About

Selasa, 03 Februari 2015

Tradisi Islam Sunda (Tabu dalam Budaya Sunda)



KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke-khadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada Nabi  Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, serta pada tabi’in-nya dan kita selaku umatnya.
Makalah ini berjudul Makalah Tabu dalam Budaya Sunda yang ditulis sebagai salah satu tugas kelompok mata kuliah Tradisi Islam Sunda. Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat arahan, bantuan, serta dorongan dari berbagai pihak. Sehingga Alhamdulillah penulis telah menyelesiakan makalah ini. Untuk rasa syukur penulis, pada kesempatan ini perkenankan penulis ucapkan rasa terimakasih kepada Bapak Usman Supendi, M.Si selaku dosen mata kuliah Tradisi Islam Sunda dan kepada rekan-rekan sekelompok.
Bila ada pribahasa yang mengatakan bahwa “Tiada gading yang tak retak, begitupun dengan makalah kami ini yang jauh dari kata sempurna. Kami sadari dalam penyusunan makalah ini masih ada beberapa kesalahan yang tanpa disadari oleh kami selaku penulis, oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini yang bersifat membangun, dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.







Bandung, 24 Oktober 2014



       Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
Ulah ulin peuting-peuting, bisi aya Kolongwewe” dan “Ulah diuk dina lawing panto, bisi nongtot jodo
Ungkapan seperti diatas, sekilas terdengar hanya merupakan larangan atau nasihat dari orang tua kepada anaknya, atau seseorang yang memberi tahu kepada orang lain yang dianggap belum mengetahui akibat dari perbuatannya. Tetapi, akan lebih menarik dari isi ucapan diatas, bila kita maknai dengan batas rasio yang kita miliki, dengan ukuran saat ini. Maka, akan ada penilaian bahwa di antara dua ucapan tersebut di atas saat ini akan lebih mengena pada ucapan pertama yaitu larangan. Karena, sangatlah wajar dan kemungkinan besar akan terjadi apabila seorang anak, apalagi anak kecil, yang bermain pada malam hari akan lengah dan mungkin tersesat saat hendak pulang. Lain halnya dengan hubungan antara duduk di dekat pintu dengan masalah perjodohan. Sangatlah jauh dan terkadang tidak masuk akal, namun makna sebenarnya adalah sebuah larangan agar siapapun tidak duduk di depan pintu, karena menghalangi jalan bagi yang akan lewat.
Batas kewajaran yang dilatarbelakangi dengan pola pikir (rasio) pada masa kini, memang menjadi bahan perdebatan antara orangtua yang kolot dengan anak-anak yang telah dicekoki pengetahuan, dunia hiburan, dan permainan yang memacu pertanyaan yang berkepanjangan, dan harus dijawab saat itu juga. Kreatifitas untuk membuat pertanyaan pada anak-anak saat ini memang mengalami kemajuan pesat, sehingga orang tua yang bersikeras menggunakan nasihat lama pada anaknya seperti yang ia alami semasa kecilnya, malah sering kewalahan menjawab pertanyaan dari anaknya akan apa makna dari nasihat atau larangan tersebut.
Hal tersebut terjadi karena hilangnya penanaman nilai budaya sedari kecil, sehingga membuat generasi muda yang hidup pada masa ini (khusunya zaman modern ini) merasa asing akan kata-kata yang terlampir dengan penuh makna tersirat yang terkandung dalam nasihat tersebut. Memang pada zaman dahulu masyarakat patuh terhadap pantangan yang ada, karena mereka percaya akan akibat yang akan terjadi, apabila kita melanggar pantangan, atau yang disebut oleh orang sunda pamali (tabu). Sementara, saat ini banyak terjadi bentrokan karena perbedaan kepentingan yang dilatarbelakangi oleh perbedaan persepsi yang terus dipertahankan. Ditambah lagi dengan tidak dipergunakan lagi norma dan etika kokolot zaman baheula (orang tua zaman dahulu) dalam situasi tersebut. Akibatnya, solusi terhadap masalah yang sedang diperdebatkan tidak kunjung tercapai.

