dinasti Gaznawi meliputi India Utara, Irak, Persia, Khurasan,
Turkistan, sbagian Transoxiana, Sijistan, Tepi sugai Gangga, dan Punjab
(sekarang kaistan).
b. Kemajuan
Ilmu Pengetahuan
Pada zaman kejayaan
Al-Gaznawi, muncul sejumlah ulama yang memiliki karya besar. Diantara mereka
adalah :
1. Firdausi.
Karyanya yang tebesar adalah Sah-nama (Kitab syair terdiri atas 60.000 bait).
2. Al-Biruni.
Ia adalah ahli matematika, astronomi, ilmu alam, dan sejarah. Ia adalah salah
seorang ilmuwan yang mendapat perlindungan dari Mahmud Al-Gaznawi.
Mamud Al-Gaznawi meruoakan khalifah
terbaik Dinasti Gaznawi. Pada tahun 1030 M Mahmud Al-Gaznawi wafat dan din
gantikan oleh putranya Muhammad. Akan tetapi, kepemimpinan Muhammad ditolak
oleh saudaranya Mas’ud, sehingga terjadi pertikaian diantara keduanya yang
dimenangkan oleh Mas’ud.
5.
Dinasti
Buwaihi
Dinasti Buwaihi
dirintis oleh tiga bersaudara: Ali, Hasan, dan Ahmad yang berasal dari Dailam.
Bapak mereka adalah Abu Syujai Al-Buwaihi. Tiga saudara ini dalam sejarah
dikenal sebagai tentara bayaran. Ketika terjadi perang antara makan Ibn Kaki
Al-Dailami dengan Mardawij; tiga bersaudara ini membelot dari makan dan
berpihak ketipad Mardawij dengan alasan, makan Ibn Kaki Al-Dailami tidak lagi
mampu membayar mereka. Mardawij menyambut baik keperpihakan mereka.
a. Pembentukan
Khalifah Boneka
Ketika berkuasa di
Bagdad, khalifah Bani Abbas dijadikan penguasa simbolik (De Jure), dan
pengendalian pemerintah secara De Facto berada di tangan para amir. Tiga
bersaudara ini memiliki daerah kekuasaan masing-masing. Ahmad Ibn Buwiahi
berkuas di Bagdad; Ali Ibn Buwaihi (Imad Al-Daulat) berkuasa di Pars; dan Hasan
Ibn Buwaihi (Rukn Ad-Daulat berkuasa di Jibal), Rayy, dan Isfahan.
Bani Buwaihi melucuti
kekusaan politik dan sumber-sumber material para khalifah. Mereka menjadikan
khlifah sebagai pemimpin agama dan sekaligus menjadi alat yang dapat mereka
gunakan untuk mencapai ambisi meraka. Keunikan Bani Buwaihi adalah bahwa para
Amir Nuwaihi penganut Syi;ah, tetapi mereka tidak menghapuskan khalifah
(sunik).
Ahmad Ibn Buwaihi
meninggal karena sakit (356 H) dan diagnti oleh anaknya, Bahtiar (356-367 H/
967-978 M) dengan gelar Izz Al-Daulat. Bahtiar bersik]kisih dengan khalifah
Al-Mu’ti karena khalifah tidak mengijinkan penggunaan dana Negara u ntuk mlawan
pasukan Romawi.
b. Kemajuan Buwaihi
Ditandai dengan :
pertama, pembangunan rumah sakit “bimaristan al-adhudi” yang memiliki 24 tenaga
medis, dan rumah sakit ini duijadiakan pusat studi kedokteran. Rumah sakit ini
didirikan pada tahun 978 M. Kedua, pembangunan sekolah-sekolah dan
observatorium di Bagdad, Syiraz, Rayy, dan Isfahan, serta gerakan terjemahan
yang dipelopori oleh Al-Hud Al-Daulah. Pada zamannya, Al-Hud Ad-Daulah menerapkan
dua criteria dalam pemilihan materi: a. kemampuan manjrial; dan b. kemampuan
retorika. Oleh karena itu,
wajar bila para mentri Buwaihi pandai dalam sastra. Ketiga,
pada masa ini muncul penyair ternama, yaitu Bu Ali Al-Farisi yang menulis kitab
Al-Idhah (book of explanation) yang didedikasiakan pada Ad-Hud Al-Daulah.
Keempat, pada fase ini lahir sejumlah pakar yang hingga hari ini karyanya masih
dijadikan rujukan, mereka adalah:
1. Ibn
sina
2. Ibn
Masykawaih
3. Istakhri
4. Nasawi
5. Kelompok
Ikhwan Al-Shafa
6. Al-Khawarizmi
7. Ibn
Khaitsman
c. Kemunduran
dan akhir Dinasti Buwaihi
Dinasti Buwaihi
sepeninggalan Muiz Al—Daulah dilanda konflik iternal. Perebutan kekuasaan di
dalam tubuh Dinasti Buwaihi menjadi sebab kemunduran dinasti ini. Di samping
itu, Buwaihi juga tidak dapat menagatasi perasaingan di tubuh militer yang
berasal dari dua suku: Dailam dan Turki Saljuk. Salah satu peristiwa pentingnya
adalah abatan Malik Abd Al-Rahim sebagai amir Al-Umara berusaha direbut oleh
panglimanya sendiri, Al-Seran Basasiri yang kemudian memperlakukan Malik Abdu
Al-Rahim dan khalifah Al-Qoim dengan semena-mena.
