About

Kamis, 29 Januari 2015

Konsep Epistemologi Islam Menurut Ziauddin Sardar



Konsep Epistemologi Islam Menurut Ziauddin Sardar

BAB I
PENDAHULUAN

Sebagian besar dunia Islam pada masa sekarang tengah menghadapi pertentangan peradaban yang sangat kuat. Topik yang berkaitan dengan bagaimana pola interaksi antara berbagai pemikiran dan kepercayaan, telah menjadi sebuah topik yang dibahas secara meluas. Manusia dengan berbagai kepercayaan dan pandangan, senantiasa berada dalam penilaian orang lain. Demikian juga dengan agama dan ideologi. Ideologi yang memiliki logika dan ajaran yang jelas, akan mampu mempertahankan cita-citanya. Sebaliknya, ajaran yang tidak berdiri di atas fondasi yang kokoh, akan gagal ketika berhadapan dengan kritikan dan pembahasan dari pihak lain.
Samuel Huttngton, pemikir Amerika, telah menyajikan pandangan dalam hal ini dalam bukunya yang berjudul “Perbenturan Antar Peradaban” yang terbit pada tahun 1993. dalam buku itu, Huttington menulis bahwa dengan berakhirnya Perang Dingin, dunia akan terbagi-bagi dalam kelompok-kelompok berdasarkan perbedaan budaya masing-masing, dan hal ini akan menimbulkan pertentangan atau perbenturan antar peradaban. Francis Fukuyama, peneliti lain dari Amerika dalam bukunya yang berjudul “Berakhirnya Sejarah” menyebutkan bahwa liberalisme Barat merupakan ideologi yang terunggul dari puncak pemikiran manusia. Fukuyama meyakini, agama dan ideologi lain akan kalah dihadapkan dengan ideologi Barat ini.
            pandangan yang cenderung pada dendam dan bersifat monopoli yang disampaikan oleh kedua cendikiawan AS itu mendapat protes meluas dari banyak pemikir dan cendikiawan dunia, termasuk di Barat sendiri. Akhirnya, Huttington dan Fukuyama terpaksa meralat pandangan mereka tersebut. Huttington dalam salah satu ucapannya mengakui kemungkinan kebangkitan peradaban Islam seraya berkata, “saya telah melakukan kesalahan dalam teori yang saya utarakan di buku Perbenturan Antar peradaban, sebagaimana juga para cendikiawan lain di masa lalu pernah melakukan kesalahan.[1]
Namun, meskipun teori-teori pertentangan antar peradaban telah ditolak banyak pihak, para politikus Barat yang bekerjasama dengan para kelompok ambisius perang, khususnya di Amerika, tetap saja memukul genderang perang terhadap peradaban Islam. Pada tahun-tahun terakhir ini, sikap konfrontatif Barat dan penentagan atas dialog dengan peradaban Islam semakin meningkat. Para penguasa dan kapitalis Barat berusaha untuk menonjolkan Barat sebagai peradaban yang paling unggul, dan peradaban Islam dicitrakan sebagai peradaban yang teror sehingga harus diberantas.
Padahal bila dilihat secara objektif, kebijakan ekpansionis dan fanatisme Barat lah yang merupakan bahaya terbesar bagi keamanan dan perdamaian masyarakat dunia. Kini, AS bahkan telah menjadi simbol dan teori benturan antar peradaban. Presiden Amerika George W.Bush selepas serangan 11 September 2001, melancarkan perang melawan terorisme dan menyebutnya sebagai kelanjutan Perang Salib. Secara tersirat, semua bisa menilai bahwa yang dimaksud Bush adalah perang melawan peradaban Islam.[2]
Hari ini, dunia menyaksikan bahwa Amerika dan Inggris dengan semena-mena telah menyerang dua negara Islam, yaitu Afghanistan dan Irak. Tentara AS setiap hari melakukan kekejaman di negara-negara itu dibawah kedok demokrasi dan kebebasan. Operasi pemberantasan terorisme di seluruh dunia dilancarkan dengan sasaran umat Islam. Pasca ledakan London tanggal 7 Juli, berbagai tuduhan telah dilemparkan kepada umat Islam dan meluaslah sentimen anti Islam di Barat. Padahal sebagaian cendikiawan politik percaya bahwa dibalik aksi terorisme tersebut ada campurtangan dari organisasi spionase Barat dengan tujuan agar sentimen anti Islam semakin menyala di Barat.
Sebagai seorang pemikir muslim, Ziauddin Sardar, mengemukakan pandangannya untuk melakukan revavilasi terhadap kebudayaan dan peradaban Islam. Ia menawarkan suatu rencana garis besar untuk membangun kembali suatu peradaban muslim yang subur dan dinamis. Dalam proyek ini Sardar mengajukan sebuah pendekatan yang mendalam pada analisis historis rencana-rencana operasional terinci untuk masa depan. Selain itu, Sardar pun menerapkan wawasan sistem atas masa lampau dan masa kini dunia muslim di dalam suatu konteks budaya. Ia mengembangkan suatu metodologi untuk pengarahan-kembali ke jalur Islam.


