KATA
PENGANTAR
Alhamdulillah, puji syukur penulis panjatkan ke-khadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa
tercurah limpahkan kepada
Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, sahabatnya, serta
pada tabi’in-nya dan kita selaku umatnya.
Makalah ini berjudul Makalah
Tabu dalam Budaya Sunda yang ditulis sebagai salah satu tugas
kelompok mata kuliah Tradisi
Islam Sunda.
Dalam penyusunan makalah ini penulis banyak mendapat arahan, bantuan, serta
dorongan dari berbagai pihak. Sehingga Alhamdulillah penulis telah
menyelesiakan makalah ini. Untuk rasa syukur penulis, pada kesempatan ini
perkenankan penulis ucapkan rasa
terimakasih kepada Bapak Usman Supendi, M.Si selaku dosen mata kuliah Tradisi
Islam Sunda dan kepada
rekan-rekan sekelompok.
Bila ada pribahasa yang mengatakan bahwa “Tiada gading
yang
tak
retak”, begitupun dengan makalah kami ini yang jauh dari kata sempurna. Kami sadari
dalam penyusunan makalah ini masih
ada beberapa kesalahan yang tanpa disadari oleh kami selaku penulis,
oleh karena itu penulis harapkan akan adanya kritik dan saran atas makalah ini
yang bersifat membangun, dari penulis sendiri kami ucapkan terima kasih, dan
semoga makalah ini bermanfaat bagi kita semua.
Bandung, 24 Oktober 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
“Ulah ulin peuting-peuting, bisi aya Kolongwewe” dan “Ulah diuk dina lawing panto, bisi nongtot
jodo”
Ungkapan seperti
diatas, sekilas terdengar hanya merupakan larangan atau nasihat dari orang tua
kepada anaknya, atau seseorang yang memberi tahu kepada orang lain yang
dianggap belum mengetahui akibat dari perbuatannya. Tetapi, akan lebih menarik
dari isi ucapan diatas, bila kita
maknai dengan batas rasio yang kita miliki, dengan ukuran saat ini. Maka, akan ada
penilaian bahwa di antara dua ucapan tersebut di atas saat ini akan lebih
mengena pada ucapan pertama yaitu
larangan. Karena, sangatlah
wajar dan kemungkinan besar akan terjadi apabila seorang anak, apalagi anak
kecil, yang bermain pada malam hari akan lengah dan mungkin tersesat saat
hendak pulang. Lain halnya
dengan hubungan antara duduk di dekat pintu dengan masalah perjodohan.
Sangatlah jauh dan terkadang tidak masuk akal, namun makna sebenarnya adalah sebuah larangan agar siapapun tidak duduk
di depan pintu, karena menghalangi
jalan bagi yang akan lewat.
Batas kewajaran yang dilatarbelakangi dengan pola pikir (rasio) pada masa kini, memang menjadi bahan perdebatan antara orangtua yang kolot
dengan anak-anak yang telah dicekoki pengetahuan, dunia hiburan, dan permainan
yang memacu pertanyaan yang berkepanjangan, dan harus dijawab saat itu juga.
Kreatifitas untuk membuat pertanyaan pada anak-anak saat ini memang mengalami
kemajuan pesat, sehingga orang tua yang bersikeras
menggunakan nasihat lama pada
anaknya seperti yang ia alami
semasa
kecilnya, malah sering kewalahan menjawab pertanyaan dari anaknya akan apa makna dari nasihat atau larangan tersebut.
Hal tersebut terjadi karena hilangnya penanaman nilai budaya sedari kecil,
sehingga membuat generasi muda yang hidup pada masa ini (khusunya zaman modern
ini) merasa asing akan kata-kata yang terlampir dengan penuh makna tersirat
yang terkandung dalam nasihat tersebut. Memang pada
zaman dahulu masyarakat patuh
terhadap pantangan yang ada, karena mereka percaya akan akibat
yang akan terjadi, apabila kita melanggar pantangan, atau yang disebut oleh orang sunda pamali (tabu). Sementara, saat
ini banyak terjadi bentrokan karena perbedaan kepentingan yang dilatarbelakangi
oleh perbedaan persepsi yang terus dipertahankan. Ditambah lagi dengan tidak
dipergunakan lagi norma dan etika kokolot zaman baheula (orang tua zaman dahulu) dalam situasi tersebut. Akibatnya, solusi terhadap
masalah yang sedang diperdebatkan tidak kunjung tercapai.