6.
Dinasti
Saljuk
a. Asal-usul Saljuk
Dinasti Saljuk
dinisbahkan kepada Saljuk Ibn Tuqaq. Tuqaq (ayah Saljuk) adalah pemimpin suku
Oghus (Ghuzz atau Oxus) yang menguasai wilayah Turkestan, tempat mereka
tinggal. Saljuk Ibn Tuqaq pernah menjadi panglima imperium Ulghur yang
ditempatkan di selatan lembah Tahrim dengan Kashgar sebagai ibu kotanya. Karena
merasa tersaingi kewibawaan, permaisuri raja Ulghur merencanakan pembunuhan terhadap
Saljuk. Akan tetapi, sebelum dapat direalisasikan, rencana itu sudah diketahui
oleh Saljuk. Dalam rangka menghindari pembunuhan, Saljuk dan orang-orang yang
setia kepadanya menyelamatkan diri dengan melarikan diri kea rah Barat, yaitu
daerah Jundi (Jand), suatu daerah yang merupakan bagian dari asia Kecil yang
dikuasai dinasti Samaniyah yyang dipimpin oleh Amr abd al-Malik Ibn Nuh
(954-961 M). Amr Abd al-Malik Ibn Nuh mengizinkan Saljuk tinggal di Jundi, Nuh,
saljuk dan pengikutnya memeluk islam aliiran sunni sesuai dengan aliran yang
dianut oleh masyarakat setempat.
b.
Tugril Bek : Pendirian Diinasti Saljuk
Sepeninggal saljuk,
pemimpin suku dipegang oleh Mikail. Akan tetapi, ia pun gugur ketika melawan
dinasti Ghaznawi yang hendak merebut Khurasan dari Samaniyah. Setelah wafat,
Mikail digantikan oleh anaknya, Tugril Bek. Tugril Bek, karena dinasti Samani
sudah mulai melemah, berhasil menguasai Merv (ibu kota Khurasan), Jurzan,
Tibristan, Dailam dan Karman (1037 M).
c. Saljuk Menguasai Baghdad
Di Baghdad terjadi
penindasan yang dilakukan oleh dinasti Buwaihi terhadap khalifah Bani abbas.
Karena bertikai dengan Malik abd al-Rahman, Arselan Basasiri (panglima militer)
mengundang dinassti Fatimiyah untuk menguasai Baghdad. Hal itu membuat khalifah
khawatir dan akhirnya meminta bantuan Tugril Bek yang berkuasa di Jibal. Pada
tanggal 18 Desember 1055 (447 H), Tugril Bek memasuki Baghdad. Pertempuran
terjadi antara pasukan Tugril Bek dengan pasukan Arselan al-Basasiri.
d. Kemajuan Saljuk
Dinasti saljuk tercatat
sebagai dinasti yang sukses dalam membangun masyarakat ketika itu. Di antara
kegiatan yang dilakukannya adalah: (1) Memperluas majid al-Haram dan masjid
al-Nabawi; (2) pembangunan rumah sakit di Naisafur; (3) pembangunan gedung
peneropong bintang; dan (4) pembangunan sarana prndidikan.
e. Pemicu Perang salib
Setelah berhasil
menguasai Baghdad, dinasti Saljuk melakukan ekspansi hingga menguasai Asia
Kecil (Turki sekarang) dan menguasai wilayah-wilayah yang sebelumnya dikuasai
Bizantium. Perang terjadi antara pasukan saljuk dengan pasukan Bizantium.
Apabila ada orang Bizantium dan Eropa yang hendak beribadah ke Bait al-Maqdis
di Yerussalem; hartanya dirampas oleh Saljuk.
f. Kemunduran dan Akhir Dinasti Saljuk
Dinasti Saljuk dilanda
konflik internal dan akhirnya wilayah kekuasaanya dibagi-bagi menjadi
kesultanan-kesultanan yang dikendalikan oleh para atabek (para budak yang
menjadi pembesar Negara). Malik Syah meninggalkan sejumlah anak; Barkiyaruk,
Muhammad, Sanjar, dan Mahmud. Ketika Barkiyaruk menjadi Sanjar seringkali
berusaha merebut kekuasaan. Setelah Sanjar meninggal, saljuk menjadi
kesultanan-kesultanan.
Secara eksternal, Eropa
yang merasa ditindas oleh Saljuk melakukan perlawanan. Karena serangan-serangan
dari Bizantium dan Eropa, saljuk menjadi lemah. Kelemahan Saljuk diperparah
lagi dengan adanya gerakan dinasti Khawarizm yang berusaha merebut daulat
Abasiyah dari tangan Saljuk. Dinasti Saljuk di Baghdad berakhir dan dilnjutkan
oleh Atabek.[6]
2.3 DINASTI-DINASTI KECIL DI BARAT
BAGHDAD
1.
Dinasti
Idrisiyah (789-926 M)
Dinasti ini didirikan
oleh salah seorang penganut syi’ah, yaitu Idris bin Abdu;llah pada tahun 172
H./789 M. dinasti ini merupakan dinasti Syi’ah pertama yang tercatat dalam
sejarah berusaha memasukkan syi’ah ke daerrah Maroko dalam bentuk yang sanagt
halus.
