FILSAFAT ISLAM
oleh Harun Nasution
Di dunia Islam
bagian Barat yaitu di Andalus atau Spanyol Islam,
sebaliknya pemikiran filsafat masih berkembang
sesudah serangan al-Ghazali tersebut.
Ibn Bajjah (1082-1138) dalam
bukunya Risalah al-Wida', kelihatannya mencela al-Ghazali yang berpendapat bahwa
bukanlah akal tetapi al-dzauq dan ma'rifat sufilah yang membawa orang
kepada kebenaran yang meyakinkan.
Ibn Tufail (w. 1185 M) dalam bukunya Hayy Ibn Yaqzan
malahan menghidupkan
pendapat Mu'tazilah bahwa
akal manusia begitu kuatnya sehingga ia dapat mengetahui masalah-masalah
keagamaan seperti adanya Tuhan, wajibnya manusia berterimakasih kepada
Tuhan, kebaikan serta kejahatan dan kewajiban manusia berbuat baik
dan menjauhi perbuatan
jahat. Dalam hal-hal ini wahyu datang untuk memperkuat akal. Dan akal
orang yang terpencil di suatu
pulau, jauh dari
masyarakat manusia, dapat
mencapai kesempurnaan sehingga ia sanggup menerima pancaran ilmu
dari Tuhan, seperti yang terdapat
dalam falsafat emanasi Al-Farabi dan Ibn Sina.
Tapi Ibn Rusyd-lah (1126-1198 M) yang mengarang buku
Tahafut al-Tahafut sebagai jawaban terhadap kritik-kritik Al-Ghazali
yang ia uraikan dalam Tahafut al-Falasifah.
Mengenai masalah pertama qidam al-alam, alam tidak
mempunyai permulaan dalam zaman,
konsep al-Ghazali bahwa alam
hadis, alam mempunyai permulaan
dalam zaman, menurut
Ibn Rusyd mengandung arti bahwa
ketika Tuhan menciptakan alam, tidak ada sesuatu di samping Tuhan. Tuhan,
dengan kata lain, di ketika itu
berada dalam kesendirianNya.
Tuhan menciptakan alam dari tiada atau nihil.
Konsep serupa ini,
kata Ibn Rusyd,
tidak sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Didalam al-Qur'an digambarkan
bahwa sebelum alam diciptakan
Tuhan, telah ada
sesuatu di sampingNya. Ayat 7
dari surat Hud umpamanya mengatakan,
Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam
hari dan takhtaNya (pada waktu itu) berada di atas air.
Jelas disebut dalam ayat ini, bahwa ketika Tuhan
menciptakan langit dan bumi telah
ada di samping Tuhan, air. Ayat 11 dari Ha Mim menyebut pula,
Kemudian Ia pun naik ke langit sewaktu ia masih merupakan uap.
Di sini yang ada di samping Tuhan adalah uap, dan
air serta uap adalah
satu. Selanjutnya ayat
30 dari surat al-Anbia' mengatakan pula,
Apakah orang-orang yang tak percaya tidak melihat bahwa langit dan bumi
(pada mulanya) adalah
satu dan kemudian
Kami pisahkan. Kami jadikan segala yang hidup dari air.
Ayat ini mengandung arti bahwa langit dan
bumi pada mulanya berasal dari
unsur yang satu dan kemudian
menjadi dua benda yang berlainan.
Dengan ayat-ayat serupa inilah Ibn
Rusyd menentang pendapat al-Ghazali bahwa alam diciptakan
Tuhan dari tiada dan bersifat hadis dan menegaskan bahwa pendapat itu tidak
sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Yang sesuai dengan kandungan
al-Qur'an sebenarnya adalah konsep al-Farabi, Ibn Sina dan filsuf-filsuf
lain. Di
samping itu, kata khalaqa di
dalam al-Qur'an, kata Ibn Rusyd, menggambarkan
penciptaan bukan dari
"tiada," seperti yang
dikatakan al-Ghazali, tetapi dari "ada," seperti yang dikatakan para
filsuf. Ayat 12 dari surat
al-Mu'minun, menjelaskan, Kami ciptakan
manusia dari inti
sari tanah. Manusia di dalam al-Qur'an
diciptakan bukan dari
"tiada" tetapi
dari sesuatu yang "ada,"
yaitu intisari tanah seperti disebut oleh ayat di atas.
Filsafat memang tidak
menerima konsep penciptann dari
tiada (creatio ex nihilo).