B.
Rumusan
Masalah
1. Apa
yang dimaksud dengan tabu dalam kebudayaan sunda.
2. Apa
jenis-jenis tabu dalam kebudayaan sunda.
C.
Tujuan
Masalah
1. Untuk
mengetahui maksud dan makna
tabu dalam kebudayaan sunda.
2. Untuk
mengetahui jenis-jenis tabu dalam kebudayaan sunda.
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Tabu dalam kebudayaan sunda
Tabu adalah sesuatu yang dilarang atau dianggap suci (tidak boleh disentuh,
diucapkan, dsb); pantangan, larangan. Adapun arti pantangan adalah perbuatan
yang terlarang menurut adat. Soekanto mengartikan tabu dalam beberapa jenis.[1]
Secara umum tabu adalah larangan yang apabila dilanggar, secara serta merta
menimbulkan sanksi negatif yang bersifat supranatural. Ada beberapa jenis tabu
diantaranya:
·
Taboo incest,
yaitu larangan terjadinya perkawinan di antara anggota keluarga. Taboo
menstrual, yaitu larangan melakukan hubungan seks dengan wanita selama masa
haid.
·
Taboo name, yaitu
larangan berbicara atau menulis nama orang atau roh orang yang disegani atau
dihormati.
·
Taboo post partum,
yaitu larangan melakukan hubungan seks dengan wanita yang baru saja melahirkan.
·
Taboo pregnancy,
yaitu larangan yang harus dipatuhi selama masa kehamilan.
·
Taboo twin birth,
yaitu larangan terhadap lahirnya anak kembar sehingga pada beberapa kebudayaan
salah satu dari anak kembar tersebut harus dibunuh atau dipisahkan.
Dalam bahasa Sunda, tabu disebut dengan pamali artinya larangan karuhun.[2]
Pada masanya, tabu sempat ditakuti dan dipatuhi oleh seluruh masyarakat Sunda.
Hal ini disebabkan orientasi dan wawasan pada masa itu masih sedikit
dipengaruhi oleh budaya modern yang sebagian besar cenderung menganalisis
kejadian berdasarkan pandangan hidup yang amat berbeda.
Sunda adalah sebuah kesatuan adat, ketika seseorang kehilangan keseimbangan,
sesungguhnya itu buruk kepada seseorang atau kepada kelompok tersebut.
Seiring berkembangnya
zaman, tabu telah berkembang dalam
sebuah tata cara perilaku. Tentu sebuah penyakit bukan disebabkan oleh supranatural
seperti penyakit dingin, masalah perut dan seperti yang diketahui akibat dari
penyakit alam. Untuk masalah ini penduduk pergi kemantri (perawat laki-laki)
untuk penyembuhannya dengan menyuntikan obat, cara ini lebih disukai oleh
penduduk. Atau mereka pergi kesebuah dukun lokal (penyembuh) untuk menjalani beberapa
pengobatan tradisional dengan
ramuan herbal, ketika
penyembuhan ini gagal bagaimanapun, kecurigaan ini muncul bahwa ada
kemungkinan sebab-sebab supranatural yang melakukannya. Alasaan ini dapat mematahkan sebuah hal tabu.
Terdapat empat kategori tabu dalam kebudayaan sunda, yaitu
:
1.
Buyut : larangan dalam nenek moyang dalam bekerja, berprilaku,
makan dan lain sebaginya. Larangan ini diterapkan hanya kepada anak cucu dari satu nenek
moyang dengan diawali
oleh siapa larangan ini dimulai.
2.
