About

Selasa, 03 Februari 2015

Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannya



KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr Wb.
Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw, beserta keluargnya, sahabatnya, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya hingga akhir zaman.
Makalah yang bertemakan Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannyaini, tidak lain hanyalah sebagai syarat kelulusan pada Mata Kuliah Ilmu Kalam. Saya sadar bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik dalam penulisan maupun penyampaian materinya, karena saya masih dalam tahap pembelajaran. Meskipun demikian, saya berharap makalah ini bermanfat bagi semuanya, khususnya bagi saya sendiri selaku penulis, dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Oleh karena itu dengan lapangdada saya akan menerima kritik dan saran yang sifatnya edukatif guna perbaikkan dimasa yang akan datang.
Dalam pengantar ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak dosen Mata Kuliah Ilmu Kalam, yang telah memberikan saya tugas yang mempelajari tentang Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannya, serta kepada teman-teman yang telah mendukung dan memberi saran, guna terselesaikannya makalah ini, semoga amaliah kita semua diberi balasan oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.





Bandung, 23 Maret  2013


Penulis



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dalam mempelajari Ilmu Kalam, kita pasti menemukan suatu sub materi atau suatu permasalahan yang timbul karena suatu sejarah atau tokoh suatu aliran dan alirannya. Sebab Secara etimologis, kalam berarti pembicaraan, yakni pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Oleh karena itu, ciri utama dari ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika., jadi bisa dikatakan kita itu sedang mempelajari setiap aliran atau golongan yang ada di dalam dunia islam beserta ucapan (pemikirannya).
Didalam makalah ini saya selaku pemateri sekaligus penulis merasa perlu untuk mempelajari lebih dalam sub materi “Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannya”. Karna didalam materi ini terdapat penjelasan tentang riwayat hidup dan golongan wahabi, yang harus saya coba jelaskan secara detail.  Agar para pembaca sekalian mengetahui sedikit informasi mengenai tokoh Muhamad Bin Abdul Wahab beserta alirannya.

B.     MASALAH
1.      Siapa itu Muhamad Bin Abdul Wahab?
2.      Bagaimana cara pertalian antara aliran wahabbiyah dengan aliran salaf?
3.      Apa latar belakang berdirinya aliran wahabbiyah?
4.      Apa pokok-pokok pikiran wahabbiyah?
5.      Apa pengaruh berdirinya aliran wahabbiyah?

C.     TUJUAN
1.      Untuk mengetahui biografi dari Muhamad Bin Abdul Wahab.
2.      Untuk mengetahui apa kaitannya antara aliran wahabbiyah dan aliran salaf.
3.      Untuk mengetahui apa latar belakang berdirinya aliran wahabbiyah.
4.      Untuk mengetahui pokok-pokok pikiran wahabbiyah.
5.      Untuk mengetahui sumbangsi dari berdirinya aliran wahabbiyah.


BAB II
PEMBAHASAN
A.     Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab
1.      Biografi
Muhammad bin Abd al-Wahhāb (1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) beliau adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan yang pernah menjabat sebagai mufti Daulah Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Para pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".
Muhammad bin Abd al-Wahhāb memiliki nama lengkap Muhammad bin Abd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam umumnya terkeliru dengan mereka karena mereka mendakwa mazhab mereka menuruti pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu bapak penggagasnya, al-Syaikh Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
2.      Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar keluar daerah.
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab, menceritakan betapa bangganya Syeikh Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah. Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
3.      Kehidupannya di Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia melihat banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik, seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.