Muhammad bin Idris
merupakan salah seorang keturunan Nabi Muhammad saw, yaitu cucu dari Hasan,
putra Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, dia mempunyai hubungan dengan garis
imam-imam Syi’ah. Dia juga ikut ambil bagian dalam perlawanan keturunan Ali di
Hijaz terhadap Abbasiyah pada tahun 169/786. Dan terpaksa pergi ke Mesir,
kemudian ke Afrika Utara, di mana prestise keturunan Ali membuat para tokoh
Barbar Zenata di Maroko Utara menerimanya sebagai pemimpin mereka. Berkat
dukungan yang sangat kuat dari suku Barbar inilah, dinasti Idrisiyah lahir dan
namanya dinisbahkan dengan mengambil Fez sebagai pusat pemerintahannya.
Ada dua alasan mengapa
Dinasti Idrisiyah muncul dan menjadi dinasti yang kokoh dan kuat, yaitu karena
adanya dukungan yang sangat kuat dari bangsa Barbar, dan letak geografis yang
sangat jauh dari pusat pemerintahan Abbasiyah yang berada di Baghdad sehingga
sulit untuk ditaklukkannya.
Pada masa kekhalifahan
Bani Abbasiyah dipimpin oleh Harun Ar-Rasyid, ( menggantikan Al-Hadi), Harun
Ar-Rasyid merasa posisinya terancam dengan hadirnya Dinasti Idrisiyah tersebut,
maka Harun Ar-Rasyid merencanakan untuk mengirimkan pasukannya dengan tujuan
memeranginya. Namun, factor geografis yang berjauhan, menyebabkan batalnya
pengiriman pasukan. Harun Ar-Rasyid memakai alternatife lain, yaitu dengan
mengirim seorang mata-mata bernama Sulaiman bin Jarir yang berpura-pura
menentang Daulah abbasiyah sehingga Sulaiman mampu membnuh Idris dengan
meracuninya. Taktik ini disarankan oleh Yahya Barmaki kepada khalifah Harun
Ar-Rasyid.
Terbunuhnya Idris tidak
dapat kekuasaan Dinati Idrisiyah menjadi tumbang karena bangsa Barbar telah
bersepakat untuk mengikrarkan kerajaan meraka sebagai kerajaan yang merdeka dan
independen. Dikabarkan pula bahwa Idris meninggalkan seorang hamba yang sedang
mengandung anaknya. Dan ketika seorang hamba tersebut melahirkan, kaum Barbar
memberikan nama Bayi tersebt dengan nama Idris dan mengikrarkannya sumpah setia
kepadanya sebagimana yang pernah diikrarkan kepada bapaknya. Dan Idris inilah
yang melanjutkan jejak bapaknya )idris bin Abdullah) dan disebut sebagai Idris
11.
Idris I dan putranya
Idris II telah berhasil mempersatukan duku-suku Barnbar, imigran-imigran arab
yang berhasil dari Spanyol dan Tripolitania di bawah satu kekuasaan politik,
mampu membangun kota Fez sebagai kota pusat perdagangan, kota suci, tempat
tinggal Shorfa (orang-orang terhormat keturunan Nabi Hasan dan Husain bin Ali
bin Abi Thalib), dan pada tahun 1959 di kota ini, telah didirikan sebuah masjid
Fathima dan Universitas Qairawan yang terkenal.
Pada masa kekuasaan Muhammad
bin Idris (828-836 M), dinasti Idrisiyah telah membagi-bagi wilayahnya kepada
delapan orang saudaranya, walupun ia sendiri tetap menguasai Fez dan memiliki
semacam supermasi moral terhadap wilayah-wilayah lainnya.
Pada masa Ali bin
Muhammad (836-849 M), terjadi konflik antarkeluarga dengan kasus yang klasik,
yaitu terjadi penggulingan kekuasaan yang pada akhirnya kekuasaan Ali pindah ke
tangan saudaranya sendiri, yaitu Yhaya bin Muhammad.
Pada masa Yahya bin
Muhammad ini, kota Fez banyak dikunjungi imigran dari Andalusia dan daerah
afrika lainnya. Kota ini berkembang begitu pesat, baik dari segi pertumbuhan
penduduk maupun pembangunan gudang-gudang megah.
Pada masa pemerintahan
Yahya II ini terjadi kemerosotan yang disebabkan oleh ketidakmahiran Yahya II
dalam mengatur pemerintahannya, sehingga terjadilah pembagian wilayah
kekuasaan. Yahya juga pernah terlibat perbuatan yang tidak bermoral terhadap
kaum wanita. Sebagai akibatnya, ia harus melarikan diri karena diusir oleh
penduduk Fez dan mencari perlindungan di Andalusia sampai akhir hayatnya pada
tahun 866 M.
Dalam suasana yang
mengecewakan rakyat, seorang penduduk Fez bernama Abdurrahman bin Abi Sahl
Al-Judami mencoba menarik keuntungan dengan jalan mengambil alih kekuasaan.
Namun, istri Yahya (anak perempuan dari saudara sepupunya), Ali bin Umar
berhasil menguasai wilayah Kawariyyer (qairawan) dan memulihkan ketentraman
dengan bantuan ayahnya.
Pada masa Yahya III,
pemerintahan yang semrawut ditertibkan kembali sehingga menjadi tentram dan
aman.
