Konsep
Epistemologi Islam Menurut Ziauddin
Sardar
BAB I
PENDAHULUAN
Sebagian besar dunia Islam
pada masa sekarang tengah menghadapi pertentangan peradaban yang sangat kuat.
Topik yang berkaitan dengan bagaimana pola interaksi antara berbagai pemikiran
dan kepercayaan, telah menjadi sebuah topik yang dibahas secara meluas. Manusia
dengan berbagai kepercayaan dan pandangan, senantiasa berada dalam penilaian
orang lain. Demikian juga dengan agama dan ideologi. Ideologi yang memiliki
logika dan ajaran yang jelas, akan mampu mempertahankan cita-citanya.
Sebaliknya, ajaran yang tidak berdiri di atas fondasi yang kokoh, akan gagal
ketika berhadapan dengan kritikan dan pembahasan dari pihak lain.
Samuel Huttngton, pemikir
Amerika, telah menyajikan pandangan dalam hal ini dalam bukunya yang berjudul
“Perbenturan Antar Peradaban” yang terbit pada tahun 1993. dalam buku itu,
Huttington menulis bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin, dunia akan
terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan perbedaan budaya masing-masing,
dan hal ini akan menimbulkan pertentangan atau perbenturan antar peradaban.
Francis Fukuyama, peneliti lain dari Amerika dalam bukunya yang berjudul
“Berakhirnya Sejarah” menyebutkan bahwa liberalisme Barat merupakan ideologi
yang terunggul dari puncak pemikiran manusia. Fukuyama meyakini, agama dan
ideologi lain akan kalah dihadapkan dengan ideologi Barat ini.
pandangan yang cenderung pada dendam dan bersifat monopoli yang disampaikan oleh kedua cendikiawan AS itu mendapat protes meluas dari banyak pemikir dan cendikiawan dunia, termasuk di Barat sendiri. Akhirnya, Huttington dan Fukuyama terpaksa meralat pandangan mereka tersebut. Huttington dalam salah satu ucapannya mengakui kemungkinan kebangkitan peradaban Islam seraya berkata, “saya telah melakukan kesalahan dalam teori yang saya utarakan di buku Perbenturan Antar peradaban, sebagaimana juga para cendikiawan lain di masa lalu pernah melakukan kesalahan.[1]
pandangan yang cenderung pada dendam dan bersifat monopoli yang disampaikan oleh kedua cendikiawan AS itu mendapat protes meluas dari banyak pemikir dan cendikiawan dunia, termasuk di Barat sendiri. Akhirnya, Huttington dan Fukuyama terpaksa meralat pandangan mereka tersebut. Huttington dalam salah satu ucapannya mengakui kemungkinan kebangkitan peradaban Islam seraya berkata, “saya telah melakukan kesalahan dalam teori yang saya utarakan di buku Perbenturan Antar peradaban, sebagaimana juga para cendikiawan lain di masa lalu pernah melakukan kesalahan.[1]
Namun, meskipun teori-teori
pertentangan antar peradaban telah ditolak banyak pihak, para politikus Barat
yang bekerjasama dengan para kelompok ambisius perang, khususnya di Amerika,
tetap saja memukul genderang perang terhadap peradaban Islam. Pada tahun-tahun
terakhir ini, sikap konfrontatif Barat dan penentagan atas dialog dengan
peradaban Islam semakin meningkat. Para penguasa dan kapitalis Barat berusaha
untuk menonjolkan Barat sebagai peradaban yang paling unggul, dan peradaban
Islam dicitrakan sebagai peradaban yang teror sehingga harus diberantas.