4.      Belajar dan berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya, terutaman di bidang hadits dan musthalahnya, fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika (ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari 'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal jama'ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
5.      Perjuangan memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan... tidak ada seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
6.      Kehidupannya di Dir'iyyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Muhamad Bin Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman. Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini adalah seorang wanita yang soleh. Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini, keuntungan di mana Allah telah mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar, janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini. Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim. Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi kejayaan dakwah Islamiyah yang anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini, Insya Allah!"
Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah, anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara kandung sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi modal utama bagi perjuangan beliau yang meliputi disiplin ilmu Aqidah al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai menegakkan jihad, menulis surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan penguasa-penguasa di sana.
7.      Berdakwah Melalui Surat-menyurat
Syeikh menempuh berbagai macam dan cara, dalam menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas. Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria, Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu yang cukup memadai.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam. Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya, demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh (anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau dibunuh dengan cara sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu, yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233 H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al 'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam dari belakang ketika sedang mengimami salat berjama'ah.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu hebat, baik dari luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh berbagai macam cara. Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh, tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya yang berjudul Shiyanah al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim dalam berbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang aku anut, ialah mazhab Ahli Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seperti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata: `Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dengan perkataan `bahwa jasad Nabi Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama dari mereka, dengan tidak diragukan lagi.
8.      Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun, diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
  • Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
  • Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh dakwah beliau:
  • Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
  • Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
  • Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu, bukan hanya terjadi pada masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi ulama..
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ôs)s9 $uZù=yör& $oYn=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9tRr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#uÏJø9$#ur tPqà)uÏ9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9tRr&ur yƒÏptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù't/ ÓƒÏx© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èuÏ9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ßâur Í=øtóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;Èqs% ÖƒÌtã ÇËÎÈ  
" Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan) keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya pada tahun 1206 H.
9.      Wafat
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah (Najd).
B.     Aliran Wahabbiyah
1)   Latar Belakang Berdirinya Aliran Wahabiah
Pemberian nama aliran wahabiah dipertalikan dengan nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdil Wahab (1115-1201 H/1703-1787 M). Dan diberikan oleh lawan-lawan tersebut semasa hidup pendirinya, yang kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa. Nama yang dipakai oleh golongan wahabiyah sendiri ialah golongan muwahhidin (unitarians) dan metodenya mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.mereka mengangap dirinya Ahlussunah yang menikuti pikiran-pikiran Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh Ibmu Taimiyah.
Aliran wahabi adalah suatu kekeliruan karena Abdul Wahab ayahnya adalah ulama Ahlussunah bukan berpaham wahabiyah. Latar beklakang kelahiran aliran wahabi berawal dari pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan keyakinan-keyakinan, bahwa keruntuhan islam dan kelemahannya karena adat kebiasaan umat islam sendiri yang sangat bertentangan dengan ajaran islam dan banyak perbuatan-perbuatan syirik yang tidak sesuai dengan dengan ilmu tauhid yang menjaqdi tugas terpenting Nabi Muhammad SAW pada waktu Ia diutus menghadapi suku bangsa jahiliyah quraisy penyembah berhala di mekah.Oleh karena itu perjuangan wahabi yang terutama ditunjukan untuk membina suatu ajaran tauhid yang kuat guna mengembalikan keyakinan umat islam kepada Allah.
2)   Riwayat Hidup Pendirinya      
Muhammad bin Abdil Wahab dilahirkan di Ujainah, yaitu sebuah dusun di Najed, daerah Saudi Arabia sebelah Timur. Salah satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman Al-kurdi dan Muhammad Al-hayyat As-sindi.[1] Ia banyak mengadakan perlawatna dan sebagian hidupnya dipergunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke negeri lain sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal. Setelah beberapa tahun mengadakan perlawatan, kemudian pulang ke negeri kelahirannnya dan selama beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya At-tauhid. Karena ajaran-ajarannya menimbulkan keributan-keributan di negerinya, ia diusir oleh panguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke Dari’ah, sebuah tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud yang telah memeluk ajaran-ajaran wahabiyah, bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
Dengan dukungan Sa’ud dan kerja sama yang baik sehingga gerakan wahabi dapat berkambang. Keinginan dan cita-cita masing-masing tokoh ini saling mendukung. Sehingga cita-cita mereka membuahkan hasil dengan berdirinya kerajaan wahabi di Jazirah Arabia, Sehingga segala bentuk kemusyrikan disapu bersih.
3)      Pokok-Pokok Pikiran Wahabiyah
Muhamad bin Abdul Wahab lahir dan besar di lingkungan keluarga dan masyarakat yang bermazhab Hambali. Bahkan, sebagaimana disebutkan terdahulu, ayahnya adalah kadi mazhab Hambali di daerahnya. Karena itu wajarlah jika Muhammad bin Abdul Wahab menjadi penganut dan pemgikut setia Ahmad bin Hambal. Oleh karena itulah, Muhammad bin Wahab disebut-sebut sebagai tokoh salafiah abad ke-18 M sebab salafiah mengacu kepada pemikiran Ahmad bin Hambal.
Sebagai pengikut setia Ahmad bin Hambal tentu pola pikir dan amaliahnya menikuti mazhab Hambali. Ahmad bin hambal yang terkenal dengan gigih mempertahankan dan memperjuangkan iktikad dan amaliah salaf al-shalih dan menantang keras pemikiran-pemikiran rasional. Kekerasan dan kekuatan pendirian Ahmad bin Hambal nampaknya juga terlihat pada diri Muhammad bin Abdul Wahab yang berjuang membrantas kemusrikan, bid’ah, Khurafat dan tahayul yang melanda umat islam.
Dalam hubungannya dengan tauhid, Muhammad bin Abdul Wahab mengemukakan tiga aspek ketauhidan:
a.       Tauhid rububiah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
b.      Tauhid al-asma wa al-shifat adalah keimanan kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana tercantum dalam Al-qur’an,tanpa tamsil, tasbih dan takwil.
c.       Tauhid ibadah adalah segala bentuk amal dan ibadah manusia semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.
Aspek ketauhidan memang merupakan perhatian utama Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia ingin memurnikan Ajaran islam yang dianggapnya sudah rusak dan bercampur baur dengan ajaran lain yang tidak sesuai dengan tauhid Islam, akibat ulah umat islam sendiri. Ia tidak ingin umat Islam terjerumus kedalam kemusyrikan, sesuatu dosa yang tidak terampunkan. Aspek ketauhidan mendapat perhatian besar dari Muhammad bin Abdul Wahab karena disamping tauhid merupakan ajaran islam paling mendasar, ia menyaksikan di daerah banyak umat islam melakukan aktifitas yang menurut pendapatnya menyimpang dari ajaran tauhid. Aspek tersebut antara lain pengkultusindividuan syekh-syekh tarekat atau orang-orang yang dianggap wali, Ziaroh ke kubur-kubur para syekh atau wali dan meminta pertolongan kepada syaekh atau wali tersebut, dan ziaroh ketempat tertentu yang dianggap memiliki kekuatan gaib yang dapat membamtu dan menyelesaikan problema kehidupan mereka, seperti batu-batu besar dan pohon-pohon.