Cadu : seperti larangan pada buyut
tapi diterapkan hanya kepada perorangan jika cadu diikuti oleh perorangan
keturunan itu menjadi buyut. Wilcox enpalmer (1967;314)
sebutan cadu dapat didefinisaikan sebagai buyut yang didefinisikan
disini. Ini mungkin adalah sebuah pareasi lokal didalam wilayahnya,
dimana perempuan melakukan pekerjaannya.
Cadu menjadi buyut ketika seseorang yang melarang cadu
berkata ini akan menjadi buyut dari keturunanku suatu saat nanti
untuk tujuh generasi dan ditambah dengan generasi yang lainnya. Seharusnya dari
satu keturunanan mematahkan tabu. Dia akan menjadi penyakit. Sebuah penyakit
secara umumnya di asosiasikan dengan mematahkan sebuah buyut yang kurang
inget (kurang ingatan).
pengobatan ini adalah sebuah hajat kecil ketika seseorang
menanyakan permohonanan restu kpada nenek moyang yang dimulai dengan
tabu. Sesungguhnya walaupun tanpa nama diberikan kepada sebuah penyakit
diakibatkan dari rusaknya buyut. Ini seperti halnya
kwalat, sebuah penyakit yang diturunkan setelah menyerang orang tua. Pengobatan
untuk kwalat adalah sebuah kebohongan dalam menanyakan permohonan maaf.
3.
Pamali. Larangan prilaku umum, ini juga diterapkan kepada
semua anggota kelompok, termasuk seperti larangan melawan langkah batas antara
pulau kering dan air. Semangat yang kadang-kadang membawa penyakit.
4.
Pantang. Larangan menerapkan kategori spesial kepada
masyarakat.seperti halnya wanita hamil, wanita belum nikah, orang gila, dan
lain sebaginya. Jangan tidur di pagi hari, maka bayi akan mendapatkan kulit jelek. Makan hanya dari
piring kecil maka kamu akan memiliki bayi yang sehat. Membuka pintu dengan
kepalamu maka kelahiran akan mudah, dan jangan mengikuti suamimu untuk membuka
baju disekitar lehernya atau kamu akan mengalami kesulitan akan kelahiran. Satu
pantangan dalam wanita belum menikah yaitu
larangan duduk dijalan pintu rumah alasan ini akan
menjelaskan tidak akan menemukan jodohnya. Kemudian larangan agar tidak makan nanas, pepaya, pisang dan jenis lainnya. larangan
minum jus kelapa atau kamu akan berhati
dingin. Larangan jangan terlalu dekat dengan api
ketika memasak, karena akan memudahkan dalam kehamilan. Jangan dekat
dengan air di siang hari karena itui adalah batasan roh .
Wibisono mengatakan bahwa pantangan atau tabu menerapkan hukum yang
tertua dalam kehidupan manusia, dan dengan mentaati pantangan itu pulalah
masyarakat dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya. Tabu, sebuah kata yang
saat ini kadang masih terdengar. Ucapan yang mengandung tabu sering menjadi
bahan pertanyaan yang berkepanjangan terutama bagi anak-anak “sekarang” yang
wawasan pemikirannya telah dipengaruhi oleh bahan bacaan, cerita, media massa
(televisi), dan permainan modern. Dengan kata lain, masyarakat “sekarang” sudah
mengalami banyak perubahan akibat adanya kemajemukan masyarakat yang disertai
dengan upaya infiltrasi budaya luar baik secara langsung maupun tidak langsung.
Saat ini pandangan hidup generasi sekarang memang dipenuhi dengan banyak
hal yang kadang berbeda dengan pandangan hidup tradisi nenek moyang kita. Hal
ini memang wajar karena manusia memiliki kebebasan berfikir dan tidak dapat
terkekang sepenuhnya bahkan oleh aturan politik yang sangat ketat sekalipun.
Senada dengan hal tersebut, Teichman mengatakan bahwa salah satu kebutuhan
manusiawi adalah kebutuhan akan kebebasan berfikir dan mengungkapkan diri agar
dihargai karena hal ini menjawab kebutuhan manusia yang penting. Pengurangan
kemampuan manusia atas kebebasan berfikir oleh politik akan menuju tingkat yang
lebih rendah yaitu tingkat konformitas tanpa fikiran.
