KATA
PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan
kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan hidayah-nya kepada kami sehingga pembuatan
makalah yang berjudul “Hadits tentang surga, neraka, dan kezuhudan” terselesaikan
dengan baik.
Shalawat dan salam
semoga tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarganya dan para sahabatnya
serta pengikut sampai akhir zaman.
Adapun tujuan pembuatan makalah ini adalah sebagai salah
satu tugas mata kuliah Hadits III dan Pembelajarannya. Pada kesempatan ini,
kami juga ingin mengucapkan terimakasih kepada Bpk. Drs. H. Maslani, M.Ag atas
arahannya, dan pihak-pihak lain yang telah membantu kami dalam penyelesaian
makalah ini.
Kami menyadari di dalam penulisan ini terdapat kekurangan.
Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun
dari semua pihak, demi kesempurnaan makalah ini di masa yang akan datang. Mudah-mudahan
makalah ini bermanfaat untuk kita semua. Amin Ya Rabbal’Alamin.
Bandung,
Februari 2011
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Seluruh yang bernyawa di dunia ini akan dihadapkan
pada kematian. Tak ada seorangpun yang dapat menghalanginya. Sebagaimana firman
Allah dalam surat ali imran ayat 185 yang berbunyi:
@ä. <§øÿtR èps)ͬ!#s ÏNöqpRùQ$# 3
$yJ¯RÎ)ur cöq©ùuqè? öNà2uqã_é& tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# (
`yJsù yyÌômã Ç`tã Í$¨Y9$# @Åz÷é&ur sp¨Yyfø9$# ôs)sù y$sù 3
$tBur äo4quyÛø9$# !$u÷R$!$# wÎ) ßì»tFtB Írãäóø9$#
ÇÊÑÎÈ
Artinya:
”Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada
hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka
dan dimasukkan ke dalam surga, maka sungguh ia telah beruntung. kehidupan dunia
itu tidak lain hanyalah kesenangan yang memperdayakan.”
Surga
dan neraka adalah yang ghaib, yang tidak dapat dilihat dengan kasap mata, belum
pernah didengar oleh telinga. Sebagaimana dalam sabda Nabi Muhammad SAW.
فِيْهَامَالاَ عَيْنٌ
رَأَتُ وَلاَأُذٌنٌ سَمِعَتْ وَلاَ خَطَرَعَلَى قَلْبِ بَشَرٍ (رواه البخاري)
Artinya: Dalam surga itu
keadaannya belum pernah dilihat oleh mata manusia, belum pernah terdengar oleh
telinga, dan belum pernah terlintas dalam hati (jiwa) manusia. (H.R. Bukhari)
Namun
mengenai surga dan neraka, Allah telah memberikan gambaran keduanya dalam Al
Quran dan hadits. Allah menjanjikan surga bagi orang-orang yang beriman dan
bertaqwa kepada-Nya. Sungguh bahagianya orang-orang yang dapat merasakan kenikmatan surganya
Allah. Sebagaimana firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 133 yang berbunyi:
(#þqããÍ$yur
4n<Î)
;otÏÿøótB
`ÏiB
öNà6În/§
>p¨Yy_ur
$ygàÊótã
ßNºuq»yJ¡¡9$#
ÞÚöF{$#ur
ôN£Ïãé&
tûüÉ)GßJù=Ï9
ÇÊÌÌÈ
Artinya: Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya
seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa,
Begitupun
sebaliknya, neraka disediakan bagi orang-orang yang durhaka dan melanggar
aturan agama Allah. Sungguh malangnya orang-orang yang terjerumus ke dalam
neraka akibat kemaksiatan yang telah diperbuatnya. Sebagaimana firman Allah
dalam surat An Nisa ayat 14 yang berbunyi:
ÆtBur
ÄÈ÷èt
©!$#
¼ã&s!qßuur
£yètGtur
¼çnyrßãn
ã&ù#Åzôã
#·$tR
#V$Î#»yz
$ygÏù
¼ã&s!ur
ÑU#xtã
ÑúüÎgB
ÇÊÍÈ
Artinya: “Dan barangsiapa
yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya
Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan
baginya siksa yang menghinakan.”