Padahal bila dilihat secara
objektif, kebijakan ekpansionis dan fanatisme Barat lah yang merupakan bahaya
terbesar bagi keamanan dan perdamaian masyarakat dunia. Kini, AS bahkan telah
menjadi simbol dan teori benturan antar peradaban. Presiden Amerika George
W.Bush selepas serangan 11 September 2001, melancarkan perang melawan terorisme
dan menyebutnya sebagai kelanjutan Perang Salib. Secara tersirat, semua bisa
menilai bahwa yang dimaksud Bush adalah perang melawan peradaban Islam.[2]
Hari ini, dunia menyaksikan
bahwa Amerika dan Inggris dengan semena-mena telah menyerang dua negara Islam,
yaitu Afghanistan dan Irak. Tentara AS setiap hari melakukan kekejaman di
negara-negara itu dibawah kedok demokrasi dan kebebasan. Operasi pemberantasan
terorisme di seluruh dunia dilancarkan dengan sasaran umat Islam. Pasca ledakan
London tanggal 7 Juli, berbagai tuduhan telah dilemparkan kepada umat Islam dan
meluaslah sentimen anti Islam di Barat. Padahal sebagaian cendikiawan politik
percaya bahwa dibalik aksi terorisme tersebut ada campurtangan dari organisasi
spionase Barat dengan tujuan agar sentimen anti Islam semakin menyala di Barat.
Sebagai seorang pemikir
muslim, Ziauddin Sardar, mengemukakan pandangannya untuk melakukan revavilasi
terhadap kebudayaan dan peradaban Islam. Ia menawarkan suatu rencana garis
besar untuk membangun kembali suatu peradaban muslim yang subur dan dinamis.
Dalam proyek ini Sardar mengajukan sebuah pendekatan yang mendalam pada
analisis historis rencana-rencana operasional terinci untuk masa depan. Selain
itu, Sardar pun menerapkan wawasan sistem atas masa lampau dan masa kini dunia
muslim di dalam suatu konteks budaya. Ia mengembangkan suatu metodologi untuk
pengarahan-kembali ke jalur Islam.
BAB 11
PEMBAHASAN
A.PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Pada bab ini akan ditelusuri
secara lebih komprehensif mengenai definisi epistemologi baik secara definitif
maupun secara etimologi. Pengertian-pengertian epistemologi tersebut akan
dibahas dengan cara membandingkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari para
ahli. Selain itu, pemikiran-pemikiran dari para filsuf baik dari kalangan Barat
maupun kalangan Islam diklasifikasikan berdasarkan pokok-pokok permasalahannya
masing-masing.
1.Pengertian secara Etimologis
Ditinjau secara etimologis,
dalam kamus filsafat Lorens Bagus dikemukakan bahwa kata epistemologi berasal
dari bahasa Yunani episteme yang
berarti pengetahuan , dan kata logos
yang berarti pengetahuan atau informasi. Sehingga dapat dikatakan kata
epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan, atau dapat disebut juga
“teori pengetahuan.”[3]
Sementara, Miska Amin
menjelaskan bahwa epistemologi berarti teori, uraian atau alasan. Berhubungan
dengan filsafat pengetahuan, term logos lebih tepat diterjemahkan dalam arti
teori, jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. Dalam
bahasa Inggris dipergunakan istilah theory
of knowledge[4].
2.Pengertian menurut definisinya
Bertens memberikan batasan
bahwa istilah epistemologi digunakan untuk menunjukkan filsafat ilmu
pengetahuan, dalam arti suatu studi kritis tentang prinsip-prinsip,
hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil berbagai ilmu yang bertujuan menentukan
nilai dan jangkauan objektifnya. Selain itu, epistemologi juga merupakan suatu
refleksi kritis tentang pengetahuan manusiawi pada umumnya[5].
Sidi Gazalba melihat bahwa
epistemologi merupakan pengkajian tentang asal, berlakunya dan hubungan dengan
pengetahuan dengan pengalaman manusia[6].
Sementara Harun Nasution
membatasi epistemologi sebagai ilmu yang membahas mengenai hakikat dari
pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Ia menambahkan bahwa
hakikat di sini yaitu keadaan mental yang memfalsifikasikan konsep dengan
realitas[7].