Bicara mengenai pandangan hidup tidak terlepas dari karakteristik manusia
sebagai mahluk sosial untuk selalu berhubungan. Dalam hal ini, Rusyana membagi
empat hubungan manusia, yaitu 1) hubungan tentang manusia sebagai pribadi 2)
manusia dengan masyarakat 3) manusia dengan alam 4) manusia dalam mengejar
kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.[3]
Sedikit berbeda dengan Rusyana, Warnaen dalam menganalisis orang sunda membagi
berdasarkan 5 bagian yaitu:
1.
Manusia sebagai pribadi
2.
Manusia dengan masyarakat
3.
Manusia dengan alam
4.
Manusia dengan Tuhan
5.
Manusia dalam mengejar kemajuan lahiriah dan kepuasaan
batiniah
Terlihat bahwa orang Sunda, menurut Warnaen, selalu menjadikan dirinya
untuk selalu berhubungan dengan Tuhan yang menciptakan diri beserta alam
semesta. Terlepas dari ketiadaan opsi hubungan antara manusia dengan Tuhan yang
dikemukakan Rusyana, tampak bahwa apa yang dikemukakan oleh Warnaen dan Rusyana
memiliki kesamaan dalam pola hubungan yang dilakukan manusia. Kesamaan tersebut
dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu hubungan yang bersifat fisik dan
non fisik. Dua kelompok tersebut memang ada dan khas dalam setiap kebudayaan, karena
manusia selalu berhubungan dengan lingkungan yang bersifat sakral dan profan. Akan lebih luas
lagi pembagian tersebut apabila dikaitkan dengan kegiatan rutinitas kegiatan
manusia yang tidak lebih dari upaya mengikuti life cycle (rantai
kehidupan). Hal ini senada
dengan apa yang ditulis oleh Mustafa tentang adat istiadat Sunda, membahas adat
Sunda berdasarkan segi pengajaran, ngidam, hamil, menjaga orang hamil,
menyunat, menikah, dan bertani.[4]
Tabu diwariskan secara turun menurun. Orang atau pihak yang berperan untuk
memberitahu tabu kepada orang lain biasanya adalah orang yang lebih tua
umurnya; banyak pengalaman; ada hubungan saudara atau famili. Biasanya mereka
yang tergolong dalam klas ini menyayangi saudara yang lebih muda umurnya.
Tabu diceritakan dalam bentuk penggambaran kewibawaan leluhur mereka. Atau,
ada juga yang menceritakan kejadian yang menakutkan bagi orang yang melanggar
tabu. Dapat juga dalam bentuk penggambaran mahluk halus yang mempunyai karakter
jahat, binatang buas yang akan menghukum si pelanggar tabu.
B. Beberapa hal Tabu Dalam Kebudayaan Sunda
Provinsi Jawa Barat yang identik dengan budaya Sunda menyimpan
pernik-pernik ungkapan, nasihat, dan pantangan yang berbau pamali. Di daerah
Kuningan, beberapa tabu untuk berbagai jenis kegiatan mewarnai kehidupan
masyarakat. Salah satunya adalah pada kegiatan upacara babarit di desa Buni
Geulis, kecamatan Ciniru, Kabupaten Kuningan. Tabu yang diterapkan dalam
kegiatan ini adalah tatkala ada pementasan tari-tarian sebagai bagian dari
upacara. Pada saat ronggeng pertama kali nembang (menyanyi) dengan lagu saung
kembang, sanggo lewang, tunggal kawung, dan raja pulang para penonton yang
menghadiri pesta/ upacara tidak ada yang boleh menari. Menurut kepercayaan,
pada saat ronggeng menyanyi itulah para dedemit atau leluhur desa Buni Geulis
turut menari.
Latar belakang dari adanya tabu tersebut tersimpan dari maksud upacara
babarit itu sendiri. Pelaksanaan upacara babarit dimaksudkan sebagai upaya
penghormatan kepada roh leluhur atau dedemit yang menganggap dapat senantiasa
melindungi dan menjaga ketentraman dalam kehidupan masyarakat Buni Geulis.