B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan tabu dalam kebudayaan sunda.
2.      Apa jenis-jenis tabu dalam kebudayaan sunda.

C.     Tujuan Masalah
1.      Untuk mengetahui maksud dan makna tabu dalam kebudayaan sunda.
2.      Untuk mengetahui jenis-jenis tabu dalam kebudayaan sunda.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Tabu dalam kebudayaan sunda
Tabu adalah sesuatu yang dilarang atau dianggap suci (tidak boleh disentuh, diucapkan, dsb); pantangan, larangan. Adapun arti pantangan adalah perbuatan yang terlarang menurut adat. Soekanto mengartikan tabu dalam beberapa jenis.[1] Secara umum tabu adalah larangan yang apabila dilanggar, secara serta merta menimbulkan sanksi negatif yang bersifat supranatural. Ada beberapa jenis tabu diantaranya:
·        Taboo incest, yaitu larangan terjadinya perkawinan di antara anggota keluarga. Taboo menstrual, yaitu larangan melakukan hubungan seks dengan wanita selama masa haid.
·        Taboo name, yaitu larangan berbicara atau menulis nama orang atau roh orang yang disegani atau dihormati.
·        Taboo post partum, yaitu larangan melakukan hubungan seks dengan wanita yang baru saja melahirkan.
·        Taboo pregnancy, yaitu larangan yang harus dipatuhi selama masa kehamilan.
·        Taboo twin birth, yaitu larangan terhadap lahirnya anak kembar sehingga pada beberapa kebudayaan salah satu dari anak kembar tersebut harus dibunuh atau dipisahkan.
Dalam bahasa Sunda, tabu disebut dengan pamali artinya larangan karuhun.[2] Pada masanya, tabu sempat ditakuti dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Sunda. Hal ini disebabkan orientasi dan wawasan pada masa itu masih sedikit dipengaruhi oleh budaya modern yang sebagian besar cenderung menganalisis kejadian berdasarkan pandangan hidup yang amat berbeda.
Sunda adalah sebuah kesatuan adat, ketika seseorang kehilangan keseimbangan, sesungguhnya itu buruk kepada seseorang atau kepada kelompok tersebut. Seiring berkembangnya zaman, tabu telah berkembang dalam sebuah tata cara perilaku. Tentu sebuah penyakit bukan disebabkan oleh supranatural seperti penyakit dingin, masalah perut dan seperti yang diketahui akibat dari penyakit alam. Untuk masalah ini penduduk pergi kemantri (perawat laki-laki) untuk penyembuhannya dengan menyuntikan obat, cara ini lebih disukai oleh penduduk. Atau mereka pergi kesebuah dukun lokal (penyembuh) untuk menjalani beberapa pengobatan tradisional dengan ramuan herbal, ketika penyembuhan ini gagal bagaimanapun, kecurigaan ini muncul bahwa ada kemungkinan sebab-sebab supranatural yang melakukannya. Alasaan ini dapat mematahkan sebuah hal tabu. Terdapat empat kategori tabu dalam kebudayaan sunda, yaitu :
1.      Buyut : larangan dalam nenek moyang dalam bekerja, berprilaku, makan dan lain sebaginya. Larangan ini diterapkan hanya kepada anak cucu dari satu nenek moyang dengan diawali oleh siapa larangan ini dimulai.
2.      Cadu : seperti larangan pada buyut tapi diterapkan hanya kepada perorangan jika cadu diikuti oleh perorangan keturunan itu menjadi buyut. Wilcox enpalmer (1967;314)  sebutan cadu dapat didefinisaikan sebagai buyut yang didefinisikan disini. Ini mungkin adalah sebuah pareasi lokal didalam wilayahnya, dimana perempuan melakukan pekerjaannya.
Cadu menjadi buyut ketika seseorang yang melarang cadu berkata ini akan menjadi buyut dari keturunanku suatu saat nanti untuk tujuh generasi dan ditambah dengan generasi yang lainnya. Seharusnya dari satu keturunanan mematahkan tabu. Dia akan menjadi penyakit. Sebuah penyakit secara umumnya di asosiasikan dengan mematahkan sebuah buyut yang kurang inget (kurang ingatan).
pengobatan ini adalah sebuah hajat kecil ketika seseorang menanyakan permohonanan restu kpada nenek moyang yang dimulai dengan tabu. Sesungguhnya walaupun tanpa nama diberikan kepada sebuah penyakit diakibatkan dari rusaknya buyut. Ini seperti halnya kwalat, sebuah penyakit yang diturunkan setelah menyerang orang tua. Pengobatan untuk kwalat adalah sebuah kebohongan dalam menanyakan permohonan maaf.
3.      Pamali. Larangan prilaku umum, ini juga diterapkan kepada semua anggota kelompok, termasuk seperti larangan melawan langkah batas antara pulau kering dan air. Semangat yang kadang-kadang membawa penyakit.
