KATA PENGANTAR
Puji dan syukur
kami panjatkan ke hadirat Allah SWT, Dzat yang menjadi sumber segala kebaikan
dan kesempurnaan. Atas kasih sayang, petunjuk dan pertolongan-Nya, akhirnya
saya peribadi dapat menyelasaikan makalah ini. Semoga shalawat dan salam semoga
selalu tercurah limpahkan panutan umat manusia baginda Rasulullah saw,
kaluarganya, para shahabatnya dan seluruh umatnya.
Penulisan
makalah ini merupakan salah satu upaya untuk memenuhi tugas Repisi mata kuliah
pemikiran modern islam, mudah – mudahan kehadiran makalah ini dapat menambah
khazanah tentang pemikiran orang-orang liberal dan fundamental di Indonesia.
Kami sebagai
penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan, sebab pada
beberapa bagian dalam kajian makalah ini masih banyak menyisakan banyak
persoalan yang penting untuk diselesaikan dan tidak menutup kemungkinan
mengandung kekurangan dan kekeliruan dikarenakan keterbatasan kemampuan
penulis. Oleh sebab itu saran atau masukan dari berbagai pihak dalam rangka
untuk melengkapi dan memperbaiki berbagai kekeliruan dan kekurangan dalam
tulisan ini merupakan sesuatu yang sangat dinantikan.
Kepada semua
pihak yang telah membantu, kami ucapkan terimakasih, semoga Allah membalas
semua kebaikan kita semua
Atas
perhatiannya kami sampaikan terima kasih.
Bandung, 19
Januari 2014
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Terpuruknya nilai–nilai pendidikan dilatar belakangi oleh
kondisi internal Islam yang tidak lagi menganggap ilmu pengetahuan umum sebagai
satu kesatuan ilmu yang harus diperhatikan. Selanjutnya, ilmu pengetahuan lebih
banyak diadopsi bahkan dimanfaatkan secara komprehensif oleh barat yang pada
masa lalu tidak pernah mengenal ilmu pengetahuan.
Secara garis besar ada beberapa faktor yang mendorong
terjadinya proses pembaharuan Islam. Pertama faktor internal yaitu, faktor
kebutuhan pragmatis umat Islam yang sangat memerlukan satu system yang betul –
betul bisa dijadikan rujukan dalam rangka mencetak manusia – manusia muslim
yang berkualitas, bertaqwa, dan beriman kepada Allah. Kedua faktor eksternal
adanya kontak Islam dengan barat juga merupakan faktor terpenting yang bisa
kita lihat. Adanya kontak ini paling tidak telah menggugah dan membawa
perubahan phragmatik umat Islam untuk belajar secara terus menerus kepada
barat, sehingga ketertinggalan yang selama ini dirasakan akan bisa
terminimalisir.
Dalam makalah ini, kami lebih menekankan pada makna
pembaharuan beserta landasan dan tujuan pembaharuan Islam.
B. Pembatasan Masalah
Dalam
penulisan makalah ini, kami membatasi masalanya sebagai berikut :
4. Hakikat Makna Pembaruan
Islam
5. Landasan Bagi Pembaruan
Islam
6. Perkembangan Ajaran
Islam pada Masa Pembaruan
7. Tokoh-tokoh Pembaruan
Islam dan Pemikiranya
8. Tujuan Pembaruan dalam
Islam
9. Ijtihad sebagai Kunci
Pembaruan Islam
C.
Tujuan penulisan
makalah
Sesuai
dengan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan penulisan ini
diarahkan untuk mengetahui :
1.
Hakikat Makna Pembaruan Islam
2.
Landasan Bagi Pembaruan Islam
3.
Perkembangan Ajaran Islam pada Masa Pembaruan
4.
Tokoh-tokoh Pembaruan Islam dan Pemikiranya
5.
Tujuan Pembaruan dalam Islam
6.
Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
D.
Sistematika penulisan
Sebagai langkah akhir dalam penulisan makalah ini, maka
klasifikasi sistematika penulisannya sebagai berikut :
Bab I :
Pendahuluan yang berisikan tentang latar belakang masalah, pembatasan masalah,
tujuan penulis, dan sistematika penulis.
Bab II :
Membahas tentang Hakikat Makna Pembaruan Islam,
Landasan Bagi Pembaruan Islam, Perkembangan Ajaran Islam, Masa Pembaruan dan
Tokoh-tokoh Pembaruan Islam dan Pemikiranya Tujuan Pembaruan dalam Islam, dan
Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam.
Bab III :
Merupakan bab terakhir dalam penulisan bab ini yang berisikan tentang
Kesimpulan dan Daftar Pustaka.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hakikat Makna Pembaruan Islam
Dalam kosakata “Islam”, term pembaruan digunakan
kata tajdid, kemudian muncul berbagai istilah yang dipandang memiliki relevansi
makna dengan pembaruan, yaitu modernisme, reformisme, puritanis-me,
revivalisme, dan fundamentalisme.