Hardono Hadi menjelaskan,
epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan
bidang kajian pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta
tanggungjawab pengetahuan.[8]
Dari beberapa pengertian di
atas tampak jelas bahwa epistemologi membahas mengenai masalah-masalah yang
berkaitan dengan filsafat, metode dan sistem.[9]
Yaitu:
- filsafat;cabang dari filsafat yang berupaya mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
- metode; yaitu langkah-langkah sistematis yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan.
- sistem; yaitu organisasi pikiran dalam mencapai realitas kebenaran dari pengetahuan itu sendiri.
B. PERBEDAAN PENGETAHUAN DENGAN ILMU
Dari pengertian-pengertian di
atas, seringkali terjadi kesalahan pemahaman antara pengetahuan dengan ilmu.
Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara lebih terperinci perbedaan antara
pengetahuan dengan ilmu, sehingga lebih jelas karakter-karakter dari kedua
terma tersebut di atas.
1.
Pengetahuan
Kata pengetahuan berasal dari
bahasa Inggris knowledge. Pengetahuan
merupakan hasil “”tahu” manusia atau hasil dari upaya tahu manusia dalam
memahami objek yang dihadapinya.[10]
Sedangkan menurut Sidi Gazalba, pengetahuan merupakan kesatuan antara subjek
yang mengetahui dan objek yang diketahui. Dalam kesatuan itu, objek berada
dalam rohani subjek sebagai yang dikenal.[11]
Sementara Kenneth T. Gallagher menjelaskan, pengetahuan bermaksud memahami
benda sebagaimana adanya.[12]
Lain halnya dengan Lorens
Bagus, dalam pengertiannya, pengetahuan itu adalah proses kehidupan yang
diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini,
yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri
sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada
dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[13]
Cara memperoleh pengetahuan
tergantung dari objek yang dihadapinya. Jika objek tersebut berwujud materi,
maka cara pemahamannya melalui persepsi indera maupun akal. Dan jika objek yang
dihadapinya bersifat abstrak, seperti jiwa, maka cara memahaminya melalui
proses komprehensi atau dapat pula berwujud substansi yang dipahami lewat
persepsi.
2.
Ilmu
Term ilmu diambil dari bahasa
Arab ilm atau dalam bahasa Inggris science. Berbeda dengan pengetahuan,
ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satau putusan tersendiri,
sebaliknya, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (alam
objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis.[14]
Ilmu dapat juga diartikan
sebagai suatu proses yang membuat pengetahuan. Miska Amin mengutip pendapat
Paul Freedman dalam karya The Iiang Gie:
“ilmu adalah suatu bentuk aktifitas manusia yang melakukannya umat manusia
memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap lebih
cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta kemampuan
yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan merubah lingkungannya serta
mengubah sifat-sifatnya sendiri”.[15]
Secara umum, perbedaan
pengetahuan dengan ilmu terletak pada ciri sistematik dan bagaimana cara
memperolehnya. Namun, dalam bahasa Indonesia, antara pengetahuan dan ilmu
senantiasa disamakan artinya. Karena makna dari ilmu itu sndiri jika dikaji
dalam bahasa asalnya (bahasa Arab), berarti pengetahuan. Oleh karena itu,
definisi antara pengetahuan dan ilmu adalah sama.
C. Epistemologi Ziauddin Sardar
Al-Quran dan Sunnah merupakan
pedoman mutlak sistem nilai-nilai Islam. Selain itu, kedua sumber inipun
merupakan pusat sistem Islam dalam mengembangkan nalar dan ruhaninya. Dalam
pengamatan Sardar, di dalam Islam terdapat suatu tanda paling penting yang
menunjukkan kemualiaan derajat manusia, di samping kebijakan, yaitu adanya
aspek-aspek dasar peradaban yang di dalam Islam diusahakan untuk disebarkan.
Aspek-aspek dasar peradaban itu antara lain: materialisme, rasionalisme dan
mistisme.[16]
1.