4.      Pantang. Larangan menerapkan kategori spesial kepada masyarakat.seperti halnya wanita hamil, wanita belum nikah, orang gila, dan lain sebaginya. Jangan tidur di pagi hari, maka bayi akan mendapatkan kulit jelek. Makan hanya dari piring kecil maka kamu akan memiliki bayi yang sehat. Membuka pintu dengan kepalamu maka kelahiran akan mudah, dan jangan mengikuti suamimu untuk membuka baju disekitar lehernya atau kamu akan mengalami kesulitan akan kelahiran. Satu pantangan dalam wanita belum menikah yaitu larangan duduk dijalan pintu rumah alasan ini akan menjelaskan tidak akan menemukan jodohnya. Kemudian larangan agar tidak makan nanas, pepaya, pisang dan jenis lainnya. larangan minum jus kelapa  atau kamu akan berhati dingin. Larangan jangan terlalu dekat dengan api ketika memasak, karena akan memudahkan dalam kehamilan. Jangan dekat dengan air di siang hari karena itui adalah batasan roh .
Wibisono mengatakan bahwa pantangan atau tabu menerapkan hukum yang tertua dalam kehidupan manusia, dan dengan mentaati pantangan itu pulalah masyarakat dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tabu, sebuah kata yang saat ini kadang masih terdengar. Ucapan yang mengandung tabu sering menjadi bahan pertanyaan yang berkepanjangan terutama bagi anak-anak “sekarang” yang wawasan pemikirannya telah dipengaruhi oleh bahan bacaan, cerita, media massa (televisi), dan permainan modern. Dengan kata lain, masyarakat “sekarang” sudah mengalami banyak perubahan akibat adanya kemajemukan masyarakat yang disertai dengan upaya infiltrasi budaya luar baik secara langsung maupun tidak langsung.
Saat ini pandangan hidup generasi sekarang memang dipenuhi dengan banyak hal yang kadang berbeda dengan pandangan hidup tradisi nenek moyang kita. Hal ini memang wajar karena manusia memiliki kebebasan berfikir dan tidak dapat terkekang sepenuhnya bahkan oleh aturan politik yang sangat ketat sekalipun. Senada dengan hal tersebut, Teichman mengatakan bahwa salah satu kebutuhan manusiawi adalah kebutuhan akan kebebasan berfikir dan mengungkapkan diri agar dihargai karena hal ini menjawab kebutuhan manusia yang penting. Pengurangan kemampuan manusia atas kebebasan berfikir oleh politik akan menuju tingkat yang lebih rendah yaitu tingkat konformitas tanpa fikiran.
Bicara mengenai pandangan hidup tidak terlepas dari karakteristik manusia sebagai mahluk sosial untuk selalu berhubungan. Dalam hal ini, Rusyana membagi empat hubungan manusia, yaitu 1) hubungan tentang manusia sebagai pribadi 2) manusia dengan masyarakat 3) manusia dengan alam 4) manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.[3] Sedikit berbeda dengan Rusyana, Warnaen dalam menganalisis orang sunda membagi berdasarkan 5 bagian yaitu:
1.      Manusia sebagai pribadi 
2.      Manusia dengan masyarakat 
3.      Manusia dengan alam 
4.      Manusia dengan Tuhan 
5.      Manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan batiniah
Terlihat bahwa orang Sunda, menurut Warnaen, selalu menjadikan dirinya untuk selalu berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan diri beserta alam semesta. Terlepas dari ketiadaan opsi hubungan antara manusia dengan Tuhan yang dikemukakan Rusyana, tampak bahwa apa yang dikemukakan oleh Warnaen dan Rusyana memiliki kesamaan dalam pola hubungan yang dilakukan manusia. Kesamaan tersebut dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu hubungan yang bersifat fisik dan non fisik. Dua kelompok tersebut memang ada dan khas dalam setiap kebudayaan, karena manusia selalu berhubungan dengan lingkungan yang bersifat sakral dan profan. Akan lebih luas lagi pembagian tersebut apabila dikaitkan dengan kegiatan rutinitas kegiatan manusia yang tidak lebih dari upaya mengikuti life cycle (rantai kehidupan). Hal ini senada dengan apa yang ditulis oleh Mustafa tentang adat istiadat Sunda, membahas adat Sunda berdasarkan segi pengajaran, ngidam, hamil, menjaga orang hamil, menyunat, menikah, dan bertani.[4]
Tabu diwariskan secara turun menurun. Orang atau pihak yang berperan untuk memberitahu tabu kepada orang lain biasanya adalah orang yang lebih tua umurnya; banyak pengalaman; ada hubungan saudara atau famili. Biasanya mereka yang tergolong dalam klas ini menyayangi saudara yang lebih muda umurnya.
Tabu diceritakan dalam bentuk penggambaran kewibawaan leluhur mereka. Atau, ada juga yang menceritakan kejadian yang menakutkan bagi orang yang melanggar tabu. Dapat juga dalam bentuk penggambaran mahluk halus yang mempunyai karakter jahat, binatang buas yang akan menghukum si pelanggar tabu.

