KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr Wb.
Puji
dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat,
hidayah, dan inayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam semoga tercurah limpahkan kepada baginda alam Nabi Muhammad Saw,
beserta keluargnya, sahabatnya, tabiin, hingga kepada kita selaku umatnya
hingga akhir zaman.
Makalah
yang bertemakan “Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannya” ini, tidak lain hanyalah sebagai syarat
kelulusan pada Mata Kuliah Ilmu Kalam.
Saya sadar bahwa dalam penyelesaian makalah ini jauh dari kesempurnaan, baik
dalam penulisan maupun penyampaian materinya, karena saya masih dalam tahap pembelajaran.
Meskipun demikian, saya berharap makalah ini bermanfat bagi semuanya, khususnya
bagi saya sendiri selaku penulis, dan umumnya bagi para pembaca sekalian. Oleh
karena itu dengan lapangdada saya akan menerima kritik dan saran yang sifatnya
edukatif guna perbaikkan dimasa yang akan datang.
Dalam
pengantar ini saya mengucapkan banyak terimakasih kepada Bapak dosen Mata Kuliah Ilmu
Kalam, yang telah memberikan saya tugas yang mempelajari tentang Riwayat
Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab Dan Alirannya, serta kepada teman-teman yang telah mendukung dan memberi saran,
guna terselesaikannya makalah ini, semoga amaliah kita semua diberi balasan
oleh Allah SWT. Amiin ya rabbal ‘alamin.
Bandung, 23 Maret
2013
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam mempelajari Ilmu
Kalam, kita pasti menemukan suatu sub materi atau suatu permasalahan yang
timbul karena suatu sejarah atau tokoh suatu aliran dan alirannya. Sebab Secara etimologis, kalam berarti pembicaraan,
yakni pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Oleh karena itu,
ciri utama dari ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika., jadi bisa dikatakan kita itu sedang mempelajari setiap aliran atau
golongan yang ada di dalam dunia islam beserta ucapan (pemikirannya).
Didalam makalah ini saya
selaku pemateri sekaligus penulis merasa perlu untuk mempelajari lebih dalam
sub materi “Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul
Wahab Dan Alirannya”. Karna didalam materi ini terdapat penjelasan tentang riwayat
hidup dan golongan wahabi, yang harus saya coba jelaskan secara detail. Agar para pembaca sekalian mengetahui sedikit
informasi mengenai tokoh Muhamad Bin
Abdul Wahab beserta alirannya.
B.
MASALAH
1.
Siapa itu Muhamad Bin Abdul Wahab?
2.
Bagaimana cara pertalian
antara aliran wahabbiyah dengan aliran salaf?
3.
Apa latar belakang
berdirinya aliran wahabbiyah?
4.
Apa pokok-pokok pikiran wahabbiyah?
5.
Apa pengaruh berdirinya aliran wahabbiyah?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui biografi dari Muhamad Bin Abdul Wahab.
2.
Untuk
mengetahui apa kaitannya antara aliran wahabbiyah dan aliran salaf.
3.
Untuk
mengetahui apa latar belakang berdirinya aliran wahabbiyah.
4.
Untuk
mengetahui pokok-pokok pikiran wahabbiyah.
5.
Untuk
mengetahui sumbangsi dari berdirinya aliran wahabbiyah.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Riwayat Hidup Muhamad Bin Abdul Wahab
1.
Biografi
Muhammad bin Abd
al-Wahhāb
(1115 - 1206 H/1701 - 1793 M) beliau adalah seorang ahli teologi agama Islam dan seorang tokoh pemimpin gerakan keagamaan
yang pernah menjabat sebagai mufti
Daulah
Su'udiyyah yang kemudian berubah menjadi Kerajaan Arab Saudi. Para
pendukung pergerakan ini sering disebut Wahabbi, namun mereka lebih
memilih untuk menyebut diri mereka sebagai Salafis atau
Muwahhidun yang berarti "satu Tuhan".
Muhammad bin Abd al-Wahhāb memiliki nama
lengkap Muhammad bin Abd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad
bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali
an-Najdi. Dari nama lengkapnya ini diperoleh silsilah keluarganya
Istilah Wahhabi sering menimbulkan kontroversi
berhubung dengan asal-usul dan kemunculannya dalam dunia Islam. Umat Islam
umumnya terkeliru dengan mereka karena mereka mendakwa mazhab mereka menuruti
pemikiran Ahmad ibn Hanbal dan alirannya, al-Hanbaliyyah atau al-Hanabilah yang
merupakan salah sebuah mazhab dalam Ahl al-Sunnah wa al-Jama'ah.
Nama Wahhabi atau al-Wahhabiyyah kelihatan
dihubungkan kepada nama 'Abd al-Wahhab yaitu bapak penggagasnya, al-Syaikh
Muhammad bin 'Abd al-Wahhab al-Najdi. Bagaimanapun, nama Wahhabi dikatakan
ditolak oleh para penganut Wahhabi sendiri dan mereka menggelarkan diri mereka
sebagai golongan al-Muwahhidun (unitarians) kerana mereka mendakwa ingin
mengembalikan ajaran-ajaran tauhid ke dalam Islam dan kehidupan murni menurut
sunnah Rasulullah. Dia mengikat perjanjian dengan Muhammad bin Saud, seorang
pemimpin suku di wilayah Najd. Sesuai kesepakatan, Ibnu Saud ditunjuk sebagai
pengurus administrasi politik sementara Ibnu Abdul Wahhab menjadi pemimpin
spiritual. Sampai saat ini, gelar "keluarga kerajaan" negara Arab
Saudi dipegang oleh keluarga Saud. Namun mufti umum tidak selalu dari keluarga
Ibnu abdul wahhab misalnya Syaikh 'Abdul 'Aziz bin Abdillah bin Baz.
2.
Masa Kecil
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dilahirkan pada
tahun 1115 H (1701 M) di kampung Uyainah (Najd), lebih kurang 70 km arah barat
laut kota Riyadh, ibu kota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam
kalangan keluarga terpelajar. Ayahnya adalah seorang tokoh agama di
lingkungannya. Sedangkan abangnya adalah seorang qadhi (mufti besar), tempat di
mana masyarakat
Najd menanyakan segala sesuatu masalah yang
bersangkutan dengan agama.
Sebagaimana lazimnya keluarga ulama, maka
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab sejak masih kanak-kanak telah dididik dengan
pendidikan agama yang diajar sendiri oleh ayahnya, Syeikh Abdul Wahhab. Berkat
bimbingan kedua orangtuanya, ditambah dengan kecerdasan otak dan kerajinannya,
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab berhasil menghafal 30 juz al-Quran sebelum ia
berusia sepuluh tahun. Setelah itu, beliau diserahkan oleh orangtuanya kepada
para ulama setempat sebelum akhirnya mereka mengirimnya untuk belajar keluar
daerah.
Saudara kandungnya, Sulaiman bin Abdul Wahab,
menceritakan betapa bangganya Syeikh
Abdul Wahab, ayah mereka, terhadap kecerdasan Muhammad. Ia
pernah berkata, "Sungguh aku telah banyak mengambil manfaat dari ilmu
pengetahuan anakku Muhammad, terutama di bidang ilmu Fiqh".
Setelah mencapai usia dewasa, Syeikh Muhammad
bin Abdul Wahab diajak oleh ayahnya untuk bersama-sama pergi ke tanah suci Mekkah untuk menunaikan rukun Islam yang kelima - mengerjakan haji di Baitullah.