Di samping kata tajdid, ada istilah lain dalam
kosa kata Islam tentang kebangkitan atau pembaruan, yaitu kata islah. Kata tajdid
biasa diterjemahkan sebagai “pembaharuan”, dan islah sebagai “perubahan”. Kedua
kata tersebut secara bersama-sama mencerminkan suatu tradisi yang berlanjut,
yaitu suatu upaya menghidupkan kembali keimanan Islam beserta
praktek-prakteknya dalam komunitas kaum muslimin.
Berkaitan hal tersebut, maka pembaruan dalam
Islam bukan dalam hal yang menyangkut dengan dasar atau fundamental ajaran
Islam; artinya bahwa pembaruan Islam bukanlah dimaksudkan untuk mengubah,
memodifikasi, ataupun merevisi nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam supaya
sesuai dengan selera jaman, melainkan lebih berkaitan dengan penafsiran atau
interpretasi terhadap ajaran-ajaran dasar agar sesuai dengan kebutuhan
perkembangan, serta semangat jaman. Terkait dengan ini, maka dapat dipahami bahwa
pembaruan merupakan aktualisasi ajaran tersebut dalam perkembangan sosial.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsuddin
mengatakan bahwa pembaruan Islam merupakan rasionalisasi pemahaman Islam dan
kontekstualisasi nilai-nilai Islam ke dalam kehidupan. Sebagai salah satu
pendekatan pembaruan Islam, rasionalisasi mengandung arti sebagai upaya
menemukan substansi dan penanggalan lambang-lambang, sedangkan kontekstualisasi
mengandung arti sebagai upaya pengaitan substansi tersebut dengan pelataran
sosial-budaya tertentu dan penggunaan lambang-lambang tersebut untuk membungkus
kembali substansi tersebut. Dengan ungkapan lain bahwa rasionalisasi dan
kontekstualisasi dapat disebut sebagai proses substansi (pemaknaan secara
hakiki etika dan moralitas) Islam ke dalam proses kebudayaan dengan melakukan
desimbolisasi (penanggalan lambang-lambang) budaya asal (baca: Arab), dan
pengalokasian nilai-nilai tersebut ke dalam budaya baru (lokal). Sebagai proses
substansiasi, pembaruan Islam melibatkan pendekatan substantivistik, bukan
formalistik terhadap Islam.
B. Landasan Bagi Pembaruan Islam
Sebagaimana diuraikan di awal tulisan ini bahwa
pembaruan Islam merupakan suatu keharusan bagi upaya aktualisasi dan
kontekstualisasi Islam. Berkaitan dengan hal ini, maka persoalan yang perlu
dijawab adalah hal-hal apa saja yang dapat dijadikan pijakan (landasan) atau
pemberi legitimasi bagi gerakan pembaruan Islam (tajdid). Di antara landasan
dasar yang dapat dijadikan pijakan bagi upaya pembaruan Islam adalah landasan
teologis, landasan normatif dan landasan historis.
1. Landasan Teologis
Menurut Achmad Jainuri dikatakan bahwa ide
tajdid berakar pada warisan pengalaman sejarah kaum muslimin. Warisan tersebut
adalah landasan teologis yang mendorong munculnya berbagai gerakan tajdid (pembaruan
Islam). Selanjutnya — masih menurut Achmad Jainuri—bahwa landasan teologis itu
terformulasikan dalam dua bentuk keyakinan, yaitu:
Pertama, keyakinan bahwa Islam adalah agama
universal (univer-salisme Islam). Sebagai agama universal, Islam memiliki misi
rahmah li al-‘alamin, memberikan rahmat bagi seluruh alam. Universalitas Islam
ini dipahami sebagai ajaran yang mencakup semua aspek kehidupan, mengatur
seluruh ranah kehidupan umat manusia, baik berhubungan dengan habl min Allah
(hubungan dengan sang khalik), habl min al-nas (hubungan dengan sesama umat
manusia), serta habl min al-‘alam (hubungan dengan alam lingkungan). Dengan
terciptanya harmoni pada ketiga wilayah hubungan tersebut, maka akan tercapai
kebahagiaan hidup sejati di dunia dan di akherat, karena Islam bukan hanya
berorientasi duniawi semata, melainkan duniawi dan ukhrawi secara bersama-sama.
Konsep universalisme Islam itu meniscayakan
bahwa ajaran Islam berlaku pada setiap waktu, tempat, dan semua jenis manusia,
baik bagi bangsa Arab, maupun non Arab dalam tingkat yang sama, dengan tidak
membatasi diri pada suatu bahasa, tempat, masa, atau kelompok tertentu. Dengan
ungkapan lain bahwa nilai universalisme itu tidak bisa dibatasi oleh formalisme
dalam bentuk apapun.