BAB 11
PEMBAHASAN

A.PENGERTIAN EPISTEMOLOGI
Pada bab ini akan ditelusuri secara lebih komprehensif mengenai definisi epistemologi baik secara definitif maupun secara etimologi. Pengertian-pengertian epistemologi tersebut akan dibahas dengan cara membandingkan pemikiran-pemikiran dan pendapat dari para ahli. Selain itu, pemikiran-pemikiran dari para filsuf baik dari kalangan Barat maupun kalangan Islam diklasifikasikan berdasarkan pokok-pokok permasalahannya masing-masing.
1.Pengertian secara Etimologis
Ditinjau secara etimologis, dalam kamus filsafat Lorens Bagus dikemukakan bahwa kata epistemologi berasal dari bahasa Yunani episteme yang berarti pengetahuan , dan kata logos yang berarti pengetahuan atau informasi. Sehingga dapat dikatakan kata epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan, atau dapat disebut juga “teori pengetahuan.”[3]
Sementara, Miska Amin menjelaskan bahwa epistemologi berarti teori, uraian atau alasan. Berhubungan dengan filsafat pengetahuan, term logos lebih tepat diterjemahkan dalam arti teori, jadi epistemologi dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan. Dalam bahasa Inggris dipergunakan istilah theory of knowledge[4].
2.Pengertian menurut definisinya
Bertens memberikan batasan bahwa istilah epistemologi digunakan untuk menunjukkan filsafat ilmu pengetahuan, dalam arti suatu studi kritis tentang prinsip-prinsip, hipotesa-hipotesa, dan hasil-hasil berbagai ilmu yang bertujuan menentukan nilai dan jangkauan objektifnya. Selain itu, epistemologi juga merupakan suatu refleksi kritis tentang pengetahuan manusiawi pada umumnya[5].
Sidi Gazalba melihat bahwa epistemologi merupakan pengkajian tentang asal, berlakunya dan hubungan dengan pengetahuan dengan pengalaman manusia[6].
Sementara Harun Nasution membatasi epistemologi sebagai ilmu yang membahas mengenai hakikat dari pengetahuan, dan bagaimana pengetahuan itu diperoleh. Ia menambahkan bahwa hakikat di sini yaitu keadaan mental yang memfalsifikasikan konsep dengan realitas[7].
Hardono Hadi menjelaskan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan menentukan kodrat dan bidang kajian pengetahuan, pengandaian-pengandaian dan dasarnya, serta tanggungjawab pengetahuan.[8]
Dari beberapa pengertian di atas tampak jelas bahwa epistemologi membahas mengenai masalah-masalah yang berkaitan dengan filsafat, metode dan sistem.[9] Yaitu:
  1. filsafat;cabang dari filsafat yang berupaya mencari hakikat dan kebenaran pengetahuan.
  2. metode; yaitu langkah-langkah sistematis yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan.
  3. sistem; yaitu organisasi pikiran dalam mencapai realitas kebenaran dari pengetahuan itu sendiri.

