BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Secara konsep
sebenarnya antara manusia dan agama merupakkan dua hal yang berbeda dapat
dipisahkan. Dalam kajian psikologi manusia dipandang mahluk hidup yang
kehadirannya dibekali aspek fisik dan mental. Aspek fisik melibatkan semua
organ tubuh yang Nampak dan melekat pada manusia, sehingga dapat diraba dan
diamati. Sedang aspek mental merupakan organ hidup manusia yang tidak dapat
diraba dan diamati, tapi diyakini keberadaannya, karena justru dapat
mengendalikan kegiatan yang bersifat fisik.
Berbagai spekulasi
tentang adanya kemampuan manusia meneliti tentang dirinya sendiri dan
berbagai kajian yang kerapkali
diperbincangankan mengenai manusia atas hubungannya dengan agama dan mengapa
Robert H Thouless mengatakan bahwa agama itu adalah kebutuhan manusia tanpanya
manusia tidak akan mencapai keutuhan. Begitu juga Jung seorang psikoanalisa
yang kemudian membentuk mazhab psikologi tersendiri yakni Psikologi Analitis
mengungkapkan bahwa agama adalah kebergantungan dan kepasrahan kepada fakta dan
pengalaman yang irasional. [1]
agama menentukan arah yang dituju, agama menyesuaikan dengan yang dituju, agama
hiasan batin, agama member harapan dan dorongan bagi jiwa, agama selalu
menenangkan jiwa pemeluknya yang tulus seperti itu yang diungkapkan Murthadha
Muthahhari
Melihat persoalan tersebut
kiranya perlu penyelesaian bagi kita tentang hubungan manusia yang memahami
kajian agama tersebut kami menyusun makalah ini mencoba mengungkap hal tersebut
berdasarkan pada sumber-sumber yang jelas semoga makalah ini bermanfaat bagi
semuanya.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa pengertian manusia
dan agama?
2.
Apa maksud
keyakinan/religiusitas dan rasionalitas?
3.
Bagaimana Hubungan
manusia dan agama dalam hubungan tipe hubungan Sebab-Akibat, Atas-Bawah,
Fungsional dan Pengabdian?
BAB II
HUBUNGAN MANUSIA DAN AGAMA
A.
Pengertian
manusia dan Agama
Pengertian manusia
Pengertian manusia menurut Dr. A
Carel dalam bukunya Man the Unknown menjelaskan tentang kesukaran yang
dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan
tentang mahluk-mahluk hidup secara umum
dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya. Selanjutnya ia menulis :
Sebenarnya
manusia telah mencurahkan perhatian dan usaha yang sangat besar untuk
mengetahui dirinya. Kendatipun kita memiliki pembendaharaan yang cukup banyak
dari hasil penelitian para ilmuan, filosof, sastrawan dan para ahli di bidang
keruhanian sepanjang masa ini. Tapi kita (manusia) hanya mampu mengetahui
beberapa segi tertentu dari diri kita. Kita tidak mengetahui manusia secara utuh.
Yang kita ketahui hanyalah bahwa manusia terdiri dari bagian-bagian tertentu,
dan ini pun pada hakikatnya dibagi lagi menurut tata cara kita sendiri. Pada
hakikatnya, kebanyakan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh mereka yang
mempelajari manusia (kepada diri mereka) hingga kini masih tetap tanpa jawaban.
Keterbatasan pengetahuan manusia
tentang dirinya itu disebabkan oleh :
1.
Pembahasan tentang masalah manusia
terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada
penyelidikan tentang alam materi
2.
Ciri khas akal manusia yang lebih
cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks. Ini disebabkan oleh sifat
akal seperti yang dinyatakan oleh Bergson tidak mampu mengetahui hakikat hidup
3.
Multikompleksnya masalah manusia
Dari penjelasan di atas, agamawan
dapat berkomentar bahwa pengetahuan tentang manusia demikian itu disebabkan
karena unsur penciptaannya terdapat ruh ilahi sedang manusia tidak
diberi pengetahuan tentang ruh, kecuali sedikit (QS Al-Isra’ [17]:85).