Siksa
Allah tidak hanya diberikan ketika dalam neraka saja, namun siksa Allah juga
diberikan ketika kita masih di dunia
baik berupa kesusahan dalam hidup, berbagai macam penyakit, dan lain-lain.
Semua ini akibat perbuatan maksiat manusia.
Zuhud
termasuk pada salah satu jalan untuk mengistiqomahkan diri dan melepaskan hati
dari perkara duniawi. Zuhud harus
dibarengi dengan tawakal (K.H. Choer Affandy: Mutiara Hikmah.hal.67 dan
68).
Zuhud
berarti tidak menginginkan sesuatu yang bersifat duniawi. Secara khusus bisa
menunjuk pada persoalan yang diharamkan. Sebagai upaya mengendalikan diri dari
pengaruh kehidupan dunia dan mengarahkan perhatiannya pada kehidupan akhirat
(H.Dadan Nurul Haq: 2010: Ilmu Akhlak/Tasawuf: hal 141).
Menurut
Harun Nasution, zuhud artinya meninggalkan dunia dan hidup kematerian (Abu
bakar Aceh, Pengantar Ilmu Tarikat, Ramadhani, Semarang, 1979, hal.240).
Mengenai
hadits tentang surga, neraka, dan kezuhudan yang didalamnya meliputi hadits
tentang neraka terlindung syahwat, azab turun terkena bagi anggota masyarakat,
3 hal yang menyertai jenazah, memandang yang lebih rendah, perbandingan makan
orang yang beriman dan orang yang kafir akan dibahas secara rinci di bab berikutnya.
B.
Rumusan Masalah
1.
Orang - orang
seperti apakah yang pantas menempati surga dan neraka
2. Siapa
yang mengakibatkan datangnya bencana dan bagaimana solusinya supaya bencana tidak
selalu datang?
3. Apa
yang akan kita bawa ke akhirat nanti? Apakah keluarga dan harta akan menjamin
kita masuk surga?
4. Dalam
hal apa kita harus memandang yang lebih rendah?
5. Bagaimana
perbandingan makannya orang mukmin dengan orang kafir?
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Hadits tentang neraka terlindung syahwat
حُجِبَتِ النَّارُ بِالشَّهَوَاتِ,
وَحُجِبَتِ اْلجَنَّةُ بِالْمَكَادِهِ (متفق عليه)
Artinya:
“ Diberi dinding (pagar) neraka itu dengan syahwat (yaitu yang merangsang ke
jalan keburukan), dan diberi dinding surga itu dengan sesuatu yang dibenci
(misalnya malas melakukan kebaikan) (H.R. Bukhari Muslim)
Hadits di atas menjelaskan bahwa Allah menjanjikan bagi
orang yang dapat menjaga syahwat atau hawa nafsunya terhadap hal-hal yang
dilarang oleh Allah maka haram hukumnya
orang tersebut masuk ke dalam neraka. Dan orang yang malas dalam melakukan
kebaikan maka orang tersebut dijauhkan dari pintu surga. Ini berarti berlaku
bagi orang-orang yang selalu berbuat maksiat dan tidak melaksanakan perintah
Allah swt.
2.
Hadits tentang azab turun terkena bagi anggota masyarakat
كَيْفَ اَنْتُمْ اِذَاوَقَعَتْ فِيْكُمْ خَمْسُ
. وَاَعُوْذُبِا اللهِ اَنْ تَكُونَ فِيْكُمْ اَوْتُدْرِكُوْهُنَّ. مَاظَهَرَتِ
الْفاَ
حِشَةُ فِى قَوْمٍ قَطُّ يُعْمَلُ بِهَافِيْهِمْ عَلاَ نِيَةً اِلاَّ ظَهَرَ فِيْهِمْ
الطَّا عُوْنُ وَاْلاَوْجَاعُ الَّتِ لَمْ تَكُنْ فِيْ اَسْلاَفِهِمْ وَمَامَنَعَ
قَوْمُ الَزَّ كَاةَ اِلاَّ مُنِعُوْ القَطْرَمِنُ السَّمَاءِ وَلَوْلاَ
الْبُهَائِمُ لَمْ يُمْطَرُوْا. وَمَابَخِسَ قَوْمُ الْمِكْيَالَ وَالْمِيْزَانَ
اِلاَّاُخِذُوْابَالسِّنِيْنَ وَشِدَّةِ الْمُؤْنَةِ وَجَوْرِالسُلْطَانِ.