Universalisme Islam juga memiliki makna bahwa
Islam telah memberikan dasar-dasar yang sesuai dengan perkembangan umat
manusia. Namun demikian, tidak semua ajaran yang sifatnya universal itu
diformulasikan secara rinci dalam al-Qur’an dan al-Sunnah. Oleh karenanya,
diperlukan upaya untuk menginterpretasikannya agar sesuai dengan segala
tuntutan perkembangan sehingga konsep universalitas Islam yang mencakup semua
bidang kehidupan dan semua jaman dapat diwujudkan, atau diperlukan upaya
rasionalisasi ajaran Islam.
Senada dengan hal di atas, Din Syamsudin
mengatakan bahwa watak universalisme Islam meniscayakan adanya pemahaman selalu
baru untuk menyikapi perkembangan kehidupan manusia yang selalu berubah. Islam
yang universal —shalih li kulli zaman wa makan— menuntut aktualisasi nilai-nilai
Islam dalam konteks dinamika kebudayaan. Kontekstualisasi ini tidak lain dari
upaya menemukan titik temu antara hakikat Islam dan semangat jaman. Hakikat
Islam yang rahmah li al-‘alamin berhubungan secara simbiotik dengan semangat
jaman, yaitu kecondongan kepada kebaruan dan kemajuan.
Selanjutnya juga dikatakan bahwa pencapaian
cita-cita kerahma-tan dan kesemestaan sangat tergantung kepada
penemuan-penemuan baru akan metode dan teknik untuk mendorong kehidupan yang
lebih baik dan lebih maju. Din Samsudin mengatakan bahwa keuniversalan
mengandung muatan kemodernan. Islam menjadi universal justru karena mampu
menampilkan ide dan lembaga modern serta menawarkan etika modernisasi.
Kedua, keyakinan bahwa Islam adalah agama
terakhir yang diturunkan Allah Swt, atau finalitas fungsi kenabian Muhammad Saw
sebagai seorang rasul Allah. Dalam keyakinan umat Islam, terpatri suatu doktrin
bahwa Islam adalah agama akhir jaman yang diturunkan Tuhan bagi umat manusia;
yang berarti pasca Islam sudah tidak ada lagi agama yang diturunkan Tuhan; dan
diyakini pula bahwa sebagai agama terakhir, apa yang dibawa Islam sebagai suatu
yang paling sempurna dan lengkap yang melingkupi segalanya dan mencakup
sekalian agama yang diturunkan sebelumnya. Al-Qur’an adalah kitab yang lengkap,
sempurna, dan mencakup segala-galanya; tidak ada satupun persoalan yang
terlupakan dalam al-Qur’an. Keyakinan yang sama juga terhadap keberadaan Nabi
Muhammad Saw sebagai Nabi akhir jaman (khatam al-anbiya’), yang tidak akan
lahir (diutus) lagi seorang pun Nabi setelah Nabi Muhammad Saw, dan risalah
yang dibawa Muhammad diyakini sebagai risalah yang lengkap dan sempurna.
Menurut Achmad Jainuri bahwa keyakinan akan
Muhammad sebagai Nabi penutup hendaknya dipahami bahwa berhentinya fungsi
kenabian bukan berarti terputusnya petunjuk Tuhan kepada umat manusia. Kondisi
ini mengacu pada ide bahwa setelah fungsi ke-Nabi-an Muhammad selesai, secara
fungsional, peran ulama dipandang sangat penting untuk memelihara dinamika
ajaran Islam. Hal ini dipandang tidaklah berlebihan karena ulama adalah pewaris
para nabi (al’ulama’ waratsah al-anbiya’). Dari kalangan ulama itulah muncul
para mujaddid yang secara fungsional memelihara dinamika ajaran Islam yang
dibawa oleh Muhammad Saw sebagai pengemban risalah terakhir dari Tuhan. Dengan
perkataan lain bahwa kontinuitas petunjuk agama Wahyu dari Nabi Adam hingga
Muhammad melalui para Nabi, sedangkan dari Muhammad ke penerusnya melalui para
mujaddid yang secara institusional dimanifestasikan dalam berbagai ragam pemikiran
serta gerakan tajdid.
2. Landasan Normatif
Landasan normatif yang dimaksud dalam kajian ini
adalah landasan yang diperoleh dari teks-teks nash, baik al-Qur’an maupun
al-Hadis. Banyak ayat al-Qur’an yang dapat dijadikan pijakan bagi pelak-sanaan
tajdid dalam Islam karena secara jelas mengandung muatan bagi keharusan
melakukan pembaruan. Di antaranya surat al-Dluha: 4. “Sesungguhnya yang
kemudian itu lebih baik bagimu dari yang dahulu”, Ayat lainnya adalah surat
ar-Ra’d: 11, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah apa yang ada pada suatu
kaum sehingga mengubah apa yang ada dalam diri mereka sendiri….”
Dari ayat di atas, nampak jelas bahwa untuk
mengubah status umat dari situasi rendah menjadi mulia dan terhormat, umat
Islam sendiri harus berinisiatif dan berikhtiar mengubah sikap mereka, baik
pola pikirnya maupun perilakunya. Dengan demikian, maka kekuatan-kekuatan
pembaru dalam masyarakat harus selalu ada karena dengan itulah masyarakat dapat
melakukan mekanisme penyesuaian dengan derap langkah dinamika sejarah.
