About

Selasa, 03 Februari 2015

Hubungan Manusia dengan Agama



BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah
Secara konsep sebenarnya antara manusia dan agama merupakkan dua hal yang berbeda dapat dipisahkan. Dalam kajian psikologi manusia dipandang mahluk hidup yang kehadirannya dibekali aspek fisik dan mental. Aspek fisik melibatkan semua organ tubuh yang Nampak dan melekat pada manusia, sehingga dapat diraba dan diamati. Sedang aspek mental merupakan organ hidup manusia yang tidak dapat diraba dan diamati, tapi diyakini keberadaannya, karena justru dapat mengendalikan kegiatan yang bersifat fisik.
Berbagai spekulasi tentang adanya kemampuan manusia meneliti tentang dirinya sendiri dan berbagai  kajian yang kerapkali diperbincangankan mengenai manusia atas hubungannya dengan agama dan mengapa Robert H Thouless mengatakan bahwa agama itu adalah kebutuhan manusia tanpanya manusia tidak akan mencapai keutuhan. Begitu juga Jung seorang psikoanalisa yang kemudian membentuk mazhab psikologi tersendiri yakni Psikologi Analitis mengungkapkan bahwa agama adalah kebergantungan dan kepasrahan kepada fakta dan pengalaman yang irasional. [1] agama menentukan arah yang dituju, agama menyesuaikan dengan yang dituju, agama hiasan batin, agama member harapan dan dorongan bagi jiwa, agama selalu menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus seperti itu yang diungkapkan Murthadha Muthahhari
Melihat persoalan tersebut kiranya perlu penyelesaian bagi kita tentang hubungan manusia yang memahami kajian agama tersebut kami menyusun makalah ini mencoba mengungkap hal tersebut berdasarkan pada sumber-sumber yang jelas semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa pengertian manusia dan agama?
2.      Apa maksud keyakinan/religiusitas dan rasionalitas?
3.      Bagaimana Hubungan manusia dan agama dalam hubungan tipe hubungan Sebab-Akibat, Atas-Bawah, Fungsional dan Pengabdian?


BAB II
HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA

A.     Pengertian manusia dan Agama
Pengertian manusia
Pengertian manusia menurut Dr. A Carel dalam bukunya Man the Unknown menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang mahluk-mahluk hidup secara  umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis :
Sebenarnya manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk mengetahui dirinya. Kendatipun kita memiliki pembendaharaan yang cukup banyak dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan dan para ahli di bidang keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh. Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu, dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang mempelajari manusia (kepada diri mereka) hingga kini masih tetap tanpa jawaban.