وَلاَحَكَمَ اُمَرَاؤُهُمْ بِغَيْرِمَا اَنْزَلَ الله ُاِلاَّ سَلَّطَ الله
ُعَلَيْهِمْ عَدُوَّ هُمْ فَاسْتَنْفَدَ بَعْضَ مَافِى أَ يْدِهِمْ .
وَماَعَطَّلُوْا كِتَابَ اللهِ وَسُنَّةَ نَبِيِّهِمْ اِلاَّ جَعَلَ الله
ُبَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ (رواه احمدوابن ما جه)
Artinya:
“ Bagaimana kamu apabila dilanda lima perkara. Kalau aku ( Rasullah) aku
berlindung kepada Allah agar tidak menimpa kamu atau kamu mengalaminya.1). jika
perbuatan mesum dalam suatu kaum sudah dilakukan terang- terangan maka akan
timbul wabah dan penyakit yang belum pernah menimpa orang- orang terdahulu. 2).
Jika suatu kaum menolak mengeluarkan zakat maka Allah akan menghentikan turunya
hujan. Kalau bukan karena binatang- binatang ternak tentu hujan tidak akan
diturunkan sama sekali. 3). Jika suatu kaum mengurangi takaran dan timbangan.
Maka Allah akan menimpakan paceklik beberapa waktu, kesulitan pangan , dan
kedzaliman penguasa. 4). Jika pengusa- penguasa mereka melaksanakan hukum yang
bukan dari Allah. Maka Allah akan menguasakan musuh- musuh mereka untuk
memerintah dan merampas harta kekayaan mereka. 5) jika mereka menyianyikan
kitabullah dan sunah nabi maka Allah menjadikan permusuhan diantara mereka.
Musibah datang silih berganti
melanda muka bumi ini. Korban jiwa dan harta benda tak terhitung lagi. Semua
terjadi di negeri ini. Ada yang mengatakan, bencana datang karena ulah
tangan-tangan rakus kita sendiri. Tangan-tangan rakus kita yang berlumur dosa
ini, telah menjadi penyebab kehancuran sebagian wilayah negeri ini.
Tangan-tangan rakus berlumur dosa ini, telah menjadi penyebab datangnya
penderitaan bagi sebagian saudara-saudara kita di muka bumi ini.
Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Ar Rum ayat 41
yang berbunyi:
tygsß ß$|¡xÿø9$# Îû Îhy9ø9$# Ìóst7ø9$#ur $yJÎ/ ôMt6|¡x. Ï÷r& Ĩ$¨Z9$# Nßgs)ÉãÏ9 uÙ÷èt/ Ï%©!$# (#qè=ÏHxå öNßg¯=yès9 tbqãèÅ_öt ÇÍÊÈ
Artinya:. “Telah nampak kerusakan di darat dan di laut
disebabkan Karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada
mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan
yang benar).
Jadi, penyebab utama terjadinya
bencana di muka bumi ini karena
kesalahan manusia sendiri, karena dosa-dosa yang dilakukan oleh masyarakatnya sendiri
yakni dosa-dosa yang telah dilakukan terhadap Allah, Rasul saw, dosa pada
sesama manusia, dan alam sekitarnya.
Kemudian apa solusinya agar
bencana tidak selalu datang?
Pertama,
kita semua harus bertaubat kepada Allah SWT. Atas segala dosa-dosa ynag telah
kitaa perbuat, agar Allah SWT berkehendak mencabut bencana dan menuntun kita
kepada jalan-Nya, dan bisa introspeksi diri akan kesalahan yang telah kita
lakukan.
Kedua,
menggerakan amal shadaqah, karena dengan ber-sadaqah kita bisa terhindar
dari bala’ (bencana). Selain itu, kita juga harus saling maaf-memaafkan atas
kesalahan sesama manusia. Jangan sampai muncul provokator yang dapat memecah
belah umat yang berakibat datangnya bencana.