Jika apa yang dikemukakan oleh A.
Carrel itu diterima. Maka satu-satunya jalan untuk mengenal dengan baik siapa
manusia, adalah merujuk kepada wahyu ilahi, agar kita dapat menemukan
jawabannya.[2]
Ada tiga kata yang digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.
1.
Menggunakan kata yang terdiri dari
huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
2.
Menggunakan kata Basyar.
3.
Menggunakan kata Bani Adam,
dan zuriyat Adam.
Kata basyar terambil dari
akar kata yang pada mulanya berarti penampakan sesuatu dengan baik dan
indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit.
Manusia dinamai basyar karena kulitna tampak jelas dan berbeda
dengan kulit binatang yang lain.
Al-Qur’an menggunakan kata ini
sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna
(dual) untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya
dengan manusia seluruhnya (QS Al-Kahf [18];110) bertebaran / berkembang biak
(QS Al-Rum [30];20) kedewasaan dalam
kehidupan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggungjawab (QS Al-Hijr
[15]; 28)
Kata Nafs Al-Qur’an
mempunyai aneka makna, sekali diartikan sebagai totalitas manusia, seperti
antara lain maksud surat Al-Maidah ; 32, di kali lain ia menunjuk kepada apa
yang terdapat dalam diri manusia yang menghasilkan tingkah laku seperti dalam
(QS Al-Ra’d [13]; 11), juga menunjukan kepada “diri Tuhan” (QS Al-An’am
[6]; 12).
Dalam pandangan Al-Qur’an, nafs diciptakan
Allah dalam keadaan sempurna untuk berfungsi menampung serta mendorong manusia
berbuat kebaikan dan keburukan, dan karena itu sisi dalam manusia inilah yang
oleh Al-Qur’an dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar (QS Al-Syams [91];
7-8).[3]
Pengertian Agama
William James mendefinisikan agama
sebagai perasaan, tindakan, pengalaman individu dalam kesunyian sejauh mereka melihat
dirinya berdiri di hadapan apa yang mereka anggap sebagai yang ilahi. [4]
Robert H. Thouless mendefinisikan
agama adalah sikap (atau tata cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang
mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia
fisik yang terikat ruang dan waktu.[5]
Ahmad Tafsir membagi pengertian
agama menjadi dua kelompok. Yang pertama ialah definisi agama yang menekankan segi
rasa iman atau kepercayaan, yang kedua menekankan segi agama sebagai peraturan
tentang cara hidup. Kombinasi kedua-keduanya mungkin merupakan definisi
yang lebih memadai tentang agama. Agama ialah system kepercayaan dan praktek
yang sesuai dengan kepercayaan tersebut. Dapat juga : Agama ialah peraturan
tentang cara hidup, lahir-batin. [6]
Dalam pandangan Islam Quraish
Shihab mendefinisikan agama sebagai fithrah (sesuatu yang melekat pada
diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) ; (QS Al-Rum[30];30)
B.
Antara
Keyakinan/Religius dan Rasionalitas
Dalam hal ini menurut H.A. Hasan
Gaos dan Wildan Baihaqi ada tiga teori yang dianggap relevan, yaitu ;
1.
Teori Rasionalitas dari Henry
Nelson Wienman
Teori ini menyatakan bahwa setiap
penghayatan manusia terhadap dunia luar akan melahirkan dua pengalaman yang saling
bertentangan, yaitu pengalaman rasional dan pengalaman religius. Akibatnya
segalam pengalaman yang dilalui, mulai dari kenyataan dan tingkat hidup yang
paling rendah dan sederhana sampai kepada msalah tuntutan spiritual manusia
dalam kehidupan sosialnya yang paling tinggi, akan melehirkan dua tuntutan
pemahaman yang saling bertentangan tersebut.
2.
