Judul Buku :
Filsafat Ilmu
Edisi/Cetakan :
Pertama/kedua
Pengarang : DR. Amsal Bakhtiar, M.A.
Penerbit
: Rajawali Pers, 2005
Tebal
Buku (Halaman) : 239 + XIV
Buku
ini berjudul Filsafat Ilmu yang ditulis oleh DR. Amsal Bakhtiar, MA (penulis) dosen
Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Jakarta. Tujuan penulisan buku ini adalah
untuk mendorong dan membantu civitas akademika dalam proses perkuliahan tentang
Filsafat Ilmu. Selain itu buku ini juga berguna bagi kaum awam untuk menyelami
dan memperluas wawasan tentang hakikat ilmu secara filsafat.
Pada
awalnya pandangan pemikiran manusia sangat dipengaruhi oleh paham mitosentris
yaitu bahwa semua kejadian dialam raya ini dipengaruhi oleh para dewa. Thales
(624-546 SM), sebagai bapak filsafat disusul kemudian oleh Phytagoras (572-497
SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-332 SM) merupakan filosof-filosof
pertama yang mengubah pola pikir manusia yaitu dari pola pikir mitosentris ke
pola pikir logosentris. Aristoteles bahkan telah memperkenalkan “Allah” sebagai
penggerak Pertama atau Aktus Murni sebagai sumber dari segala sumber penggerak
Bagian
pertama buku ini membahas tentang Ruang Lingkup Filsafat Ilmu. Filsafat dan
Ilmu adalah dua kata yang terpisah tetapi saling terkait. Filsafat sebagai
proses berfikir yang sistematis dan radikal mempunyai obyek material dan obyek
formal. Obyek materinya adalah segala yang ada baik yang tampak (dunia empirik)
maupun yang tidak tampak (alam metafisik). Sementara Ilmu juga memiliki dua
obyek yaitu obyek material dan obyek formal. Obyek materialnya adalah alam
nyata misalnya tubuh manusia untuk ilmu kedokteran, planet untuk ilmu astronomi
dan lain sebagainya. Sedangkan obyek formalnya adalah metoda untuk memahami
obyek material misalnya pendekatan induktif dan deduktif.
Ada
filosof yang menyatakan bahwa ilmu semakin jauh dari induknya yaitu filsafat.
Penulis memilih sebuah contoh yang tepat yang dikutip dari Will Durant. Oleh
Will Durant diibaratkan bahwa, filsafat bagaikan pasukan marinir yang merebut
pantai untuk pendaratan pasukan infantri. Pasukan infantri ini adalah
pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafat menyediakan tempat berpijak
bagi kegiatan ilmu pengetahuan. Setelah itu ilmu berkembang sesuai dengan
spesialisasinya masing-masing, sehingga ilmulah yang secara praktis membelah
gunung dan merambah hutan dan filsafat kembali ke laut lepas untuk berspekulasi
dan melakukan eksplorasi lebih jauh.
Pada
bagian ini juga dituliskan bahwa, pada perkembangan berikutnya filsafat bukan
hanya dipandang sebagai induk dan sumber ilmu, tetapi sudah menjadi bagian dari
ilmu itu sendiri dan bersifat sektoral misalnya filsafat agama, filsafat hukum
dan filsafat ilmu.
Selanjutnya
diberikan definisi filsafat atau falsafat (bahasa Arab) sebagai cinta
kebijaksanaan atau kebenaran (love of wisdom). Juga diberikan pengertian
falsafat yang beragam seperti : upaya spekulatif untuk menyajikan suatu
pandangan sistematik dan lengkap tentang seluruh realitas, menentukan
batas-batas dan jangkauan pengetahuan : sumbernya, keabsahannya dan nilainya.