Ketika telah selesai menunaikan ibadah haji, ayahnya kembali ke Uyainah
sementara Muhammad tetap tinggal di Mekah selama beberapa waktu dan menimba
ilmu di sana. Setelah itu, ia pergi ke Madinah untuk berguru kepada ulama
disana. Di Madinah, ia berguru pada dua orang ulama besar yaitu Syeikh Abdullah bin Ibrahim bin Saif an-Najdi dan Syeikh Muhammad Hayah al-Sindi.
3.
Kehidupannya di
Madinah
Ketika berada di kota Madinah, ia melihat
banyak umat Islam di sana yang tidak menjalankan syariat dan berbuat syirik,
seperti mengunjungi makam Nabi atau makam seorang tokoh agama, kemudian memohon
sesuatu kepada kuburan dan penguhuninya. Hal ini sangat bertentangan dengan
ajaran Islam yang mengajarkan manusia untuk tidak meminta selain kepada Allah.
Hal ini membuat Syeikh Muhammad semakin
terdorong untuk memperdalam ilmu ketauhidan yang murni (Aqidah
Salafiyah). Ia pun berjanji pada dirinya sendiri, ia
akan berjuang dan bertekad untuk mengembalikan aqidah umat Islam di sana kepada akidah Islam yang
murni (tauhid), jauh dari sifat khurafat, tahayul, atau bidah.
4.
Belajar dan
berdakwah di Basrah
Setelah beberapa lama menetap di Mekah dan
Madinah, ia kemudian pindah ke Basrah. Di sini
beliau bermukim lebih lama, sehingga banyak ilmu-ilmu yang diperolehinya,
terutaman di bidang hadits dan musthalahnya,
fiqih dan usul fiqhnya, serta ilmu gramatika
(ilmu qawaid). Selain belajar, ia sempat juga berdakwah di kota ini.
Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab memulai
dakwahnya di Basrah, tempat di mana beliau bermukim untuk menuntut ilmu ketika
itu. Akan tetapi dakwahnya di sana kurang bersinar, karena menemui banyak
rintangan dan halangan dari kalangan para ulama setempat.
Di antara pendukung dakwahnya di kota Basrah
ialah seorang ulama yang bernama Syeikh Muhammad al-Majmu’i. Tetapi Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab bersama pendukungnya mendapat tekanan dan ancaman
dari sebagian ulama yang dituduhnya sesat. Akhirnya beliau meninggalkan Basrah
dan mengembara ke beberapa negeri Islam untuk menyebarkan ilmu dan
pengalamannya.
Setelah beberapa lama, beliau lalu kembali ke al-Ahsa menemui
gurunya Syeikh Abdullah bin `Abd Latif al-Ahsai untuk
mendalami beberapa bidang pengajian tertentu yang selama ini belum sempat
dipelajarinya. Di sana beliau bermukim untuk beberapa waktu, dan kemudian ia
kembali ke kampung asalnya Uyainah.
Pada tahun 1139H/1726M, bapanya berpindah dari
'Uyainah ke Huraymilah dan dia ikut serta dengan bapanya dan belajar kepada
bapanya. Tetapi beliau masih meneruskan tentangannya yang kuat terhadap
amalan-amalan agama di Najd. Hal ini yang menyebabkan adanya pertentangan dan
perselisihan yang hebat antara beliau dengan bapanya yang Ahlussunnah wal
jama'ah (serta penduduk-penduduk Najd). Keadaan tersebut terus berlanjut hingga
ke tahun 1153H/1740M, saat bapanya meninggal dunia.
5.
Perjuangan
memurnikan aqidah Islam
Sejak dari itu, Syeikh Muhammad tidak lagi
terikat. Dia bebas mengemukakan akidah-akidahnya sekehendak hatinya, menolak
dan mengesampingkan amalan-amalan agama yang dilakukan umat islam saat itu
dengan sikap toleransi dan saling menghargai perbedaan pendapat .
Melihat keadaan umat islam yang sudah melanggar
akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah barisan ahli tauhid (muwahhidin)
yang diyakininya sebagai gerakan memurnikan dan mengembalikan akidah Islam.
Oleh lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di
kampungnya sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa) bernama Usman
bin Muammar. Amir Usman menyambut baik ide dan gagasan
Syeikh Muhammad, bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan
tersebut.
Suatu ketika, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab
meminta izin pada Amir Uthman untuk menghancurkan sebuah bangunan yang dibina
di atas maqam Zaid bin al-Khattab. Zaid
bin al-Khattab adalah saudara kandung Umar bin al-Khattab, Khalifah Rasulullah yang kedua. Membuat bangunan di atas kubur
menurut pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Amir menjawab "Silakan... tidak ada
seorang pun yang boleh menghalang rancangan yang mulia ini." Tetapi
Sbeliau khuatir masalah itu kelak akan dihalang-halangi oleh penduduk yang
tinggal berdekatan maqam tersebut. Lalu Amir menyediakan 600 orang tentara
untuk tujuan tersebut bersama-sama Syeikh Muhammad merobohkan maqam yang
dikeramatkan itu.
Sebenarnya apa yang mereka sebut sebagai makam Zaid
bin al-Khattab ra. yang gugur sebagai syuhada’ Yamamah
ketika menumpaskan gerakan Nabi Palsu (Musailamah al-Kazzab) di negeri
Yamamah suatu waktu dulu, hanyalah berdasarkan prasangka belaka. Karena di sana
terdapat puluhan syuhada’ (pahlawan) Yamamah yang
dikebumikan tanpa jelas lagi pengenalan mereka.
Bisa saja yang mereka anggap makam Zaid bin
al-Khattab itu adalah makam orang lain. Tetapi oleh karena masyarakat setempat
di situ telah terlanjur beranggapan bahwa itulah makam beliau, mereka pun mengkeramatkannya
dan membina sebuah masjid di dekatnya. Makam itu kemudian dihancurkan oleh
Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab atas bantuan Amir Uyainah, Uthman bin Muammar.
Pergerakan Syeikh Muhammad tidak berhenti
sampai disitu, ia kemudian menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya
berbahaya bagi ketauhidan. Hal ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam
tersebut tidak dijadikan objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat.
Berita tentang pergerakan ini akhirnya tersebar
luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
6.
Kehidupannya di
Dir'iyyah
Sesampainya Syeikh Muhammad di sebuah kampung
wilayah Dir'iyyah yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman Amir Muhammad
bin Saud (pemerintah wilayah Dir’iyyah), Syeikh menemui
seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Suwailim al-`Uraini. Muhamad Bin
Suwailim ini adalah seorang yang dikenal soleh oleh masyarakat setempat. Syeikh
kemudian meminta izin untuk tinggal bermalam di rumahnya sebelum ia meneruskan
perjalanannya ke tempat lain. Pada awalnya ia ragu-ragu menerima Syeikh di
rumahnya, karena suasana Dir'iyyah dan sekelilingnya pada waktu itu tidak aman.
Namun, setelah Syeikh memperkenalkan dirinya serta menjelaskan maksud dan
tujuannya datang ke negeri Dir’iyyah, yaitu hendak menyebarkan dakwah Islamiyah
dan membenteras kemusyrikan, barulah Muhammad bin Suwailim ingin menerimanya
sebagai tamu di rumahnya.