Teori Transendental dari C.G. Jung
Teori ini didasarkan atas
penelitian psikoanalitis yang melahirkan pernyataan Jung bahwa [man him self
is partly empirical and partly trancedental]. “bahwa dalam manusia itu sudah
terkandung sebagian lagi bersifat transenden”. Pernyataan Jung itu
memantulkan pernyataan lain yang lebih tegas bahwa [the psyche creates
relity everyday].(Jolande
Jacoby,1973,hal 7) “sesuatu yang tidak Nampak justru dapat menciptakan hal
lain yang Nampak dalam kehidupan manusia sehari-hari”.
3.
Teori Mistik dari Santo Agustinus
Bagi Santo Agustinus secara alamiah
eksistensi kemanusiaan seseorang merangsang keyakinan dirinya mengenai adanya
sesuatu yang dianggap Maha Kuasa, bahkan ia sampai pada kesimpulan bahwa
kebehagiaan hidup manusia itu sangat bergantung pada pemeliharaan hubungan
dirinya dengan Yang Maha Kuasa. Hanya saja oleh Tuhan itu sesuatu Yang Maha
Abstrak, tentu tidak akan dapat dipahami oleh pengetahuan intelektual yang
mengarahkan objek kajiannya pada gejala-gejala empirik semata. [7]
C.
Hubungan
Manusia dan Agama dalam tipe hubungan sebab akibat
1. Fase
Penghayatan Gejala Alam
Dari fase ini timbulah
tingkat-tingkat kesadaran manusia yang melibatkan keprihatinan, konsepsi,
kepuasan dan lain-lain
2.
Fase Pertemuan dengan Yang Maha
Kuasa
Puncak pengalaman manusia mengenai
keterlibatannya terhadap penghayatan kehadiran diri dan rangsangan alam
sekitarnya adalah perasaan bertemu dengan Yang Maha Kuasa. Urutan dan rentetan
kesadarannya melahirkan suatu perasaan bahwa Tuhan adalah sebab segala-galanya,
sementara manusia dunia tempat tinggalnya merupakan akibat nyata dari ke-Maha
Kuasaan-Nya.
3.
Fase Mengembangkan Hubungan
Pengalaman bertemunya dengan Yang
Maha Kuasa itu lambat laun akan berkembang dan secara tidak langsung akan
menunjukan dinamika hubungan antara yang mengalami dengan sesuatu yang
dialaminya, antara akibat dengan sebabnya.
4.
Fase Hubungan yang Situasional
Pengalaman manusia dalam menghayati
posisinya sebagai akibat dari adanya Yang Maha Sebab, berjalan dan berkembang
terus sepanjang hayatnya. Namun, seirama dengan kenyataan alam dan lingkungan
yang dihadapinya, pengalaman keagamaan seseorang akan sangat situasional.
D.
Hubungan
manusia dan agama dalam tipe hubungan atas bawah
Salah satu kristalisasi imajinasi
kemanusiaan orang-orang yang beragama dalam pemaknaan hubungannya dengan Tuhan adalah
keterikatan terhadap kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang ada di bawah
yang serba tergantung kepada Khaliq yang ada di atas. Berbagai ekspresi muncul
dari hubungan macam ini, baik secara fisik maupun secara ideologis.
Sebagai mahluk yang berada di bawah
dan bergantung pada kekuasaan yang ada di atas dan Maha Agung, dengan bekal
integritas kemanusiannya menyadari keadaan dirinya dan ia menggambarkan akhir
hidupnya dengan mati.
Keaslian hubungan manusia yang ada di bawah
dengan Tuhannya yang ada di atas ditandai juga oleh kesadarannya bahwa manusia
itu telah kehilangan surga dan kesatuannya dengan alam, sehingga ia menjadi
pengembara yang abadi dan ia terpaksa menghadapi dunia ini. Bahkan kemudian
berusaha mencari tahu tentang sesuatu yang tidak diketahuinya. Yang lebih
menarik lagi manusia harus mengadakan perhitungan terhadap dirinya sendiri dari
arti eksistensi kehadirannya.[8]
E.