Ketiga,
umat Islam harus berdoa memohon pertolongan dan perlindungan Allah SWT sebagai
mana doanya Nabi Yunus dalam QS al-Anbiyaa’ 87–88:
#sur ÈbqZ9$# Î) |=yd© $Y6ÅÒ»tóãB £`sàsù br& `©9 uÏø)¯R Ïmøn=tã 3y$oYsù Îû ÏM»yJè=à9$# br& Hw tm»s9Î) HwÎ) |MRr& oY»ysö6ß ÎoTÎ) àMZà2 z`ÏB úüÏJÎ=»©à9$# ÇÑÐÈ $uZö6yftGó$$sù ¼çms9 çm»oYø¯gwUur z`ÏB ÉdOtóø9$# 4 Ï9ºxx.ur ÓÅÖGçR tûüÏZÏB÷sßJø9$# ÇÑÑÈ
Artinya: “Dan (ingatlah kisah)
Dzun Nun (Yunus), ketika ia pergi dalam Keadaan marah, lalu ia menyangka bahwa
Kami tidak akan mempersempitnya (menyulitkannya), Maka ia menyeru dalam Keadaan
yang sangat gelap (967): ‘Bahwa tidak ada Tuhan selain Engkau. Maha suci Engkau,
Sesungguhnya aku adalah Termasuk orang-orang yang zalim.’ Maka Kami telah
memperkenankan doanya dan menyelamatkannya dari pada kedukaan. dan Demikianlah
Kami selamatkan orang-orang yang beriman,” (QS al-Anbiyaa’ 87–88).
3.
Hadis tentang 3 hal yang menyertai jenazah
يَتْبَعُ اْلمَيِّتَ
ثَلاَثَةُ, اَهْلُهُ وَمَالُهُ وَعَمَلُهُ فَيَرْجِعُ اثْنَانِ وَيَبْقَى وَاحِدُ,
يَرْجِعُ اَهْلُهُ وَمَالُهُ وَيَبْقَى عَمَلُهُ (رواه الشخان)
Artinya: “ Yang
mengikuti orang mati itu ada tiga macam yaitu:
1). Keluarganya
2). Hartanya
3). Amal
(perbuatannya).
Maka kembalilah dua
macam, dan yang tinggal adalah satu. Kembalilah keluarganya dan hartanya dan
tinggallah amalnya.”
Hadits
ini telah dijelaskan oleh Al-Hafiz Ibnu Rajab Al-Hambali di dalam risalah yang
sangat berharga, aku merangkum penjelasannya dalam bahasan yang singkat ini:
Dia berkata, “Dan tafsir hadits ini adalah bahwa anak Adam mesti memiliki
keluarga yang selalu bergaul dengan dirinya, harta sebagai bekal hidupnya, dua
shahabat ini selalu menyertainya dan suatu saat akan berpisah dengannya. Maka
orang yang berbahagia adalah orang yang menjadikan harta sebagai sarana untuk
berdzikir kepada Allah SWT, dan menafkahkannya untuk kepentingan akhirat, dan
dia mengambil harta itu sebatas kebutuhan yang bisa menyampaikannya untuk
kehidupan akherat, dia mencari istri yang shalehah yang bisa menjaga
keimanannya. Adapun orang yang menjadikan harta dan keluarga yang
menyibukkannya sehingga melalaikan Allah SWT maka dia temasuk orang yang
merugi, sebagaimana firman Allah SWT, tentang orang-orang Badui:
شَغَلَتْنَا أَمْوَالُنَا وَأَهْلُونَا
فَاسْتَغْفِرْلنَا
Artinya: "Harta dan keluarga kami telah
merintangi kami, maka mohonkanlah ampunan untuk kami…”.
(QS. Al-Fath: 11).
Firman Allah swt. yang berbunyi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ
أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَن ذِكْرِ اللَّهِ وَمَن يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak anakmu
melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barang siapa yang membuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang rugi.” (QS. Al-Munafiqun: 9).
Maka apabila anak Adam mati, dan meninggalkan dunia ini
maka dia tidak mengambil manfaat apapun dari keluarga dan hartanya kecuali do’a
keluarga baginya, permohonan ampun mereka untuk dirinya dan perbuatan-perbuatan
yang dijelaskan oleh syara’ yang bisa mendatangkan manfaat untuk dirinya serta
apa yang di keluarkan dari hartanya untuk kebutuhan dirinya.