Yahya IV ini berhasil
mempersatukan kembali wilayah-wilayah yang dikuasai oleh kerabat-kerabat yang
lainnya, dan sejak itu dinasti Idrisiyah terlibat dalam persaingan antara dua
kekuasaan besar, yaitu Bani Umayyah dari spanyol dan dinasti Bani Fatimiyah
dari Mesir dalam memperebutkan supremasi dari Afrika Utara.
Setelah masa Yahya IV,
saat kota Fez dan wilayah-wilayah Idrisiyah menjadi pertikaian, seorang cucu
Idris II, yang bernama Al-Hajjam berhasil menguasai Fez dan daerah sekitarnya.
Akan tetapi, ia kemudian mendapatkan pengkhianatan dari seorang pemimpin
setempat sehingga kekuaaanya hilang dan hidupnya berakhir pada tahun 926 M,
sedangkan anak-anak dan saudara-saudaranya mengundurkan diri ke daerah sebelah
utara (suku Barbar Gumara).
Ada juga satu riwayat
yang menerangkan bahwa jatuhnya Dinasti Idrisiyah disebebkan oleh Khalifah
Muhammad Al-Muntashir yang membagi-bagikan kekuasaannya kepada
saudara-saudaranya yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan pecahnya Idrisiyah
secara pilitis. Perpecahan tersebut merupakan factor yang membahayakan
keberadaan dinasti Idrisiyah karena dalam waktu bersamaan, datang pula serangan
dari dinasti Fatimiah.
Pada masa kepemimpinan
Yahya III, dinasti Idrisiyah ditaklukkan oleh Fatimiyah dan Yahya terusir dari
kerajaan hingga wafatnya di Madinah. Dengan berakhirnya Yahya, berakhirnya pula riwayat dinasti
Idrisiyah.[7]
Setelah Imam Ali Ibn
Abi Thalib terbunuh, keturunan Ali ra. Terus berjuang untuk memperoleh
kekuasaan. Di antara Husen Ibn Ali di Madinah pada zaman Dinasti Umayah. Dalam
perang tersebut, Imam Husen terbunuh di Karbala; dan salah seorang keluarganya,
Idris Ibn Abd Allah, melarikan diri ke Mesir dan kemudian pindah ke Maroko di
kota Walilia. Di Maroko, ia bergabung dengan Ishaq Ibn ‘Abd al-Hamid (kepala
suku Awraba). Kemudian Idris Ibn Abd Allah dibai’at oleh suku Awraba di Maroko
sebagai pemimpin mereka; maka berdirilah dinasti Idrisi di Maroko.
Muhammad Ibn Idris
sukses memimpin masyarakat Awraba di Maroko sehingga memiliki tentara dan juga
dapat melakukan ekspansi ke wilayah lain. Akan tetapi, keberhasilan Muhammad
Ibn Idris membuat khalifah Harun al-Rasyid di Baghdad merasa khawatir. Oleh
karena itu, Harun al-Rasyid mengutus seorang mata-mata yang bernama Sulaiman
Jarir. Mata-mata ini kemudian berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris pada tahun
175 H/791 M. setelah berhasil membunuh Muhammad Ibn Idris, Harun al-Rasyid
bersama suku Barbar lainnya mengangkat putra mahkota yang masih muda, Idris Ibn
Idris, sebagai khalifah. Idris Ibn Idris dapat memimpin masyarakatnya dengan sukses
hingga meninggal tahun 213 H/ 828 M.
Idris Ibn Idris diganti
oleh anaknya, Muhammad Ibn Idris Ibn Idris. Muhammad membagi kerajaan menjadi
beberapa kawasan; dan disetiap kawasan diberikan kepada saudara-saudaranya
untuk dipimpin. Akan tetapi, pembagian wilayah melahirkan perang saudara di
kalangan Idrisi sehingga akhirnya mereka berhasil ditaklukan oleh dinasti
Fatimiah.[8]
2.
Dinasti
Aghlabiyah (184-296 H/800-909 M)
Dinasti Idrisiyah
merupakan dinasti pertama pada masa pemerintahan Abbasiyah yang terpisah dari
dunia Islam. Sebagimana telah dikemukakan bahwa Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa
terancam dengan hadirnya Dinassti Idrisiyah, kemudian ia mengirimkan Sulaiman
bin Jarir untuk menjadi mata-mata dan berpura-pura menentang Daulah Abbasiyah.
Dengan daerah Tunisia
dan Aljazair sebagai wilayah kekuasaanya, berdirilah Dinasti Aghlabiyah
(800-909 M).[9]
Dinasti
aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim Ibn Aghlab Ibn Salim, seorang pejabat
Khurasan dalam militer abbasiyah. Adanya dinati Aghlabiyah bermula dari
penyerahan kekuasaan Khalifah Harun al-Rasyid kepada Ibrahim Ibn Aghlab atas
provinsi Ifriqiyyah (Tunisi) dalam rangka
menghadapi dinasti Idrisiyah (berfaham Syi’ah yang memberontak pada
Abbasiyah) yang semakin kuat. Ibrahim diberikan otonomi penuh untuk mengatur
wilayah tersebut meski harus membayar pajak tahunan ke Baghdad sebesar 40.000
dinar. Ibrahim Ibn aghlab berhasil memadamkan gejolak Kharijiyyah Berber di
wilayah mereka.