Peraturan di Dir'iyyah ketika itu mengharuskan
setiap pendatang melaporkan diri kepada penguasa setempat, maka pergilah
Muhammad bin Suwailim menemui Amir Muhammad untuk melaporkan kedatangan Syeikh
Abdul Wahab yang baru tiba dari Uyainah serta menjelaskan maksud dan tujuannya
kepada beliau. Namun mereka gagal menemui Amir Muhammad yang saat itu tidak ada
di rumah, mereka pun menyampaikan pesan kepada amir melalui istrinya.
Istri Ibnu Saud ini
adalah seorang wanita yang soleh.
Maka, tatkala Ibnu Saud mendapat giliran ke rumah isterinya ini, sang istri
menyampaikan semua pesan-pesan itu kepada suaminya. Selanjutnya ia berkata
kepada suaminya: "Bergembiralah kakanda dengan keuntungan besar ini,
keuntungan di mana Allah telah
mengirimkan ke negeri kita seorang ulama, juru dakwah yang mengajak masyarakat
kita kepada agama Allah, berpegang teguh kepada Kitabullah dan Sunnah RasulNya. Inilah suatu keuntungan yang sangat besar,
janganlah ragu-ragu untuk menerima dan membantu perjuangan ulama ini, mari
sekarang juga kakanda menjemputnya kemari."
Namun baginda bimbang sejenak, ia bingung
apakah sebaiknya Syeikh itu dipanggil datang menghadapnya, atau dia sendiri
yang harus datang menjemput Syeikh untuk dibawa ke tempat kediamannya? Baginda
pun kemudian meminta pandangan dari beberapa penasihatnya tentang masalah ini.
Isterinya dan para penasihatnya yang lain sepakat bahwa sebaiknya baginda
sendiri yang datang menemui Syeikh Muhammad di rumah Muhammad bin Sulaim.
Baginda pun menyetujui nasihat tersebut. Maka pergilah baginda bersama beberapa
orang pentingnya ke rumah Muhammad bin Suwailim, di mana Syeikh Muhammad
bermalam.
Sesampainya baginda di rumah Muhammad bin
Suwailim, amir Ibnu Saud memberi salam dan dibalas dengan salam dari Syeikh dan
bin Suwalim. Amir Ibnu Saud berkata: "Ya Syeikh! Bergembiralah anda di
negeri kami, kami menerima dan menyambut kedatangan anda di negeri ini dengan
penuh gembira. Dan kami berjanji untuk menjamin keselamatan dan keamanan anda
di negeri ini dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat Dir'iyyah. Demi
kejayaan dakwah Islamiyah yang
anda rencanakan, kami dan seluruh keluarga besar Ibnu Saud akan mempertaruhkan
nyawa dan harta untuk berjuang bersama-sama anda demi meninggikan agama Allah
dan menghidupkan sunnah RasulNya, sehingga Allah memenangkan perjuangan ini,
Insya Allah!"
Kemudian Syeikh menjawab: "Alhamdulillah,
anda juga patut gembira, dan Insya Allah negeri ini akan diberkati Allah Subhanahu wa Taala. Kami ingin
mengajak umat ini kepada agama Allah. Siapa yang menolong agama ini, Allah akan menolongnya. Dan siapa yang mendukung
agama ini, nescaya Allah akan mendukungnya. Dan Insya Allah kita akan melihat
kenyataan ini dalam waktu yang tidak begitu lama." Demikianlah seorang
Amir (penguasa) tunggal negeri Dir'iyyah yang bukan hanya sekadar membela
dakwahnya saja, tetapi juga sekaligus melindungi darahnya bagaikan saudara
kandung sendiri yang berarti di antara Amir dan Syeikh sudah bersumpah setia
sehidup-semati, dan senasib-sepenanggungan, dalam menegakkan hukum Allah dan
RasulNya di bumi Dir'iyyah. Ternyata apa yang diikrarkan oleh Amir Ibnu Saud
itu benar-benar ditepatinya. Ia bersama Syeikh seiring sejalan, bahu-membahu
dalam menegakkan kalimah Allah, dan berjuang di jalanNya.
Nama Syeikh Muhammad bin Abdul Wahab dengan
ajaran-ajarannya itu sudah begitu terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dir'iyyah maupun di
negeri-negeri tetangga. Masyarakat luar Dir'iyyah pun berduyun-duyun datang ke
Dir'iyyah untuk menetap dan tinggal di negeri ini, sehingga negeri Dir'iyyah
penuh sesak dengan kaum muhajirin dari seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai
membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi
modal utama bagi perjuangan beliau yang meliputi disiplin ilmu Aqidah
al-Qur’an, tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith,
gramatikanya (nahwu-shorof) dan lain-lain.
Dalam waktu yang singkat , Dir'iyyah telah
menjadi kiblat ilmu dan tujuan mereka yang hendak mempelajari Islam. Para
penuntut ilmu, tua dan muda, berduyun-duyun datang ke negeri ini. Di samping
pendidikan formal (madrasah), diadakan juga dakwah yang bersifat terbuka untuk
semua lapisan masyarakat. Gema dakwah beliau begitu membahana di seluruh
pelosok Dir'iyyah dan negeri-negeri jiran yang lain. Kemudian, Syeikh mulai
menegakkan jihad, menulis
surat-surat dakwahnya kepada tokoh-tokoh tertentu untuk bergabung dengan
barisan Muwahhidin yang dipimpin oleh beliau sendiri. Hal ini dalam
rangka pergerakan pembaharuan tauhid demi membasmi syirik, bidah dan khurafat di negeri
mereka masing-masing. Untuk langkah awal pergerakan itu, beliau memulai di
negeri Najd. Ia pun mula mengirimkan surat-suratnya kepada ulama-ulama dan
penguasa-penguasa di sana.
7.
Berdakwah
Melalui Surat-menyurat
Syeikh menempuh berbagai macam dan cara, dalam
menyampaikan dakwahnya, sesuai dengan keadaan masyarakat yang dihadapinya. Di
samping berdakwah melalui lisan, beliau juga tidak mengabaikan dakwah secara
pena dan pada saatnya juga jika perlu beliau berdakwah dengan besi (pedang).
Maka Syeikh mengirimkan suratnya kepada
ulama-ulama Riyadh dan para umaranya, salah satunya adalah Dahham bin Dawwas.
Surat-surat itu dikirimkannya juga kepada para ulama dan penguasa-penguasa. Ia
terus mengirimkan surat-surat dakwahnya itu ke seluruh penjuru Arab, baik yang
dekat ataupun jauh. Di dalam surat-surat itu, beliau menjelaskan tentang bahaya
syirik yang mengancam negeri-negeri Islam di seluruh
dunia, juga bahaya bid’ah, khurafat dan tahyul.
Berkat hubungan surat menyurat Syeikh terhadap
para ulama dan umara dalam dan luar negeri, telah menambahkan kemasyhuran nama
Syeikh sehingga beliau disegani di antara kawan dan lawannya, hingga jangkauan
dakwahnya semakin jauh berkumandang di luar negeri, dan tidak kecil pengaruhnya
di kalangan para ulama dan pemikir Islam di seluruh dunia, seperti di Hindia, Indonesia, Pakistan, Afganistan, Afrika Utara, Maghribi, Mesir, Syria,
Iraq dan lain-lain lagi.
Memang cukup banyak para da’i dan ulama di
negeri-negeri tersebut, tetapi pada waktu itu kebanyakan dari mereka tidak
fokus untuk membasmi syirik dalam dakwahnya, meskipun mereka memiliki ilmu-ilmu
yang cukup memadai.