Adapun teman pertama adalah keluarga, maka keluarga tidak
akan memberikan manfaat apapun baginya setelah kematiannya kecuali orang yang
memintakan ampun baginya dan berdo’a baginya seperti apa yang telah disebutkan
sebelumnya. Bisa jadi keluaraganya tidak berdo’a baginya, sebab bisa jadi orang
lain yang lebih jauh, lebih memberikan manfaat bagi keluarganya.
Adapun
teman yang kedua adalah harta, maka dia tidak mengikuti pemiliknya dan tidak
pula masuk ke dalam kuburnya, dan kembalinya harta tersebut sebagai kalimat
kiasan bahwa harta itu tidak menemani pemiliknya di dalam kuburnya dan tidak
masuk ke dalam liang kubur pemiliknya.
Adapun
teman yang ketiga adalah amal yang mengikuti pemiliknya ke dalam kubur dan
hidup bersamanya dalam kubur tersebut, dia bersamanya pada saat
dibangkitkan menghadap Allah SWT. Amal
itu menyertainya pada saat dikumpulkan di padang mahsyar, di atas shirot, pada
saat ditimbang dan dengan amal itu pula seseorang akan memperoleh tingkat
kedudukannya di surga atau di neraka.
4.
Hadis tentang memandang yang lebih rendah
اُنْظُرُوْا إِلَى
مَنْ هُوَ اَسْفَلَ مِنْكُمْ وَلاَ
تَنْظُرُوْاإِلَى مَنْ هُوَفَوْقَكُمْ فَاِنَّهُ اَجْدَرُ اَنْ لاَتَزْدَرُوْا
نِعْمَةَ
الله ِعَلَيْكُمْ (رواه مسليم)
Artinya
: “ Pandanglah orang yang dibawah kamu dan janganlah memandang kepada yang
diatasmu,
karena itu akan lebih layak bagimu untuk tidak menghina kenikmatan Allah
untukmu.”
Dalam
kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi, Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim al-Mubarakfuri menjelaskan: Pertama,
memandang kepada orang yang tinggi dalam urusan
agamanya maknanya adalah memandang
kepada orang yang lebih banyak ilmu
agamanya, amal shalihnya, sikap qanâ'ah-nya dan riyâdhah (pengendalian jiwanya).
Kedua, melihat kepada orang yang lebih rendah dalam urusan
dunianya maksudnya adalah melihat kepada orang yang lebih fakir dan lebih sedikit hartanya. Ketiga,
yang dimaksud dengan
memandang kepada
orang yang lebih rendah dalam urusan agama
adalah bahwa ia merasa cukup bahkan bangga dengan amal shalih yang telah ia lakukan. Keempat, yang dimaksud melihat kepada orang yang lebih tinggi dalam urusan
dunianya adalah melihat kepada orang kaya yang selalu fokus mengejar kekayaan, diperbudak harapan dan
angan-angan serta berlaku riya.
Kutipan
hadits serta beberapa komentar di atas pada dasarnya mengajari kita agar:
Pertama, dalam urusan agama kita harus selalu melihat kepada orang yang lebih tinggi dan lebih utama dari diri
kita. Dengan itu, kita akan selalu merasa diri kita kurang dalam kualitas
beragama maupun dalam kuantitas amal shalih kita. Dengan itu pula, kita akan
senantiasa terdorong untuk terus mengejar segala kekurangan kita dalam beragama
untuk menuju 'kesempurnaan' agama kita. Kedua, dalam urusan dunia kita selalu
melihat kepada orang yang
lebih rendah dari kita. Memperhatikan keadaan mereka, jika orang
lain termasuk orang miskin maka kita harus berusaha membantunya sesuai
kemampuan yang kita miliki. Orang muslim yang membantu meringankan kesulitan
orang lain, iaakan mendapat pahala yang lebih besar dari Allah swt. Dengan itu,
kita selalu banyak bersyukur atas apa yang kita miliki, tidak mudah berkecil
hati dan berduka atas sedikitnya harta.
Sayangnya,
banyak di antara kita yang
justru bersikap sebaliknya memandang 'ke bawah' dalam urusan agama, tetapi
melihat 'ke atas' dalam urusan dunia. Akibatnya, dalam hal kualitas beragama
dan kuantitas amal-amalnya, ia merasa cukup dan tak pernah merasa kekurangan.