Sementara itu, dalam hadis Nabi dapat kita
temukan adanya teks hadis yang menyatakan bahwa “Allah akan mengutus kepada
umat ini pada setiap awal abad seseorang yang akan memperbarui (pema-haman)
agamanya”. Menurut Achmad Jainuri, dikalangan para pakar terdapat perbedaan
interpretasi mengenai kata ‘ala ra’si kulli mi’ati sanah (setiap awal
abad) ini berkaitan dengan saat munculnya sang mujaddid. Sebagian lain
mengkaitkan dengan tanggal kematian. Hal ini sesuai dengan tradisi penulisan
biografi dalam Islam yang biasanya hanya menunjuk tanggal kematian seseorang.
Jika arti kata tersebut dikaitkan dengan tanggal kelahiran, maka sulit dipahami
karena sebagian mereka —yang disebutkan dalam daftar literatur sejarah Islam—
telah meninggal dunia pada awal abad, yang berarti bahwa mereka belum melakukan
pembaruan. Atas dasar ini, maka sebagian lagi memahami dalam pengertian yang
lebih longgar dan menyatakan bahwa yang penting mujaddid yang bersangkutan
hidup dalam abad yang dimaksud. Terlepas dari adanya perdebatan sebagaimana di
atas (dalam memaknai awal abad), yang jelas bahwa ide tajdid dalam Islam
memiliki landasan normatif dalam teks hadis Nabi.
3. Landasan Historis
Di awal perkembangannya, sewaktu nabi Muhammad
masih ada dan pengikutnya masih terbatas pada bangsa Arab yang berpusat di
Makkah dan Madinah, Islam diterima dan dipatuhi tanpa bantahan. Semua
penganutnya berkata: “sami’na wa atha’na”. Dalam perkembangannya, Islam
baik secara etnografis maupun geografis menyebar luas, dari segi intelektual
pun membuahkan umat yang mampu mengembangkan ajaran Islam itu menjadi berbagai
pengetahuan, mulai dari ilmu kalam, ilmu hadis, ilmu fikih, ilmu tafsir,
filsafat, tasawuf, dan lainnya, terutama dalam masa empat abad semenjak ia
sempurna diturunkan. Umat Islam dalam periode itu dengan segala ilmu yang
dikembangkannya, berhasil mendominasi peradaban dunia yang cemerlang, sampai
mencapai puncaknya di abad XII-XIII M, di masa inilah, ilmu pengetahuan
ke-Islaman berkembang sampai puncaknya, baik dalam bidang agama maupun dalam
bidang non agama. Di jaman itu pula para pemikir muslim dihasilkan. Mereka
telah bekerja sekuat-kuatnya melakukan ijtihad sehingga terbina apa yang kemudian
dikenal sebagai kebudayaan Islam.
Setelah melalui kurun waktu lebih kurang lima
abad sampai ke puncak kejayaannya, sejarah kemajuan Islam mengalami kemandekan;
Islam menjadi statis atau dikatakan mengalami kemunduran. Masa demi masa
kemundurannya semakin terasa. Pintu ijtihad dinyatakan tertutup digantikan
dengan taklid yang merajalela sampai menenggelamkan umat Islam ke lubuk yang
terdalam pada abad ke XVIII. Meskipun demikian, upaya pembaruan senantiasa
terjadi, di mana dalam suasana seperti digambarkan di atas, yaitu sejak abad
XIII M (peralihan ke abad XIV M) Ibn Taimiyah telah tampil membendung-nya
(melakukan pembaruan).
Pembaruan yang dilakukan oleh Ibnu Taimiyah,
ditujukan kepada tiga sasaran utama yaitu, sufisme, filosof yang mendewakan
rasionalisme, teologi asy’ariyah yang cenderung pasrah kepada kehendak Tuhan
dan totalistik. Ketiganya dipandang sebagai menyimpang dari ajaran Islam
sehingga di dalam memberikan kritik selalu dibarengi seruan kepada umat Islam
agar kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah serta memahaminya. Dalam perkembangan
sejarahnya bahwa gerakan pembaruan pasca Ibnu Taimiyah terus mengalami
dinamisasi, dan kontinuitasnya, serta mengalami beberapa variasi corak dan
penekanannya masing-masing sesuai dengan konteks waktu, tempat, dan problem
yang dihadapi. Gerakan-gerakan pembaruan itu sendiri dapat diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu gerakan pembaharuan pra-modern dan gerakan pembaharuan pada
masa modern.
Gerakan pembaharuan pra-modern (pasca Ibnu
Taimiyah), mengambil bentuknya terutama pada abad XVII dan XVIII M. Sementara
itu, gerakan modern terutama dimulai pada saat jatuhnya Mesir di tangan
Napoleon Bonaparte (1798-1801 M), yang kemudian menginsafkan umat Islam tentang
rendahnya kebudayaan dan peradaban yang dimilikinya, serta memunculkan
kesadaran akan kelemahan dan keterbelakangan.
