KATA
PENGANTAR
Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Alhamdulillah,
makalah ini dapat diselesaikan tanpa hambatan dan kesulitan yang berarti.
Penulis mengucapkan puji dan syukur ke hadirat Allah Subhanahu Wa Ta’ala, sholawat
beserta salam semoga selalu tercurah limpahkan kepada Habibana wa Nabiyana
Muhammad SAW, kepada keluarganya, para sahabat, tabi’in, dan umat yang taat dan
turut kepada ajaran yang di bawanya.
Karena berkat limpahan rahmat, taufiq, hidayat, dan inayah-Nya, kami dapat
menyusun makalah mengenai Asal-usul Wayang
dan Perkembangannya Sebagai Media Dakwah Walisongo.
Penulis
mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. Mardani, M.A, M.Hum dan Roni E. Nurkiman, M.Ag, sebagai pembimbing yang telah meluangkan waktunya
untuk membimbing penulis selama penyusunan makalah ini.
Makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu syarat kelulusan mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Indonesia II. Penulis menyadari bahwa makalah
ini jauh dari kesempurnaan, sehingga kritik dan saran khususnya dari bapak/ibu
dosen yang bersangkutan, bagi mahasiswa-mahasiswi dan para pembaca pada umumnya
sangat kami harapkan demi kesempurnaan makalah ini.
Mudah-mudahan,
makalah
penulis dapat bermanfaat bagi
mahasiswa-mahasiswi dan para pembaca pada umumnya.
Bandung, 05 Maret 2014
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Proses islamisasi
khususnya di Nusantara merupakan proses yang mencakup beberapa aspek, artinya
tidak melalui hanya satu aspek. Seperti kita ketahui, proses islamisasi di
Nusantara sangat terkenal dengan peranan Walisongo. Peranan Walisongo yang
melakukan proses islamisasi di Nusantara sangat berperan penting. Walisongo
menyebarkan agama Islam melalui beberapa aspek, salah satunya melalui kesenian
wayang. Penyebaran Islam melalui wayang yang paling kita kenal dilakukan oleh
Sunan Bonang. Penyebaran Islam melalui kesenian wayang sangat mempermudah
sekali dalam proses Islamisasi.
Wayang merupakan
salah satu sarana dalam proses islamisasi di Nusantara yang terbuat dari kayu,
kulit. Meskipun seiring berjalannya waktu kesenian wayang mengalami
perkembangan, seperti adanya wayang orang. Namun, pada kenyataannya jika
dianalisis, wayang yang sangat berperan penting ketika para Walisongo menyebarkan
Islam di Nusantara.
B. Rumusan
Masalah
1. Bagaimana asal-usul wayang di Nusantara
?
2. Bagaimana perkembangan wayang di
Nusantara sebagai media dakwah Walisaongo.
C. Tujuan
1. Memaparkan bagaimana asal-usul wayang di
Nusantara.
2. Memaparkan bagaimana perkembangan wayang
di Nusantara sebagai media dakwah Walisaongo.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Asal-usul Pewayangan
Menelusuri
asal-usul wayang di Nusantara, semua cendikiawan menyatakan bahwa wayang itu
sudah ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500 SM. Jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk
ke Indonesia. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli
Indonesia.[1]
Mengenai asal-usul seni wayang, banyak orang beranggapan
bahwa seni wayang berasal dari
Negeri India. tetapi menurut R.Gunawan Djajakusumah dalam bukunya Pengenalan Wayang Golek Purwa di Jawa Barat, hal
itu tidak benar. Menurutnya, wayang
adalah kebudayaan asli Indonesia (khususnya di Pulau Jawa).[2]
wayang bermula
pada zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia masih menganut animisme
dan dinamisme. Dalam alam kepercayaan animisme dan dinamsime ini diyakini roh
orang yang sudah meninggal masih tetap hidup. Bukan hanya orang yang sudah
meninggal, namun mereka juga berpehaman bahwa semua benda itu bernyawa serta
memiliki kekuatan roh-roh itu bersemayam dikatu-kayu besar, batu, sungai,
gunung dan lain-lain. Paduan dari animisme dan dinamisme ini menempatkan roh
nenek moyang yang dulunya berkuasa, tetap berkuasa. Untuk memuja roh nenek
moyang selain dengan melakukan ritual, mereka mewujudkan juga dalam bentuk
gambar dan patung roh nenek moyang. Maka wayang berasal dari ritual kepercayaan
nenk moyangbangsa Indonesia disekitar tahun 1500 SM. Berasal dari zaman
animisme dan dinamisme, wayang terus mengikuti perjalanan sejarah bangsa sampai
masuknya agama Hindu di Indonesia sekitar abad keenam.[3]
B.