Dengan demikian, jadilah Dir'iyyah sebagai
pusat penyebaran dakwah kaum Muwahhidin (gerakan pemurnian tauhid) oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab yang didukung oleh penguasa Amir Ibnu Saud. Kemudian
murid-murid keluaran Dir'iyyah juga menyebarkan ajaran-ajaran tauhid murni ini
ke seluruh penjuru dunia dengan membuka madrasah atau kajian umum di daerah
mereka masing-masing.
Sejarah pembaharuan yang digerakkan oleh Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab ini tercatat dalam sejarah dunia sebagai yang paling
hebat dari jenisnya dan amat cemerlang.
Di samping itu, hal ini merupakan suatu
pergerakan perubahan besar yang banyak memakan korban manusia maupun harta
benda. Hal ini terjadi karena banyaknya perlawanan dari luar maupun dari dalam.
Perlawanan dari dalam terutama dari tokoh-tokoh agama Islam sendiri yang takut
akan kehilangan pangkat, kedudukan, pengaruh dan jamaahnya. Maupun dari
Penguasa Turki Utsmani yang khawatir terhadap pengaruh dakwah Ibnu Abdil Wahhab
yang telah merambah dua kota suci umat Islam, Mekkah dan Madinah. Karenanya,
demi mempertahankan kekuasaan mereka, mereka mengirim pasukan besar di bawah
komando Muhammad Ali Basya (Gubernur Mesir) untuk menaklukkan Dir'iyyah
beberapa kali, hingga akhirnya jatuh pada tahun 1233 H.
Banyak di antara tokoh Al Saud dan Al Syaikh
(anak-cucu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab) yang ditangkap dan diasingkan ke
Mesir pasca jatuhnya ibukota Dir'iyyah, bahkan sebagiannya dieksekusi oleh
musuh, contohnya adalah Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin Abdul
Wahhab yang merupakan pakar hadits di zamannya. Beliau dibunuh dengan cara
sangat keji oleh Ibrahim Basya. Demikian pula imam Daulah Su'udiyyah kala itu,
yaitu Imam Abdullah bin Su'ud bin Abdul Aziz bin Muhammad bin Saud (cicit
Muhammad bin Saud). Beliau dieksekusi di Istanbul, Turki.
Inilah periode Daulah Su'udiyyah I (1151-1233
H). Kemudian berdiri Daulah Su'udiyyah II (1240-1309 H), dan yang terakhir
ialah Daulah Su'udiyyah III yang kemudian berganti nama menjadi Al Mamlakah Al
'Arabiyyah As Su'udiyyah (Kerajaan Arab Saudi) yang didirikan oleh Abdul Aziz
bin Abdurrahman Al Saud (Bapak Raja-raja Saudi sekarang) pada tahun 1319 H hingga
kini.
Selain mendapat perlawanan sengit dari Pihak
Turki Utsmani, mereka juga sangat dimusuhi oleh kaum Syi'ah Bathiniyyah, baik
dari Najran (selatan Saudi) maupun yang lainnya. Salah satu pertempuran besar
pernah terjadi antara kaum muwahhidin dengan pasukan Hasan bin Hibatullah Al
Makrami dari Najran yang berakidah Syi'ah Bathiniyyah, dan peperangan ini
memakan korban jiwa cukup besar di pihak muwahhidin. Bahkan Imam Abdul Aziz bin
Muhammad bin Saud konon terbunuh di tangan salah seorang syi'ah yang menyusup
ke tengah-tengah kaum muwahhidin, beliau ditikam dari belakang ketika sedang
mengimami salat berjama'ah.
Meskipun usaha musuh-musuh dakwahnya begitu
hebat, baik dari luar maupun dalam yang dilancarkan melalui pena atau ucapan
demi membendung dakwah tauhid ini, namun usaha mereka sia-sia belaka, karena
ternyata Allah Subhanahu wa Ta'ala telah memenangkan perjuangan dakwah tauhid
yang dipelopori oleh Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab yang telah mendapat
sambutan bukan hanya oleh penduduk negeri Najd saja, akan tetapi juga sudah
menggema ke seluruh dunia Islam dari Ujung barat benua Afrika sampai ke Merauke, bahkan mulai menjamah Eropa dan Amerika.
Untuk mencapai tujuan pemurnian ajaran agama
Islam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab telah menempuh berbagai macam cara.
Kadangkala lembut dan kadangkala kasar, sesuai dengan sifat orang yang
dihadapinya. Ia mendapat pertentangan dan perlawanan dari kelompok yang tidak
menyenanginya karena sikapnya yang tegas dan tanpa kompromi, sehingga
lawan-lawannya membuat tuduhan-tuduhan ataupun pelbagai fitnah terhadap dirinya
dan pengikut-pengikutnya.
Musuh-musuhnya pernah menuduh bahwa Syeikh
Muhammad bin `Abdul Wahab telah melarang para pengikutnya membaca kitab fiqh,
tafsir dan hadith. Malahan ada yang lebih keji, yaitu menuduh Syeikh Muhammad
telah membakar beberapa kitab tersebut, serta menafsirkan Al
Qur’an menurut kehendak hawa nafsu sendiri.
Apa yang dituduh dan difitnah terhadap Syeikh
Ibnu `Abdul Wahab itu, telah dijawab dengan tegas oleh seorang pengarang
terkenal, yaitu al-Allamah Syeikh Muhammad Basyir as-Sahsawani, dalam bukunya
yang berjudul Shiyanah
al-Insan di halaman 473 seperti berikut:
"Sebenarnya
tuduhan tersebut telah dijawab sendiri oleh Syeikh Ibnu `Abdul Wahab sendiri
dalam suatu risalah yang ditulisnya dan dialamatkan kepada `Abdullah bin Suhaim
dalam berbagai masalah yang diperselisihkan itu. Diantaranya beliau menulis
bahwa semua itu adalah bohong dan kata-kata dusta belaka, seperti dia dituduh
membatalkan kitab-kitab mazhab, dan dia
mendakwakan dirinya sebagai mujtahid, bukan muqallid."
Kemudian dalam sebuah risalah yang dikirimnya
kepada `Abdurrahman bin `Abdullah, Muhammad bin
`Abdul Wahab berkata: "Aqidah dan agama yang
aku anut, ialah mazhab Ahli
Sunnah wal Jamaah, sebagai tuntunan yang dipegang oleh para Imam
Muslimin, seperti Imam-imam Mazhab empat dan pengikut-pengikutnya sampai hari
kiamat. Aku hanyalah suka menjelaskan kepada orang-orang tentang pemurnian
agama dan aku larang mereka berdoa (mohon syafaat) pada orang yang hidup atau
orang mati daripada orang-orang soleh dan lainnya."