Materialisme
Materialisme adalah suatu
aturan sosial yang didirikan semata-mata atas persepsi indera beserta
pegertiannya. Dia hanya menerima apa yang datang lewat indera dan menolak
segala sesuatu yang tidak dapat dirasakan lewat organ-organ indera. Karena itu,
materialisme menyangkal semua bentuk pengetahuan yang lebih tinggi
(transenden), dan lebih cenderung pada tujuan jangka pendek, sebab lebih sesuai
dengan pengertian indera. Akibat adanya pandangan semacam ini, muncul suatu
sikap pemujaan terhadap materi dan dicampakkannya prinsip-prinsip:ideologi,
hukum etika dan moral.
2.
Rasionalisme
Rasionalisme adalah pandangan
yang tidak menerima apapun kecuali yang sesuai dengan nalar dan akal manusia.
Sebagai suatu istilah, rasionalitas mengandung arti pemikiran dan tindakan yang
selaras dengan aturan logika dan pengetahuan empiris sebagai suatu tinjauan
dunia, rasionalisme menuntut agar sasaran-sasaran dari penindak, sarana-sarana
yang ada serta batasan dari tindakan-tindakannya, telah ditetapkan secara
tepat. Tujuannya adalah untuk mencapai sesuatu yang rasional secara tepat guna,
yang memberikan hasil sebanyak-banyaknya. Yang rasional itu, di hampir semua
hal adalah yang bersifat material juga.
3.
Mistisme
Mistisme adalah antitesis dari
materialisme dan rasionalisme. Bertentangan dengan materialisme dan
rasionalisme, yang menyangkal bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih tinggi,
mistisme berusaha menemukan kebinasaan zat dan matinya jasmani. Ajaran ini
menganjurkan tapabrata, penghancuran diri sendiri, kehidupan membujang, dan
penahanan keinginan dari kesenangan-kesenangan inderawi. Ini menyebabkan sikap
apatis terhadap jasmani dan kebutuhan-kebutuhannya. Dengan begitu, maka
mistisme ini sama-sama bersifat satu dimensional, seperti materialisme dan
rasionalisme. Mereka mengetengahkan ujung spektrum yang berkebalikan.
Islam menempatkan tiga aspek
peradaban di dalam kendali suatu sistem spiritual yang moderat. Dengan begitu
maka suatu perpaduan, dalam dosis yang benar, dapat dicapai dari materialisme,
rasionalisme dan mistisme.
- Islam menempatkan satu lingkaran penjagaan spiritual untuk melindungi individu dan masyarakat. Lingkaran penjagaan itu mengatur kehidupan spiritual dan moral dengan cara sebegitu rupa sehingga dia berhasil memberikan semua kebutuhan spiritual yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Hal ini dapat dicapai melalui: shalat, zakat, shaum, haji dan taqwa.
- Islam memberikan kebebasan kepada usaha-usaha rasional dan intelektual dalam lingkup norma-norma dan nilai-nilainya. Dalam batasan-batasan ini nalar dan akal tidak sampai pada tingkat kelaliman yang menyebabkan mereka menjadi satu-satunya pendekatan menuju pengetahuan. Dengan catatan, rasionalitas selalu diletakkan di bawah ketentuan norma dan nilai.
- Islam menyetujui materialisme yang tidak berlebihan. Materialisme mendorong umat muslim untuk mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Setiap individu berhak untuk mengejar materi, namun tidak menggunakannya ke arah yang salah.
- Mereka yang pencarian spiritualnya tidak terpenuhi oleh lingkaran dasar penjagaan spiritual Islam-yaitu shalat, zakat, shaum, haji dan taqwa-ditawari suatu sistem yang menyeluruh dan tradisi dari pengetahuan, pemahaman dan perenungan murni: makrifat.
Dalam perpaduan dari tiga
aspek peradaban, Islam memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan segenap
kekuatan dan kelemahannya, kebutuhan dan keinginannya. Dia tidak dianggap
remeh, tidak juga dianggap setengah dewa. Dia tidak bisa bergerak tanpa adanya
benda-benda material tertentu, juga tidak bisa tanpa penerangan spiritual
tertentu. Dia tidak mutlak rasional, juga tidak juga benar-benar irrasional.