Secara periodic,
dinasti Aghlabiyah ini dipimpin oleh 11 orang amir yaitu: Ibrahim 1 Ibn Aghlab
(184-197 H/800-812 M), Abdullah 1 (197-201 H/812-917 M), Ziyadatullah Ibn
Ibrahim (201-223 H/817-838 M), Abu Iqbal Ibn Ibrahim (223-226 H/838-841 M), Abu
al-Abbas Muhammad (226-242 H/841-856 M), Abu Ibrahim ahmad (242-249 H/856-863
M) Ziyadatullah 11 Ibn Ahmad (249-250 H/863-864 M), Abul Gharaniq Muhammad 11
Ibn Ahmad (250-261 H/864-875 M), Ibrahim 11 Ibn Ahmad (261-289 H/875-902 M),
Abu al-Abbas Abdullah 11 (289-290 H/902-903 M), dan Abu Mudhar Ziyadatullaj 111
(290-296 H/903-909 M)
Dinasti
Aghlabiyah merupakan tonggak terpenting dalam konflik berkepanjangan antara
Asia dan Eropa. Yang dipimpin oleh Ziyadatullah 1 ia mengirim sebuah ekspedisi
untuk merebut pulau yang terdekat dari Tunisia yaitu Sicilia dari Byzantium
pada tahun 217 H/827 M). ekspedisi itu dipimpin oleh panglima Asad Ibn Furat,
dengan menyerahkan panglima laut yang terdiri dari 900 tentara berkuda dan
10.000 orang jalan kaki. Inilah ekspedisi laut terbesar dan juga merupakan
peperangan akhir yang dipimpin panglima Asad bin Furad kemudian ia meninggal
dalam pertempuran ini. Tujuan dari memperluas wilayah Sicilis yaitu untuk
berijtihad melawan orang-orang kafir, sebab penguasa Aghlabiyah pertama harus
meredakan oposisi internal di Ifriqiyyah yang dilakukan fuqoha Maliki di
Qayrawan. Selain itu, ekspedis yang terpenting adalah menyebarnya peradaban
islam hingga Eropa. Aspek yang menarik pada Dinasti Aghlabiyah adalah ekspedisi
lautan yang menjelajahi pulau-pulau di laut Tengah dan pantai-pantai Eropa
seperti pantai-pantai Italia selatan, Sardinia, Corsica, dan Alp. Malta direbut
tahun 255 H/868 M.
Dalam bidang
ekonomi mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi didukung oleh stabilitas
pemerintahan yang mapan. Hasil-hasil pertanian seperti kurma, gandum, dan
zaitun. Sector perindustrian pun telah berkembang seperti industri
peralatan dari besi yang digunakan untuk
kapal laut dan senjata, industry kaca, dan industry tenun. Oleh karena itum
Qayrawan merupakan pusat perdagangan selain sebagai pusat pemerintahan.
Pada akhir abad
ke-9, posisi dinasti Aghlabiyah di Ifriqiyyah menjadi merosot. Factor penyebab
mundurnya Aghlabiyah ini adalah :
1. Hilangnya
hakikat kedaulatan dimana ikatan-ikatan solidaritas sosial semakin luntur.
Kedaulatan pada hakikatnya hanya dimiliki oleh mereka yang sanggup menguasai
rakyat, memungut iuran Negara, dan mengirimkan angkatan bersenjata.
2. Amir
terakhir tergelam dalam kemewahan (berfoya-foya), dan seluruh pembesarnya
tertarik pada Syi’ah.
3. Propaganda
Syi’I Abu ‘Abdullah, perintis Fathimiyah, Ubaidilah al-Mahdi, memiliki pengaruh
yang kuat di kalangan Berber Ketama, yang akhirnya menimbulkan pemberontakan
militer. Pada tahun 909, kekuatan militer Fatimiyah berhasil menggulingkan
penguasa Aglabiyah yang terakhir, Ziyadatullah 111, diusir ke Mesir.[10]
3. Dinasti Thuluniyah (868-901 M)
Dinasti ini
merupakan dinasti kecil pertama di Mesir pada pemerintahan Abbasiyah, yang
memperoleh hak otonom dari Baghdad. Dinasti ini didirikan oleh Ahmad Ibn
Thulun, yaitu seorang budak dari Asia Tengah yang dikirim oleh panglima Thahir
bin Al-Husain ke Baghdad untuk dipersembahkan kepda Khalifah Al-Makmun dan
diangkat menjadi kepala pegawai Istana.
Ahmad Ibn Thulun
ini dikenal sebagai sosok yang dikenal kegagahan dan keberaniannya, dia juga
seorang yang dermawan, Hafidz, ahli di bidang sastra, syariat, dan militer.
Pada
mulanya,Ahmad Ibn Thulun datang ke Mesir sebagai wakil gubernur Abbasiyah di
sana, lalu menjadi gubernur yang wilayah kekuasaannya sampai ke Palestina dan
Suriah. Pada masa Khalifah Al-Mu’taz Ahmad Ibn Thulun ditunjuk sebagai wali di
Mesir dan Libya atas bantuan ayah Tirinya yang menjabat sebagai panglima Turki
di belahan barat. Masa ini merupakan masa disintegrasi dan distabilitas politik
pemerintahan Abbasiyah.