Perkembangan Wayang Sebagai Media Dakwah Walisongo
Seperti halnya
proses Islamisasi di Nusantara yang memiliki keterkaitan anatara satu aspek
dengan aspek lain. Begitupun sama halnya dengan wayang, mencakup beberapa seni
yang terkait dengan aspek lain, yang terpenting diantaranya yaitu seni
pedalangan (karawitan), seni tari, dan seni rupa. Walaupun tidak dapat
dikaitkan satu sama lain, namun dapat dikatakan bahwa pedalangan merupakan
sentra dari kesenian wayang. Atas dasar cerita, secara umum wayang dibagi
menjadi empat, diantaranya wayang purwa,
wayang madya, dan wayang modern. Wayang purwa umunya menceritakan kisah
Mahabharata atau Ramayana. Wayang Madya
merupakan kisah-kisah pada masa kerajaan kuno. Sementara itu, wayang modern yaitu kisah menegenai
cerita perjuangan masa kolonial hingga masa kemerdekaan, terutama
anekdot-anekdot yang berkembang dalam masa perjuangan atau dalam masyarakat
pada umumnya.[4]
Atas dasar bahan
yang digunakan dalam setiap wayang, wayang dapat dibedakan menjadi wayang beber, wayang kulit, wayang klitik,
wayang golek, dan wayang orang. Wayang Beber merupakan seni wayang yang
ceritanya dilukiskan diatas lembaran kertas atau kain sepanjang ± 80 x 12 cm
yang berisikan 16 adegan. Setiap rangkaian cerita yang ingin disampaikan, maka
gulungan lukisan cerita dibeberkan dengan cara mengaitkan ujung lukisan cerita
dengan mengaitkan pada kayu atau pada zaman dahulu menggunakan batang pisang
(gedebog). Wayang kulit sesuai dengan
namanya, wayang ini merupakan wayang yang berbahan dari kulit. Agar lembaran
wayang dapat berdiri tegak, maka bentukan wayang diberi kerangka yang disebut
cempurit. Wayang klitik menyerupai
wayang kulit. Pembentukan wayang klitik kombinasi dari kayu yang ditipiskan dan
kulit. Bahan kulit terutama untuk bagian tangan, sedangkan cempurit untuk
bagian tubuhnya. Wayang golek
merupakan wayang yang terbuat dari kayu, hanya saja bentukan wayang tidak tipis
seperti wayang yang lain. Sedangkan Wayang
Orang adalah kesenian wayang yang tokoh-tokoh ceritanya diperankan oleh
manusia.[5]

Gambar
Wayang Kulit
(diakses
pada tanggal 04_Maret-2014, pukul 22:45)
Perkembangan
budaya wayang bermula pada zaman kuno ketika nenek moyang bangsa Indonesia
masih menganut animisme dan dinamisme telah menghantarkan bangsa Indonesia menjadi
bangsa yang mulai bersentuhan dengan peradaban tinggi dan berhasil membangun
kerajaan-kerajaan seperti Kutai, Tarumanegara, bahkan Sriwijayayang besar dan
jaya. Pada masa itu wayang pun berkembang pesat, mendapat pondasi yang kokoh
sebagai suatu karya seni yang bermutu tinggi. Pertunjukan roh nenek moyang
tersebut kemudian berkembang menjadi cerita yang lebih berbobot, Ramayana dan
Mahabarata. Selama abad X hingga abad XV, wayang berkembang dalam rangka ritual
agama dan pendidikan kepada masyarakat.[6]
Seni rupa wayang
telah dikenal sejak sekitar abad ke-11, telah mengalami perkembangan terutama
perwujudan tokoh cerita berubah menjadi gaya stilistik bentuk perlembagaan.