Selain itu, upacara ini juga dimaksudkan sebagai upaya memohon izin kepada roh
halus (demit, jurig, dan lain-lain) agar tidak mengganggu masyarakat Buni
Geulis khususnya dalam bidang pertanian. Upacara ini juga ditujukan sebagai
permohonan kepada Tuhan YME agar padi dan palawija dapat tumbuh subur, tidak diganggu hama,
dan hasil yang diperoleh dapat melimpah. Terakhir, maksud pelaksanaan upacara
babarit adalah sebagai upaya penggalangan rasa kebersamaan, khususnya dalam bidang
kebersihan lingkungan.
Lain halnya dengan orientasi terhadap mahluk halus yang ditakuti oleh
masyarakat desa Buni Geulis yang menjadi tema sentral pelaksanaan upacara
babarit, tabu di daerah lain dilatarbelakangi oleh, selain kepercayaan terhadap
mahluk halus, sebagian di antaranya lebih ditekankan kepada kondisi alam
sekitar. Tabu jenis ini dapat ditemukan pada masyarakat Kampung Mahmud, Kabupaten
Bandung. Beberapa tabu yang melingkupi Kampung Mahmud adalah:
1.
Tidak boleh membuat rumah dari tembok dan kaca
2.
Tidak boleh menabuh gong
3.
Tidak boleh memelihara atau beternak angsa
4. Tidak boleh membuat
sumur.
Alasan logis yang dapat dikemukan dapat dilihat dari keadaan lingkungan alam dan faktor sejarah. Daerah Kampung Mahmud dikelilingi oleh sungai yang cukup besar debit airnya. Dikhawatirkan apabila ada yang menggali sumur dapat mengakibatkan permukaan tanah Kampung Mahmud semakin turun sehingga kemungkinan terjadi banjir akan semakin besar. Adapun tabu untuk membuat rumah dari kaca, larangan menabuh gong, dan memelihara angsa lebih disebabkan faktor sejarah penjajahan. Ketakutan akan kepergok atau diketahui lokasi Kampung Mahmud oleh penjajah (Belanda dan Jepang) membuat hal-hal yang mampu memancing penjajah menjadi hal yang wajib dihindarkan. Kaca, sebagaimana diketahui, mampu memantulkan sinar matahari yang dapat dilihat dari kejauhan. Gong dan suara angsa adalah jenis suara khas dan setiap orang akan segera mengetahui bahwa ada kegiatan atau kejadian apabila mendengar suara tersebut.[5]
Daerah lain yang juga memiliki konsep pertabuan adalah di Kampung Dukuh,
Desa Cijambe, Kecamatan Cikelet, Kabupaten Garut. Tabu yang berlaku di daerah
ini mengarah pada konsep kesederhanaan, dan penghormatan kepada arwah leluhur
yang dipadukan dengan ajaran agama Islam. Perilaku yang tercermin
akibat konsep tabu ini, dapat dilihat dari kegiatan sehari-hari masyarakat
Kampung Dukuh. Adapun tabu yang wajib dipatuhi untuk kategori keseharian
adalah:
1. Tidak boleh
menjulurkan kaki kearah makan keramat baik pada waktu tidur ataupun sedang
duduk.
2. Tidak boleh buang
air kecil atau besar dengan arah ke makam keramat kecuali dilakukan di jamban
umum.
3. Tidak boleh buang
air kecil/ makan sambil berdiri.
4. Tidak boleh makan
dengan menggunakan sendok dan garpu.
5. Tidak boleh menjual
makanan yang telah dimasak.
6. Tidak boleh
memiliki benda-benda elektronik seperti televisi, radio, tape recorder, dan
lain-lain.
7. Tidak boleh
menggunakan petromak atau jenis lampu lain yang menggunakan minyak tanah.
8. Tidak boleh
memiliki kursi, lemari, ranjang, perhiasan dan peralatan lain yang terkesan
mewah.
9. Tidak boleh
menempel gambar apapun kecuali ayat-ayat Al Quran.