Bakbak adalah
seorang pemimpin militer yang berkembangsaan Turki yang diberi jabatan wali
(setingkat gubernur) untuk kawasan Mesir oleh al-Mu’taz (862-866 M) dari
dinasti Bani Abbas. Bakbak kemudian memberikan jabatan tersebut kepada
asistennya, Ahmad IBn Thulun pada tahun 254 H/868 M.
Di bawah
kepemimpinan Thulun, Mesir menjadi wilayah yang merdeka dari pemerintahan
Abasiyah di Irak. Pada waktu itu, dibangun Masjid Jami Ibn Thulun yang masih
terpelihara hingga sekarang, dan Fusthath dijadikan pusat pemerintahan. Puncak
dinasti Thuluniah di Mesir adalah pada zaman Khumariyah Ibn Ahmad Ibn Thulun
(270-282 H/883-895 M). Setelah Khumariyah meninggal, terjadi konflik internal
yang menghancurkan ekonomi dan militer Thuluniyah. Dalam situasi konflik
internal Thuluniyah, dinasti Bani abbas berhail menundukkan dinasti Thulun.[11]
Keberadaan
dinasti Thuluniyah di Mesir semakin bertambah besar dan kuat, apalagi setelah
adanya ikatan kuat melalui perkawinan antara Ahmad Ibn Thulun dengan saudara
Yarjukh, sebagai jaminan atas kedudukan yang diperolah Thuluniyah. Ahmad Ibn
Thulun mulai mengadakan ekspansi ke wilayah Hijaz di Semenanjung Arabia hingga
Palestina dan Siria, yaitu pada tahun 878 M, serta wilayah Sisilia di Asia
Kecil pada tahun 879 M.
Pada masa
kekuasaan terakhir (Syaiban), muncul dan berkembang sekte-sekte keagamaan Qaramitan
yang berpusat di Gurun Siria. Melihat keadaan seperti itu, Syaiban itu,
syaiban tampaknya tidak mempunyai kekuatan untuk mengendalikan sekte-sekte
tersebut, dan bersamaan dengan itu pula Khalifah Abbasiyah mengirimkan pasukan
untuk menaklukkan Dinasti Thuluniyah serta membawa keluarga dinasti yang masih
hidup ke Baghdad, setelah ditaklukkan, Dinasti Thuluniyah jatuh dan hancur.
4. Dinasti Ikhsidiyah (935-969 M)
Dinasti
Ikhsidiyah ini didirikan oleh Muhammad Ibn Tughi yang diberi gelar Al-Ikhsyid
(pangeran) pada tahun 939 M. Muhammad Ibn Tughi diangkat menjadi seorang
gubernur di Mesir oleh Abbasiyah pada saat Ar-Radi atas jasanya mempertahankan
dan memulihkan keadaan wilayah Nil dari serangan kaum Fatimiyah yang berpusat
di Afrika Utara.
Dinasti
IKhsidiyah mempunyai peranan yang sangat strategis dalam menyokong dan
memperkuat wilayah Mesir. Pada masa itu, Mesir mempunyai kedudukan yang sangat
kuat karena ditopang dengan kemiliteran Ikhsisiyah yang tangguh dengan pasukan pengawal
sejumlah 40.000 orang dan 800 orang pengawal pribadinya.
Pada masa
dinasti Ikhsidiyah ini pula terjadi peningkatan dalam dunia keilmuan dan gairah
intelektual, seperi mengadakan diskusi-diskusi keagamaan yang dipusatkan di
masjid-masjid dan rumah para mentri dan ulama. Kegiatan itulah yang sangat
berperan dalam pendewasaan pendididkan masyarakat ketika itu, dan juga dibangun
sebuah pasar buku yang besar sebagai pusat dan tempat berdiskusi yang dikenal
dengan nama Syuq Al-Waraqin.
Ada bebrapa
factor kehancuran Dinasti Ikhsidiyah, yaitu selain karena serangan
terus-menerus yang dilancarkan Fatimiah, pada masa sebelum penaklukan oleh
Fatimiah, telah terjadi pula penyerangan Qarmatian ke Siria pada tahun 963 M.
selain itu juga, terjadi penyekapan jamaah haji Mesir serta serbuan orang-orang
Nubia yang berhasil merampas daerah-daerah wilayah selatan.
5. Dinasti Hamdaniyah (972-1152 M)
Dinasti ini
didirikan oleh Hamdan Ibn Hamdun, seorang Amir dari suku Taghlib. Putranya
Al-Husain adalah panglima pemerintahan Abbasiyah dan abu Al-Haija Abdullah
diangkat menjadi gubernur Maosul oleh khalifah Al-Muktafi pada tahun 905 M.
Pada masa
hidupnya, Abu Hamdaan Ibn Hamdun pernah ditangkap oleh khalifah Abbasiyah
karena beraliansi dengan kaum Khawarij untuk menentang kekuasaan Bani Abbas.
Akan tetapi atas jasa putranya, Husain IBn Hmadun diampuni oleh Khalifah
Abbasiyah.