Dia tidak ada di atas atau di luar bagian alam raya, melainkan merupakan bagian
dari seluruh sistem itu, suatu unsur integral dari seluruh kosmos.[17]
D. Konsep Epistemologi Islam
Sejarah Islam adalah
dialektika dari pembacaan, pemahaman, dan penerimaan terhadap teks. Namun
demikian, di dalam setiap proses pembacaan, pemahaman dan penerimaan terhadap
teks tersebut akan melibatkan persoalan ruang dan waktu. Dalam persoalan
rentang ruang dan waktu itu pula sebuah kebudayaan membentuk peradabannya.
Termasuk pula peradaban Islam.
Peradaban Islam tidak pernah
terlepas dari teks sebagai sumber pengetahuannya—dalam hal ini, al-quran dan
sunnah. Realitas al-quran dan sunnah mestilah menduduki posisi sental bagi umat
muslim. Hal ini akan mengarahkannya pada sejenis filsafat yang menempatkan
kitab wahyu bukan hanya sebagai sumber tertinggi pengetahuan bagi hukum-hukum
keagamaan, melainkan juga bagi hakikat eksistensi dan sumber segala eksistensi.[18]
Dari teks ini kemudian terbentuk metode-metode dan teknik-teknik untuk
membangun pengetahuan, aturan-aturan, dan Syari’at
Islam. Melalui teks ini pula umat Islam memperoleh pengetahuan yang
menjadikannya sebagai pandangan dan tuntutan menuju keselamatan.
Sebagai sumber primer
pengetahuan umat muslim, Al-Quran dan Sunnah menjadi landasan terbentuknya
epistemologi Islam. Kemerosotan peradaban Islam tidak terlepas dari peranan
epistemologi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kemerosotan ini terjadi
karena pandangan umat muslim berubah dari pandangan hidup yang berdasarkan
al-quran dan Sunnah menjadi pandangan total saintisme. Akibatnya, umat muslim
tidak lagi bersifat selayaknya umat muslim, mereka hidup dalam lingkungan yang
serba sekuler.
Islam, sebagai agama yang
bersifat universal, memandang bahwa Al-Quran dan Sunah sebagai sumber
pengetahuan yang tak pernah hengkang oleh ruang dan waktu. Maka sudah
sepantasnyalah umat muslim mendasari segala aspek pemikiran dan epistemologinya
dengan bersumber kepada Al-quran dan Sunnah.
Sebagai seorang pemikir
muslim, Ziauddin Sardar mengemukakan pandangannya dalam menggagas revivalisasi terhadap kebudayaan dan peradaban
Islam yang telah merosot. Ia menawarkan suatu rencana garis besar untuk
membangun kembali suatu peradaban muslim yang subur dan dinamis. Latar belakang
munculnya pemikiran ini didasarkan pada pengamatannya atas kondisi umat muslim
pada masa sekarang yang jauh tertinggal dari masyarakat Barat.
Dalam proyek ini, Sardar
mengajukan sebuah pendekatan yang mendalam pada analisis historis
rencana-rencana operasional terinci untuk masa depan. Yaitu sebuah perencanaan
ke depan untuk mencapai peradaban Islam yang dinamis dan makmur. Dalam hal ini,
Sardar melihat bahwa untuk menuju kebangkitan kembali (revivalisasi) dunia
Islam yaitu dengan membangun kembali epistemologi Islam yang tepat dengan
kebutuhan umat Islam pada masa sekarang.
Selain itu, menurut pemaparan
Sardar, kemerosotan peradaban Islam bermula pada saat munculnya kolonialisme
Eropa terhadap negara-negara ketiga dan munculnya pandangan berlebihan terhadap
Rasionalisme Descartes—yaitu pada masa di mana rasio mendapatkan posisinya yang
paling puncak—sebagai metode yang paling valid untuk memahami dan mengendalikan
alam. Pandangan inilah yang memicu munculnya epistemologi sains modern.