Hubungan
Manusia dan Agama dalam tipe hubungan fungsionalis
Dilihat dari sudut pandang teori
fungsionalis, pentingnya agama dalam kehidupan manusia berkaitan erat dengan
hadirnya sebagai unsure pengalaman hidup yang berakar pada ketidakpastian,
ketidakberadayaan dan kelangkaan yang memang merupakan karakteristik
fundamental kondisi manusia.
Pertama, agama
berfungsi sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami
sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual
yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang
memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya[9]
F.
Hubungan
manusia dan agama dalam tipe hubungan pengabdian
Menurut Henry Nelson Wienman tanda
dan bukti keagamaan seseorang yang paling puncak adalah wujud nyata mengamalkan
ajaran agamanya, sesudah ia mempercayai kekuatan yang Maha Kuasa, kepercayaan
itu digerakan oleh oleh motivasi instrinsiknya, dan percaya bahwa dengan
mendasarkan pada hal itu manusia akan memperoleh kebaikan dan dapat
menghindarkan diri dari sesuatu yang merugikan atau menyakitkan.
Dalam terminology agama manusia
akan merealisasikan hubungannya dengan Yang Maha Kuasa itu dalam bentuk ritual
peribadatan. Disinilah akan melibatkan seluruh aspek kemanusiaan seseorang
untuk mewujudkan rasa kontak dan dialognya dengan Tuhan. Oleh karena itu tidak
sah kalau dikatakan bahwa tingkah laku ibadah sebagai wujud pengabdian
seseorang merupakan manifestasi yang hakiki mengenai hubungan manusia dengan
agamanya.
Von Hugel menyatakan bahwa kegiatan
yang pokok dan menjadi sentral hidup beragama adalah berupa pemujaan atau
penyembuhan terhadap Yang Maha Kuasa.[10]
BAB III
SIMPULAN
Hubungan manusia dan agama
Pengertian manusia
Pengertian manusia menurut Dr. A
Carel dalam bukunya Man the Unknown menjelaskan tentang kesukaran yang
dihadapi untuk mengetahui hakikat manusia. Dia mengatakan bahwa pengetahuan
tentang mahluk-mahluk hidup secara umum
dan manusia khususnya belum lagi mencapai kemajuan seperti yang telah dicapai
dalam bidang ilmu pengetahuan lainnya.
Ada tiga kata yang digunakan
Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia.
1.
Menggunakan kata yang terdiri dari
huruf alif, nun, dan sin semacam insan, ins, nas atau unas.
2.
Menggunakan kata Basyar.
3.
Menggunakan kata Bani Adam,
dan zuriyat Adam.
Pengertian Agama
Robert H. Thouless mendefinisikan
agama adalah sikap (atau tata cara penyesuaian diri) terhadap dunia yang
mencakup acuan yang menunjukan lingkungan lebih luas daripada lingkungan dunia
fisik yang terikat ruang dan waktu.
Dalam pandangan Islam Quraish
Shihab mendefinisikan agama sebagai fithrah (sesuatu yang melekat pada
diri manusia dan terbawa sejak kelahirannya) ; (QS Al-Rum[30];30)
Antara Keyakinan/Religius dan Rasionalitas
Dalam hal ini menurut H.A. Hasan
Gaos dan Wildan Baihaqi ada tiga teori yang dianggap relevan, yaitu ;
1.
Teori Rasionalitas dari Henry
Nelson Wienman
2.
Teori Transendental dari C.G. Jung
3.
Teori Mistik dari Santo Agustinus
Hubungan manusia dan agama dalam
tipe hubungan sebab akibat
1.
Fase Penghayatan Gejala Alam
2.
Fase Pertemuan dengan Yang Maha
Kuasa
3.
Fase Mengembangkan Hubungan
4.