Abdullah bin Muhammad bin `Abdul Wahab, menulis
dalam risalahnya sebagai ringkasan dari beberapa hasil karya ayahnya, Syeikh Ibnu `Abdul Wahab, seperti
berikut: "Bahwa mazhab kami dalam Ushuluddin (Tauhid) adalah mazhab Ahlus
Sunnah wal Jamaah, dan cara (sistem) pemahaman kami adalah mengikuti cara Ulama
Salaf. Sedangkan dalam hal masalah furu’ (fiqh) kami
cenderung mengikuti mazhab Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Kami tidak pernah mengingkari (melarang) seseorang bermazhab dengan salah satu
daripada mazhab yang empat. Dan kami tidak mempersetujui seseorang bermazhab
kepada mazhab yang luar dari mazhab empat, seperti mazhab Rafidhah, Zaidiyah, Imamiyah dan lain-lain lagi. Kami tidak membenarkan
mereka mengikuti mazhab-mazhab yang batil. Malah kami memaksa mereka supaya
bertaqlid (ikut) kepada salah satu dari mazhab empat tersebut. Kami tidak
pernah sama sekali mengaku bahwa kami sudah sampai ke tingkat mujtahid mutlaq, juga tidak
seorang pun di antara para pengikut kami yang berani mendakwakan dirinya dengan
demikian. Hanya ada beberapa masalah yang kalau kami lihat di sana ada nash
yang jelas, baik dari Qur’an mahupun Sunnah, dan setelah
kami periksa dengan teliti tidak ada yang menasakhkannya, atau yang
mentaskhsiskannya atau yang menentangnya, lebih kuat daripadanya, serta
dipegangi pula oleh salah seorang Imam empat, maka kami mengambilnya dan kami
meninggalkan mazhab yang kami anut, seperti dalam masalah warisan yang menyangkut
dengan kakek dan saudara lelaki; Dalam hal ini kami berpendirian mendahulukan
kakek, meskipun menyalahi mazhab kami (Hambali)."
Demikianlah bunyi isi tulisan kitab Shiyanah
al-Insan, hal. 474. Seterusnya beliau berkata: "Adapun yang mereka fitnah
kepada kami, sudah tentu dengan maksud untuk menutup-nutupi dan
menghalang-halangi yang hak, dan mereka membohongi orang banyak dengan berkata:
`Bahwa kami suka mentafsirkan Qur’an dengan selera kami, tanpa mengindahkan
kitab-kitab tafsirnya. Dan kami tidak percaya kepada ulama, menghina Nabi kita
Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam’ dengan perkataan `bahwa jasad Nabi
Shalallahu 'alaihi wassalam itu buruk di dalam kuburnya. Dan bahwa tongkat kami
ini lebih bermanfaat daripada Nabi, dan Nabi itu tidak mempunyai syafaat.
Khusus tentang Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi
wassalam, Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab berkata: "Dan apapun yang kami
yakini terhadap martabat Muhammad Shalallahu 'alaihi wassalam bahwa martabat
beliau itu adalah setinggi-tinggi martabat makhluk secara mutlak. Dan Beliau
itu hidup di dalam kuburnya dalam keadaan yang lebih daripada kehidupan para
syuhada yang telah digariskan dalam Al-Qur’an. Karena Beliau itu lebih utama
dari mereka, dengan tidak diragukan lagi.
8.
Tantangan
Dakwah dan Pemecahannya
Sebagaimana lazimnya, seorang pemimpin besar
dalam suatu gerakan perubahan , maka Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab pun tidak
lepas dari sasaran permusuhan dari pihak-pihak tertentu, baik dari dalam maupun
dari luar Islam, terutama setelah Syeikh menyebarkah dakwahnya dengan tegas
melalui tulisan-tulisannya, berupa buku-buku mahupun surat-surat yang tidak
terkira banyaknya. Surat-surat itu dikirim ke segenap penjuru negeri Arab dan
juga negeri-negeri Ajam (bukan Arab).
Surat-suratnya itu dibalas oleh pihak yang
menerimanya, sehingga menjadi beratus-ratus banyaknya. Mungkin kalau dibukukan
niscaya akan menjadi puluhan jilid tebalnya.
Sebagian dari surat-surat ini sudah dihimpun,
diedit serta diberi ta’liq dan sudah diterbitkan, sebagian lainnya sedang dalam
proses penyusunan. Ini tidak termasuk buku-buku yang sangat berharga yang
sempat ditulis sendiri oleh Syeikh di celah-celah kesibukannya yang luarbiasa
itu. Adapun buku-buku yang sempat ditulisnya itu berupa buku-buku pegangan dan
rujukan kurikulum yang dipakai di madrasah-madrasah ketika beliau memimpin
gerakan tauhidnya.
Tentangan maupun permusuhan yang menghalang
dakwahnya, muncul dalam dua bentuk:
- Permusuhan atau tentangan atas nama ilmiyah dan agama,
- Atas nama politik yang berselubung agama.
Bagi yang terakhir, mereka memperalatkan
golongan ulama tertentu, demi mendukung kumpulan mereka untuk memusuhi dakwah
Wahabiyah.
Mereka menuduh dan memfitnah Syeikh sebagai
orang yang sesat lagi menyesatkan, sebagai kaum Khawarij, sebagai orang yang
ingkar terhadap ijma’ ulama dan pelbagai macam tuduhan buruk lainnya.
Namun Syeikh menghadapi semuanya itu dengan
semangat tinggi, dengan tenang, sabar dan beliau tetap melancarkan dakwah bil
lisan dan bil hal, tanpa memedulikan celaan orang yang mencelanya.
Pada hakikatnya ada tiga golongan musuh-musuh
dakwah beliau:
- Golongan ulama khurafat yang mana mereka melihat yang haq (benar) itu batil dan yang batil itu haq. Mereka menganggap bahwa mendirikan bangunan di atas kuburan lalu dijadikan sebagai masjid untuk bersembahyang dan berdoa di sana dan mempersekutukan Allah dengan penghuni kubur, meminta bantuan dan meminta syafaat padanya, semua itu adalah agama dan ibadah. Dan jika ada orang-orang yang melarang mereka dari perbuatan jahiliyah yang telah menjadi adat tradisi nenek moyangnya, mereka menganggap bahwa orang itu membenci auliya’ dan orang-orang soleh yang bererti musuh mereka yang harus segera diperangi.
- Golongan ulama taashub yang mana mereka tidak banyak tahu tentang hakikat Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab dan hakikat ajarannya. Mereka hanya taqlid belaka dan percaya saja terhadap berita-berita negatif mengenai Syeikh yang disampaikan oleh kumpulan pertama di atas sehingga mereka terjebak dalam perangkap Ashabiyah (kebanggaan dengan golongannya) yang sempit tanpa mendapat kesempatan untuk melepaskan diri dari belitan ketaashubannya. Lalu menganggap Syeikh dan para pengikutnya seperti yang diberitakan, yaitu; anti Auliya’ dan memusuhi orang-orang shaleh serta mengingkari karamah mereka. Mereka mencaci-maki Syeikh habis-habisan dan beliau dituduh sebagai murtad.
- Golongan yang takut kehilangan pangkat dan jawatan, pengaruh dan kedudukan. Maka golongan ini memusuhi beliau supaya dakwah Islamiyah yang dilancarkan oleh Syeikh yang berpandukan kepada aqidah Salafiyah murni gagal karena ditelan oleh suasana hingar-bingarnya penentang beliau.
Demikianlah tiga jenis musuh yang lahir di
tengah-tengah nyalanya api gerakan yang digerakkan oleh Syeikh dari Najd ini
yang mana akhirnya terjadilah perang perdebatan dan polemik yang berkepanjangan
di antara Syeikh di satu pihak dan lawannya di pihak yang lain. Syeikh menulis
surat-surat dakwahnya kepada mereka, dan mereka menjawabnya. Demikianlah
seterusnya.