B. Beberapa
hal Tabu Dalam Kebudayaan Sunda 
Provinsi Jawa Barat yang identik dengan budaya Sunda menyimpan pernik-pernik ungkapan, nasihat, dan pantangan yang berbau pamali. Di daerah Kuningan, beberapa tabu untuk berbagai jenis kegiatan mewarnai kehidupan masyarakat. Salah satunya adalah pada kegiatan upacara babarit di desa Buni Geulis, kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Tabu yang diterapkan dalam kegiatan ini adalah tatkala ada pementasan tari-tarian sebagai bagian dari upacara. Pada saat ronggeng pertama kali nembang (menyanyi) dengan lagu saung kembang, sanggo lewang, tunggal kawung, dan raja pulang para penonton yang menghadiri pesta/ upacara tidak ada yang boleh menari. Menurut kepercayaan, pada saat ronggeng menyanyi itulah para dedemit atau leluhur desa Buni Geulis turut menari.
Latar belakang dari adanya tabu tersebut tersimpan dari maksud upacara babarit itu sendiri. Pelaksanaan upacara babarit dimaksudkan sebagai upaya penghormatan kepada roh leluhur atau dedemit yang menganggap dapat senantiasa melindungi dan menjaga ketentraman dalam kehidupan masyarakat Buni Geulis. Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan sebagai upaya memohon izin kepada roh halus (demit, jurig, dan lain-lain) agar tidak mengganggu masyarakat Buni Geulis khususnya dalam bidang pertanian. Upacara ini juga ditujukan sebagai permohonan kepada Tuhan YME agar padi dan palawija dapat tumbuh subur, tidak diganggu hama, dan hasil yang diperoleh dapat melimpah. Terakhir, maksud pelaksanaan upacara babarit adalah sebagai upaya penggalangan rasa kebersamaan, khususnya dalam bidang kebersihan lingkungan.
Lain halnya dengan orientasi terhadap mahluk halus yang ditakuti oleh masyarakat desa Buni Geulis yang menjadi tema sentral pelaksanaan upacara babarit, tabu di daerah lain dilatarbelakangi oleh, selain kepercayaan terhadap mahluk halus, sebagian di antaranya lebih ditekankan kepada kondisi alam sekitar. Tabu jenis ini dapat ditemukan pada masyarakat Kampung Mahmud, Kabupaten Bandung. Beberapa tabu yang melingkupi Kampung Mahmud adalah:
1.      Tidak boleh membuat rumah dari tembok dan kaca
2.      Tidak boleh menabuh gong
3.      Tidak boleh memelihara atau beternak angsa
4.      Tidak boleh membuat sumur.