Wilayah
kekuasaan dinasti ini terbagi dua bagian, yaitu wilayah kekuasaan di Mousul dan
wilayah kekuasaan di Halb. Wilayah kekuasaan di Halb, terkenal sebagai
pelindung kesusastraan Arab dan Ilmu pengetahuan. Pada masa itu pula, muncul
tokoh-tokoh cendekiawan besar, seperti Abi Al-Fath dan Usman Ibn Jinny yang
menggeluti dibidang ilmu Nahwu, Abu Thayyib Al-Mutannabi, Abu Firas Husain Ibn
Nashr Ad- Daulah, abu A’La Al Ma’ari, dan Syaif Ad-Daulah sendiri yang
mendalami lmu sastra, serta lahir pula filosof besar, yaitu Al-Farabi.
Mengenai jatuhnya dinasti ini, terdapat bebarapa faktor :
1.
Meskipun dinasti ini berkuasa di daerah yang cukup subur
dan makmur serta memiliki pusat perdagangan yang strategis, sikap kebaduiannya
yang tidak bertanggung jawab dan sikapnya yang destruktif tetap ia jalankan.
Dengan sikap seperti itu, Suriah, dan Aljazirah ,merasa menderita karena kerusakan yang ditimbulkan oleh
peperangan. Hal inilah yang menjadikan kurangnya simpati masyarakat dan wibanya
jatuh.
2.
Bangkitnya kembali Dinasti Bizantium di bawah kekuasaan
Macedonia yang bersamaan dengan berdirinya Dinasti Hamdaniyah di Suriah
menyebabkan Dinasti Hamdaniyah tidak bisa menghindari dari invasi wilayyah
kekuasaanya dari serangan Bizantium yang energik. Invasi yang dilakukan oleh
Bizantium terhadap Suriah mengakibatkan Allefo dan Himsh terlepas dari wilayah
kekuasaannya, hingga Dinasti Hamdaniyah menjadi lumpuh.
3.
Kebijakan ekspansionis Fatimiah ke Suriah bagian selatan,
juga melumpuhkan kekuasaan dinasti ini, sampai-sampai ekspansionis ini
mengakibatkan terbunuhnya Said Ad-Daulah yang tengah memegang tumpuk kekuasaan
Dinasti Hamdaniyah. Akhirnya, dinasti ini pula takluk pada dinasti Fatimiah.
Setelah mencermati uraian yang cukup panjang mengenai
dinasti-dinasti kecil d barat Baghdad, kiranya dapat diambil beberapa catatan
berikut. :
1.
Paling tidak, terdapat lima latar sosial politik
munculnya dinasti-dinasti kecil di Barat Baghdad, yaitu :
1)
Karena kebijakan penguasa Bani Abbasiyah yang lebih
menitikberatkan kemajuan peradaban dibanding dengan mengadakan ekspansi dan
politisasi, sehingga memberikan banyak peluang terhadap wilayah-wilayah atau
provinsi-provinsi tertentu yang jauh dari pusat kekuasaan untuk melepaskan dan
memerdekakan diri dari pemerintahan Abbasiyah.
2)
Karena peta kekuaaan abbasiyah yang tidak diakui oleh
Spanyol dan seluruh afrika Utara, kecuali Mesir, bahkan dalam kenyataannya
banayk daerah yang tidak disukai oleh khalifah, sehingga peta kekuasaan
tersebut membuat daerah-daerah yang jauh itu mendirikan dinasti-dinasti kecil
3)
Masalah fanatisme atau ras kebangsaan (Syu’ubiyat) yang
membuat mereka melepaskan diri dari kekuasaan Abbasiyah sampai memperluas
kekuasaanya.
4)
Adanya pemberian hak otonomnya, sehingga tidak terkontol
karena yang memberikan hak berada jauh dari pemerintahan pusat, dan
5)
Terlalu luasnya kekuasaan abbasiyah.
2.
Bahwa proses pelepasan daerah-daerah kecil itu memakai
salah satu dari dua cara, yaitu menunjuk seseorang yang angkat menjadi gubernur
oleh khalifah untuk menjadi pemimpin kekuasaan kecil dan seorang pemimpin lokal
itu dituntut untuk memimpin suatu pemberontakan sehingga mendapatkan
kemerdekaan penuh.
3.
Bahwa munculnya dinasti-dinasti kecil ini, meskipun
banyak mengancam terhadap kedudukan pemerintahan Abbasiyah, juga banyak
memberikan konstribusi terhadap pengembangan khazanah ilmu pengetahuan,
kebudayaan, sehingga perluasan wilayah, juga memberikan kontribusi terhadap
pemerintahan pusat untuk mengantisipasi serangan dari pihak luar.[12]
6. Dinasti Fatimiyah (909-1171 M)
Dinasti
fatimiyah merupakan pengejawantahan terlembaga sekte Syiah Islamiyah dalam
realitas sejarah. Gerakan islamiyah terdiri dari kelompok syiah yang
berpendapat bahwa Ismail Ibn Ja’far ash-Shadiq (w.765 M), bukannya Musa, yang
berperan sebagai imam ketujuh menggantikan ayah mereka. Istilah dinasti
Fatimiyah diambil dari nama Fatimah az-zahra, putra Nabi saw. Dan isstri Ali
Ibn abi Thalib melalui garis Ismail
putra Ja’far ash-Shadiq. Pelekat dasar sekaligus pendiri dinasti ini adalah
Ubaidillah al-Mahdi putra Husein Ibn Ahmad Ibn Abd Allah Ibn Muhammad Ibn
Ismail Ibn Ja’far ash-Sahdiq. Lawan-lawannya dari sunni menyebut dinasti
Ubadiyah, keturunan Ubaidillah al-mahdi. Menolak adanya hubungan dengan Ali.
