About

Selasa, 03 Februari 2015

Asal-Usul Wayang Dan Perkembangannya Sebagai Media Dakwah Walisongo



KATA PENGANTAR

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Alhamdulillah, makalah ini dapat diselesaikan tanpa hambatan dan kesulitan yang berarti. Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sholawat beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Habibana wa Nabiyana Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabat, tabi’in, dan umat yang taat dan turut  kepada ajaran yang di bawanya. Karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayat, dan inayah-Nya, kami dapat menyusun makalah mengenai Asal-usul Wayang dan Perkembangannya Sebagai Media Dakwah Walisongo.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Mardani, M.A, M.Hum dan Roni E. Nurkiman, M.Ag, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis selama penyusunan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mata kuliah Sejarah Kebudayaan Indonesia II. Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran khususnya dari bapak/ibu dosen yang bersangkutan, bagi mahasiswa-mahasiswi dan para pembaca pada umumnya sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan, makalah penulis dapat bermanfaat bagi mahasiswa-mahasiswi dan para pembaca pada umumnya.
Bandung, 05 Maret 2014

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Proses islamisasi khususnya di Nusantara merupakan proses yang mencakup beberapa aspek, artinya tidak melalui hanya satu aspek. Seperti kita ketahui, proses islamisasi di Nusantara sangat terkenal dengan peranan Walisongo. Peranan Walisongo yang melakukan proses islamisasi di Nusantara sangat berperan penting. Walisongo menyebarkan agama Islam melalui beberapa aspek, salah satunya melalui kesenian wayang. Penyebaran Islam melalui wayang yang paling kita kenal dilakukan oleh Sunan Bonang. Penyebaran Islam melalui kesenian wayang sangat mempermudah sekali dalam proses Islamisasi.
Wayang merupakan salah satu sarana dalam proses islamisasi di Nusantara yang terbuat dari kayu, kulit. Meskipun seiring berjalannya waktu kesenian wayang mengalami perkembangan, seperti adanya wayang orang. Namun, pada kenyataannya jika dianalisis, wayang yang sangat berperan penting ketika para Walisongo menyebarkan Islam di Nusantara.
B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana asal-usul wayang di Nusantara ?
2.    Bagaimana perkembangan wayang di Nusantara sebagai media dakwah Walisaongo.
C.  Tujuan
1.    Memaparkan bagaimana asal-usul wayang di Nusantara.
2.    Memaparkan bagaimana perkembangan wayang di Nusantara sebagai media dakwah Walisaongo.