Fase Hubungan yang Situasional
Hubungan manusia dan agama dalam
tipe hubungan atas bawah Salah satu kristalisasi imajinasi kemanusiaan
orang-orang yang beragama dalam pemaknaan hubungannya dengan Tuhan adalah
keterikatan terhadap kesadaran bahwa dirinya adalah mahluk yang ada di bawah
yang serba tergantung kepada Khaliq yang ada di atas. Berbagai ekspresi muncul
dari hubungan macam ini, baik secara fisik maupun secara ideologis.
Hubungan Manusia dan Agama dalam
tipe hubungan fungsionalis
Pertama, agama
berfungsi sebagai cakrawala pandang tentang dunia luar yang tidak terjangkau
oleh manusia (beyond), dalam arti di mana deprivasi dan frustasi dapat dialami
sebagai sesuatu yang mempunyai makna. Yang kedua adalah sarana ritual
yang memungkinkan hubungan manusia dengan hal di luar jangkauannya, yang
memberikan jaminan dan keselamatan bagi manusia mempertahankan moralnya
Hubungan manusia dan agama dalam
tipe hubungan pengabdian
Menurut Henry Nelson Wienman tanda
dan bukti keagamaan seseorang yang paling puncak adalah wujud nyata mengamalkan
ajaran agamanya, sesudah ia mempercayai kekuatan yang Maha Kuasa, kepercayaan
itu digerakan oleh oleh motivasi instrinsiknya, dan percaya bahwa dengan
mendasarkan pada hal itu manusia akan memperoleh kebaikan dan dapat
menghindarkan diri dari sesuatu yang merugikan atau menyakitkan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Tafsir.
2007 Filsafat Umum akal
dan hati sejak Thales sampai Capra. Rosda Karya Cet XV. Bandung.
A. Carrel.
2001 “Man the Unknown” dikutip langsung oleh Shihab,
M. Quraish dalam “Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I atas pelbagai persoalan
umat”. Mizan, Cet XII. Bandung
H.A. Hasan
Gaos dan Wildan Baihaqi.
2009 Psikologi
Agama. Kati Berkat Press, Bandung.
Jalaludin Rakhmat.
2003 Psikologi Agama Sebuah Pengantar. Mizan, Bandung.
M. Quraish
Shihab.
2001 Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I
atas pelbagai persoalan umat, Mizan.
Cet XII, Bandung.
Odea, Thomas
F.
1998 The Sociology of Religion. di terjemahkan oleh YASOGAMA. Sosiologi
Agama. Rajawali Pers, Cet VII, Jakarta.
Robert H.Thouless.
2000 An Introduction to
the Psychology of Religion. Cambridge University Press : London , 1972)
diterjemahkan Husein, Machnun. Pengantar Psikologi Agama. Rajawali Pers
Cet III, Jakarta.
[1] Jalaludin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah
Pengantar. (Mizan : Bandung.2003)
[2] Dr. A. Carrel, “Man the Unknown” dikutip
langsung oleh M. Quraish Shihab dalam “Wawasan Al-Qur’an Tafsir Maudhu’I
atas pelbagai persoalan umat” (Bandung : Mizan, 2001 Cet XII), hlm.278
[3] Ibid
[4] Loc.cit. hlm 209
[5]
Robert H. Thouless, “An Introduction to the
Psychology of Religion”, (London : Cambridge University Press, 1972)
diterjemahkan Machnun Husein, “Pengantar Psikologi Agama” (Jakarta : Rajawali
Pers, 2000 cet III)
[6] Prof. Dr. Ahmad Tafsir, “Filsafat Umum akal
dan hati sejak Thales sampai Capra”,( Bandung : Rosda Karya , 2007 Cet XV)
hlm. 9
[7]
H.A. Hasan Gaos dan Wildan Baihaqi “Psikologi
Agama” (Kati Berkat Press, 2009)
[8] Ibid
[9]
Thomas F.Odea , The Sociology of Religion. Hlm.25 di terjemahkan oleh
YASOGAMA, Sosiologi Agama. (Jakarta : Rajawali Pers, 1998 Cet VII)
[10]
loc.cit
0 komentar:
Posting Komentar