Masih ada beberapa pengertian lain yang dituliskan pada halaman 5 sampai 10
diantaranya menurut Al-Farabi (W 950M) bahwa falsafat adalah ilmu tentang yang
maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
Diberikan
juga pengertian kata hikmah (sophos) yang merupakan salah satu makna dari
falsafat yaitu mencintai hikmah. Fuad Iframi, Ibnu Mundzir, Al-Jurjani dan Ibn
Sina memberikan pengertian hikmah yang secara tekstual berbeda namun secara
kontekstual tetap sejalan. Salah satu diantaranya yang didefinisikan oleh Ibn
Sina. Menurutnya hikmah adalah mencari kesempurnaan diri manusia dengan
menggambarkan segala urusan dan mebenarkan segala hakikat baik yang bersifat
toeri maupun praktik menurut kadar kemampuan seseorang.
Salah
satu sub-bagian dari bagian ini adalah penjelasan tentang pengertian ilmu,
persamaan dan perbedaan antara filsafat dan ilmu. Oleh penulis, dijelaskan
bahwa ilmu adalah bagian dari penegtahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang
terklasifikasi, tersistem dan terukur serta dapat dibuktikan kebenarannya secra
empiris. Sementara pengetahuan adalah informasi yang berupa common sense yang
belum tersusun secara sistematis baik mengenai metafisik maupun fisik. Penulis
juga menyimpulkan bahwa filsafat ilmu merupakan kajian secara mendalam tentang
dasar-dasar ilmu sehingga filsafat ilmu perlu menjawab persoalan ontologis
(obyek telaah), epistemologis (proses, prosedure, mekanisme) dan aksiologis
(untuk apa)
Yang
terakhir dari bagian ini adalah penjelasan tentang tujuan filsafat ilmu. Dalam
buku ini diberikan 5 tujuan filsafat ilmu dan salah satunya adalah memberikan
penegasan bahwa dalam persoalan sumber dan tujuan, antara ilmu dan agama sama
sekali tidak ada pertentangannya.
Bagian
kedua dari buku ini menjelaskan tentang sejarah perkembangan filsafat yang
dibagi dalam tiga periode. Periode pertama merupakan masa awal dari kaum
filosof alam yang dimulai dari Thales hingga Parmanides. Dalam periode pertama,
para filosof dengan segala pendapat dan pandangan yang berbeda-beda, dianggap
tidak dapat memberikan jawaban yang memuaskan tentang manusia dan kebenaran.
Periode
berikutnya yang dikenal dengan sebutan periode kaum “sofis” yang dimotori oleh
Protagoras yang menyatakan bahwa manusia adalah ukuran kebenaran yang merupakan
cikal bakal humanisme. Kaum sofis memberikan ruang gerak pada ilmu untuk
berkembang, berspekulasi dan merelatifkan teori ilmu. Mereka beranggapan bahwa
ilmu itu terbatas tetapi proses mencari ilmu tak terbatas. Periode berikutnya
adalah filosof yang menentang pandangan kaum sofis tentang relativisme kaum
sofis.
Periode
ini dimotori oleh Sokrates, Plato dan Aristoteles. Socrates terkenal dengan
semboyannya “kenalilah dirimu sendiri” Plato murid Socrates yang cerdas mampu “mendamaikan”
pandangan Hiraklitos dan Parmanides serta Aristoteles murid Plato yang lebih
dikenal dengan analisis silogisme-nya. Aristoteles juga merupakan filosof
rasionalisme penutup dari filsafat Yunani yang mampu membagi filsafat dalam dua
bagian yaitu yang bersifat teoritis dan praktis.
Pada
bagian ini juga dijelaskan sejarah perkembangan ilmu yang dibagi dalam tiga
periode pula yaitu : perkembangan ilmu zaman Islam, kemajuan ilmu zaman
Renaisans dan modern serta kemajuan ilmu zaman Kontemporer. Perkembangan
pengetahuan zaman Islam dimulai sejak peristiwa Fitnah Al-Kubra yang dimotori
oleh Abdullah Ibn Umar dan Abdullah Ibn Abbas. Kemajuan pesat mencapai
puncaknya dizaman pemerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah. Salah
satu pelopornya adalah Al Mansur yang memerintahkan penerjemahan buku-buku
filsafat Yunani kedalam bahasa Arab.