Perang pena yang terus menerus berlangsung itu,
bukan hanya terjadi pada masa hayat Syeikh sendiri, akan tetapi berterusan sampai
kepada anak cucunya. Di mana anak cucunya ini juga ditakdirkan Allah menjadi
ulama..
Oleh karena itu, maka kekuatan yang paling
ampuh untuk mempertahankan dakwah dan pendukungnya, tidak lain harus didukung
oleh senjata. Karena masyarakat yang dijadikan sebagai objek daripada dakwah
kadangkala tidak mampan dengan lisan mahupun tulisan, akan tetapi mereka harus
diiring dengan senjata, maka waktu itulah perlunya memainkan peranan senjata.
Alangkah benarnya firman Allah Subhanahu wa
Ta'ala:
ô‰s)s9 $uZù=y™ö‘r& $oYn=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ $uZø9t“Rr&ur ÞOßgyètB |=»tGÅ3ø9$# šc#u”ÏJø9$#ur tPqà)u‹Ï9 â¨$¨Y9$# ÅÝó¡É)ø9$$Î/ ( $uZø9t“Rr&ur y‰ƒÏ‰ptø:$# ÏmŠÏù Ó¨ù't/ Ó‰ƒÏ‰x© ßìÏÿ»oYtBur Ĩ$¨Z=Ï9 zNn=÷èu‹Ï9ur ª!$# `tB ¼çnçŽÝÇZtƒ ¼ã&s#ß™â‘ur Í=ø‹tóø9$$Î/ 4 ¨bÎ) ©!$# ;“Èqs% Ö“ƒÌ“tã ÇËÎÈ
" Sesungguhnya Kami telah mengutus
Rasul-rasul Kami, dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan
bersama mereka Al-Kitab dan Mizan/neraca (keadilan) supaya manusia dapat
melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan
yang hebat dan pelbagai manfaat bagi umat manusia, dan supaya Allah mengetahui
siapa yang menolong (agama)Nya dan RasulNya padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha Kuat dan Maha Perkasa." (al-Hadid:25)
Ayat di atas menerangkan bahwa Allah Subhanahu
wa Ta'ala mengutus para RasulNya dengan disertai bukti-bukti yang nyata untuk
menumpaskan kebatilan dan menegakkan kebenaran. Di samping itu pula, mereka
dibekalkan dengan Kitab yang di dalamnya terdapat pelbagai macam hukum dan
undang-undang, keterangan dan penjelasan. Juga Allah menciptakan neraca (mizan)
keadilan, baik dan buruk serta haq dan batil, demi tertegaknya kebenaran dan
keadilan di tengah-tengah umat manusia.
Demikianlah Syeikh Muhammad bin `Abdul Wahab
dalam dakwah dan jihadnya telah memanfaatkan lisan, pena serta pedangnya
seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wassalam sendiri, di
waktu baginda mengajak kaum Quraisy kepada agama Islam pada waktu dahulu. Yang
demikian itu telah dilakukan terus menerus oleh Syeikh Muhammad selama lebih
kurang 48 tahun tanpa berhenti, yaitu dari tahun 1158 Hinggalah akhir hayatnya
pada tahun 1206 H.
9.
Wafat
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan
waktunya selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan
kegiatan menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai
menteri penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab
berdakwah sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H,
bersamaan dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di
Dar’iyah (Najd).
B.
Aliran
Wahabbiyah
1)
Latar Belakang Berdirinya Aliran Wahabiah
Pemberian nama aliran wahabiah dipertalikan
dengan nama pendirinya, yaitu Muhammad bin Abdil Wahab (1115-1201 H/1703-1787
M). Dan diberikan oleh lawan-lawan tersebut semasa hidup pendirinya, yang
kemudian dipakai juga oleh penulis-penulis Eropa. Nama yang dipakai oleh
golongan wahabiyah sendiri ialah golongan muwahhidin (unitarians) dan metodenya
mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW.mereka mengangap dirinya Ahlussunah yang
menikuti pikiran-pikiran Imam Ahmad bin Hambal yang ditafsirkan oleh Ibmu
Taimiyah.
Aliran wahabi adalah suatu kekeliruan karena
Abdul Wahab ayahnya adalah ulama Ahlussunah bukan berpaham wahabiyah. Latar
beklakang kelahiran aliran wahabi berawal dari pertimbangan-pertimbangan yang
didasarkan keyakinan-keyakinan, bahwa keruntuhan islam dan kelemahannya karena
adat kebiasaan umat islam sendiri yang sangat bertentangan dengan ajaran islam
dan banyak perbuatan-perbuatan syirik yang tidak sesuai dengan dengan ilmu
tauhid yang menjaqdi tugas terpenting Nabi Muhammad SAW pada waktu Ia diutus
menghadapi suku bangsa jahiliyah quraisy penyembah berhala di mekah.Oleh karena
itu perjuangan wahabi yang terutama ditunjukan untuk membina suatu ajaran
tauhid yang kuat guna mengembalikan keyakinan umat islam kepada Allah.
2)
Riwayat Hidup
Pendirinya
Muhammad bin Abdil Wahab dilahirkan di
Ujainah, yaitu sebuah dusun di Najed, daerah Saudi Arabia sebelah Timur. Salah
satu tempat belajarnya ialah kota Madinah, pada Sulaiman Al-kurdi dan Muhammad
Al-hayyat As-sindi.[1] Ia banyak mengadakan perlawatna dan
sebagian hidupnya dipergunakan untuk berpindah-pindah dari satu negeri ke
negeri lain sebagai penganjur aliran Ahmad bin Hambal. Setelah beberapa tahun
mengadakan perlawatan, kemudian pulang ke negeri kelahirannnya dan selama
beberapa bulan ia merenung dan mengadakan orientasi, untuk kemudian mengajarkan
paham-pahamnya, seperti yang dicantumkan dalam bukunya At-tauhid. Karena
ajaran-ajarannya menimbulkan keributan-keributan di negerinya, ia diusir oleh
panguasa setempat, kemudian ia bersama keluarganya pindah ke Dari’ah, sebuah
tempat tinggal Muhammad bin Sa’ud yang telah memeluk ajaran-ajaran wahabiyah,
bahkan menjadi pelindung dan penyiarnya.
Dengan dukungan Sa’ud dan kerja sama yang
baik sehingga gerakan wahabi dapat berkambang. Keinginan dan cita-cita
masing-masing tokoh ini saling mendukung. Sehingga cita-cita mereka membuahkan
hasil dengan berdirinya kerajaan wahabi di Jazirah Arabia, Sehingga segala
bentuk kemusyrikan disapu bersih.
3)
Pokok-Pokok Pikiran Wahabiyah
Muhamad bin Abdul Wahab lahir dan besar di
lingkungan keluarga dan masyarakat yang bermazhab Hambali. Bahkan, sebagaimana
disebutkan terdahulu, ayahnya adalah kadi mazhab Hambali di daerahnya.
Karena itu wajarlah jika Muhammad bin Abdul Wahab menjadi penganut dan pemgikut
setia Ahmad bin Hambal. Oleh karena itulah, Muhammad bin Wahab disebut-sebut
sebagai tokoh salafiah abad ke-18 M sebab salafiah mengacu kepada pemikiran
Ahmad bin Hambal.