Epistemologi sains modern ini
memiliki karakteristik di mana individu-individu dalam masyarakat-masyarakat
Barat memikirkan tentang dunia mereka, berusaha untuk mengetahui, memahami dan
mengontrolnya. Epistemologi ini menekankan dikotomi antara objek dan subjek,
antara pengamat dan dunia luar, antara emosi yang subjektif dan suatu
“realitas” yang ada di luar akal. Cara mengetahui seperti itu bertentangan
dengan pandangan masyarakat yang memandang pengetahuan dan kebijaksanaan yang
memiliki arti penting di dalam kesadaran batin. Epistemologi inilah yang
menjadi dasar dan ciri utama epistemologi sains modern peradaban Barat.[19]
Epistemologi yang dikembangkan
oleh Sardar sangat berbeda dengan epistemologi yang dikembangkan oleh Barat.
Epistemologi ini menjadi sangat penting untuk ditelaah ketika dikaitkan dengan
masalah-masalah kontemporer di dunia Islam dewasa ini. di dalamnya, ia
mengetengahkan sebuah konsep bahwa Al-quran sebagai ‘ilm, yang secara umum diterjemahkan sebagai pengetahuan. Yaitu
suatu nilai yang mencakup keseluruhan konsep dan landasan tegaknya
fondasi-fondasi peradaban muslim. Ziauddin Sardar menulis:
Epistemologi atau teori pengetahuan, adalah titik
pusat setiap pandangan dunia. Dia menjadi parameter yang menentukan apa yang
mungkin dan tidak muingkin di dalam bidang Islam: apa yang mungkin diketahui
dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik dihindari,
dan apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui. Epistemologi berusaha
untuk mendefinisikan pengetahuan, membedakan variasi-variasi utamanya, menandai
sumber-sumbernya dan menentukan batas-batasnya. “apa yang dapat kita ketahui,
dan bagaimana kita mengetahuinya?” adalah pertanyaan-pertanyaan pokok dalam
epistemologi. Tetapi ini sama sekali bukan pertanyaan filosofis belaka.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan realitas konkrit.
Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mengandung implikasi-implikasi
bagi setia aspek kehidupan manusia. Jenis masyarakat yang kita bangun merupakan
hasil langsung dari tanggapan ini.[20]
Singkat kata, Sardar berupaya
membangun kembali cara pandang dan corak berpikir umat muslim dengan menyusun
kembali epistemologi Islam yang tepat yang sesuai dengan perkembangan jaman
sebagai pandangan hidup dan tuntutan umat muslim modern. Mengingat epistemologi
yang dikembangkan Sardar dapat dijadikan sebuah metode alternatif dalam
memahami pengetahuan Islam modern yang dinamis.
Dalam sebuah peradaban tidak
akan pernah terlepas dari pengetahuan. Hanya saja bagaimana pengetahuan itu
diperoleh akan menuntun pada pengalaman, percobaan dan pengamatan. Akhir dari
proses pencarian pengetahuan ini berujung dengan terbentuknya suatu teori
pengetahuan (epistemologi). Sumber dari epistemologi umat muslim yaitu Al-quran
dan Sunnah, yang berfungsi sebagai Kerangka Pedoman Mutlak. Kedua sumber inilah
yang membedakan prinsip dasar umat muslim dan umat non-muslim.[21]
Definisi setepatnya dari apa
yang merupakan pengetahuan dan kesalahan dalam Islam memecahkan masalah
menyangkut sumber dan keabsahan. Sumber mutlak dari pengetahuan dan penilaian
mutlak menyangkut keabsahan adalah, tentu saja, Al-quran dan Sunnah. Perlu
diketahui, menurut Sardar, bahwa pengetahuan perlu dibedakan dengan Al-Quran dan
Sunnah (Kerangka Pedoman Mutlak).