Namun
kejayaan Islam ini akhirnya jatuh dan runtuh hingga mencapai titik terendah
pada abad ke-18 M. Kemunduruan ini oleh Iqbal disebabkan karena diterimanya
faham Yunani yang menyatakan bahwa ilmu itu statis adanya, padahal sesungguhnya
ilmu menurut pandangan Islam adalah sesuatu yang dinamis. Menurut Amin Abdullah
ilmu itu selalu mengalami pergeseran (shifting paradigm) karena merupakan
kegiatan histories yang terkait dengan ruang dan waktu. Zaman renaisans dipelopori
oleh salah satunya yaitu N. Copernicus dan. Copernicus terkenal teori
Heliosentris-nya.
Revolusi
pemikiran ini memicu pertentangan antara pemikir dan gereja Katolik Roma.
Akibat revolusi pemikiran ini melahirkan F. Bacon dengan Knowledge is Power-nya,
Tycho Brahe dengan gugusan bintang Cassiopeia-nya, Y. Keppler dengan ilmu
Asronomi-nya, Galileo dengan ilmu gerak-nya serta Napier dengan logaritma
berbasis e-nya dan sedert nama lainnya. Perkembangan zaman modern dipelopori
oleh I. Newton dengan teori grafitasi-nya yang selanjutnya berkembang ilmu
kimia yang dipelopori oleh J. Black dengan CO2-nya sampai pada masa penemuan
elektron oleh J.J Thompson yang menggugurkan teori atom sebagai bahan terkecil
yang tidak dapat berubah dan bersifat kekal. Yang terakhir dijelaskan dalam
bagian ini adalah kemajuan ilmu zaman kontemporer adalah kemajuan ilmu yang
kita alami sekarang ini meliputi semua bidang ilmu dan teknologi. Beberapa
diantaranya adalah kajian ilmu sosial keagamaan yang ditulis oleh Clifford Geertz
tentang santri, priyayi dan abangan. Embryo splitting technique oleh Jerry
Hall, Teknologi Informasi dan lain lainnya.
Bagian
ketiga buku ini menjelaskan tentang Pengetahuan dan Ukuran Kebenaran. Banyak
definisi yang dikemukan dalam buku ini, namun salah satu diantaranya yang
menyatakan : pengetahuan adalah kebenaran. Disepakati bahwa ada empat macam
pengetahuan yaitu pengetahuan biasa (common sense), pengetahuan ilmu
(pengetahuan common sense yang terorganisasi dan sistematis)) dan pengetahuan
filsafat serta pengetahuan agama. Secara teori, hakikat pengetahuan dapat
diperoleh melalui dua pandangan yaitu pandangan realisme dan idealisme.
Pengetahuan menurut pandangan realisme adalah gambaran atau copy dari yang
sebenarnya ada dalam alam nyata, artinya pengetahuan adalah benar dan tepat
jika sesuai dengan kenyataannya, sementara ajaran idealisme menegaskan bahwa
pengetahuan yang benar-benar sesuai dengan kenyataan adalah mustahil,
pengetahuan adalah sebuah proses mental/psikologis yang bersifat subyektif.
Pada
bagian ini juga dijelaskan bahwa ada tiga sumber pengetahuan yaitu secara
empiris yaitu melalui pengalaman. John Locke adalah bapak empirisme dengan
teori tabula rasanya. Kelemahan dari teori ini terletak pada
kelemahan/keterbatasan indera sebagai pengumpul pengalaman. Teori yang kedua
adalah rasionalisme yang lebih mengutamakan pada kemampuan akal sebagai dasar
kepastian pengetahuan. Pengetahuan yang benar diperoleh dan diukur dengan akal
melalui kegiatan menangkap obyek.Intuisi adalah salah satu sumber pengetahuan
yang merupakan hasil dari evolusi pemahaman yang tertinggi, demikian yang
dikatakan oleh Henry Bergson. Sumber pengetahuan tertinggi adalah wahyu yang
merupakan penyampaian pengetahuan langsung dari Allah S.W.T melalui nabi dan
rasul-Nya tanpa upaya, tanpa bersusah payah dan tanpa memerlukan waktu untuk
mendapatkannya. Pengetahuan para nabi dan rasul terjadi atas kehendak Allah
S.W.T dengan mensucikan jiwa mereka dan diterangkan-Nya jiwa mereka untuk
memperoleh kebenaran melalui wahyu.