Walaupun gerakan pembaruan Islam secara garis
besarnya terbagi dalam dua batasan dekade yaitu pra-modern (abad XVII dan XVIII
M) dan modern (mulai abad XIX M), tetapi sebagaimana dikemukakan oleh Fazlur
Rahman bahwa gerakan pembaruan yang dilancarkan pada abad tersebut pada
dasarnya menunjukkan karakteristik yang sama dengan gagasan pokok Ibnu Taimiyah
yang dipandang sebagai bapak tajdid, yaitu gerakan-gerakan pembaruan tersebut
mengedepankan rekontruksi sosio-moral masyarakat Islam sekaligus melakukan
koreksi sufisme yang terlalu menekankan individu dan mengabaikan masyarakat.
Adanya karakteristik yang sama pada
gerakan-gerakan pembaruan Islam, baik pra-modern maupun modern tersebut, dapat
dilihat misalnya pada abad XVII M. Syaikh Ahmad Sirhindi telah meletakan dasar
teori reformasi yang sama dengan Ibnu Taimiyah, juga menekankan pelaksanaan
ajaran syariah dalam kehidupan sehari-hari. Kemudian gerakan wahabiah pada abad
XVIII M yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab dipandang lebih radikal dan
tidak mengenal kompromi terhadap semua pengaruh yang “non Islam” terhadap amal
ibadah. Gerakan-gerakan serupa juga muncul di kawasan dunia Islam lainnya. Shah
Waliyullah di India abad XVIII M, juga melakukan hal yang sama dengan apa yang
dilakukan oleh Syaikh Ahmad dalam sikapnya terhadap ajaran sufi yang
menyimpang. Namun, yang membedakannya dengan pendahulunya, gerakan Shah
Waliyullah juga memasuki dunia kehidupan sosial politik, di mana ia menentang
ketidakadilan sosial ekonomi yang menimpa rakyat, mengkritik beban pajak yang
ditanggung oleh kaum petani, serta menyerukan kaum muslimin untuk menegakkan
sebuah negara teritorial di India yang menyatu ke dalam bentuk sebuah
kekaisaran yang bersifat internasional.
Gerakan pembaruan pra-modern dengan dasar
“kembali kepada al-Qur’an dan al-Sunnah serta ijtihad” sebagaimana di atas,
juga me-warnai gerakan pembaruan pada era modern (abad XIX dan XX M). Sebagai
misal, gerakan pembaruan yang digerakkan dan dicetuskan oleh Muhammad Abduh,
yang dirumuskan dalam empat aspek yaitu: pertama, pemurnian Islam dari berbagai
pengaruh ajaran dan pengamalan yang tidak benar (bid’ah dan khufarat); kedua,
pembaruan sistem pendidikan tinggi Islam; ketiga, perumusan kembali doktrin
Islam sejalan dengan semangat pemikiran modern; keempat, pembelaan Islam
terhadap pengaruh-pengaruh dan serangan-serangan Eropa.
Apa yang dilakukan oleh Abduh di atas,
menunjukan adanya karakteristik yang sama dengan era sebelumnya, yaitu adanya
purifikasionis-reformis. Apa yang dilakukan Abduh hanya sebagai salah satu
contoh, tentunya dapat ditemukan juga dalam gerakan dan pemikiran yang
dilakukan oleh tokoh lainnya.
Berkaitan dengan kesinambungan karakteristik
gerakan pem-baruan Islam baik pra-modern dan modern, menurut Voll dapat
terlihat pula pada tiga bidang atau tema yang digelorakan, yaitu: pertama,
seruan untuk kembali kepada penerapan ketat al-Qur’an dan Sunnah Nabi; kedua,
keharusan adanya ijtihad; ketiga, penegasan kembali keaslian dan keunikan pengalaman
Qur’an yang berbeda dengan cara-cara sintesa dan keterbukaan pada tradisi Islam
lainnya.
Uraian di atas menunjukan bahwa ide pembaruan
Islam yang berlandaskan teologis dan normatif, secara historis menunjukkan
relevansi dengan kedua landasan tersebut (teologis dan normatif). Oleh
karenanya, gerakan tajdid (pembaruan Islam) memiliki akar historis yang kuat
sebagai pijakan bagi kontinuitas gerakan pembaruan Islam kini dan yang akan
datang.
C. Perkembangan Ajaran Islam Pada Masa Pembaharuan
Salah satu pelopor pembaharuan dalam dunia islam barat
adalah suatu aliran yang bernama Wahabiyah sangat berpengaruh di Abad KE-19.
Pelopornya adalah Muhammad Abdul Wahabiyah (1703-1787) yang berasal dari Nejed,
Saudi Arabia. Pemikiranya adalah upaya memperbaiki keadan umat Islam dan
merupakan reaksi dari paham tauhid yang terdapat dikalangan Umat Islam saat
itu. Dimana paham-paham tauhid mereka telah tercampur dengan ajaran-ajaran lain
sejak abad ke-13.