B. PERBEDAAN PENGETAHUAN DENGAN ILMU
Dari pengertian-pengertian di atas, seringkali terjadi kesalahan pemahaman antara pengetahuan dengan ilmu. Oleh karena itu, perlu dijelaskan secara lebih terperinci perbedaan antara pengetahuan dengan ilmu, sehingga lebih jelas karakter-karakter dari kedua terma tersebut di atas.
1.      Pengetahuan
Kata pengetahuan berasal dari bahasa Inggris knowledge. Pengetahuan merupakan hasil “”tahu” manusia atau hasil dari upaya tahu manusia dalam memahami objek yang dihadapinya.[10] Sedangkan menurut Sidi Gazalba, pengetahuan merupakan kesatuan antara subjek yang mengetahui dan objek yang diketahui. Dalam kesatuan itu, objek berada dalam rohani subjek sebagai yang dikenal.[11] Sementara Kenneth T. Gallagher menjelaskan, pengetahuan bermaksud memahami benda sebagaimana adanya.[12]
Lain halnya dengan Lorens Bagus, dalam pengertiannya, pengetahuan itu adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam hal ini, yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikian aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif.[13]
Cara memperoleh pengetahuan tergantung dari objek yang dihadapinya. Jika objek tersebut berwujud materi, maka cara pemahamannya melalui persepsi indera maupun akal. Dan jika objek yang dihadapinya bersifat abstrak, seperti jiwa, maka cara memahaminya melalui proses komprehensi atau dapat pula berwujud substansi yang dipahami lewat persepsi.
2.      Ilmu
Term ilmu diambil dari bahasa Arab ilm atau dalam bahasa Inggris science. Berbeda dengan pengetahuan, ilmu tidak pernah mengartikan kepingan pengetahuan satau putusan tersendiri, sebaliknya, ilmu menandakan seluruh kesatuan ide yang mengacu ke objek (alam objek) yang sama dan saling berkaitan secara logis.[14]
Ilmu dapat juga diartikan sebagai suatu proses yang membuat pengetahuan. Miska Amin mengutip pendapat Paul Freedman dalam karya The Iiang Gie:

“ilmu adalah suatu bentuk aktifitas manusia yang melakukannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman yang senantiasa lebih lengkap lebih cermat tentang alam di masa lampau, sekarang dan kemudian hari, serta kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan dirinya pada dan merubah lingkungannya serta mengubah sifat-sifatnya sendiri”.[15]

Secara umum, perbedaan pengetahuan dengan ilmu terletak pada ciri sistematik dan bagaimana cara memperolehnya. Namun, dalam bahasa Indonesia, antara pengetahuan dan ilmu senantiasa disamakan artinya. Karena makna dari ilmu itu sndiri jika dikaji dalam bahasa asalnya (bahasa Arab), berarti pengetahuan. Oleh karena itu, definisi antara pengetahuan dan ilmu adalah sama.