Wayang pada masa stilistik para pengkriya wayang pada masa Islam telah
menghasilkan beberapa bentuk baru, diantaranya adalah wayang krucil (wayang gedog),
wayang klitik serta sejumlah tokoh
dalam seni wayang purwa.[7] Wayang Gedhog yang hanya digelar di lingkungan
dalam keraton saja sementara untuk konsumsi rakyat jelata sunan bonang menyusun
wayang damarwulan aman kerajaan pajang memberikan ciri khas baru wayang
gedhog dan wayang kulit mulai ditatah tiga dimensi (mulai ada lekukan pada
tatahan) bentuk wayang semakin ditata.[8]
Masuknya Islam
di Nusantara pada abad ke-13 membawa perubahan besar terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Begitupun dengan wayang, telah mengalami masa
pembaharuan.[9]
Dengan demikian,
maka seni wayang telah menjadi bagian dari seni rupa pada masa Islam. Khusunya
sebagai sarana dakwah Islamisasi di Nusantara, para pengkriya seni rupa pada
masa Islam pun telah menciptakan bentuk wayang baru, diantaranya yaitu Wayang Dobel, Wayang Wahana dan Wayang Dupara. Jenis yang pertama lebih
banyak menceritakan lakon atau kisah para Nabi dan sahabatnya; jenis yang kedua lainnya tentang sejarah dan cerita
kepahlawanan pada masa pemerintahan kerajaan Demak dan Mataram.[10]
Wayang Dobel
diciptakan oleh Kyai Amad Kasman dari desa Slametan daerah Yogyakarta.
Pementasan wayang Dobel ini berdasarkan cerita-cerita Islam yang diambil dari
Serat Ambyah. Disebut wayang Dobel karena isi cerita dari negeri Arab,
sedangkan bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa. Sebagai pengiring adalah
gamelan, dan juga memainkan terompet dan rebana seperti orang selawatan.
Pertunjukannya menggunakan kelir berwarna merah dengan garis tepi warna putih.
Wayang yang dijajarkan sebelah kanan disimping adalah terdiri atas
wayang-wayang Malaikat Jibril dan Malaikat Isra’il, sedangkan yang disamping
sebelah kiri terdiri atas wayang-wayang Malaikat Ijra’il. Bentuk wayang Ijrail
adalah berbadan tiga yang melekat menjadi satu, mempunyai tiga kepala, dan dua
kaki bersila. Ketiga badan tersebut merupakan lambang Amarah, Mut Mainah, dan
Supiah. Jadi wayang Dobel tersebut tidak jauh berbeda dengan wayang Wahyu, yang
ceritanya berisikan tentang kisah para Nabi. Wayang Dobel menceritakan
kisah-kisah dari Kitab Al Qur’an. Wayang Dupara diciptakan oleh R.M.