4)      Akidah Aliran Wahabiyah Dan Pertaliannya Dengan Aliran Salaf
Aliran wahabiyah sebenarnya merupkan kelanjutan dari aliran salaf, yang berpangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin Hambal dan yangb kemudian direkonstruksikan oleh Ibnu Taimiah, bahkan aliran wahabiyah telah menerpkan dengan lebih luas dan memperdalam arti bid’ah, sebagai akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan.
Akidah-akidah yang pokok dari lairan wahabiyah pada hakekatnya tidak berbada dengan apa yang telah dikemukakan oleh Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahya dapat disimpulkan dalam dua bidang, yaitu tauhid dan “bidat”.
Dalam bidang ketauhidan mereka berpendirian berikut :
1.      Penyambahan kepada selain Tuhan adalah salah, dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.      Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk golongan musyrikin.
3.      Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan kata pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-Nabi atau wali atau Malaikat (seperti Sayyidina Muhammad).
4.      Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang tidak didasarkan atas Qur’an  dan Sunah, atau ilmu yang bersumber akal pikiran semata-mata.
5.      Termasuk kufur dan Ilhadjuga mengingkari qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran qur’an dengan jalan ta’wil.
6.      Dilarang memakai buah tasbih dan dalam mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung jari.
7.      Sumber syariat islam dalam soal halal dan haram hanya Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul.
8.      pintu ijtihad tetap terbuka dan sipapun boleh melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan harus diberantas antara lain: berkumpul bersama-sanma dalam mau’idan, orang wanita mengiring jenazah, mengadakan pertemuan Zikir, bahkan mereka merampas buku-buku tawassulat,bahkan kegiatan sehari-hari juga dikategorikan dalam bid’ah seperti rokok, minum kopi, memakai pakaian sutra bagi laki-laki, bergambar,memacari kuku dll.
5)      Cara Penyiaran Aqidah-Aqidah Wahabiyah
Kalau Ibnu Taimiah, sebagai pembangunaliran salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan megadakan pertukan pikiran serat perdebatan, maka
Muhammad bin abdul wahab merasakan sendiri bahwa khuratfat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negerinya, bukan saja terbatas kepada pemujaan kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang saleh dan memberikan nazar kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan benda-benda mati. Juga tidak sedikit dari kota dar’iah,tempat ia mulai melancarkan dawhnya senang mengunjungi sebuah gua yang terletak disana. Perbuatan tersebut dipandang olehnya sebagi suatu macam perbuatan syirik.
Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukannya ialah memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali golongan wahabiyah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjidpun turut dibonhkar sehingga penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai pembongkar tempat-tempat ibadah (huddamul ma’abid). Tindakan mereka tidak hanya seperti itu tetapi lebih jauh lagi, ketika mereka dapat menguasai Makkah, banyak banyak tempat-tempat sejarah yang dimusnahkan.
Akan tetapi gerakan wahabiyah yang bertulang punggungkan kekuatan raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa (khalifah) Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagiai perlawanan dan pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirim tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut, akan ytetapi tidak berfasil, kemudian diserahkan penumpasannya kepada Muhammad Ali, gubernur  Turki, dan ternyata yang kuat dapat mengalahkan golongan wahabiyah serta dapat melumpuhkan kekuatannya. Dengan kemunduran Khilafat turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi aliran resmi negeri Saudi Arabia sampai sekarang ini.