10. Dilarang menumbuk
padi pada hari selasa dan jumat.
11. Dilarang pergi ke
kebun atau ke tempat lain yang letaknya jauh pada hari jumat.
12. Tidak boleh
bepergian pada saat larangan sasih atau kala ageung.
13. Tidak boleh
melakukan kegiatan apapun pada saat hari naas, yaitu hari meninggalnya
orangtua.
14. Tidak boleh
memasuki makam keramat pada sembarang waktu.
15. Tidak boleh memakai
awalan “si” apabila memanggil atau menyebut nama seseorang.
16. Tidak boleh memadu
kasih (pacaran) terlalu lama.
17. Tidak boleh menikah
dengan orang yang beragama non Islam.
18. Tidak boleh menjadi
pegawai negeri.
19. Tidak boleh menjadi
pedagang.
20. Tidak boleh koret
(kikir).
21. Tidak boleh
menyakiti hati orang lain.
22. Tidak boleh
membunuh.
23. Tidak boleh
merampok atau mencuri.
24. Tidak boleh takabur
dan mementingkan diri sendiri.
25. Tidak boleh
melanggar syara (syariat atau hukum Islam).
·
Sanksi
Baik di Kampung Dukuh, Kampung Mahmud, dan Desa Buni Geulis, sanksi yang
diterapkan atas pelanggaran tabu adalah suatu yang bersifat supranatural dengan
embel-embel sengsara dan kejadian yang menyakitkan bagi si pelanggar. Seperti
halnya di Kampung Dukuh, sanksi bagi si pelanggar berupa kenyataan pahit yang
diderita, seperti mati mendadak, penyakit aneh, buta, diserang serangga. Dari
sekian banyak sanksi yang bersifat supranatural di Kampung Dukuh, terdapat
sanksi sosial terhadap pelanggar yaitu pengasingan diri. Sanksi ini dikenakan
bagi si pelanggar yang belum meminta maaf kepada masyarakat.[6]
Walaupun adanya sanksi sosial, tabu memang diidentikan dengan hal-hal yang
tidak masuk akal bagi generasi sekarang. Ungkapan dan nasihat orang tua pada
masyarakat Sunda agar tidak melanggar tabu memang mengandung hal seperti itu.
Walaupun Demikian, makna yang tersirat dalam penerapan sanksi tersebut apabila
dicerna menurut pola fikir saat ini akan tampak adanya kandungan etika sosial,
kesederhanaan, dan upaya menjaga kesehatan tubuh serta lingkungan. Hal ini akan
tampak dalam petikan Mustafa tabu serta sanksinya dalam masyarakat Sunda
berikut ini.[7]
1.
Jangan makan tebu = apabila suatu saat merantau maka akan
mati di perantauan
2.
Tidak boleh bermain, bagi anak-anak, saat matahari
terbenam = akan diganggu setan atau mahluk halus
3.
Jangan makan yang masam-masam saat matahari terbenam =
akan ditinggal mati oleh ibunya.
4.
Tidak boleh menghina orang tuanya = akan durhaka.
5.
Tidak boleh melangkahi padi (nyi Sri) = akan mendapat
penyakit yang disebabkan setan.
6.
Tidak boleh memandikan kucing = dapat berakibat datangnya
hujan angin.
7.
Jangan makan sirih yang kasar daunnya = mati anak sulung
8.
Duduk di depan pintu bagi anak gadis = akan jauh dari
jodoh.
9.
Anak-anak tidak boleh bermain lalangiran (tengkurap) =
akan mengakibatkan ibunya meninggal dunia.
10.
Perempuan tidak boleh mengayunkan tangan kirinya = mengakibatkan
masakan cepat habis.
11.
Tidak boleh tidur di atas palupuh = berakibat tidak akan
mendapat kebahagiaan.
12.
Tidur tidak boleh terlentang di bawah pangeret (Sepotong
bambu atau kayu di antara dua buah tiang) = dapat mengakibatkan bermimpi buruk.