Danuatmojo, seorang penduduk kota Sala dan tidak diketahui dengan pasti kapan
wayang tersebut dibuat. Disebut wayang Dupara, karena asal dari kata Andupara
yang artinya aneh dan dipergunakan untuk cerita-cerita babad Demak, Pajang, Mataram
hingga Kartasura. Wayang Dupara tersebut dibuat dari kulit yang ditatah dan
disungging, seperti halnya wayang kulit Purwa. Induk wayang Dupara ini adalah
campuran, diubah pakaiannya dengan ditambah atau dikurangi, disesuaikan dengan
selera pendapat penciptanya. Wayang-wayang tersebut kini disimpan di Musium
Radya Pustaka di Surakarta. Wayang
Wahana merupakan bentuk wayang seperti manusia yang digambar miring dan
diberi pegangngan seperti wayang kulit. Karena pementasannya berdasarkan
cerita-cerita zaman sekarang, maka wayang tersebut dapat dikatakan semacam
wayang sandiwara. Kemudian wayang sandiwara tersebut menjadi wayang perjuangan
dan ketika Kementerian Penerangan RI memanfaatkan sebagai sarana penerangan,
wayang tersebut menjadi Wayang Suluh pada tahun 1946/1947.[11]
C.
Seni Wayang Sebagai Media Dakwah Walisongo
Seperti
kita ketahui, proses islamisasi di Nusantara terjadinya melalui beberapa aspek,
tidak hanya dalam satu aspek, yaitu dapat melalui pernikahan, perdagangan,
pendidikan, sufistik, dan kesenian. Salah satu proses Islamisasi di Nusantara
salah satunya melalui kesenian, dilakukan oelh salah satu walisongo yaitu Sunan
Bonang. Sunan Bonang melakukan proses islamisasi melalui kesenian yaitu seni
wayang.
Ketika ajaran Islam disebarkan di
Pulau Jawa, masyarakat yang sebagian besar masih memeluk agama Hindu memiliki
kegemaran menonton pagelaran wayang. Para ulama penyebar agama Allah di
Pulau Jawa yang dikenal dengan Walisongo Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan
Syeh Siti Jenar berdakwah dengan menggunakan pendekatan budaya. Wali Sanga
banyak memperkenalkan ajaran-ajaran Islam (aqidah, syari’ah, dan akhlaq)
melalui plot cerita yang dibangun berdasarkan perilaku punakawan
tersebut , misalnya: Sunan Kalijaga, dalam menyelenggarakan pertunjukan
wayang, selalu memilih tempat yang tidak jauh dari masjid. Di sekeliling tempat
pagelaran wayang, Sunan Kalijaga lalu membuat parit yang mengalir di dalamnya
air yang jernih. Parit ini dibuat untuk melatih para penonton wayang agar
mencuci kaki sebelum masuk masjid. Di tangan Sunan Kalijaga, Wayang Purwa yang
terbuat dari kulit kerbau itu ditransformasikan menjadi wayang kulit yang
bercorak Islami. Sunan Kalijaga menciptakan tokoh punakawan sebagai sarana
untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa. Semar (meski sudah ada sejak masa
kerajaan Majapahit) diperkirakan berasal dari bahasa Arab, yaitu simaar atau
ismarun yang berarti paku. Paku adalah alat untuk menancapkan suatu barang agar
tegak dan kuat. Ismaya merupakan nama lain Semar yang berasal dari kata asma-Ku
atau simbol kemantapan dan keteguhan. Selanjutnya, Nara Gareng berasal dari
kata naala qarin yang artinya memperoleh banyak kawan. Petruk diadaptasi dari
kata faruk yang artinya tinggalkan yang jelek.[12]
Kegiatan
berdakwah sudah ada sejak adanya tugas dan fungsi yang harus diemban oleh
manusia di belantara kehidupan dunia ini. Hal itu dilakukan dalam rangka
penyelamatan seluruh alam, termasuk di dalamnya manusia itu sendiri. Namun
kegiatan dakwah sering kali dipahami, baik oleh masyarakat awam ataupun sebagai
masyarakat terdidik, sebagai sebuah kegiatan yang sangat praktis, sama dengan tabligh
(ceramah). Kegiatan dakwah itu terbatas hanya di majelis-majelis taklim,
mesjid-mesjid dan mimbar-mimbar keagamaan.[13]
Walisongo
dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. mereka
tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat,
Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga. Kesembilan “wali” yang