Sebagai pengikut setia Ahmad bin Hambal tentu pola pikir dan
amaliahnya menikuti mazhab Hambali. Ahmad bin hambal yang terkenal dengan gigih
mempertahankan dan memperjuangkan iktikad dan amaliah salaf al-shalih dan
menantang keras pemikiran-pemikiran rasional. Kekerasan dan kekuatan pendirian
Ahmad bin Hambal nampaknya juga terlihat pada diri Muhammad bin Abdul Wahab
yang berjuang membrantas kemusrikan, bid’ah, Khurafat dan tahayul yang melanda
umat islam.
Dalam hubungannya dengan tauhid, Muhammad bin Abdul Wahab mengemukakan
tiga aspek ketauhidan:
a.
Tauhid rububiah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya
pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
b.
Tauhid al-asma wa al-shifat adalah keimanan kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah sebagaimana tercantum dalam Al-qur’an,tanpa tamsil, tasbih
dan takwil.
c.
Tauhid ibadah adalah segala bentuk amal dan ibadah manusia
semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.
Aspek ketauhidan memang merupakan perhatian
utama Muhammad bin Abdul Wahab, karena dia ingin memurnikan Ajaran islam yang
dianggapnya sudah rusak dan bercampur baur dengan ajaran lain yang tidak sesuai
dengan tauhid Islam, akibat ulah umat islam sendiri. Ia tidak ingin umat Islam terjerumus kedalam kemusyrikan, sesuatu
dosa yang tidak terampunkan. Aspek ketauhidan mendapat perhatian besar dari
Muhammad bin Abdul Wahab karena disamping tauhid merupakan ajaran islam paling
mendasar, ia menyaksikan di daerah banyak umat islam melakukan aktifitas yang
menurut pendapatnya menyimpang dari ajaran tauhid. Aspek tersebut antara lain
pengkultusindividuan syekh-syekh tarekat atau orang-orang yang dianggap wali,
Ziaroh ke kubur-kubur para syekh atau wali dan meminta pertolongan kepada
syaekh atau wali tersebut, dan ziaroh ketempat tertentu yang dianggap memiliki
kekuatan gaib yang dapat membamtu dan menyelesaikan problema kehidupan mereka,
seperti batu-batu besar dan pohon-pohon.
4)
Akidah Aliran Wahabiyah Dan Pertaliannya
Dengan Aliran Salaf
Aliran wahabiyah sebenarnya merupkan
kelanjutan dari aliran salaf, yang berpangkal kepada pikiran-pikiran Ahmad bin
Hambal dan yangb kemudian direkonstruksikan oleh Ibnu Taimiah, bahkan aliran
wahabiyah telah menerpkan dengan lebih luas dan memperdalam arti bid’ah,
sebagai akibat dari keadaan masyarakat dan negeri Saudi Arabia yang penuh
dengan aneka bid’ah, baik yang terjadi pada musim upacara agama ataupun bukan.
Akidah-akidah yang pokok dari lairan
wahabiyah pada hakekatnya tidak berbada dengan apa yang telah dikemukakan oleh
Ibnu Taimiah. Perbedaan yang ada hanya dalam cara melaksanakan dan menafsirkan
beberapa persoalan tertentu. Akidah-akidahya dapat disimpulkan dalam dua
bidang, yaitu tauhid dan “bidat”.
Dalam bidang ketauhidan mereka berpendirian
berikut :
1.
Penyambahan kepada selain Tuhan adalah salah,
dan siapa yang berbuat demikian ia dibunuh.
2.
Orang yang mencari ampunan Tuhan dengan
mengunjungi kuburan orang-orang saleh, termasuk golongan musyrikin.
3.
Termasuk dalam perbuatan musyrik memberikan
kata pengantar dalam sholat terhadap nama Nabi-Nabi atau wali atau Malaikat
(seperti Sayyidina Muhammad).
4.
Termasuk kufur memberikan suatu ilmu yang
tidak didasarkan atas Qur’an dan
Sunah, atau ilmu yang bersumber akal pikiran semata-mata.
5.
Termasuk kufur dan Ilhadjuga mengingkari
qadar dalam semua perbuatan dan penafsiran qur’an dengan jalan ta’wil.
6.
Dilarang memakai buah tasbih dan dalam
mengucapkan nama Tuhan dan doa-doa (wirid) cukup dengan menghitung jari.
7.
Sumber syariat islam dalam soal halal dan
haram hanya Qur’an semata-mata dan sumber lain sesudahnya ialah sunnah Rasul.
8.
pintu ijtihad tetap terbuka dan sipapun boleh
melakukan ijtihad, asal sudah memenuhi syarat-syaratnya.
Hal-hal yang dipandang bid’ah oleh mereka dan
harus diberantas antara lain: berkumpul bersama-sanma dalam mau’idan, orang
wanita mengiring jenazah, mengadakan pertemuan Zikir, bahkan mereka merampas
buku-buku tawassulat,bahkan kegiatan sehari-hari juga dikategorikan dalam
bid’ah seperti rokok, minum kopi, memakai pakaian sutra bagi laki-laki,
bergambar,memacari kuku dll.
5)
Cara Penyiaran Aqidah-Aqidah Wahabiyah
Kalau Ibnu Taimiah, sebagai pembangunaliran
salaf, menanamkan paham-pahamnya dengan cara menulis buku-buku dan megadakan
pertukan pikiran serat perdebatan, maka
Muhammad bin abdul wahab merasakan sendiri
bahwa khuratfat-khurafat yang menimpa kaum muslimin di negerinya, bukan saja
terbatas kepada pemujaan kuburan-kuburan, sebagai tempat orang-orang saleh dan
memberikan nazar kepadanya, tetapi juga menjalar kepada pemujaan benda-benda
mati. Juga tidak sedikit dari kota dar’iah,tempat ia mulai melancarkan dawhnya
senang mengunjungi sebuah gua yang terletak disana. Perbuatan tersebut
dipandang olehnya sebagi suatu macam perbuatan syirik.
Tindakan kekerasan yang pertama-tama dilakukannya ialah
memotong pohon kurma yang dianggap keramat. Kemudian setiap kali golongan
wahabiyah memasuki suatu tempat atau kota mereka membongkar kuburan dan
diratakan dengan tanah, bahkan masjid-masjidpun turut dibonhkar sehingga
penulis-penulis Eropa menyebutkan mereka sebagai pembongkar tempat-tempat ibadah
(huddamul ma’abid). Tindakan mereka tidak hanya seperti itu tetapi lebih jauh
lagi, ketika mereka dapat menguasai Makkah, banyak banyak tempat-tempat sejarah
yang dimusnahkan.
Akan tetapi gerakan wahabiyah yang bertulang
punggungkan kekuatan raja Muhammad bin Saud, dipandang oleh penguasa (khalifah)
Usmaniah yang menguasai negeri Arabia pada waktu itu, sebagiai perlawanan dan
pemberontakan terhadap kekuasaannya. Oleh karena itu penguasa tersebut mengirim
tentaranya ke negeri Arabia untuk menumpas gerakan tersebut, akan ytetapi tidak
berfasil, kemudian diserahkan penumpasannya kepada Muhammad Ali, gubernur Turki, dan ternyata yang kuat dapat
mengalahkan golongan wahabiyah serta dapat melumpuhkan kekuatannya. Dengan
kemunduran Khilafat turki, maka gerakan tersebut menjadi kuat, sehingga menjadi
aliran resmi negeri Saudi Arabia sampai sekarang ini.