BAB II
PEMBAHASAN
A.  Asal-usul Pewayangan
Menelusuri asal-usul wayang di Nusantara, semua cendikiawan menyatakan bahwa wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500 SM.  Jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia.[1]
Mengenai asal-usul seni wayang, banyak orang beranggapan bahwa seni wayang berasal dari Negeri India. tetapi menurut R.Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal itu tidak benar. Menurutnya, wayang adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).[2]
wayang bermula pada zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamsime ini diyakini roh orang yang sudah meninggal masih tetap hidup. Bukan hanya orang yang sudah meninggal, namun mereka juga berpehaman bahwa semua benda itu bernyawa serta memiliki kekuatan roh-roh itu bersemayam dikatu-kayu besar, batu, sungai, gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap berkuasa. Untuk memuja roh nenek moyang selain dengan melakukan ritual, mereka mewujudkan juga dalam bentuk gambar dan patung roh nenek moyang. Maka wayang berasal dari ritual kepercayaan nenk moyangbangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM. Berasal dari zaman animisme dan dinamisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.[3]
B.  Perkembangan Wayang Sebagai Media Dakwah Walisongo
Seperti halnya proses Islamisasi di Nusantara yang memiliki keterkaitan anatara satu aspek dengan aspek lain. Begitupun sama halnya dengan wayang, mencakup beberapa seni yang terkait dengan aspek lain, yang terpenting diantaranya yaitu seni pedalangan (karawitan), seni tari, dan seni rupa. Walaupun tidak dapat dikaitkan satu sama lain, namun dapat dikatakan bahwa pedalangan merupakan sentra dari kesenian wayang. Atas dasar cerita, secara umum wayang dibagi menjadi empat, diantaranya wayang purwa, wayang madya, dan wayang modern. Wayang purwa umunya menceritakan kisah Mahabharata atau Ramayana. Wayang Madya merupakan kisah-kisah pada masa kerajaan kuno. Sementara itu, wayang modern yaitu kisah menegenai cerita perjuangan masa kolonial hingga masa kemerdekaan, terutama anekdot-anekdot yang berkembang dalam masa perjuangan atau dalam masyarakat pada umumnya.[4]
Atas dasar bahan yang digunakan dalam setiap wayang, wayang dapat dibedakan menjadi wayang beber, wayang kulit, wayang klitik, wayang golek, dan wayang orang. Wayang Beber merupakan seni wayang yang ceritanya dilukiskan diatas lembaran kertas atau kain sepanjang ± 80 x 12 cm yang berisikan 16 adegan. Setiap rangkaian cerita yang ingin disampaikan, maka gulungan lukisan cerita dibeberkan dengan cara mengaitkan ujung lukisan cerita dengan mengaitkan pada kayu atau pada zaman dahulu menggunakan batang pisang (gedebog). Wayang kulit sesuai dengan namanya, wayang ini merupakan wayang yang berbahan dari kulit. Agar lembaran wayang dapat berdiri tegak, maka bentukan wayang diberi kerangka yang disebut cempurit. Wayang klitik menyerupai wayang kulit. Pembentukan wayang klitik kombinasi dari kayu yang ditipiskan dan kulit. Bahan kulit terutama untuk bagian tangan, sedangkan cempurit untuk bagian tubuhnya. Wayang golek merupakan wayang yang terbuat dari kayu, hanya saja bentukan wayang tidak tipis seperti wayang yang lain. Sedangkan Wayang Orang adalah kesenian wayang yang tokoh-tokoh ceritanya diperankan oleh manusia.[5]
Description: http://files.myopera.com/trisprodeo/albums/11913792/ARJUNO%20%27%27WAYANG%20KULIT%27%27.jpg
Gambar Wayang Kulit
(diakses pada tanggal 04_Maret-2014, pukul 22:45)
Perkembangan budaya wayang bermula pada zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme dan dinamisme telah menghantarkan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijayayang besar dan jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi. Pertunjukan roh nenek moyang tersebut kemudian berkembang menjadi cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan Mahabarata. Selama abad X hingga abad XV, wayang berkembang dalam rangka ritual agama dan pendidikan kepada masyarakat.[6]
Seni rupa wayang telah dikenal sejak sekitar abad ke-11, telah mengalami perkembangan terutama perwujudan tokoh cerita berubah menjadi gaya stilistik bentuk perlembagaan. Wayang pada masa stilistik para pengkriya wayang pada masa Islam telah menghasilkan beberapa bentuk baru, diantaranya adalah wayang krucil (wayang gedog), wayang klitik serta sejumlah tokoh dalam seni wayang purwa.[7] Wayang Gedhog yang hanya digelar di lingkungan dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru  wayang gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada tatahan) bentuk wayang semakin ditata.[8]
Masuknya Islam di Nusantara pada abad ke-13 membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitupun dengan wayang, telah mengalami masa pembaharuan.[9]
Dengan demikian, maka seni wayang telah menjadi bagian dari seni rupa pada masa Islam. Khusunya sebagai sarana dakwah Islamisasi di Nusantara, para pengkriya seni rupa pada masa Islam pun telah menciptakan bentuk wayang baru, diantaranya yaitu Wayang Dobel, Wayang Wahana dan Wayang Dupara. Jenis yang pertama lebih banyak menceritakan lakon atau kisah para Nabi dan sahabatnya; jenis yang  kedua lainnya tentang sejarah dan cerita kepahlawanan pada masa pemerintahan kerajaan Demak dan Mataram.[10]