Dalam Islam terdapat suatu
hirarki pengetahuan yang rumit, yang dipadukan lewat prinsip-prinsip tauhid
(keesaan Tuhan), yang berpusar pada satu poros lewat seluruh cabang
pengetahuan. Cabang pengetahuan itu antara lain ilmu hukum, sosial, dan
teologi; ilmu-ilmu makrifat dan metafisika; ilmu filsafat; dan ilmu alam dan
matematika.[22]
Menurut Sardar, “masalah”
tradisional pengetahuan—yaitu definisi, sumber, dan keabsahan—tidak benar-benar
ada. Yang diyakini oleh umat muslim, atas dasar Kerangka Pedoman Mutlak
(Al-quran dan sunnah) mereka di atas, merupakan sebuah pengetahuan. Pendasaran
argumentasi atas konsep-konsep non Islami, deduksi yang salah, generalisasi
yang berlebihan, dsb, akan menimbulkan kesalahan. Karena intuisi bersifat
subjektif dan tidak sempurna, maka sangat besar kemungkinan intuisi mengarah
pada kesalahan.
Lain halnya dengan keyakinan
yang dimiliki umat muslim, jika tidak dapat digolgongkan ke dalam pengetahuan
maupun kesalahan, dan juga yang secara ragu-ragu mereka yakini karena merupakan
sesuatu yang tidak didasarkan atas Kerangka Pedoman Mutlak, tapi tidak
bertentangan dengannya, atau tidak didasarkan atas tingkat tertinggi dari
kepercayaan diri, boleh dianggap oleh opini yang mungkin.[23]
Dalam epistemologinya, Sardar
mengadopsi pemikiran dari al-Ghazali yang membagi pengetahuan ke dalam empat
kategori:
1. Pengetahuan
tentang Diri
2. pengetahuan
tentang Tuhan
3. Pengetahuan
tentang Dunia
4. Pengetahuan
tentang Akhirat
Selain itu, pengetahuan
tersebut terbagi ke dalam dua cabang:
Fardlu al-‘ain dan fardlu al-kifayah.
Fardlu ‘ain adalah pengetahuan yang
diwajibkan oleh Tuhan atas setiap individu muslim. Pengetahuan ini dapat
diperoleh dari al-quran dan Sunnah pengetahuan ini termasuk dalam kategori
pengetahuan 1, 2, dan 4. fardlu
al-kifayah adalah pengetahuan yang diwajibkan oleh Tuhan atas umat muslim
secara keseluruhan. Oleh karena itu kewajiban ini bersifat kolektif dan dapat
diwakilkan kepada sebagian saja dan tidak mengikat individu masing-masing.
Misalnya ilmu alam, ilmu hukum, teknologi, dan ilmu-ilmu sosial.[24]
Berdasarkan hasil analisisnya,
Sardar mengemukakan sembilan ciri epistemologi Islam.[25]
1. Yang didasarkan atas
suatu Kerangka Pedoman Mutlak (al-quran dan Sunnah).
2. Dalam kerangkan
pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif bukan fasif.
3. Dia memandang
objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi.
4. Sebagian besar
bersifat deduktif.
5. Dia memadukan
nilai-nilai Islam dengan pengetahuan
6. Dia memandang
pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan bersifat ekskllusif, yaitu
menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang
objektif.
7. Dia berusaha menyusun
pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini,
yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
8. Dia memadukan
konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif,
sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan
satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya.
9. Dia tidak
bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pengalaman
dan pemahaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pandangan yang lebih
menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.
BAB 1V
KESIMPULAN
Epistemologi modern harus
senantiasa dirubah agar sesuai dengan pandangan, prinsip, dan ajaran Islam.umat
muslim tidak harus serta merta taklid dengan budya dan pengetahuan modern. Umat
muslim harus mampu untuk mandiri dan terlepas dari ketergantungan kepada pihak
lain. Termasuk juga dalam ilmu pengetahuan.
Sardar menawarkan sebuah
metode baru dalam dunia pemikiran dalam bidang epistemologi. Memang gagasan ini
sudah usang, karena jauh sebelumnya juga pemikir muslim seperti Muhammad Iqbal
dan Ali Syari’ati mengemukakan pandangannya dalam aspek epistemologi. Namun,
epistemologi Sardar memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan
pemikir lain.