dalam bahasa Arab artinya “penolong” ini merupakan para intelektual yang
terlibat dalam upaya pembaharuan sosial yang pengaruhnya terasa dalam berbagai
apek kebudayaan, yang menarik dari kiprah para Walisongo ini adalah aktivitas
mereka menyebarkan Islam di Nusantara tidaklah dengan armada militer, tidak
juga dengan menindas keyakinan lama yang dianut oleh masyarakat Indonesia yang
saat itu mulai memudar pengaruhnya, Hindu dan Budha. Namun mereka melakukan
perubahan sosial secara halus dan bijaksana, seperti halnya Islam yang
mengajarkan kehalusan. Mereka tidak langsung menentang kebiasaan-kebiasaan lama
masyarakat, namun menjadikannya sebagai sarana dalam dakwah mereka. Salah satu
sarana yang mereka gunakan sebagai media dakwah mereka adalah wayang. Para Wali
melakukan berbagai penyesuaian agar lebih sesuai dengan ajaran Islam. Bentuk
wayangpun diubah yang awalnya berbentuk menyerupai manusia menjadi bentuk yang
baru. Wajahnya miring, leher dibuat memanjang, lengan memanjang sampai kaki dan
bahannya terbuat dari kulit kerbau. Dalam hal esensi yang disampaikan dalam
cerita-ceritanya tentunya disisipkan unsur-unsur moral ke-Islaman. Dalam lakon
Bima Suci misalnya, Bima sebagai tokoh sentralnya diceritakan menyakini adanya
Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Esa itulah yang menciptakan dunia dan segala
isinya. Tak berhenti di situ, dengan keyakinannya itu Bima mengajarkannya
kepada saudaranya, Janaka. Lakon ini juga berisi ajaran-ajaran tentang menuntut
ilmu, bersikap sabar, berlaku adil, dan bertatakrama dengan sesama manusia.[14]
Dalam
sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di
Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan
Wayang. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga
melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya
melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon
islami. Setelah penduduk tertarik, mereka diajak membaca syahadat, diajari
wudhu’, shalat, dan sebagainya. Sunan Kalijaga adalah salah satu Walisongo yang
tekenal dengan minatnya dalam berdakwah melalui budaya dan kesenian lokal.Ia
menggunakan seni ukir, wayang, gamelan, serta seni suara suluk sebagai sarana
dakwah. Dialah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, layang
kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton,
alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan
Kalijaga.
BAB
III
KESIMPULAN
Wayang itu sudah
ada dan berkembang sejak zaman kuno, sekitar tahun 1500 SM. Jauh sebelum agama dan budaya dari luar masuk
ke Indonesia. Wayang dalam bentuknya yang masih sederhana adalah asli Indonesia. Seni rupa wayang telah dikenal sejak
sekitar abad ke-11, telah mengalami perkembangan terutama perwujudan tokoh
cerita berubah menjadi gaya stilistik bentuk perlembagaan. Wayang pada masa
stilistik para pengkriya wayang pada masa Islam telah menghasilkan beberapa
bentuk baru, diantaranya adalah wayang
krucil (wayang gedog), wayang klitik serta sejumlah tokoh dalam
seni wayang purwa. sebagai sarana
dakwah Islamisasi di Nusantara, para pengkriya seni rupa pada masa Islam pun
telah menciptakan bentuk wayang baru, diantaranya yaitu Wayang Dobel, Wayang Wahana dan
Wayang Dupara.
Masuknya
Islam di Nusantara pada abad ke-13 membawa perubahan besar terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Begitupun dengan wayang, telah mengalami masa
pembaharuan. Seperti kita ketahui, proses islamisasi di Nusantara terjadinya
melalui beberapa aspek, tidak hanya dalam satu aspek, yaitu dapat melalui
pernikahan, perdagangan, pendidikan, sufistik, dan kesenian. Salah satu proses
Islamisasi di Nusantara salah satunya melalui kesenian, dilakukan oelh salah
satu walisongo yaitu Sunan Bonang. Sunan Bonang melakukan proses islamisasi
melalui kesenian yaitu seni wayang.