C. Epistemologi Ziauddin Sardar
Al-Quran dan Sunnah merupakan pedoman mutlak sistem nilai-nilai Islam. Selain itu, kedua sumber inipun merupakan pusat sistem Islam dalam mengembangkan nalar dan ruhaninya. Dalam pengamatan Sardar, di dalam Islam terdapat suatu tanda paling penting yang menunjukkan kemualiaan derajat manusia, di samping kebijakan, yaitu adanya aspek-aspek dasar peradaban yang di dalam Islam diusahakan untuk disebarkan. Aspek-aspek dasar peradaban itu antara lain: materialisme, rasionalisme dan mistisme.[16]
1.      Materialisme
Materialisme adalah suatu aturan sosial yang didirikan semata-mata atas persepsi indera beserta pegertiannya. Dia hanya menerima apa yang datang lewat indera dan menolak segala sesuatu yang tidak dapat dirasakan lewat organ-organ indera. Karena itu, materialisme menyangkal semua bentuk pengetahuan yang lebih tinggi (transenden), dan lebih cenderung pada tujuan jangka pendek, sebab lebih sesuai dengan pengertian indera. Akibat adanya pandangan semacam ini, muncul suatu sikap pemujaan terhadap materi dan dicampakkannya prinsip-prinsip:ideologi, hukum etika dan moral.
2.      Rasionalisme
Rasionalisme adalah pandangan yang tidak menerima apapun kecuali yang sesuai dengan nalar dan akal manusia. Sebagai suatu istilah, rasionalitas mengandung arti pemikiran dan tindakan yang selaras dengan aturan logika dan pengetahuan empiris sebagai suatu tinjauan dunia, rasionalisme menuntut agar sasaran-sasaran dari penindak, sarana-sarana yang ada serta batasan dari tindakan-tindakannya, telah ditetapkan secara tepat. Tujuannya adalah untuk mencapai sesuatu yang rasional secara tepat guna, yang memberikan hasil sebanyak-banyaknya. Yang rasional itu, di hampir semua hal adalah yang bersifat material juga.
3.      Mistisme
Mistisme adalah antitesis dari materialisme dan rasionalisme. Bertentangan dengan materialisme dan rasionalisme, yang menyangkal bentuk-bentuk pengetahuan yang lebih tinggi, mistisme berusaha menemukan kebinasaan zat dan matinya jasmani. Ajaran ini menganjurkan tapabrata, penghancuran diri sendiri, kehidupan membujang, dan penahanan keinginan dari kesenangan-kesenangan inderawi. Ini menyebabkan sikap apatis terhadap jasmani dan kebutuhan-kebutuhannya. Dengan begitu, maka mistisme ini sama-sama bersifat satu dimensional, seperti materialisme dan rasionalisme. Mereka mengetengahkan ujung spektrum yang berkebalikan.
Islam menempatkan tiga aspek peradaban di dalam kendali suatu sistem spiritual yang moderat. Dengan begitu maka suatu perpaduan, dalam dosis yang benar, dapat dicapai dari materialisme, rasionalisme dan mistisme.
  1. Islam menempatkan satu lingkaran penjagaan spiritual untuk melindungi individu dan masyarakat. Lingkaran penjagaan itu mengatur kehidupan spiritual dan moral dengan cara sebegitu rupa sehingga dia berhasil memberikan semua kebutuhan spiritual yang dibutuhkan oleh seorang manusia. Hal ini dapat dicapai melalui: shalat, zakat, shaum, haji dan taqwa.
  2. Islam memberikan kebebasan kepada usaha-usaha rasional dan intelektual dalam lingkup norma-norma dan nilai-nilainya. Dalam batasan-batasan ini nalar dan akal tidak sampai pada tingkat kelaliman yang menyebabkan mereka menjadi satu-satunya pendekatan menuju pengetahuan. Dengan catatan, rasionalitas selalu diletakkan di bawah ketentuan norma dan nilai.
  3. Islam menyetujui materialisme yang tidak berlebihan. Materialisme mendorong umat muslim untuk mandiri dan tidak tergantung pada pihak lain. Setiap individu berhak untuk mengejar materi, namun tidak menggunakannya ke arah yang salah.
  4. Mereka yang pencarian spiritualnya tidak terpenuhi oleh lingkaran dasar penjagaan spiritual Islam-yaitu shalat, zakat, shaum, haji dan taqwa-ditawari suatu sistem yang menyeluruh dan tradisi dari pengetahuan, pemahaman dan perenungan murni: makrifat.
Dalam perpaduan dari tiga aspek peradaban, Islam memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya, kebutuhan dan keinginannya. Dia tidak dianggap remeh, tidak juga dianggap setengah dewa. Dia tidak bisa bergerak tanpa adanya benda-benda material tertentu, juga tidak bisa tanpa penerangan spiritual tertentu. Dia tidak mutlak rasional, juga tidak juga benar-benar irrasional. Dia tidak ada di atas atau di luar bagian alam raya, melainkan merupakan bagian dari seluruh sistem itu, suatu unsur integral dari seluruh kosmos.[17]