            Alasan logis yang dapat dikemukan dapat dilihat dari keadaan lingkungan alam dan faktor sejarah. Daerah Kampung Mahmud dikelilingi oleh sungai yang cukup besar debit airnya. Dikhawatirkan apabila ada yang menggali sumur dapat mengakibatkan permukaan tanah Kampung Mahmud semakin turun sehingga kemungkinan terjadi banjir akan semakin besar. Adapun tabu untuk membuat rumah dari kaca, larangan menabuh gong, dan memelihara angsa lebih disebabkan faktor sejarah penjajahan. Ketakutan akan kepergok atau diketahui lokasi Kampung Mahmud oleh penjajah (Belanda dan Jepang) membuat hal-hal yang mampu memancing penjajah menjadi hal yang wajib dihindarkan. Kaca, sebagaimana diketahui, mampu memantulkan sinar matahari yang dapat dilihat dari kejauhan. Gong dan suara angsa adalah jenis suara khas dan setiap orang akan segera mengetahui bahwa ada kegiatan atau kejadian apabila mendengar suara tersebut.[5]
Daerah lain yang juga memiliki konsep pertabuan adalah di Kampung Dukuh, Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Tabu yang berlaku di daerah ini mengarah pada konsep kesederhanaan, dan penghormatan kepada arwah leluhur yang dipadukan dengan ajaran agama Islam. Perilaku yang tercermin akibat konsep tabu ini, dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari masyarakat Kampung Dukuh. Adapun tabu yang wajib dipatuhi untuk kategori keseharian adalah:
1.      Tidak boleh menjulurkan kaki kearah makan keramat baik pada waktu tidur ataupun sedang duduk.
2.      Tidak boleh buang air kecil atau besar dengan arah ke makam keramat kecuali dilakukan di jamban umum.
3.      Tidak boleh buang air kecil/ makan sambil berdiri.
4.      Tidak boleh makan dengan menggunakan sendok dan garpu.
5.      Tidak boleh menjual makanan yang telah dimasak.
6.      Tidak boleh memiliki benda-benda elektronik seperti televisi, radio, tape recorder, dan lain-lain.
7.      Tidak boleh menggunakan petromak atau jenis lampu lain yang menggunakan minyak tanah.
8.      Tidak boleh memiliki kursi, lemari, ranjang, perhiasan dan peralatan lain yang terkesan mewah.
9.      Tidak boleh menempel gambar apapun kecuali ayat-ayat Al Quran.
10.  Dilarang menumbuk padi pada hari selasa dan jumat.
11.  Dilarang pergi ke kebun atau ke tempat lain yang letaknya jauh pada hari jumat.
12.  Tidak boleh bepergian pada saat larangan sasih atau kala ageung.
13.  Tidak boleh melakukan kegiatan apapun pada saat hari naas, yaitu hari meninggalnya orangtua.
14.  Tidak boleh memasuki makam keramat pada sembarang waktu.
15.  Tidak boleh memakai awalan “si” apabila memanggil atau menyebut nama seseorang.
16.  Tidak boleh memadu kasih (pacaran) terlalu lama.
17.  Tidak boleh menikah dengan orang yang beragama non Islam.
18.  Tidak boleh menjadi pegawai negeri.
19.  Tidak boleh menjadi pedagang.
20.  Tidak boleh koret (kikir).
21.  Tidak boleh menyakiti hati orang lain.
22.  Tidak boleh membunuh.
23.  Tidak boleh merampok atau mencuri.
24.  Tidak boleh takabur dan mementingkan diri sendiri.
25.  Tidak boleh melanggar syara (syariat atau hukum Islam).
·        Sanksi
Baik di Kampung Dukuh, Kampung Mahmud, dan Desa Buni Geulis, sanksi yang diterapkan atas pelanggaran tabu adalah suatu yang bersifat supranatural dengan embel-embel sengsara dan kejadian yang menyakitkan bagi si pelanggar. Seperti halnya di Kampung Dukuh, sanksi bagi si pelanggar berupa kenyataan pahit yang diderita, seperti mati mendadak, penyakit aneh, buta, diserang serangga. Dari sekian banyak sanksi yang bersifat supranatural di Kampung Dukuh, terdapat sanksi sosial terhadap pelanggar yaitu pengasingan diri. Sanksi ini dikenakan bagi si pelanggar yang belum meminta maaf kepada masyarakat.[6]