Sardar mengemukakan bahwa di
dalam prinsip ilmu terdapat aspek-aspek yang bersifat materialis, rasionalis,
dan mistis, sebagai aspek dasar dari peradaban.
Dari perpaduan tiga aspek peradaban ini, Islam memperlakukan manusia
sebagai manusia, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya, kebutuhan dan keinginannya dia tidak dianggap remeh, tidak juga dianggap
setengah dewa. Dia tidak bisa bergerak tanpa adanaya benda-benda material
tertentu, juga tidak bisa tanpa penerengan spiritual tertentu. Dia tidak mutlak
rasional, juga tidak benar-benar irrasional. Dia tidak ada di atas atau di luar
bagian alam raya, melainkan merupakan bagian dari seluruh sistem itu, suatu
unsur integral dari seluruh kosmos.
Selanjutnya, Sardar mengatakan
bahwa dalam pengetahuan harus dilakukan pembagian-pembagian berdasarkan kategori-kategori
tertentu:
1. Pengetahuan tentang
Diri
2. Pengetahuan tentang
Tuhan
3. Pengetahuan tentang
Dunia
4. Pengetahuan tentang
Akhirat
Dari keempat kategori
pengetahuan tersebut, Sardar membaginya kembali dalam dua cabang yaitu
pengetahuan yang bersifat fardlu al’ain
dan fardlu al-kifayah.
DAFTAR PUSTAKA
Abrams Iwona dan Ziauddin Sardar.
2001 Chaos for Beginners. Mizan, Bandung.
Ali Mudhafir.
2001 Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ali Syari’ati.
1994 Agama Versus “Agama”. Pustaka Hidayah, Bandung.
___________,1996 Humanisme: Antara Islam dan Madzhab Barat. Pustaka Hidayah,
Bandung.
Bertrand Russel.
2004 Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harun Nasution.
1995 Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran.
Mizan, Bandung.
___________, 2003 Falsafat Agama.: Bulan
Bintang, Jakarta.
I. Bambang Sugiharto.
1996 Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat,
Kanisius, Yogyakarta
John Lechte.
2001 50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme
sampai Postmodernitas, Kanisius, Yogyakarta.
K. Bertens.
2001 Filsafat Barat Kontemporer Prancis.
PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lorens Bagus.
2002 Kamus Filsafat. Gramedia. Jakarta.
Lothrop Stodard.
1996 Dunia Baru Islam. Jakarta.
Majid Fakhry.
2002 Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta
Kronologis. Mizan.
Bandung.
S. Hossein Nasr, Dan Oliver Leaman.
2003 Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku
pertama), Mizan, Bandung.
William James.
2003 The varietes of Religious Experience. Jendela, Yogyakarta.
Ziauddin Sardar.
1993 Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim.Mizan. Bandung.
[1] Lihat
www.isnet.org
[2] Lihat
Jurnal Pemikiran Islam: Paramadina, di www.media-isnet.org/islam
[3] Lorens
bagus,2003: 212
[4] Miska,
1983: 1
[5] Bertens,
2001: 161
[6]
Gazalba,1981:112
[7] Harun
Nasution, 2003a;7
[8] Hardono
Hadi, dalam Kenneth T. Gallagher, 1994:5
[9] Miska,
1983:3
[10] Miska,
1983:3
[11]
Gazalba, 1981:136
[12]
Gallagher, 1994:18
[13] Bagus,
2002:803
[14] Lorens
Bagus, 2002:307
[15] Miska
Amin, 1983:5
[16]
Ziauddin Sardar, 1993:34
[17]
Ziauddin Sardar, 1993:40-41
[18] Nasr,
2003:36
[19]
Sardar,1987:86
[20] Sardar,
1987:85
[21]
Sardar,1993:30
[22] Sardar,
1993:42
[23] Sardar,
1993:43
[24] Sardar,
1993: 43
[25] Sardar,
1993: 44-45
0 komentar:
Posting Komentar