Penjelasan
tentang ukuran kebenaran juga merupakan sub-bagian dari bagian ketiga buku ini.
Berpikir adalah suatu proses untuk memperoleh kebenaran, namun kebenaran yang
didapat adalah kebenaran yang bersifat relatif. Karena sifat relatifnya itulah
maka dibuat kategari kebenaran dalam tiga jenis yaitu kebenaran epistemologis,
kebenaran ontologis dan kebenaran semantis. Kebenaran epistemologis adalah
kebenaran yang berhubungan dengan pengetahuan manusia, kebenaran dalam
ontologis adalah kebenaran sesebagai sifat dasar yang melekat pada hakikat
segala sesuatu yang ada atau duadakan dan kebenaran semantis adalah kebenaran
yang terdapat dan melekat dalam tutur kata dan bahasa.
Dalam
bagian ini yang dijelaskan hanya kebenaran epistemologis saja dengan anggapan
penulis bahwa kebenaran ontologis dan semantis sudah tercakup didalamnya. Ada
empat teori yang menjelaskan tentang kebenaran epistemologi yaitu yang pertama
adalah teori korespondensi, yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
kemanunggalan antara subyek (esensi yang diberikan) dengan obyek (esensi yang
melekat pada obyeknya). Kedua adalah teori koherensi yang menyatakan bahwa
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan
putusan-putusan sebelumnya yang telah diketahui dan diakui kebenarannya
terlebih dahulu. Disebut koheren jika memenuhi empat syarat penegrtian yang
bersifat psikologis, logis, kepastian dan keyakinan tidak dapat dikoreksi dan
kepastian yang dignakan dalam pembicaraan umum. Teori kebenaran yang ketiga
adalah pragmatisme kebenaran yang menyatakan bahwa benar tidaknya sesuatu
ucapan, dalil semata-mata bergantung pada azas manfaat (bersifat fungsional
bagi manusia) dan teori terakhir adalah agama sebagai teori kebenaran. Dalam
teori ini sesuatu dinyatakan benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau
wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.
Bagian
terakhir dari bab ini adalah klasifikasi dan hierarki ilmu. Al-Farabi,
Al-Ghazali, Quthb al-Din dan Muhammada al-Bahi adalah cendekiawan muslim yang
banyak menulis tentang klasifikasi ilmu. Al-Ghazali adalah salah satunya yang
memberikan pengklasifikasian ilmu yang terdiri dari ilmu syar’iyyah dan
aqliyyah. Ilmu Syar’iyyah meliputi al-ushul yaitu ilmu tauhid, kenabian,
akhirat dan sumber ilmu (Al-Qur’an, Hadist, ijma dan tardisi sahabat), furu
yaitu : ilmu ibadah, muamalah dan akhlak. Sementara ilmu Aqliyyah meliputi
matematik, logika, fisika, kedokteran, kimia dan ilmu tentang metafisika.
Bagian
keiga dari buku ini membahas tentang Dasar-dasar Ilmu yang dibagi atas tiga
bagian yaitu ontologis, epistemologi dan aksiologi yang secara ringkas dapat
dituliskan sebagai berikut.
Secara
istilah ontologi adalah ilmu yang memperlajari tenatng hakikat yang ada (ultimate
reality) baik jasmani/konkret maupun rohani/abstrak. Didalam pemahaman ontologi
ditemukan pandangan-pandangan seperti monoisme yang menyatakan bahwa hakikat
yang asal itu hanya satu. Cabang dari monoisme ini adalah materialisme yang
berpandangan bahwa hakikat yang asal adalah satu yaitu dari materi, sementara
cabang lainnya yaitu idealisme yang berpandangan bahwa segala yang asal itu
berasal dari ruh.Pandangan lainnya adalah dualisme yang menyatakan bahwa segala
sesuatu berasal dari dua unsur yaitu materi dan ruh, jasmani dan rohani.