6)      Kritik Terhadap Aliran Wahabiah
Demikianlah aqidah aliran wahabiyah sebagai kelanjutan metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok aqidahnya dari Quran dan hadis. Seperti lazimnya, pada tiap-tiap gerakan baru yang disertai kekerasan, maka terhadap aliran wahabiyah juga terdapat beberapa kritikan.
Pertama ialah aliran wahabiyah tidak mengenal  perasaan kaum muslimin, sebab kaum muslimin, sebab kaum muslimin dimanapun juga berbangga dengan kuburan nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya,sehingga cukup menimbulkan kebencian kaum muslimin terhadap aliran wahabiyah. Kemudian kritik yang lain ialah bahwa aliran wahabiyah melalikan kemajuan mental dan pikiran di negeri merdeka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan perkembangan zaman, sedangkan ajaran-ajaran islam yangsebenarnya tidak menghalang-halanginya, bahkan selalu menganjurkannya. Selain itu, ajaran-ajaran aliran wahabiyah hanya berlaku untuk orang biasa, sedangkan bagi para penguasa dan keluarga raja, ajaran-ajaran tersebut tidak mempunyai nilai, sebagaimana yang ditunjukan oleh praktek kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimanapun aliran wahabiyah termasuk golongan aliran salaf, sedangkan golongan salaf termasuk Ahlussunnah.dari Ahmad bin Hambal. Karena itu aliran wahabiyah termasuk aliran Ahlussunnah.
7)      Pengaruh Aliran Wahabiah
Gerakan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab merupakan gerakan tertua di abad ke-18 M. Gerakan-gerakan pemurnian selanjutnya, langsung atau tidak, dalam banyak hal terpengaruh oleh gerakannya. Pengaruh gerakan Wahabi tidak hanya terbatas dijazirah Arabia, tetapi melebar dan meluas keberbagai pelosok dunia islam. Meskipun gerakan Muhammad bin Abdul Wahab merupakan gerakan pemurnian ajaran islam, khususnya tauhid, namun, menurut Prof.DR.Harun Nasution, pemikiran-pemikirannya juga mempengaruhi gerakan dan pemikiran pembaharuan islam pada abad ke-19 M. Pemikiran yang mempengaruhi pembaharuan di periode modern adalah:
a.       Sumber asli ajaran islam hanya Al-qur’an dan hadis dan pendapat ulama bukan merupakan sumber.
b.      Tidak boleh bertaklid kepada ulama.
c.       Pintu ijtihad tidak tertutup,tetapi tetap terbuka.
v  Negeri-negeri di mana aliran wahabiah berkembang ialah:
1.      India
Di Punjab (India Utara), Syaid Ahmad menciptakan negara wahabiyah dan memaklumkan jihad terhadap orang yang tidak mempercayai dakwahnya serta masuk di barisannya. Juga di Bengal penyiaran islam pengalami kepesatan karena pengaruh golongan wahabiyah.
2.      Aljazair
Aliran wahabiyah di negara ini dibawa oleh Imam as-Sanusi
3.      Mesir
Syaih Imam Abduh menyiarkan aliran wahabiyah, meskipun ia tidak mengikatkan diri kepadanya semata-mata, karena ia menggali sendiri pokok-pokok mazhab salaf,  sejak masa Rasul sampai kepada ibnu taimah, dan sampai Muhammad bin Abdil Wahab. Dasar-dasarnya sama dengan dasar-dasar yang dipakai oleh aliran wahabiyah.
4.      Sudan
Aliran wahabiah dibawa oleh Usman Danfuju, saat ia pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan pada waktu itu aliran wahabiyah sedang berkembang pesat, setelah pulang ke negerinya menyebarkan aliran wahabiyah.
5.      Indonesia
Dibawa oleh tiga orang dari Sumatera Barat yang mula-mula berkunjung ke Madinah, mereka tertarik sekali dengan aliran wahabiyah. Setelah pulang ajaran wahabi diperkenalkannya kepada pendudukan indonesia. Namun menjadi peperangan yaitu perang padri. Pada masa sesudahnya, aliran wahabiyah di Indonesia lebih luas lagi, baik melalui orang-orang haji maupun melalui buku-buku Syaih Muhammad Abduh dari Mesir.
v  Kontribusi terhadap ketauhidan
·        Mengesakan Tuhan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
·        Sumber asli hanyalah Al-quran dan hadis.
·        Memegang teguh kemurnian ketauhidan.