Sebaliknya, dalam urusan dunia, ia tak pernah merasa puas atas apa yang dia miliki dan terus
terobsesi untuk mengejarnya lebih
banyak lagi. Tak jarang, dengan itu ia dilalaikan oleh kesibukan mencari harta
untuk kehidupan dunia yang
fana dan semu ini, serta lupa untuk terus memperbanyak amal shalih demi bekal
untuk kehidupan akhirat yang
abadi dan hakiki.
5. Hadis tentang perbandingan makan
orang yang beriman dan orang yang kafir
حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ
حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ حَدَّثَنَا بُرَيْدٌ عَنْ جَدِّهِ عَنْ أَبِي مُوسَى عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الْمُؤْمِنُ يَأْكُلُ فِي مِعًى وَاحِدٍ وَالْكَافِرُ
يَأْكُلُ فِي سَبْعَةِ أَمْعَاءٍ
Artinya: “Hadis riwayat Abu Musa رضي الله عنه: ia berkata:Dari Nabi صلی الله عليه وسلم yang bersabda:
Orang mukmin makan dalam satu usus dan orang kafir makan dalam tujuh usus.”
Hadits diatas sudah
jelas bahwa dalam hal makan, makannya orang mukmin dengan orang kafir sangat
jauh. Saking rakusnya orang kafir dalam makan. Mereka mengutamakan hawa nafsu
semata. Sedangkan orang mukmin, makan pun harus sesuai dengan ajaran agama,
tidak boleh terlalu kenyang.
Makan dan minumnya orang
mukmin ada aturan atau tata caranya yakni sebagai berikut:
1. Makanan
dan minuman yang kita nikmati itu benar-benar dari yang halal
2. Makanan
dan minuman itu memang sehat untuk dikonsumsi
3. Sebelum
makan, cuilah tangan kita sampai bersih
4. Mulailah
makan dan minum dengan membaca basmalah dilanjutkan
dengan membaca doa:
اَللَّهُمَّ بَارِكْ
لَنَافِيْمَارَزَقْتَنَاوَقِنَاعَذَابَ النَّارِ
Artinya:
“Ya Allah berkahilah rezeki yang Engkau berikan kepada kami dan peliharalah
kami dari siksaan api neraka”
5. Gunakanlah
tangan kanan untuk makan atau minum. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw.
يَاغُلاَمُ سَمِّ الله
ُتَعَالَى وَكُلْ بِيَمِنِكَ وَكُلْ مِمَّا يَلِيْكَ (رواه البخارى ومسلم)
Artinya: “Wahai pemuda!
sebutlah nama Allah (bacalah basmmalah), makanlah dengan tangan kananmu, dan
makanlah apa-apa yang ada dihadapanmu.”
6. Ambillah
makanan yangada di dekat kita, terutama
pada saat makan bersama
7. Usahakan
makan dan minum sambil duduk
8. Makanlah
sedikit demi sedikit, jangan sampai menjejalkan makanan pada mulut kita
9. Makan
jangan sampai terlalu kenyang
10. Jangan
menyisakan makanan di dalam piring kita
11. Apabila
sudah selesai makan, bacalah doa berikut:
اَلْحَمْدُ للهِ
الَّذِيْ اَطْعَمَنَاوَسَقَانَاوَجَعَلَنَامِنَ الْمُسْلِمِيْنَ
Artinya: “Segala puji bagi Allah yang memberikan
kami makan dan minum dan telah menjadikan kami orang-orang Islam.”
Firman Allah swt. yang berbunyi:
ã@sWtB Èû÷üs)Ìxÿø9$# 4yJôãF{$%2 ÉdO|¹F{$#ur ÎÅÁt7ø9$#ur ÆìÏJ¡¡9$#ur 4 ö@yd Èb$tÈqtFó¡o ¸xsWtB 4 xsùr& tbrã©.xs? ÇËÍÈ
Artinya: “Perbandingan
kedua golongan itu (orang-orang kafir dan orang-orang mukmin), seperti orang
buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat mendengar. Adakah kedua
golongan itu sama keadaan dan sifatnya?. Maka Tidakkah kamu mengambil pelajaran
(daripada perbandingan itu)?.”