Wayang Dobel diciptakan oleh Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta. Pementasan wayang Dobel ini berdasarkan cerita-cerita Islam yang diambil dari Serat Ambyah. Disebut wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab, sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah gamelan, dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawatan. Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi warna putih. Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah terdiri atas wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, sedangkan yang disamping sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail adalah berbadan tiga yang melekat menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan Supiah. Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang Wahyu, yang ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wayang Dobel menceritakan kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an. Wayang Dupara diciptakan oleh R.M. Danuatmojo, seorang penduduk kota Sala dan tidak diketahui dengan pasti kapan wayang tersebut dibuat. Disebut wayang Dupara, karena asal dari kata Andupara yang artinya aneh dan dipergunakan untuk cerita-cerita babad Demak, Pajang, Mataram hingga Kartasura. Wayang Dupara tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan disungging, seperti halnya wayang kulit Purwa. Induk wayang Dupara ini adalah campuran, diubah pakaiannya dengan ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan selera pendapat penciptanya. Wayang-wayang tersebut kini disimpan di Musium Radya Pustaka di Surakarta. Wayang Wahana merupakan bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan diberi pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya berdasarkan cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut dapat dikatakan semacam wayang sandiwara. Kemudian wayang sandiwara tersebut menjadi wayang perjuangan dan ketika Kementerian Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan, wayang tersebut menjadi Wayang Suluh pada tahun 1946/1947.[11]
C.  Seni Wayang Sebagai Media Dakwah Walisongo
Seperti kita ketahui, proses islamisasi di Nusantara terjadinya melalui beberapa aspek, tidak hanya dalam satu aspek, yaitu dapat melalui pernikahan, perdagangan, pendidikan, sufistik, dan kesenian. Salah satu proses Islamisasi di Nusantara salah satunya melalui kesenian, dilakukan oelh salah satu walisongo yaitu Sunan Bonang. Sunan Bonang melakukan proses islamisasi melalui kesenian yaitu seni wayang.
Ketika ajaran Islam disebarkan di Pulau Jawa, masyarakat yang sebagian besar masih memeluk agama Hindu memiliki kegemaran menonton pagelaran wayang.  Para ulama penyebar agama Allah di Pulau Jawa yang dikenal dengan Walisongo Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Syeh Siti Jenar berdakwah dengan menggunakan pendekatan budaya. Wali Sanga banyak memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syari’ah, dan akhlaq) melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan tersebut , misalnya: Sunan Kalijaga, dalam menyelenggarakan pertunjukan wayang, selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid. Di sekeliling tempat pagelaran wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar mencuci kaki sebelum masuk masjid. Di tangan Sunan Kalijaga, Wayang Purwa yang terbuat dari kulit kerbau itu ditransformasikan menjadi wayang kulit yang bercorak Islami. Sunan Kalijaga menciptakan tokoh punakawan sebagai sarana untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Semar (meski sudah ada sejak masa kerajaan Majapahit) diperkirakan berasal dari bahasa Arab, yaitu simaar atau ismarun yang berarti paku. Paku adalah alat untuk menancapkan suatu barang agar tegak dan kuat. Ismaya merupakan nama lain Semar yang berasal dari kata asma-Ku atau simbol kemantapan dan keteguhan. Selanjutnya, Nara Gareng berasal dari kata naala qarin yang artinya memperoleh banyak kawan. Petruk diadaptasi dari kata faruk yang artinya tinggalkan yang jelek.[12]
Kegiatan berdakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh manusia di belantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam rangka penyelamatan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Namun kegiatan dakwah sering kali dipahami, baik oleh masyarakat awam ataupun sebagai masyarakat terdidik, sebagai sebuah kegiatan yang sangat praktis, sama dengan tabligh (ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis taklim, mesjid-mesjid dan mimbar-mimbar keagamaan.[13]
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Kesembilan “wali” yang dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai apek kebudayaan, yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas mereka menyebarkan Islam di Nusantara tidaklah dengan armada militer, tidak juga dengan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan perubahan sosial secara halus dan bijaksana, seperti halnya Islam yang mengajarkan kehalusan. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama masyarakat, namun menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang. Para Wali melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan bahannya terbuat dari kulit kerbau. Dalam hal esensi yang disampaikan dalam cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.[14]
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.