Pandangan lainnya adalah pluralisme yang menyatakan bahwa kenyataan alam ini
tersusun dari banyak unsur, lebih dari satu atau dua entitas yaitu unsur tanah,
air, api dan udara. Ada juga faham nihilisme yang nampaknya frustrasi
menghadapi relaitas. Realitas harus dinyatakan tunggal dan banyak, terbatas dan
takterbatas, dicipta dan takdicipta, semuanya serna kontradiksi, sehingga lebih
baik tidak menyatakan apa-apa tentang realistas. Pandangan terakhir yang
dikemukan oleh penulis adalah agnostisisme yang merupakan pemahaman yang
menolak realitas mutlak yang bersifat trancendental.
Epistemologi
atau teori pengetahuan adalah cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan
ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta
pertanggung-jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki.
Pengetahuan yang diperoleh manusia melalui akal, indera dan lain-lain mempunyai
metode tersendiri dalam teori ilmu pengetahuan diantaranya metode induktif,
metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatif, dan metode dialektis.
Dengan kamajuan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini, Gregory Bateson
menilai kemajuan ini cenderung memperbudak manusia akibat dari kesalahan
epistemologi barat dan ini harus diluruskan.
Upaya
pelurusan kekeliruan epistemologi barat dapat dilakukan dengan memanfaatkan
aksiologi. Aksiologi mempunyai banyak definisi, salah satu diantaranya
dikemukakan oleh Bramel bahwa aksiologi terdiri dari tiga bagian yaitu moral
conduct, esthetic expression dan sosio-political life. Aksiologi harus
membatasi kenetralan tanpa batas terhadap ilmu pengetahuan, dalam arti bahwa
kenetralan ilmu pngetahuan hanya sebatas metafisik keilmuan, sedangkan dalam
penggunaannya haruslah berlandaskan pada nilai-nilai moral .
Bab
terakhir dari buku ini membahas tentang sarana ilmiah. Bahasa, matematika dan
statistik serta logika merupakan sarana untuk pengembangan ilmu pengetahuan.
Dengan kemampuan kebahasaan akan terbentang luas cakrawala berpikir seseorang
sehingga tiada batas dunia baginya. Matematika juga merupakan bahasa yang
melambangkan serangkaian makna dari serangkaian pernyataan yang ingin
disampaikan. Lambang-lambang matermatika bersifat artifisial yang mempunyia
arti tersendiri. Sementara buku ini mendefenisikan statistika sebagai
sekumpulan metoda untuk membuat keputusan yang bijaksana dalam keadaan yang
tidak menentu. Sarana ilmiah lainnya adalah logika. Logika adalah sarana untuk
berfikir sistematis, valid dan dapat dipertanggung-jawabkan. Untuk mendapatkan
sebuah kesimpulan, mungkin membutuhkan pemikiran yang rumit, panjang dan
berliku-liku, sehingga diperlukan hukum-hukum pikiran beserta mekanisme yang
dapat digunakan secara sadar untuk mengontrol perjalanan pikiran yang sulit dan
panjang itu. Buku ini menyebutkan ada tujuh aturan berpikir dengan benar yaitu
: mencintai kebenaran, menyadari apa yang dikerjakan, menyadari apa yang
dikatakan, dapat membedakan dua hal yang “sama” tetapi tidak “identik”,
mencintai definisi yang tepat, menyadari kenapa membuat kesimpulan demikian dan
mampu menghindari dan mengindentifikasi kesalahan pemikiran.
Demikian
resensi buku daras Filsafat Ilmu ini disajikan, mudah-mudahan mampu menggugah
pe-resensi untuk terus mencari dan bertualang didunia ilmu dan akhirnya
memutuskan dengan berpedoman pada moralistas universal, semoga
............,wa
maa uwtiytum minal ilmi illaa kaliylaa
Wallaahu
a’lam
0 komentar:
Posting Komentar