Tampak dalam beberapa petikan tabu di atas, klasifikasi perbuatan dan
akibat yang ditimbulkan bagi si pelanggar adalah tidak lebih dari upaya agar
etika sosial dan kesehatan tubuh berperan dalam penetapan tabu. Pengaruh dari
perwajahan dunia gaib yang sakral dan menyeramkan saat itu menjadi ide untuk
menjaga agar apa yang telah dituangkan dalam tabu tetap terjaga. Kondisi
tersebut ternyata lebih ampuh daripada nasihat berbentuk pantun atau ungkapan
yang tidak mempunyai sanksi, meski sebenarnya pesan nilai dan makna dalam
ungkapan tradisional lebih kuat dari tabu. Seperti halnya dengan ungkapan Asak
jeujeuhan, yaitu ukuran panjang yang panjangnya. Ukuran ini dijadikan sebagai
peribahasa kepada orang yang baik kelakuannya, besar pertimbangannya, biasa
disebut asak jeujeuhan (bijaksana, tepat ukurannya). Satu lagi ungkapan
tradisional yaitu Anak merak kukuncungan, uyah tara tees ka luhur. Nilai dan
makna yang terkandung dalam ungkapan ini adalah turunan orang yang baik,
menjadi kata-kata orang. Bila ayahnya demikian pasti anaknya pun demikian. Tapi
ada juga yang tidak demikian, biasa dikatakan dalam peribahasa setiap anak
merak mempunyai kuncung, tapi kalau manusia kadang-kadang tidak seperti orang
tuanya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Antara modern dan tradisional sebenarnya memiliki kesamaan dalam pola fikir
yang didasarkan atas kenyataan yang ada pada saat itu. Tetapi,
upaya penciptaan sebuah budaya, baik modern maupun tradisional, tidak lebih
dari upaya menjaga keselarasan dan keharmonisan di antara kelompok masyarakat.
Malah, dalam kebudayaan modern yang dibangga-banggakan seperti saat ini
terkadang masih banyak sekali kekurangannya sehingga mengakibatkan
ketidak-harmonisan di antara kelompok-kelompok masyarakat.
Dengan demikian, seharusnya orang tidak boleh memandang sebelah mata apa
yang telah dihasilkan oleh budaya tradisional. Seperti halnya dengan pamali,
cadu, ataupun buyut adalah sebuah produk budaya yang dibungkus dalam sebuah
tabu yang harus dipatuhi oleh anggota masyarakat agar keharmonisan dan
keselarasan dari sebuah budaya, yaitu budaya Sunda, tetap terjaga.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Penyusun, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ed.2,
Jakarta: Balai Pustaka, 1995.
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi Edisi Baru,
Jakarta: Rajawali Pers, 1993.
R. Satjadibrata, Kamus Basa Sunda (Katut Ketjap-Ketjap
Asing nu Geus Ilahar), Jakarta:
Perpustakaan Perguruan Kementerian P dan K, 1954.
Aam Masduki, et.al, Sistem Religi di Kampung Mahmud
Kabupaten Bandung, Bandung : BKSNT Bandung, 1993.
Yus Rusyana et.al, Pandangan Hidup Orang Sunda:
Seperti Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III, Bandung:
Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988.
R.H. Hasan Mustafa, Adat Istiadat Sunda, Bandung:
Alumni, 2002.
Toto Sucipto et.al., Tata Kehidupan Masyarakat Kampung
Dukuh, Bandung: BKSNT Bandung, 1992.
[2] R. Satjadibrata, Kamus Basa Sunda (Katut Ketjap-Ketjap
Asing nu Geus Ilahar), (Jakarta: Perpustakaan Perguruan Kementerian P dan K,
1954), hal. 277
[3] Yus Rusyana et.al, Pandangan Hidup Orang Sunda: Seperti
Tercermin dalam Kehidupan Masyarakat Dewasa Ini Tahap III (Bandung: Proyek
Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Nusantara, 1988), hlm. 8.
[5] Aam Masduki, et.al, Sistem Religi di Kampung Mahmud
Kabupaten Bandung, (Bandung: BKSNT Bandung, 1993), hal. 32
0 komentar:
Posting Komentar