Walaupun adanya sanksi sosial, tabu memang diidentikan dengan hal-hal yang tidak masuk akal bagi generasi sekarang. Ungkapan dan nasihat orang tua pada masyarakat Sunda agar tidak melanggar tabu memang mengandung hal seperti itu. Walaupun Demikian, makna yang tersirat dalam penerapan sanksi tersebut apabila dicerna menurut pola fikir saat ini akan tampak adanya kandungan etika sosial, kesederhanaan, dan upaya menjaga kesehatan tubuh serta lingkungan. Hal ini akan tampak dalam petikan Mustafa tabu serta sanksinya dalam masyarakat Sunda berikut ini.[7]
1.      Jangan makan tebu = apabila suatu saat merantau maka akan mati di perantauan
2.      Tidak boleh bermain, bagi anak-anak, saat matahari terbenam = akan diganggu setan atau mahluk halus
3.      Jangan makan yang masam-masam saat matahari terbenam = akan ditinggal mati oleh ibunya.
4.      Tidak boleh menghina orang tuanya = akan durhaka.
5.      Tidak boleh melangkahi padi (nyi Sri) = akan mendapat penyakit yang disebabkan setan.
6.      Tidak boleh memandikan kucing = dapat berakibat datangnya hujan angin.
7.      Jangan makan sirih yang kasar daunnya = mati anak sulung
8.      Duduk di depan pintu bagi anak gadis = akan jauh dari jodoh.
9.      Anak-anak tidak boleh bermain lalangiran (tengkurap) = akan mengakibatkan ibunya meninggal dunia.
10.  Perempuan tidak boleh mengayunkan tangan kirinya = mengakibatkan masakan cepat habis.
11.  Tidak boleh tidur di atas palupuh = berakibat tidak akan mendapat kebahagiaan.
12.  Tidur tidak boleh terlentang di bawah pangeret (Sepotong bambu atau kayu di antara dua buah tiang) = dapat mengakibatkan bermimpi buruk.
Tampak dalam beberapa petikan tabu di atas, klasifikasi perbuatan dan akibat yang ditimbulkan bagi si pelanggar adalah tidak lebih dari upaya agar etika sosial dan kesehatan tubuh berperan dalam penetapan tabu. Pengaruh dari perwajahan dunia gaib yang sakral dan menyeramkan saat itu menjadi ide untuk menjaga agar apa yang telah dituangkan dalam tabu tetap terjaga. Kondisi tersebut ternyata lebih ampuh daripada nasihat berbentuk pantun atau ungkapan yang tidak mempunyai sanksi, meski sebenarnya pesan nilai dan makna dalam ungkapan tradisional lebih kuat dari tabu. Seperti halnya dengan ungkapan Asak jeujeuhan, yaitu ukuran panjang yang panjangnya. Ukuran ini dijadikan sebagai peribahasa kepada orang yang baik kelakuannya, besar pertimbangannya, biasa disebut asak jeujeuhan (bijaksana, tepat ukurannya). Satu lagi ungkapan tradisional yaitu Anak merak kukuncungan, uyah tara tees ka luhur. Nilai dan makna yang terkandung dalam ungkapan ini adalah turunan orang yang baik, menjadi kata-kata orang. Bila ayahnya demikian pasti anaknya pun demikian. Tapi ada juga yang tidak demikian, biasa dikatakan dalam peribahasa setiap anak merak mempunyai kuncung, tapi kalau manusia kadang-kadang tidak seperti orang tuanya.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Antara modern dan tradisional sebenarnya memiliki kesamaan dalam pola fikir yang didasarkan atas kenyataan yang ada pada saat itu. Tetapi, upaya penciptaan sebuah budaya, baik modern maupun tradisional, tidak lebih dari upaya menjaga keselarasan dan keharmonisan di antara kelompok masyarakat. Malah, dalam kebudayaan modern yang dibangga-banggakan seperti saat ini terkadang masih banyak sekali kekurangannya sehingga mengakibatkan ketidak-harmonisan di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Dengan demikian, seharusnya orang tidak boleh memandang sebelah mata apa yang telah dihasilkan oleh budaya tradisional. Seperti halnya dengan pamali, cadu, ataupun buyut adalah sebuah produk budaya yang dibungkus dalam sebuah tabu yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat agar keharmonisan dan keselarasan dari sebuah budaya, yaitu budaya Sunda, tetap terjaga.












DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2, Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi Edisi Baru, Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
R. Satjadibrata, Kamus Basa Sunda (Katut Ketjap-Ketjap Asing nu Geus Ilahar), Jakarta:
Perpustakaan Perguruan Kementerian P dan K, 1954.
Aam Masduki, et.al, Sistem Religi di Kampung Mahmud Kabupaten Bandung, Bandung : BKSNT Bandung, 1993.
Yus Rusyana et.al, Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III, Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988.
R.H. Hasan Mustafa, Adat Istiadat Sunda, Bandung: Alumni, 2002.
Toto Sucipto et.al., Tata Kehidupan Masyarakat Kampung Dukuh, Bandung: BKSNT Bandung, 1992.



[1] Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi Edisi Baru, (Jakarta: Rajawali Pers, 1993), hal. 504.
[2] R. Satjadibrata, Kamus Basa Sunda (Katut Ketjap-Ketjap Asing nu Geus Ilahar), (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P dan K, 1954), hal. 277
[3] Yus Rusyana et.al, Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III (Bandung: Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988), hlm. 8.
[4] R.H. Hasan Mustafa, Adat Istiadat Sunda, (Bandung: Alumni, 2002), hal. xv.

[5] Aam Masduki, et.al, Sistem Religi di Kampung Mahmud Kabupaten Bandung, (Bandung: BKSNT Bandung, 1993), hal. 32
[6] Toto Sucipto et.al., Tata Kehidupan Masyarakat Kampung Dukuh, Bandung: BKSNT Bandung, 1992.
[7] R.H. Hasan Mustafa, Adat Istiadat Sunda, (Bandung: Alumni, 2002), hal. 10-13

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.