BAB III
KESIMPULAN
Sesuai dengan pemaparan materi diatas, maka dapat saya simpulkan bahwa Riwayat hidup  muhamad bin abdul wahab ini terdiri dari  9 sub pokok yaitu :
·        Biografi
·        Masa kecil
·        Kehidupan di Madinah
·        Belajar dan berdakwah di Basrah
·        Perjuangan memurnikan aqidah Islam
·        Kehidupannya di Dir'iyyah
·        Berdakwah Melalui Surat-menyurat
·        Tantangan Dakwah dan Pemecahannya
·        Wafat
            Serta latar beklakang kelahiran aliran wahabi berawal dari pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan keyakinan-keyakinan, bahwa keruntuhan islam dan kelemahannya karena adat kebiasaan umat islam sendiri yang sangat bertentangan dengan ajaran islam dan banyak perbuatan-perbuatan syirik yang tidak sesuai dengan dengan ilmu tauhid yang menjaqdi tugas terpenting Nabi Muhammad SAW pada waktu Ia diutus menghadapi suku bangsa jahiliyah quraisy penyembah berhala di mekah.Oleh karena itu perjuangan wahabi yang terutama ditunjukan untuk membina suatu ajaran tauhid yang kuat guna mengembalikan keyakinan umat islam kepada Allah.
             Dalam hubungannya dengan tauhid, Muhammad bin Abdul Wahab mengemukakan tiga aspek ketauhidan:
a.       Tauhid rububiah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
b.      Tauhid al-asma wa al-shifat adalah keimanan kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagaimana tercantum dalam Al-qur’an,tanpa tamsil, tasbih dan takwil.
c.       Tauhid ibadah adalah segala bentuk amal dan ibadah manusia semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.



DAFTAR PUSTAKA

Asmuni Yusran.H.M.Drs, Ilmu Tauhid (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1993)
Nasution Harun, Pembaharuan Dalam Islam: sejarah, pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,1991
A.Hanafi M.A Pengantar Theologi Islam (Yogyakarta:Al Husna Zikra,1967)
Biografi.Muhamad bin abdul wahab. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab Diunduh Pada Tanggal 22 Maret 2013, pukul 15.21 WIB.

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.