Ayat diatas sudah dapat kita bayangkan, bagaimana
perbandingan orang yang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat
mendengar?. Sungguh tidak sama keadaan diantara keduanya. Berbanding sangat
jauh. Begitulah perbandingan makan orang mukmin dengan orang kafir.
BAB III
PENUTUP
A.
SIMPULAN
Orang yang bisa menjaga syahwatnya maka haram
hukumnya masuk neraka dan orang yang malas berbuat kebaikan akan dijauhkan dari
pintu syurga
Bencana yang selama ini terjadi adalah akibat
kesalahan-kesalahan manusia yang sudah tidak akrab lagi dengan alam. Ini
merupakan azab Allah yang sudah ditampakkan didunia. Azab di dunia saja sudah
seperti ini, apalagi azab Allah di akhirat kelak. Solusi agar bencana tidak
selalu datang adalah kita harus bertaubat kepada Allah atas segala dosa-dosa
yang telah kita lakukan, selalu bershadaqah dan selalu berdoa, memohon
pertolongan kepada Allah swt.
Ketika azal menjemput,
tidak ada yang menemani kita kecuali amal perbuatan kita selama di dunia. Harta
yang berlimpah ruah dan keluarga pun tidak akan menjamin kita masuk surga.
Semua tergantung amal perbuatan kita.
Kita harus memandang
yang lebih rendah dalam hal duniawi. Memperhatikan keadaan orang-orang yang
kurang mampu, dan membantu mereka sekemampuan kita.
Perbandingan makan orang mukmin dengan orang kafir
seperti orang buta dan tuli dengan orang yang dapat melihat dan dapat
mendengar. Sungguh, terlihat perbedaan keadaan antara keduanya. Dalam Islam,
makan pun memiliki aturan-aturan tertentu, seperti membaca doa ketika hendak
dan sesudah makan. Sedangkan orang kafir, hanya mementingkan hawa nafsu semata.
B.
SARAN
Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi
pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan
kelemahannya, karena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau
referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini.
Penulis banyak berharap para pembaca yang budiman dapat memberikan
kritik dan saran yang membangun kepada penulis demi sempurnanya makalah ini dan
penulisan makalah di kesempatan - kesempatan berikutnya.
Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya juga para
pembaca yang budiman pada umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al Quranul Kariim
Abu
bakar Aceh.
1979 Pengantar Ilmu Tarikat, Ramadhani,
Semarang.
Bahreisj,
Hussein.
Hadits
Shahih Al-Jamiusshahih Bukhari-Muslim. Karya Utama. Surabaya.
Buku
paket SMP kelas VIII.
Dadan
Nurulhaq.
2010 Ilmu Akhlak/Tasawuf. Kati Berkat Press.
Bandung.
Choer
Affandy.
Mutiara
Hikmah. Pesantren Miftahul Huda. Tasikmalaya.
Imam
Nawawi.
Al
Adzkar An nawawi. Darul ‘ilmi. Surabaya.
M.
Shalihin.
2005 Akhlak Tasawuf Manusia, Etika, dan Makna
Hidup. Nuansa. Bandung.
Muhammad Abdurrahman bin Abdurrahim
al-Mubarakfuri
Kitab Tuhfah al-Ahwadzi bi Syarh Jâmi' at-Tirmidzi,
Muhammad Faiz Almath.
1991 1100 Hadits Terpilih Sinar Ajaran Muhammad. Gema Insani Press. Jakarta.
Jalaludin Abdurrahman.
Kitab
Jaami’us Shaghir. Maktabah Darul Ihya Kutubil ‘Arabiyah. Indonesia.
Rahmat
Syafe’I.
2000 Al Hadis.
Pustaka Setia. Bandung.
Sulaiman
Rasjid.
1964 Fiqh
Islam. Sinar Baru Algesindo. Jakarta.
Usin
Artyiasa.
2006 Kumpulan do’a – do’a. Tafakur. Bandung.
Assalamu'alaikum
BalasHapusMohon izin copy paste tulisannya.
Terimakasih banyak, ini sangat membantu.
Jazakallohu Ahsanal Jaza'
Wassalamu'alaikum