BAB III
KESIMPULAN
Wayang itu sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500 SM.  Jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk ke Indonesia. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia. Seni rupa wayang telah dikenal sejak sekitar abad ke-11, telah mengalami perkembangan terutama perwujudan tokoh cerita berubah menjadi gaya stilistik bentuk perlembagaan. Wayang pada masa stilistik para pengkriya wayang pada masa Islam telah menghasilkan beberapa bentuk baru, diantaranya adalah wayang krucil (wayang gedog), wayang klitik serta sejumlah tokoh dalam seni wayang purwa. sebagai sarana dakwah Islamisasi di Nusantara, para pengkriya seni rupa pada masa Islam pun telah menciptakan bentuk wayang baru, diantaranya yaitu Wayang Dobel, Wayang Wahana dan Wayang Dupara.
Masuknya Islam di Nusantara pada abad ke-13 membawa perubahan besar terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Begitupun dengan wayang, telah mengalami masa pembaharuan. Seperti kita ketahui, proses islamisasi di Nusantara terjadinya melalui beberapa aspek, tidak hanya dalam satu aspek, yaitu dapat melalui pernikahan, perdagangan, pendidikan, sufistik, dan kesenian. Salah satu proses Islamisasi di Nusantara salah satunya melalui kesenian, dilakukan oelh salah satu walisongo yaitu Sunan Bonang. Sunan Bonang melakukan proses islamisasi melalui kesenian yaitu seni wayang.
Walisongo dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. mereka tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan Cirebon di Jawa Barat. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat, Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Ketika ajaran Islam disebarkan di Pulau Jawa, masyarakat yang sebagian besar masih memeluk agama Hindu memiliki kegemaran menonton pagelaran wayang.  Para ulama penyebar agama Allah di Pulau Jawa yang dikenal dengan Walisongo Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan Syeh Siti Jenar berdakwah dengan menggunakan pendekatan budaya.
Dalam sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon islami.
DAFTAR PUSTAKA
Kusnawan, Aep. Ilmu Dakwah : Kajian Beberapa Aspek. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Puar Saringendyanti Etty dan Puar Irama Wan. Sejarah Kebudayaan Indonesia.
2009. Jakarat Selatan : Visimedia.
                    .           . www.wayangpedia.com/sejarah-wayang (diakses pada tanggal 04 Maret 2014, pukul 20:17).
Fourtofour, Aris. 2012. http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html (iakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 21.50).
Rudi. 2009. http://www.bluefame.com/topic/187229-wayang-asli-indonesia/page__st__20 (diakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 23.03).
Redaksi. Mengenal Wayang Sebagai Media Dakwah Wali Songo. 2013. Kategori : Budaya.
Irfan Zaen. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2012. http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/04/wayang-sebagai-media-dakwah-508305.html (diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 2:18).


[1]                    .           . www.wayangpedia.com/sejarah-wayang (diakses pada tanggal 04 Maret 2014, pukul 20:17)
[2] Aris Fourtofour. 2012. http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html (iakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 21.50)
[4] Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Sejarah Kebudayaan Indonesia. 2009. Jakarat Selatan : Visimedia. hlm 145-146
[5] Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Ibid. hlm 146-147
[7] Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Op. Cit. hlm. 147
[8] Aris Fourtofour. Ibid.
[10] Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Op. Cit. hlm 148
[11] Rudi. 2009. http://www.bluefame.com/topic/187229-wayang-asli-indonesia/page__st__20 (diakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 23.03)
[12] Redaksi. Mengenal Wayang Sebagai Media Dakwah Wali Songo. 2013. Kategori : Budaya. http://www.frontroll.com/berita-3004-mengenal-wayang-sebagai-media-dakwah-wali-songo.html (diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 01:40)
[13] Aep Kusnawan. Ilmu Dakwah : Kajian Beberapa Aspek.            . Bandung: Pustaka Bani Quraisy. hlm. 7
[14] Irfan Zaen. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2012. http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/04/wayang-sebagai-media-dakwah-508305.html (diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 2:18)

0 komentar:

Posting Komentar

Romi Syahrurrohim. Diberdayakan oleh Blogger.