"Tiada," kata Ibn Rusyd tidak bisa berubah menjadi "ada,"
yang terjadi ialah "ada"
berubah menjadi "ada" dalam bentuk lain. Dalam hal bumi,
"ada" dalam bentuk materi asal yang empat dirubah Tuhan menjadi
"ada" dalam bentuk
bumi. Demikian pula langit. Dan yang
qadim adalah materi
asal. Adapun langit
dan bumi susunannya adalah baru
(hadis).
Qadimnya alam, menurut
penjelasan Ibn Rusyd tidak membawa kepada politeisme atau
ateisme, karena qadim dalam pemikiran filsafat bukan
hanya berarti sesuatu yang tidak
diciptakan, tetapi juga berarti
sesuatu yang diciptakan
dalam keadaan terus menerus,
mulai dari zaman tak bermula di masa lampau sampai ke
zaman tak berakhir di masa mendatang.
Jadi Tuhan qadim berarti
Tuhan tidak diciptakan, tetapi adalah Pencipta dan alam qadim berarti
alam diciptakan dalam
keadaan terus menerus dari
zaman tak bermula ke zaman tak berakhir. Dengan demikian sungguhpun alam
qadim, alam bukan
Tuhan, tetapi adalah ciptaan
Tuhan,
Bahwa alam yang
terus menerus dalam keadaan
diciptakan ini tetap akan ada dan baqin digambarkan juga oleh al-Qur'an. Ayat
47/8 dari surat Ibrahim menyebut:
Janganlah sangka bahwa
Allah akan menyalahi
janji bagi rasul-rasulNya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa dan Maha Pemberi balasan di
hari bumi ditukar
dengan bumi yang
lain dan (demikian pula) langit.
Di hari perhitungan atau pembalasan nanti, tegasnya
di hari kiamat, Tuhan akan menukar bumi ini dengan bumi yang
lain dan demikian pula langit sekarang akan ditukar dengan langit yang lain.
Konsep ini mengandung arti bahwa
pada hari kiamat bumi dan langit sekarang akan hancur susunannya dan
menjadi materi asal api, udara, air dan
tanah kembali; dari keempat unsur ini Tuhan akan menciptakan bumi dan langit
yang lain lagi.
Bumi dan langit ini akan hancur
pula, dan dari materi asalnya akan diciptakan pula bumi dan langit
yang lain dan
demikianlah seterusnya tanpa kesudahan.
Jadi pengertian qadim sebagai sesuatu yang berada dalam
kejadian terus menerus adalah sesuai dengan kandungan al-Qur'an.
Dengan demikian al-Ghazali tidak
mempunyai argumen kuat untuk mengkafirkan filsuf dalam filsafat
mereka tentang qadimnya alam. Kedua-duanya, kata Ibn Rusyd, yaitu pihak
al-Farabi dan pihak al-Ghazali sama-sama
memberi tafsiran masing-masing tentang ayat-ayat
al-Qur'an mengenai penciptaan alam. Yang bertentangan bukanlah
pendapat filsuf dengan al-Qur'an, tetapi pendapat filsuf dengan pendapat
al-Ghazali.
Mengenai masalah kedua, Tuhan
tidak mengetahui perincian yang terjadi di alam, Ibn Rusyd menjelaskan bahwa
para filosof tak pernah mengatakan
demikian. Menurut mereka Tuhan
mengetahui perinciannya; yang mereka
persoalkan ialah bagaimana
Tuhan mengetahui perincian itu.
Perincian berbentuk materi
dan materi dapat ditangkap
pancaindra, sedang Tuhan
bersifat immateri dan tak mempunyai pancaindra.
Dalam hal pembangkitan
jasmani, Ibn Rusyd
menulis dalam Tahafut al-Tahafut
bahwa filsuf-filsuf Islam tak menyebut
hal itu. Dalam pada
itu ia melihat
adanya pertentangan dalam ucapan-ucapan al-Ghazali. Di dalam
Tahajut al-Falasifah ia menulis
bahwa dalam Islam
tidak ada orang yang berpendapat adanya pembangkitan rohani saja, tetapi
di dalam buku lain ia mengatakan, menurut
kaum sufi, yang
ada nanti ialah pembangkitan rohani dan pembangkitan
jasmani tidak ada.