D. Konsep Epistemologi Islam
Sejarah Islam adalah dialektika dari pembacaan, pemahaman, dan penerimaan terhadap teks. Namun demikian, di dalam setiap proses pembacaan, pemahaman dan penerimaan terhadap teks tersebut akan melibatkan persoalan ruang dan waktu. Dalam persoalan rentang ruang dan waktu itu pula sebuah kebudayaan membentuk peradabannya. Termasuk pula peradaban Islam.
Peradaban Islam tidak pernah terlepas dari teks sebagai sumber pengetahuannya—dalam hal ini, al-quran dan sunnah. Realitas al-quran dan sunnah mestilah menduduki posisi sental bagi umat muslim. Hal ini akan mengarahkannya pada sejenis filsafat yang menempatkan kitab wahyu bukan hanya sebagai sumber tertinggi pengetahuan bagi hukum-hukum keagamaan, melainkan juga bagi hakikat eksistensi dan sumber segala eksistensi.[18] Dari teks ini kemudian terbentuk metode-metode dan teknik-teknik untuk membangun pengetahuan, aturan-aturan, dan Syari’at Islam. Melalui teks ini pula umat Islam memperoleh pengetahuan yang menjadikannya sebagai pandangan dan tuntutan menuju keselamatan.
Sebagai sumber primer pengetahuan umat muslim, Al-Quran dan Sunnah menjadi landasan terbentuknya epistemologi Islam. Kemerosotan peradaban Islam tidak terlepas dari peranan epistemologi dalam perkembangan ilmu pengetahuan. Kemerosotan ini terjadi karena pandangan umat muslim berubah dari pandangan hidup yang berdasarkan al-quran dan Sunnah menjadi pandangan total saintisme. Akibatnya, umat muslim tidak lagi bersifat selayaknya umat muslim, mereka hidup dalam lingkungan yang serba sekuler.
Islam, sebagai agama yang bersifat universal, memandang bahwa Al-Quran dan Sunah sebagai sumber pengetahuan yang tak pernah hengkang oleh ruang dan waktu. Maka sudah sepantasnyalah umat muslim mendasari segala aspek pemikiran dan epistemologinya dengan bersumber kepada Al-quran dan Sunnah.
Sebagai seorang pemikir muslim, Ziauddin Sardar mengemukakan pandangannya dalam menggagas revivalisasi terhadap kebudayaan dan peradaban Islam yang telah merosot. Ia menawarkan suatu rencana garis besar untuk membangun kembali suatu peradaban muslim yang subur dan dinamis. Latar belakang munculnya pemikiran ini didasarkan pada pengamatannya atas kondisi umat muslim pada masa sekarang yang jauh tertinggal dari masyarakat Barat.
Dalam proyek ini, Sardar mengajukan sebuah pendekatan yang mendalam pada analisis historis rencana-rencana operasional terinci untuk masa depan. Yaitu sebuah perencanaan ke depan untuk mencapai peradaban Islam yang dinamis dan makmur. Dalam hal ini, Sardar melihat bahwa untuk menuju kebangkitan kembali (revivalisasi) dunia Islam yaitu dengan membangun kembali epistemologi Islam yang tepat dengan kebutuhan umat Islam pada masa sekarang.