Kemajuan yang
dicapai pada bidang kebudayaan adalah didirikannya Masji al-Azhar yang
berfungsi sebagai pusat pengkajian islam dan pusat pengembangan ilmu
pengetahuan, yang dimanfaatkan oleh kelompok Syiah maupun Sunni. Untuk
memajukan ilmu pengetahuan, khalifah mengundang para ahli diantaranya ahli
matematika kenamaan Ibn Haytam al-Basri untuk mengunjungi Kairo. Selain itu,
muncul ahli sejarah seperti Ibn Zulak, al-Musabbihi, al-Kuda’I, dan penulis
kitab al-Dirayat, al-shabushi; pustakawan al-muhallabi; dan ahli geografi, Ibn
al-Makmun al-Bata’ihi.
Khalifah dinasti
fatimiyah beraliran syiah Islamiyah, naamun mayoritas rakyatnya tetap sunni dan
menikmati sebagian besar kebebasan keagamaan mereka. Selama berkuasa dinasti
ini dipimpin oleh 14 orang khalifah.
Pemerintah
dinasti fatimiyah yang berlangsung 262 tahun, antar 297 H/909 M sampai 567
H/1171 M, pada akhirnya tidak dipertahankan lagi karena factor-faktor intem,
sebagai penyebab dominan kemunduran khalifah fatimiyah. Adapun kehancuran
dinasti fatimiyah diakibatkan adanya serangan yang dilakukan Nuruddin
al-Zangki, penguasa Syiria, di bawah panglima Syirkuh yang dibantu keponakannya
(Shalahuddin al-Ayyubi) mengalahkan tentara shalib tahun 564 H/1169 M. syirkuh
menjadi wazir selama 2 bulan karena meninggal dunia dan jabatannya digantikan
Shalaluddin al-Ayyubi. Tahun 567 H/1171 M, Shalaluddin al-ayyubi menghapuskan
dinasti Fatimiyah atas desakan Baghdad dan menggantikannya denga dinasti
Ayyubiyah yang berorientasi ke Baghdad.[13]
BAB III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Kemunculan dinasti-dinasti kecil paling sedikit
mempunyai dua pola. Pertama, pemimpin local melakukan suatu
pemberontakan yang berhasil dan menegakkan kemerdekaan penuh. Kedua, seseorang
yang ditunjuk menjadi gubernur oleh khalifah menjadi sedemikian kuatnya
sehingga ia tidak dapat digantikan dan menunjuk anaknya sebagai pengganti. Atas
dasar itu, tidak heran jika dalam waktu yang relative singkat, baik di sebelah
barat maupun timur Baghdad bermunculan dinasti-dinasti yang bersifat otonom dan
lepas dari control langsung Baghdad.
Terdapat dinasti-dinasti kecil di bagian Timur dan
Barat Baghdad antara lain :
Dinasti-dinasti kecil Di bagian Timur Yaitu :
1. Dinasti
Thahiri (200-259 H/820-872 M)
2. Dinasti
Saffariah (862-903 M)
3. Dinasti
Samaniyah (875-1004 M)
4. Dinasti
Gaznawi
5. Dinasti
Buwaihi
6. Dinasti
Saljuk
Dinasti-dinasti kecil
Barat yaitu :
1. Dinasti
Idrisiyah (789-926 M)
2. Dinasti
Aghlabiyah (800-909 M)
3. Dinasti
Thuluniyah (868-905 M)
4. Dinasti
Ikhsidiyah (935-969 M)
5. Dinasti
Hamdaniyah (972-1152M)
6. Dinasti
Fatimiyah .
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmad Al-Usairy.
2011 Sejarah Islam sejak zaman nabi Adam
hingga Abad XX. Akbar Media, Jakarta Timur.
Dedi Supriyadi.
2008 Sejarah
Peradaban Islam, Pustaka Setia, Bandung.
Jaih Mubarak.
2004 Sejarah Peradaban Islam, Pustaka Bani
Quraisy, Bandung.
Maslani.
2010 Sejarah Peradaban Islam, Insan
Mandiri, Bandung.
[1]
Drs. Maslani M.Ag. 2010 hlm 127
[2]
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008 hlm145
[3]
Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 132
[4]
Dedi Supriyadi, M.Ag. 2008 hlm 145
[5]
Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 134
[6]
Dr. Jaih Mubarak. M.Ag. 2004 hlm 135-152
[7]
Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia
2008) hlm 156
[8]
Dr. Jaih Mubarak. M.ag. Sejarah Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Bani
Quraisy. 2004) hlm. 152
[9] Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008) hlm 161
[10] Drs. Maslani M.Ag. Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Insan Mandiri 2010)hlm 127
[11] Dr. Jaih Mubarak. M.ag. Sejarah
Peradaban Islam. (Bandung: Pustaka Bani Quraisy. 2004) hlm. 154
[12] Dedi Supriyadi, M. Ag. Sejarah
Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia 2008) hlm 155-169
[13]Drs.
Maslani M.Ag. Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Insan Mandiri 2010)hlm
127-130
Dinasti busyaid di Yaman mana?
BalasHapus