Dengan demikian al-Ghazali juga
tak mempunyai argumen
kuat untuk mengkafirkan kaum filsuf dalam pemikiran tentang tidak
tahunya Tuhan tentang perincian di alam dan
tidak adanya pembangkitan jasmani.
Ini bukanlah pendapat
filsuf, dan kelihatannya adalah
kesimpulan yang ditarik al-Ghazali
dari filsafat mereka.
Dalam pada itu Ibn Rusyd,
sebagaimana para filsuf Islam lain, menegaskan
bahwa antara agama
dan falsafat tidak
ada pertentangan, karena keduanya
membicarakan kebenaran, dan kebenaran tak berlawanan dengan kebenaran.
Kalau penelitian akal bertentangan
dengan teks wahyu
dalam al-Qur'an maka dipakai
ta'wil; wahyu diberi arti majazi. Arti
ta'wil adalah meningga]kan arti
lafzi untuk pergi ke arti majazi. Dengan kata lain, meninggalkan
arti tersurat dan
mengambil arti tersirat. Tetapi arti tersirat tidak boleh disampaikan
kepada kaum awam, karena mereka tak dapat memahaminya.
Antara filsafat dan agama Ibn Rusyd
mengadakan harmoni. Dan dalam
harmoni ini akal
mempunyai kedudukan tinggi. Pengharmonian akal dan wahyu ini
sampai ke Eropa dan di sana dikenal
dengan averroisme. Salah satu ajaran averroisme ialah kebenaran ganda,
yang mengatakan bahwa
pendapat filsafat benar, sungguhpun
menurut agama salah.
Agama mempunyai kebenarannya
sendiri. Dan averroisme inilah yang menimbulkan pemikiran rasional dan ilmiah di
Eropa.
Tak lama sesudah
zaman Ibn Rusyd
umat Islam di Spanyol mengalami kemunduran besar dan
kekuasaan luas Islam sebelumnya hanya
tinggal di sekitar
Granada di tangan Banu Nasr. Pada 1492 dinasti ini terpaksa menyerah
kepada Raja Ferdinand dari Castilia.
Dengan hilangnya Islam dari Andalus atau di Spanyol, hilang pulalah pemikiran
rasional dan ilmiah dari dunia Islam
bagian barat.
Di dunia Islam
bagian timur, kecuali
di kalangan Syi'ah, teologi tradisional al-Asy'ari dan pendapat al-Ghazali
bahwa jalan tasawuf untuk mencapai kebenaran adalah lebih meyakinkan
dari pada jalan
filsafat. Hilanglah pemikiran
rasional, filosofis dan ilmiah
dari dunia Islam sunni sehingga datang abad XIX dan umat Islam
dikejutkan oleh kemajuan Eropa dalam bidang
pemikiran, filsafat dan sains,
sebagaimana disebut di atas, berkembang di Barat atas pengaruh metode
berpikir Ibn Rusyd yang disebut
averroisme. Semenjak itu pemikiran rasional mulai ditimbulkan
oleh pemikir-pemikir pembaruan
seperti al-Afghani, Muhammad Abduh, Sayyid Ahmad Khan, dan lain-lain.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
De Boer, TJ., History of
Philosophy in Islam, Tranl. E.R. Jones, London, Luzac & Co., 1970.
Al-Farabi, Rasail, Hyderabad,
t.t.
Al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah,
Kairo, Dar al-Ma'arif, 1966.
Al-Ghazali, Al-Munqiz min
al-Dalal, Cairo, al-Maktab al-Fanni, 1961.
Harun Nasution, Falsafah dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta, Bulan Bintang, 1983.
Ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut,
Kairo, Dar al-Ma'arif, 1964.
Ibn Rusyd, Fals al-Maqal, London,
J.E. Brill, 1969.
Ibn Sina, Al-Najah, Kairo, M.B.
al-Halabi, 1938.
O. Leary, De Lacy, How Greek
Science Passed to The Arabs, London, Routledge & Kegan Paul, 1964.
Sharif M.M., ed., A History of
Muslim Philosophy, Weisbaden, 1963.
--------------------------------------------
Kontekstualisasi Doktrin Islam
Dalam Sejarah
Editor: Budhy Munawar-Rachman
Penerbit Yayasan Paramadina
Jln. Metro Pondok Indah
Pondok Indah Plaza I Kav. UA
20-21
Jakarta Selatan
Telp. (021) 7501969, 7501983,
7507173
Fax. (021) 7507174
0 komentar:
Posting Komentar