Selain itu, menurut pemaparan Sardar, kemerosotan peradaban Islam bermula pada saat munculnya kolonialisme Eropa terhadap negara-negara ketiga dan munculnya pandangan berlebihan terhadap Rasionalisme Descartes—yaitu pada masa di mana rasio mendapatkan posisinya yang paling puncak—sebagai metode yang paling valid untuk memahami dan mengendalikan alam. Pandangan inilah yang memicu munculnya epistemologi sains modern.
Epistemologi sains modern ini memiliki karakteristik di mana individu-individu dalam masyarakat-masyarakat Barat memikirkan tentang dunia mereka, berusaha untuk mengetahui, memahami dan mengontrolnya. Epistemologi ini menekankan dikotomi antara objek dan subjek, antara pengamat dan dunia luar, antara emosi yang subjektif dan suatu “realitas” yang ada di luar akal. Cara mengetahui seperti itu bertentangan dengan pandangan masyarakat yang memandang pengetahuan dan kebijaksanaan yang memiliki arti penting di dalam kesadaran batin. Epistemologi inilah yang menjadi dasar dan ciri utama epistemologi sains modern peradaban Barat.[19]
Epistemologi yang dikembangkan oleh Sardar sangat berbeda dengan epistemologi yang dikembangkan oleh Barat. Epistemologi ini menjadi sangat penting untuk ditelaah ketika dikaitkan dengan masalah-masalah kontemporer di dunia Islam dewasa ini. di dalamnya, ia mengetengahkan sebuah konsep bahwa Al-quran sebagai ‘ilm, yang secara umum diterjemahkan sebagai pengetahuan. Yaitu suatu nilai yang mencakup keseluruhan konsep dan landasan tegaknya fondasi-fondasi peradaban muslim. Ziauddin Sardar menulis:
Epistemologi atau teori pengetahuan, adalah titik pusat setiap pandangan dunia. Dia menjadi parameter yang menentukan apa yang mungkin dan tidak muingkin di dalam bidang Islam: apa yang mungkin diketahui dan harus diketahui, apa yang mungkin diketahui tetapi lebih baik dihindari, dan apa yang sama sekali tidak mungkin untuk diketahui. Epistemologi berusaha untuk mendefinisikan pengetahuan, membedakan variasi-variasi utamanya, menandai sumber-sumbernya dan menentukan batas-batasnya. “apa yang dapat kita ketahui, dan bagaimana kita mengetahuinya?” adalah pertanyaan-pertanyaan pokok dalam epistemologi. Tetapi ini sama sekali bukan pertanyaan filosofis belaka. Pertanyaan-pertanyaan tersebut berhubungan erat dengan realitas konkrit. Tanggapan terhadap pertanyaan-pertanyaan ini mengandung implikasi-implikasi bagi setia aspek kehidupan manusia. Jenis masyarakat yang kita bangun merupakan hasil langsung dari tanggapan ini.[20]