Adapun aliran yang menyeleweng, pada saat itu orang-orang
yang sering meminta pertolongan atau bantuan kepada makam-makam Syeh yang telah
meninggal. Adapula yang meminta pertolongan untuk menyelesaikan masalah sehari
hari, meminta anak, jodoh bahkan ada yang meminta kekayaan. Paham ini menurut
paham wahabiyah termasuk syirik karena permohonan dan doa tidak lagi di
panjatkan kepada Allah.
Masalah Tauhid merupakan ajaran yang paling dasar dalam
Islam. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila Muhammad Abdul Wahab
memusatkan perhatianya pada persoalan ini.
Adapun pokok-pokok pemikiranya adalah:
1. Yang
harus disembah hanyalah Allah dan orang-orang yang menyembah selain Allah
dinyatakan Musyrik.
2. Kebanyakan
orang islam bukan lagi penganut paham Tauhid yang sebenarnya karena mereka
meminta pertolongan kepada selain Allah, melainkan kepada Syeh, Wali atau
kekuatan gaib. Orang Islam yang berprilaku demikian juga dikatakan musyrik.
3. Menyebut
nama Nabi, Syeh atau malaikat sebagai pengantar dalam doa juga dikatakan
syirik.
4. Meminta
syafaat selain kepada Allah juga syirik.
5. Bernazar
kepada selain Allah juga syirik.
6. Memperoleh
pengetahuan selain dari Al-qur’an, Hadis dan Qiyas merupakan kekufuran.
7. Tidak
mempercayai kepada Qada’ dan Qadar juga mmerupakan kekufuran.
8. Menafsirkan
Al-qur’an dengan Ta’wil atau interpretasi bebas juga termasuk kekufuran.
Untuk mnegembalikan kemurnian Tauhid tersebut, makam-makam
yang banyak dikunjungi dengan tujuan mencari syafaat, keberuntungan dan
lain-lain yang membawa kepada paham syirik, mereka berusaha menghapuskan paham
ini. Pemikiran Muhammad Abdul Wahab yang mempunyai pengaruh pada perkembangan
pemikiran pembaharuan di abad ke-19 adalah:
1. Hanya
Al qur’an dan Hadis yang merupakan sumber asli ajaran-ajran Islam. Dan pendapat
ulama’ bukanlah sumber, menurut paham wahabiyah.
2. Taklid
kepada ulama’ tidak dibeanarkan.
3. Pintu
ijtihad senantiasa terbuka tidak tertutup.
Muhammd Abdul Wahab merupakan pemimpin yang aktif berusaha
mewujudkan pemikiranya. Ia mendapat dukungan dari Muhammad Ibnu Su’ud dan
putranya Abdul Aziz. Paham-pahamnya tersebar luas dan pengikutnya bertambah
banyak sehingga ditahun 1773 M mereka mendapat mayoritas di Riyadh. Pada tahun
1787 Muhammad Abdul Wahab meninggal, namun ajaran-ajaranya tetap hidup dan
mengambil bentuk aliran yang dikenal dengan nama Wahabiyah.
D. Tokoh-Tokoh Pembaharuan Islam Dan pemikiranya
1.
Jamaludin Al afgani (Iran, 1838-turki,
1897)
Salah satu sumbangan terpenting di dunia Islam diberikan
oleh Sayyid Jamaludin Al Afgani. Gagasanya mengilhami kaum muslim di Turki,
Iran, Mesir dan India. Meskipun sangat anti imperialisme Eropa, ia mengagungkan
pencapaian ilmu pengetahuan Barat. Ia tidak melihat adanya kontradiksi antara
Islam dan ilmu pengetahuan. Namun, gagasan untuk mendirikan sebuah Universitas
yang husus mengajarkan ilmu pengetahuan yang modern di Turki mengahdapai
tantangan yang kuat dari para ulama’. Pada ahkirnya ia diusir dari Negara
tersebut.
2. Muhamada
Abduh (Mesir 1849-1905) dan Muhamad Rasyid Rida (Suriah 1865-1935)
Guru dan murid tresebut mengunjungi beberapa negara Eropa
dan amat terkesan dengan pengalaman mereka disana. Rasyid Rida mendapat
pendidikan Islam tradisisonal dan menguasai bahasa asing ( prancis dan turki)
yang menjadi jalan masuknya untuk mempelajari ilmu pengetahuan secara umum. Oleh
karena itu, tidak sulit bagi Rida untuk bergabung dengan gerakan pembaruan Al
Afgani dan Muhamad Abduh dan diantaranya melalui penerbitan jurnal Al Urwah Al
Wustha yang diterbitkan diparis dan disebarkan dimesir. Muhamd Abduh
sebagaimana Muhamad Abdul Wahab dan Jamaluddin Al Afgani, berpendapat bahwa
masuknya bermacam bid’ah kedalam ajran Islam membuat umat Islam lupa akan
ajran-ajaran Islam yang sebenarnya. Bid’ah itulah yang menjauhkan masarakat
Islam dari jalan yang sebenarnya.