Keterbatasan pengetahuan manusia tentang dirinya itu disebabkan oleh :
1.    Pembahasan tentang masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi
2.    Ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat akal seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup
3.    Multikompleksnya masalah manusia
Dari penjelasan di atas, agamawan dapat berkomentar bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan karena unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi sedang manusia tidak diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS Al-Isra’ [17]:85).
Jika apa yang dikemukakan oleh A. Carrel itu diterima. Maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa manusia, adalah merujuk kepada wahyu ilahi, agar kita dapat menemukan jawabannya.[2]
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.
1.    Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
2.    Menggunakan kata Basyar.
3.    Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Kata basyar terambil dari akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Manusia dinamai basyar karena kulitna tampak jelas dan berbeda dengan kulit binatang yang lain.
Al-Qur’an menggunakan kata ini sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna (dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya (QS Al-Kahf [18];110) bertebaran / berkembang biak (QS Al-Rum [30];20)  kedewasaan dalam kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab (QS Al-Hijr [15]; 28)
Kata Nafs Al-Qur’an mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti antara lain maksud surat Al-Maidah ; 32, di kali lain ia menunjuk kepada apa yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti dalam (QS Al-Ra’d [13]; 11), juga menunjukan kepada “diri Tuhan” (QS Al-An’am [6]; 12).
Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar (QS Al-Syams [91]; 7-8).[3]
Pengertian Agama
William James mendefinisikan agama sebagai perasaan, tindakan, pengalaman individu dalam kesunyian sejauh mereka melihat dirinya berdiri di hadapan apa yang mereka anggap sebagai yang ilahi. [4]
Robert H. Thouless mendefinisikan agama adalah sikap (atau tata cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu.[5]
Ahmad Tafsir membagi pengertian agama menjadi dua kelompok. Yang pertama ialah definisi agama yang menekankan segi rasa iman atau kepercayaan, yang kedua menekankan segi agama sebagai peraturan tentang cara hidup. Kombinasi kedua-keduanya mungkin merupakan definisi yang lebih memadai tentang agama. Agama ialah system kepercayaan dan praktek yang sesuai dengan kepercayaan tersebut. Dapat juga : Agama ialah peraturan tentang cara hidup, lahir-batin. [6]
Dalam pandangan Islam Quraish Shihab mendefinisikan agama sebagai fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) ; (QS Al-Rum[30];30)
B.     Antara Keyakinan/Religius dan Rasionalitas
Dalam hal ini menurut H.A. Hasan Gaos dan Wildan Baihaqi ada tiga teori yang dianggap relevan, yaitu ;
1.         Teori Rasionalitas dari Henry Nelson Wienman
Teori ini menyatakan bahwa setiap penghayatan manusia terhadap dunia luar akan melahirkan dua pengalaman yang saling bertentangan, yaitu pengalaman rasional dan pengalaman religius. Akibatnya segalam pengalaman yang dilalui, mulai dari kenyataan dan tingkat hidup yang paling rendah dan sederhana sampai kepada msalah tuntutan spiritual manusia dalam kehidupan sosialnya yang paling tinggi, akan melehirkan dua tuntutan pemahaman yang saling bertentangan tersebut.
2.         Teori Transendental dari C.G. Jung
Teori ini didasarkan atas penelitian psikoanalitis yang melahirkan pernyataan Jung bahwa [man him self is partly empirical and partly trancedental]. “bahwa dalam manusia itu sudah terkandung sebagian lagi bersifat transenden”. Pernyataan Jung itu memantulkan pernyataan lain yang lebih tegas bahwa [the psyche creates relity  everyday].(Jolande Jacoby,1973,hal 7) “sesuatu yang tidak Nampak justru dapat menciptakan hal lain yang Nampak dalam kehidupan manusia sehari-hari”.
3.         Teori Mistik dari Santo Agustinus