Singkat kata, Sardar berupaya membangun kembali cara pandang dan corak berpikir umat muslim dengan menyusun kembali epistemologi Islam yang tepat yang sesuai dengan perkembangan jaman sebagai pandangan hidup dan tuntutan umat muslim modern. Mengingat epistemologi yang dikembangkan Sardar dapat dijadikan sebuah metode alternatif dalam memahami pengetahuan Islam modern yang dinamis.
Dalam sebuah peradaban tidak akan pernah terlepas dari pengetahuan. Hanya saja bagaimana pengetahuan itu diperoleh akan menuntun pada pengalaman, percobaan dan pengamatan. Akhir dari proses pencarian pengetahuan ini berujung dengan terbentuknya suatu teori pengetahuan (epistemologi). Sumber dari epistemologi umat muslim yaitu Al-quran dan Sunnah, yang berfungsi sebagai Kerangka Pedoman Mutlak. Kedua sumber inilah yang membedakan prinsip dasar umat muslim dan umat non-muslim.[21]
Definisi setepatnya dari apa yang merupakan pengetahuan dan kesalahan dalam Islam memecahkan masalah menyangkut sumber dan keabsahan. Sumber mutlak dari pengetahuan dan penilaian mutlak menyangkut keabsahan adalah, tentu saja, Al-quran dan Sunnah. Perlu diketahui, menurut Sardar, bahwa pengetahuan perlu dibedakan dengan Al-Quran dan Sunnah (Kerangka Pedoman Mutlak).
Dalam Islam terdapat suatu hirarki pengetahuan yang rumit, yang dipadukan lewat prinsip-prinsip tauhid (keesaan Tuhan), yang berpusar pada satu poros lewat seluruh cabang pengetahuan. Cabang pengetahuan itu antara lain ilmu hukum, sosial, dan teologi; ilmu-ilmu makrifat dan metafisika; ilmu filsafat; dan ilmu alam dan matematika.[22]
Menurut Sardar, “masalah” tradisional pengetahuan—yaitu definisi, sumber, dan keabsahan—tidak benar-benar ada. Yang diyakini oleh umat muslim, atas dasar Kerangka Pedoman Mutlak (Al-quran dan sunnah) mereka di atas, merupakan sebuah pengetahuan. Pendasaran argumentasi atas konsep-konsep non Islami, deduksi yang salah, generalisasi yang berlebihan, dsb, akan menimbulkan kesalahan. Karena intuisi bersifat subjektif dan tidak sempurna, maka sangat besar kemungkinan intuisi mengarah pada kesalahan.
Lain halnya dengan keyakinan yang dimiliki umat muslim, jika tidak dapat digolgongkan ke dalam pengetahuan maupun kesalahan, dan juga yang secara ragu-ragu mereka yakini karena merupakan sesuatu yang tidak didasarkan atas Kerangka Pedoman Mutlak, tapi tidak bertentangan dengannya, atau tidak didasarkan atas tingkat tertinggi dari kepercayaan diri, boleh dianggap oleh opini yang mungkin.[23]
Dalam epistemologinya, Sardar mengadopsi pemikiran dari al-Ghazali yang membagi pengetahuan ke dalam empat kategori:
1. Pengetahuan tentang Diri
2. pengetahuan tentang Tuhan
3. Pengetahuan tentang Dunia
4. Pengetahuan tentang Akhirat
Selain itu, pengetahuan tersebut terbagi ke dalam dua cabang: Fardlu al-‘ain dan fardlu al-kifayah. Fardlu ‘ain adalah pengetahuan yang diwajibkan oleh Tuhan atas setiap individu muslim. Pengetahuan ini dapat diperoleh dari al-quran dan Sunnah pengetahuan ini termasuk dalam kategori pengetahuan 1, 2, dan 4. fardlu al-kifayah adalah pengetahuan yang diwajibkan oleh Tuhan atas umat muslim secara keseluruhan. Oleh karena itu kewajiban ini bersifat kolektif dan dapat diwakilkan kepada sebagian saja dan tidak mengikat individu masing-masing. Misalnya ilmu alam, ilmu hukum, teknologi, dan ilmu-ilmu sosial.[24]
Berdasarkan hasil analisisnya, Sardar mengemukakan sembilan ciri epistemologi Islam.[25]
1.      Yang didasarkan atas suatu Kerangka Pedoman Mutlak (al-quran dan Sunnah).
2.      Dalam kerangkan pedoman ini, epistemologi Islam bersifat aktif bukan fasif.
3.      Dia memandang objektifitas sebagai masalah umum dan bukan masalah pribadi.
4.      Sebagian besar bersifat deduktif.
5.      Dia memadukan nilai-nilai Islam dengan pengetahuan
6.      Dia memandang pengetahuan sebagai yang bersifat inklusif dan bukan bersifat ekskllusif, yaitu menganggap pengalaman manusia yang subjektif sama sahnya dengan evaluasi yang objektif.
7.      Dia berusaha menyusun pengalaman subjektif dan mendorong pencarian akan pengalaman-pengalaman ini, yang dari sini umat muslim memperoleh komitmen-komitmen nilai dasar mereka.
8.      Dia memadukan konsep-konsep dari tingkat kesadaran, atau tingkat pengalaman subjektif, sedemikian rupa sehingga konsep-konsep dan kiasan-kiasan yang sesuai dengan satu tingkat tidak harus sesuai dengan tingkat lainnya.
9.      Dia tidak bertentangan dengan pandangan holistik, menyatu dan manusiawi dari pengalaman dan pemahaman manusia. Dengan begitu dia sesuai dengan pandangan yang lebih menyatu dari perkembangan pribadi dan pertumbuhan intelektual.