Walisongo
dikenal sebagai penyebar agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-17. mereka
tinggal di tiga wilayah penting pantai utara Pulau Jawa, yaitu
Surabaya-Gresik-Lamongan di Jawa Timur, Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah, dan
Cirebon di Jawa Barat. Walisongo terdiri dari sembilan orang; Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Drajat,
Sunan Muria, Sunan Gunung Jati, dan Sunan Kalijaga.
Ketika ajaran Islam disebarkan di
Pulau Jawa, masyarakat yang sebagian besar masih memeluk agama Hindu memiliki
kegemaran menonton pagelaran wayang. Para ulama penyebar agama Allah di
Pulau Jawa yang dikenal dengan Walisongo Sunan Ampel, Sunan Gunungjati, Sunan
Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, dan
Syeh Siti Jenar berdakwah dengan menggunakan pendekatan budaya.
Dalam
sejarahnya, para Wali berperan besar dalam pengembangan pewayangan di
Indonesia. Sunan Kalijaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan
Wayang. Di samping menggunakan wayang sebagai media dakwahnya, para wali juga
melakukan dakwahnya melalui berbagai bentuk akulturasi budaya lainnya contohnya
melalui penciptaan tembang-tembang keislaman berbahasa Jawa, gamelan, dan lakon
islami.
DAFTAR
PUSTAKA
Kusnawan, Aep. Ilmu Dakwah : Kajian
Beberapa Aspek. Bandung: Pustaka Bani
Quraisy.
Puar Saringendyanti Etty dan Puar
Irama Wan. Sejarah Kebudayaan Indonesia.
2009. Jakarat
Selatan : Visimedia.
Fourtofour, Aris.
2012. http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html
(iakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 21.50).
Rudi. 2009. http://www.bluefame.com/topic/187229-wayang-asli-indonesia/page__st__20
(diakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 23.03).
Redaksi.
Mengenal Wayang Sebagai Media Dakwah Wali Songo. 2013. Kategori : Budaya.
http://www.frontroll.com/berita-3004-mengenal-wayang-sebagai-media-dakwah-wali-songo.html
(diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 01:40).
Irfan Zaen. Wayang Sebagai Media Dakwah. 2012. http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/04/wayang-sebagai-media-dakwah-508305.html
(diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 2:18).
[2] Aris Fourtofour. 2012. http://www.kumpulansejarah.com/2012/11/sejarah-seni-pewayangan-di-indonesia.html (iakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 21.50)
[4]
Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Sejarah Kebudayaan Indonesia. 2009. Jakarat Selatan : Visimedia.
hlm 145-146
[5]
Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Ibid. hlm 146-147
[7]
Etty Puar Saringendyanti dan Wan Puar Irama. Op. Cit. hlm. 147
[11] Rudi. 2009. http://www.bluefame.com/topic/187229-wayang-asli-indonesia/page__st__20
(diakses pada tanggal 04-Maret-2014, pukul 23.03)
[12] Redaksi. Mengenal Wayang Sebagai Media Dakwah
Wali Songo. 2013. Kategori : Budaya. http://www.frontroll.com/berita-3004-mengenal-wayang-sebagai-media-dakwah-wali-songo.html
(diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 01:40)
[13] Aep Kusnawan. Ilmu Dakwah : Kajian Beberapa Aspek. . Bandung: Pustaka
Bani Quraisy. hlm. 7
[14] Irfan Zaen. Wayang Sebagai Media
Dakwah. 2012. http://edukasi.kompasiana.com/2012/12/04/wayang-sebagai-media-dakwah-508305.html
(diakses pada tanggal 05-Maret-2014, pukul 2:18)
0 komentar:
Posting Komentar