Bagi Santo Agustinus secara alamiah eksistensi kemanusiaan seseorang merangsang keyakinan dirinya mengenai adanya sesuatu yang dianggap Maha Kuasa, bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa kebehagiaan hidup manusia itu sangat bergantung pada pemeliharaan hubungan dirinya dengan Yang Maha Kuasa. Hanya saja oleh Tuhan itu sesuatu Yang Maha Abstrak, tentu tidak akan dapat dipahami oleh pengetahuan intelektual yang mengarahkan objek kajiannya pada gejala-gejala empirik semata. [7]
C.     Hubungan Manusia dan Agama dalam tipe hubungan sebab akibat
1.      Fase Penghayatan Gejala Alam
Dari fase ini timbulah tingkat-tingkat kesadaran manusia yang melibatkan keprihatinan, konsepsi, kepuasan dan lain-lain
2.      Fase Pertemuan dengan Yang Maha Kuasa
Puncak pengalaman manusia mengenai keterlibatannya terhadap penghayatan kehadiran diri dan rangsangan alam sekitarnya adalah perasaan bertemu dengan Yang Maha Kuasa. Urutan dan rentetan kesadarannya melahirkan suatu perasaan bahwa Tuhan adalah sebab segala-galanya, sementara manusia dunia tempat tinggalnya merupakan akibat nyata dari ke-Maha Kuasaan-Nya.
3.      Fase Mengembangkan Hubungan
Pengalaman bertemunya dengan Yang Maha Kuasa itu lambat laun akan berkembang dan secara tidak langsung akan menunjukan dinamika hubungan antara yang mengalami dengan sesuatu yang dialaminya, antara akibat dengan sebabnya.
4.      Fase Hubungan yang Situasional
Pengalaman manusia dalam menghayati posisinya sebagai akibat dari adanya Yang Maha Sebab, berjalan dan berkembang terus sepanjang hayatnya. Namun, seirama dengan kenyataan alam dan lingkungan yang dihadapinya, pengalaman keagamaan seseorang akan sangat situasional.
D.    Hubungan manusia dan agama dalam tipe hubungan atas bawah
Salah satu kristalisasi imajinasi kemanusiaan orang-orang yang beragama dalam pemaknaan hubungannya dengan Tuhan adalah keterikatan terhadap kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang ada di bawah yang serba tergantung kepada Khaliq yang ada di atas. Berbagai ekspresi muncul dari hubungan macam ini, baik secara fisik maupun secara ideologis.
Sebagai mahluk yang berada di bawah dan bergantung pada kekuasaan yang ada di atas dan Maha Agung, dengan bekal integritas kemanusiannya menyadari keadaan dirinya dan ia menggambarkan akhir hidupnya dengan mati.
Keaslian hubungan manusia yang ada di bawah dengan Tuhannya yang ada di atas ditandai juga oleh kesadarannya bahwa manusia itu telah kehilangan surga dan kesatuannya dengan alam, sehingga ia menjadi pengembara yang abadi dan ia terpaksa menghadapi dunia ini. Bahkan kemudian berusaha mencari tahu tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang lebih menarik lagi manusia harus mengadakan perhitungan terhadap dirinya sendiri dari arti eksistensi kehadirannya.[8]
E.     Hubungan Manusia dan Agama dalam tipe hubungan fungsionalis
Dilihat dari sudut pandang teori fungsionalis, pentingnya agama dalam kehidupan manusia berkaitan erat dengan hadirnya sebagai unsure pengalaman hidup yang berakar pada ketidakpastian, ketidakberadayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik fundamental kondisi manusia.
Pertama, agama berfungsi sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya[9]
F.      Hubungan manusia dan agama dalam tipe hubungan pengabdian
Menurut Henry Nelson Wienman tanda dan bukti keagamaan seseorang yang paling puncak adalah wujud nyata mengamalkan ajaran agamanya, sesudah ia mempercayai kekuatan yang Maha Kuasa, kepercayaan itu digerakan oleh oleh motivasi instrinsiknya, dan percaya bahwa dengan mendasarkan pada hal itu manusia akan memperoleh kebaikan dan dapat menghindarkan diri dari sesuatu yang merugikan atau menyakitkan.
Dalam terminology agama manusia akan merealisasikan hubungannya dengan Yang Maha Kuasa itu dalam bentuk ritual peribadatan. Disinilah akan melibatkan seluruh aspek kemanusiaan seseorang untuk mewujudkan rasa kontak dan dialognya dengan Tuhan. Oleh karena itu tidak sah kalau dikatakan bahwa tingkah laku ibadah sebagai wujud pengabdian seseorang merupakan manifestasi yang hakiki mengenai hubungan manusia dengan agamanya.
Von Hugel menyatakan bahwa kegiatan yang pokok dan menjadi sentral hidup beragama adalah berupa pemujaan atau penyembuhan terhadap Yang Maha Kuasa.[10]