6)
Kritik Terhadap Aliran Wahabiah
Demikianlah aqidah aliran wahabiyah sebagai
kelanjutan metode aliran salaf, yang mengambil pokok-pokok aqidahnya dari Quran
dan hadis. Seperti lazimnya, pada tiap-tiap gerakan baru yang disertai
kekerasan, maka terhadap aliran wahabiyah juga terdapat beberapa kritikan.
Pertama ialah aliran wahabiyah tidak
mengenal perasaan kaum
muslimin, sebab kaum muslimin, sebab kaum muslimin dimanapun juga berbangga
dengan kuburan nabinya dan mencintai sahabat-sahabatnya,sehingga cukup
menimbulkan kebencian kaum muslimin terhadap aliran wahabiyah. Kemudian kritik
yang lain ialah bahwa aliran wahabiyah melalikan kemajuan mental dan pikiran di
negeri merdeka sendiri serta tidak berusaha mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan
dan perkembangan zaman, sedangkan ajaran-ajaran islam yangsebenarnya tidak
menghalang-halanginya, bahkan selalu menganjurkannya. Selain itu, ajaran-ajaran
aliran wahabiyah hanya berlaku untuk orang biasa, sedangkan bagi para penguasa
dan keluarga raja, ajaran-ajaran tersebut tidak mempunyai nilai, sebagaimana
yang ditunjukan oleh praktek kehidupan mereka sehari-hari. Bagaimanapun aliran
wahabiyah termasuk golongan aliran salaf, sedangkan golongan salaf termasuk
Ahlussunnah.dari Ahmad bin Hambal. Karena itu aliran wahabiyah termasuk aliran
Ahlussunnah.
7)
Pengaruh Aliran Wahabiah
Gerakan pemurnian yang dilakukan oleh Muhammad bin Abdul Wahab
merupakan gerakan tertua di abad ke-18 M. Gerakan-gerakan pemurnian
selanjutnya, langsung atau tidak,
dalam banyak hal terpengaruh oleh gerakannya. Pengaruh gerakan Wahabi tidak
hanya terbatas dijazirah Arabia, tetapi melebar dan meluas keberbagai pelosok
dunia islam. Meskipun gerakan Muhammad bin Abdul Wahab merupakan gerakan
pemurnian ajaran islam, khususnya tauhid, namun, menurut Prof.DR.Harun
Nasution, pemikiran-pemikirannya juga mempengaruhi gerakan dan pemikiran
pembaharuan islam pada abad ke-19 M. Pemikiran yang mempengaruhi pembaharuan di
periode modern adalah:
a.
Sumber asli ajaran islam hanya Al-qur’an dan hadis dan pendapat
ulama bukan merupakan sumber.
b.
Tidak boleh bertaklid kepada ulama.
c.
Pintu ijtihad tidak tertutup,tetapi tetap terbuka.
v Negeri-negeri di mana aliran wahabiah berkembang ialah:
1.
India
Di Punjab (India Utara), Syaid Ahmad
menciptakan negara wahabiyah dan memaklumkan jihad terhadap orang yang tidak
mempercayai dakwahnya serta masuk di barisannya. Juga di Bengal penyiaran islam
pengalami kepesatan karena pengaruh golongan wahabiyah.
2.
Aljazair
Aliran wahabiyah di negara ini dibawa oleh
Imam as-Sanusi
3.
Mesir
Syaih Imam Abduh menyiarkan aliran wahabiyah,
meskipun ia tidak mengikatkan diri kepadanya semata-mata, karena ia menggali
sendiri pokok-pokok mazhab salaf, sejak
masa Rasul sampai kepada ibnu taimah, dan sampai Muhammad bin Abdil Wahab.
Dasar-dasarnya sama dengan dasar-dasar yang dipakai oleh aliran wahabiyah.
4.
Sudan
Aliran wahabiah dibawa oleh Usman Danfuju,
saat ia pergi ke Mekkah untuk melaksanakan haji dan pada waktu itu aliran
wahabiyah sedang berkembang pesat, setelah pulang ke negerinya menyebarkan
aliran wahabiyah.
5.
Indonesia
Dibawa oleh tiga orang dari Sumatera Barat
yang mula-mula berkunjung ke Madinah, mereka tertarik sekali dengan aliran wahabiyah. Setelah pulang ajaran wahabi
diperkenalkannya kepada pendudukan indonesia. Namun menjadi peperangan yaitu
perang padri. Pada masa sesudahnya, aliran wahabiyah di Indonesia lebih luas
lagi, baik melalui orang-orang haji maupun melalui buku-buku Syaih Muhammad
Abduh dari Mesir.
v Kontribusi terhadap ketauhidan
·
Mengesakan Tuhan bahwa Allah satu-satunya pencipta, pemelihara, pemberi rizki,
pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
·
Sumber asli hanyalah Al-quran dan hadis.
·
Memegang teguh kemurnian ketauhidan.
BAB III
KESIMPULAN
Sesuai dengan pemaparan materi diatas, maka
dapat saya simpulkan bahwa Riwayat hidup
muhamad bin abdul wahab ini terdiri dari
9 sub pokok yaitu :
·
Biografi
·
Masa kecil
·
Kehidupan di Madinah
·
Belajar dan berdakwah
di Basrah
·
Perjuangan memurnikan
aqidah Islam
·
Kehidupannya di
Dir'iyyah
·
Berdakwah Melalui
Surat-menyurat
·
Tantangan Dakwah dan
Pemecahannya
·
Wafat
Serta latar beklakang kelahiran aliran wahabi berawal dari
pertimbangan-pertimbangan yang didasarkan keyakinan-keyakinan, bahwa keruntuhan
islam dan kelemahannya karena adat kebiasaan umat islam sendiri yang sangat
bertentangan dengan ajaran islam dan banyak perbuatan-perbuatan syirik yang
tidak sesuai dengan dengan ilmu tauhid yang menjaqdi tugas terpenting Nabi
Muhammad SAW pada waktu Ia diutus menghadapi suku bangsa jahiliyah quraisy
penyembah berhala di mekah.Oleh karena itu perjuangan wahabi yang terutama
ditunjukan untuk membina suatu ajaran tauhid yang kuat guna mengembalikan
keyakinan umat islam kepada Allah.
Dalam hubungannya dengan tauhid, Muhammad bin Abdul Wahab
mengemukakan tiga aspek ketauhidan:
a.
Tauhid rububiah adalah pengakuan bahwa Allah satu-satunya
pencipta, pemelihara, pemberi rizki, pengatur, yang menghidupkan dan mematikan.
b.
Tauhid al-asma wa al-shifat adalah keimanan kepada nama-nama dan
sifat-sifat Allah sebagaimana tercantum dalam Al-qur’an,tanpa tamsil, tasbih
dan takwil.
c.
Tauhid ibadah adalah segala bentuk amal dan ibadah manusia
semata-mata dilakukan untuk berbakti kepada Allah SWT.
DAFTAR PUSTAKA
Asmuni Yusran.H.M.Drs, Ilmu
Tauhid (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,1993)
Nasution Harun, Pembaharuan
Dalam Islam: sejarah, pemikiran dan Gerakan, Bulan Bintang, Jakarta,1991
A.Hanafi M.A Pengantar Theologi Islam (Yogyakarta:Al Husna Zikra,1967)
Biografi.Muhamad
bin abdul wahab. Dalam http://id.wikipedia.org/wiki/Muhammad_bin_Abdul_Wahhab
Diunduh Pada Tanggal 22 Maret 2013, pukul
15.21 WIB.
0 komentar:
Posting Komentar