3. Toha
Husain (Mesir selatan 1889-1973)
Beliau adalah seorang sejarawan dan filusuf yang sangat
mendukung gagasan Muhamad Ali Pasya. Ia merupakan pendukungg modernism yang
gigih. Pengadopsian terhadap ilmu pengetahuan modern tidak hanya penting dari
sudut nilai praktis (kegunaan) nya saja, tetapi juga sebagai perwujudan suatu
kebudayaan yang amat tinggi. Pendanganya dianggap sekularis karena
mengunggulkan ilmu pengetahuan.
4. Sayyid
Qutub (Mesir 1906-1966) dan Yusuf Al qardawi
Al Qardawi menekankan perbedaan modernisasi dan pembaratan.
Jika modernisasi yag dimaksud bukan berarti upaya pembaratan dan memiliki
batasan pada pemanfaatan ilmu pengetahuan modern serta penerapan teknologiny,
Islam tidak menolaknya bahkan mendukungnya. Pandangan al Qardawi ini cukup
mewakili pandangan mayoritas kaum muslmin. Secara umum dunia Islam relative
terbuka untuk menerima ilmu pengetahuan dan teknologi sejauh memperhitungkan
manfaat praktisnya. Pandangan ini kelak terbukti dan tetap bertahan hingga kini
dikalangan muslim. Akan tetapi, dikalangan pemikir yang ,mempelajari sejarah
dan filsafat ilmu pengetahuan, gagasan seperti ini tidak cukup memuaskan
mereka.
5. Sirsayid
Ahmad Khan (India 18817-1898)
Sirsayid Ahmad Khan adalah pemikir yang menyerukan
saintifikasi masyarakat muslim. Seperti Al afgani, ia menyerukan kaum muslim
untuk meraih ilmu pengetahuan modern. Akan tetapi, berbeda dengna al Afgani ia
melihat adanya kekuatan yang membebaskan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi
modern. Kekuatan pembebas itu antara lain, penjelasan mengenai suatu peeristiwa
dengan sebab-sebab yang bersifat fisik materiil. Di barat nilai-nilai ini telah
membebaskan orang dari tahayul dan cengkraman kekuasaan gereja. Kini dengan
semangat yang sama Ahmad Khan merasa wajib membeabaskan kaum muslim dengan
melenyapkan unsur yang tidak ilmiah dari pemahaman terhadap Al qur’an. Ia amat
serius dengan upaya ini, antara lain: menciptakan sendiri metode baru
penafsiran Al qur’an. Hasilnya adalah teologi yang memilki karakter atau sifat
ilmiah dalam tafsir Al qur’an.
6. Sir
Muhamad Iqbal (Punjab 1873-1938)
Generasi awal ke-20 adalah Sir Muhamdad Iqbal marupakan
seorang muslim pertama di anak benua India yang sempat mendalami pemikiran
barat modern dan memilki latar belakang yang bercorak tradisisonal islam. Kedua
hal ini muncul dari karya utama di tahun 1930 yang berjudul the
reconstruction of religious thought in islam (pembangunan kembali pemikiran
keagamaan dalam Islam)
E. Tujuan Pembaruan dalam Islam
Berbicara mengenai tujuan pembaruan Islam, maka
tidak dapat dilepaskan dari misi yang diemban oleh gerakan tersebut. Menurut
Achmad Jainuri bahwa pembaruan Islam memiliki dua misi ganda, yaitu misi
purifikasi, dan misi implementasi ajaran Islam di tengah tantangan jaman.
Bertitik-tolak dari kedua misi di atas, maka
tujuan pokok dari pembaruan Islam adalah: Pertama, purifikasi ajaran Islam,
yaitu mengembalikan semua bentuk kehidupan keagamaan pada jaman awal Islam
sebagaimana dipraktekkan pada masa Nabi. Jaman Nabi sebagaimana digambarkan
oleh Sayyid Qutb sebagai periode yang hebat, suatu puncak yang luar-biasa dan
cemerlang dan merupakan masa yang dapat terulang. Terjadinya banyak
penyimpangan dari ajaran pokok Islam pasca Nabi bukan karena kurang sempurnanya
Islam, tetapi karena kurang mampunya untuk menangkap Islam sesuai semangat
jaman; serta dalam konteks ini, banyaknya unsur-unsur luar yang masuk dan
bertentangan dengan Islam sehingga diperlukan adanya upaya untuk mengembalikan
atau memurnikan kembali sesuai dengan orisinalitas Islam. Upaya ini dapat
dilakukan dengan membentengi keyakinan akidah Islam, serta berbagai bentuk
ritual dari pengaruh sesat.