BAB 1V
KESIMPULAN

Epistemologi modern harus senantiasa dirubah agar sesuai dengan pandangan, prinsip, dan ajaran Islam.umat muslim tidak harus serta merta taklid dengan budya dan pengetahuan modern. Umat muslim harus mampu untuk mandiri dan terlepas dari ketergantungan kepada pihak lain. Termasuk juga dalam ilmu pengetahuan.
Sardar menawarkan sebuah metode baru dalam dunia pemikiran dalam bidang epistemologi. Memang gagasan ini sudah usang, karena jauh sebelumnya juga pemikir muslim seperti Muhammad Iqbal dan Ali Syari’ati mengemukakan pandangannya dalam aspek epistemologi. Namun, epistemologi Sardar memiliki karakteristik khas yang membedakannya dengan pemikir lain.
Sardar mengemukakan bahwa di dalam prinsip ilmu terdapat aspek-aspek yang bersifat materialis, rasionalis, dan mistis, sebagai aspek dasar dari peradaban.  Dari perpaduan tiga aspek peradaban ini, Islam memperlakukan manusia sebagai manusia, dengan segenap kekuatan dan kelemahannya, kebutuhan dan keinginannya  dia tidak dianggap remeh, tidak juga dianggap setengah dewa. Dia tidak bisa bergerak tanpa adanaya benda-benda material tertentu, juga tidak bisa tanpa penerengan spiritual tertentu. Dia tidak mutlak rasional, juga tidak benar-benar irrasional. Dia tidak ada di atas atau di luar bagian alam raya, melainkan merupakan bagian dari seluruh sistem itu, suatu unsur integral dari seluruh kosmos.
Selanjutnya, Sardar mengatakan bahwa dalam pengetahuan harus dilakukan pembagian-pembagian berdasarkan kategori-kategori tertentu:
1.      Pengetahuan tentang Diri
2.      Pengetahuan tentang Tuhan
3.      Pengetahuan tentang Dunia
4.      Pengetahuan tentang Akhirat

Dari keempat kategori pengetahuan tersebut, Sardar membaginya kembali dalam dua cabang yaitu pengetahuan yang bersifat fardlu al’ain dan  fardlu al-kifayah.


DAFTAR PUSTAKA

Abrams Iwona dan Ziauddin Sardar.
2001    Chaos for Beginners. Mizan, Bandung.
Ali Mudhafir.
2001    Kamus Filsafat Barat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Ali Syari’ati.
1994    Agama Versus “Agama”. Pustaka Hidayah, Bandung.
___________,1996     Humanisme: Antara Islam dan Madzhab Barat. Pustaka Hidayah, Bandung.
Bertrand Russel.
2004    Sejarah Filsafat Barat. Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Harun Nasution.
1995    Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran. Mizan, Bandung.
___________, 2003    Falsafat Agama.: Bulan Bintang, Jakarta.
I. Bambang Sugiharto.
1996    Postmodernisme, Tantangan bagi Filsafat, Kanisius, Yogyakarta
John Lechte.
2001    50 Filsuf Kontemporer, dari Strukturalisme sampai Postmodernitas, Kanisius, Yogyakarta.
K. Bertens.
2001    Filsafat Barat Kontemporer Prancis. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Lorens Bagus.
2002    Kamus Filsafat. Gramedia. Jakarta.
Lothrop Stodard.
1996    Dunia Baru Islam. Jakarta.
Majid Fakhry.
2002    Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis. Mizan. Bandung.
S. Hossein Nasr, Dan Oliver Leaman.
2003    Ensiklopedia Tematis Filsafat Islam (buku pertama), Mizan, Bandung.
William James.
2003    The varietes of Religious Experience. Jendela, Yogyakarta.
Ziauddin Sardar.
1993    Rekayasa Masa Depan Peradaban Muslim.Mizan. Bandung.


[1] Lihat www.isnet.org
[2] Lihat Jurnal Pemikiran Islam: Paramadina, di www.media-isnet.org/islam
[3] Lorens bagus,2003: 212
[4] Miska, 1983: 1
[5] Bertens, 2001: 161
[6] Gazalba,1981:112
[7] Harun Nasution, 2003a;7
[8] Hardono Hadi, dalam Kenneth T. Gallagher, 1994:5
[9] Miska, 1983:3
[10] Miska, 1983:3
[11] Gazalba, 1981:136
[12] Gallagher, 1994:18
[13] Bagus, 2002:803
[14] Lorens Bagus, 2002:307
[15] Miska Amin, 1983:5
[16] Ziauddin Sardar, 1993:34
[17] Ziauddin Sardar, 1993:40-41
[18] Nasr, 2003:36
[19] Sardar,1987:86
[20] Sardar, 1987:85
[21] Sardar,1993:30
[22] Sardar, 1993:42
[23] Sardar, 1993:43
[24] Sardar, 1993: 43
[25] Sardar, 1993: 44-45

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.