BAB III
SIMPULAN

Hubungan manusia dan agama
Pengertian manusia
Pengertian manusia menurut Dr. A Carel dalam bukunya Man the Unknown menjelaskan tentang kesukaran yang dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan tentang mahluk-mahluk hidup secara  umum dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Ada tiga kata yang digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.
1.      Menggunakan kata yang terdiri dari huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
2.      Menggunakan kata Basyar.
3.      Menggunakan kata Bani Adam, dan zuriyat Adam.
Pengertian Agama
Robert H. Thouless mendefinisikan agama adalah sikap (atau tata cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia fisik yang terikat ruang dan waktu.
Dalam pandangan Islam Quraish Shihab mendefinisikan agama sebagai fithrah (sesuatu yang melekat pada diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) ; (QS Al-Rum[30];30)
Antara Keyakinan/Religius dan Rasionalitas
Dalam hal ini menurut H.A. Hasan Gaos dan Wildan Baihaqi ada tiga teori yang dianggap relevan, yaitu ;
1.      Teori Rasionalitas dari Henry Nelson Wienman
2.      Teori Transendental dari C.G. Jung
3.      Teori Mistik dari Santo Agustinus
Hubungan manusia dan agama dalam tipe hubungan sebab akibat
1.      Fase Penghayatan Gejala Alam
2.      Fase Pertemuan dengan Yang Maha Kuasa
3.      Fase Mengembangkan Hubungan
4.      Fase Hubungan yang Situasional
Hubungan manusia dan agama dalam tipe hubungan atas bawah Salah satu kristalisasi imajinasi kemanusiaan orang-orang yang beragama dalam pemaknaan hubungannya dengan Tuhan adalah keterikatan terhadap kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang ada di bawah yang serba tergantung kepada Khaliq yang ada di atas. Berbagai ekspresi muncul dari hubungan macam ini, baik secara fisik maupun secara ideologis.
Hubungan Manusia dan Agama dalam tipe hubungan fungsionalis
Pertama, agama berfungsi sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya
Hubungan manusia dan agama dalam tipe hubungan pengabdian
Menurut Henry Nelson Wienman tanda dan bukti keagamaan seseorang yang paling puncak adalah wujud nyata mengamalkan ajaran agamanya, sesudah ia mempercayai kekuatan yang Maha Kuasa, kepercayaan itu digerakan oleh oleh motivasi instrinsiknya, dan percaya bahwa dengan mendasarkan pada hal itu manusia akan memperoleh kebaikan dan dapat menghindarkan diri dari sesuatu yang merugikan atau menyakitkan.



DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir.
2007    Filsafat Umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra.  Rosda Karya Cet XV. Bandung.
A. Carrel.
2001    “Man the Unknown” dikutip langsung oleh Shihab, M. Quraish dalam “Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan umat”. Mizan, Cet XII. Bandung
H.A. Hasan Gaos dan Wildan Baihaqi.
2009    Psikologi Agama. Kati Berkat Press, Bandung.
Jalaludin Rakhmat.
2003    Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan, Bandung.
M. Quraish Shihab.
2001    Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan umat,  Mizan. Cet XII, Bandung.
Odea, Thomas F.
1998    The Sociology of  Religion. di terjemahkan oleh YASOGAMA. Sosiologi Agama.  Rajawali Pers, Cet VII,  Jakarta.
Robert H.Thouless.
2000    An Introduction to the Psychology of Religion. Cambridge University Press : London , 1972) diterjemahkan Husein, Machnun. Pengantar Psikologi Agama. Rajawali Pers Cet III, Jakarta.


[1] Jalaludin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar. (Mizan : Bandung.2003)
[2] Dr. A. Carrel, “Man the Unknown” dikutip langsung oleh M. Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan umat” (Bandung : Mizan, 2001 Cet XII), hlm.278
[3] Ibid
[4] Loc.cit. hlm 209
[5] Robert H. Thouless, “An Introduction to the Psychology of Religion”, (London : Cambridge University Press, 1972) diterjemahkan Machnun Husein, “Pengantar Psikologi Agama” (Jakarta : Rajawali Pers, 2000 cet III)
[6] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum akal dan hati sejak Thales sampai Capra”,( Bandung : Rosda Karya , 2007 Cet XV) hlm. 9
[7] H.A. Hasan Gaos dan Wildan Baihaqi “Psikologi Agama” (Kati Berkat Press, 2009)

[8] Ibid
[9] Thomas F.Odea , The Sociology of  Religion. Hlm.25 di terjemahkan oleh YASOGAMA, Sosiologi Agama. (Jakarta : Rajawali Pers, 1998 Cet VII)
[10] loc.cit

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.