Kedua, menjawab tantangan jaman. Islam diyakini
sebagai agama universal, yaitu agama yang di dalamnya terkandung berbagai
konsep tuntutan dan pedoman bagi segala aspek kehidupan umat manusia, sekaligus
bahwa Islam senantiasa sesuai dengan semangat jaman. Dengan berlandaskan pada
universalitas ajaran Islam itu, maka gerakan pembaruan dimaksudkan sebagai
upaya untuk mengimplementasi-kan ajaran Islam sesuai dengan tantangan perkembangan
kehidupan umat manusia.
F. Ijtihad sebagai Kunci Pembaruan Islam
Untuk mewujudkan kedua tujuan di atas, maka
ijtihad dapat dipandang sebagai metode pokok untuk berjalannya gerakan
pembaruan Islam (tajdid). Statemen ini tentunya tidak terlalu berlebihan karena
pada dasarnya pembaruan Islam akan bermuara kepada aktualisasi, rasionalisasi,
dan kontekstualisasi ajaran Islam di tengah kehidupan sosial, dan semua itu
memerlukan upaya ijtihady.
Aktualisasi di sini berkaitan dengan bagaimana
agar pelaksanaan kehidupan umat tidak menyimpang dari ajaran Islam sekaligus
bagaimana agar makna universalitas Islam dapat terwujud dan teraktualisasikan
dalam semangat jaman sehingga dalam kehidupan sosial, Islam tidak dijadikan
sebagai alasan terjadinya kemunduran dan kelemahan, bahkan kehancuran. Padahal,
hal itu sebenarnya disebab-kan ketidakmampuannya menerjemahkan Islam dalam
tatanan kehidupan yang terus berkembang.
Dalam konteks sejarahnya bahwa ijtihad telah
memberikan sumbangan besar dalam perkembangan pemikiran umat Islam, khususnya
dalam upaya menghadapi persoalan kehidupan sosial. Tentu ijtihad dalam konteks
ini bukan dibatasi dalam hal hukum (syari’ah) semata yang selama ini banyak
dipahami, melainkan yang terpenting bagaimana ijtihad dimaknai sebagai upaya
untuk menilai “ulang” terhadap berbagai warisan keagamaan yang ada, serta
adanya kebebasan untuk menafsirkan kembali sesuai dengan pemikiran modern.36
Semangat untuk terus menghidupkan ijtihad merupakan salah satu tema pokok yang
selalu digelorakan oleh para pembaru (mujaddidun).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan
penting sebagai berikut: Pertama, pembaruan Islam (tajdid) merupakan suatu
keharusan karena ajaran Islam yang rahmah li al’alamin serta sebagai agama
“pamungkas” menuntut adanya upaya rasionalisasi dan konteks-tualisasi sesuai
dengan semangat jaman. Hal itu karena pada hakikatnya pembaruan Islam merupakan
ikhtiar melakukan rasionalisasi dan kontekstualisasi ajaran Islam dalam segala
ranah kehidupan.
Kedua, keharusan bagi upaya tajdid setidaknya
memiliki tiga landasan dasar yaitu landasan teologis, landasan normatif, dan
landasan historis. Artinya bahwa gerakan tajdid dilaksanakan dengan dasar dan
pijakan yang kuat.
Ketiga, agar tajdid dalam Islam dapat
terimplementasikan dan teraktualisasikan, maka ijtihad harus dijalankan karena
tajdid dan ijtihad hakikatnya merupakan dua hal yang saling terkait.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Maulana Muhammad. The
Religion of Islam. Kairo: The Arab Writer Publisher & Printers, t.t.
An-Na’im, Abdullah Ahmed. Dekonstruksi
Syariah: Wacana Kebebasan, Hak Asasi Manusia dan Hubungan International dalam
Islam, terj. Ahmad Suaedy dan Amiruddin Arrani. Yogyakarta: LKiS, 1994.
Asmuni, M. Yusran. Pengantar
Studi Pemikiran dan Geerakan Pembaharuan dalam Dunia Islam. Jakarta:
Rajawali, 1998.
Azra, Azyumardi. Pergolakan
Politik Islam dari Fundamentalisme, Modernisme Hingga Post-Modernisme.
Jakarta: Paramadina, 1996.
CD Room Mausu’ah Al-Hadits
Al-Syarif.
Gibb, H.A.R. Aliran-Aliran
Modern Dalam Islam, terj. Machnun Husein. Jakarta: Rajawali Press, 1993.
Mohammadenism: A Historical
Survey. New York: A Galaxy Book, 1962.
Idris, Zulbadri. “Pembaharuan Islam
Sebelum Periode Modern”, dalam Jurnal Media Akademika, No. 49. Tahun XIV/1998.
Jainuri, Achmad. “Landasan
Teologis Gerakan Pembaruan Islam”, dalam Jurnal Ulumul Qur’an, No. 3. Vol.
VI, Tahun 1995.
Tradisi Tajdid dalam Sejarah
Islam (bagian kedua), dalam Suara Muhammadiyah, No. 06/80/1995.
0 komentar:
Posting Komentar